Di hutan yang semakin pekat, Seraphina dan Alaric beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun. Seraphina menatap luka-luka Alaric yang semakin parah. Darah mengalir membasahi pakaian Alaric, membuat Seraphina bergegas merobek sebagian pakaiannya untuk membalut luka tersebut. Tangannya gemetar, berusaha menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Namun, tatapan Alaric yang meski lemah namun penuh ketenangan, seakan memberi Seraphina sedikit harapan.
“Kau harus istirahat, Alaric. Kalau tidak, kau bisa mati karena luka ini,” ucap Seraphina dengan suara serak. Namun Alaric, dengan senyum kecil yang dipaksakan, hanya menggeleng. “Kita tidak punya waktu, Seraphina,” jawab Alaric sambil mengerang pelan. “Kita harus terus bergerak, atau mereka akan menemukan kita.” Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun tidak ingin memberi mereka kenyamanan. Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki para prajurit yang terus mencari mereka. Seraphina tahu mereka harus bergerak, namun dengan Alaric yang semakin lemah, perjalanan itu menjadi jauh lebih berbahaya. Di tengah kebuntuan itu, Seraphina tiba-tiba teringat sesuatu. Ada seorang tabib legendaris yang pernah diceritakan oleh ibunya—tabib yang tinggal di pedalaman hutan, jauh dari jangkauan kerajaan. Tabib itu memiliki pengetahuan akan ramuan yang mampu menyembuhkan luka paling parah sekalipun. Namun, untuk mencarinya di tengah hutan yang begitu luas seperti ini, mereka membutuhkan keberuntungan lebih dari sekadar tekad. “Kita harus mencari tabib itu, Alaric,” kata Seraphina dengan penuh keyakinan. “Dia mungkin satu-satunya harapan kita.” Alaric menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Kalau itu yang harus kita lakukan, mari kita lakukan. Kita tidak bisa berhenti sekarang.” Mereka kembali melanjutkan perjalanan, meskipun tubuh mereka terasa seperti akan runtuh kapan saja. Setiap langkah membawa mereka semakin dalam ke hutan, jauh dari peradaban. Hutan itu terasa hidup, dengan suara binatang buas yang mengintai dari balik bayang-bayang. Seraphina terus menggenggam tangan Alaric, mencoba menyalurkan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya. Setelah berjam-jam berjuang, mereka akhirnya menemukan sebuah pondok tua yang tersembunyi di antara pepohonan. Atapnya dipenuhi lumut, dan pintu kayunya terlihat rapuh. Seraphina mengetuk pintu dengan cemas, berharap orang yang ada di dalam adalah tabib yang mereka cari. Tidak lama kemudian, pintu itu terbuka sedikit, menampakkan seorang pria tua dengan janggut putih panjang dan tatapan tajam penuh kearifan. “Apa yang membawa kalian ke tempat terkutuk ini?” tanyanya dengan suara berat. Seraphina berlutut, memohon dengan penuh harap. “Kami butuh bantuanmu, Tabib. Temanku terluka parah, dan kami tidak punya tempat lain untuk mencari pertolongan.” Tabib itu memandang Alaric yang pucat dan terluka, lalu mendesah panjang. “Masuklah. Tapi aku tidak menjanjikan apa pun.” Di dalam pondok, tabib itu segera mulai meracik ramuan dengan bahan-bahan yang hanya dia yang tahu khasiatnya. Asap dan aroma aneh memenuhi ruangan kecil itu, sementara Alaric diletakkan di atas meja kayu kasar. Seraphina hanya bisa berdoa, berharap ramuan itu bisa menyelamatkan Alaric. Namun, di saat Seraphina mulai merasa ada harapan, tabib itu menatapnya dengan tatapan dingin. “Apa kau tahu siapa yang sebenarnya kau lawan, Putri? Kerajaan tidak akan membiarkanmu hidup setelah semua ini. Dan kau harus tahu, Alaric bukan hanya seorang pesulap biasa.” Seraphina menatap tabib itu dengan bingung. “Apa maksudmu?” Tabib itu mendekat, suaranya berubah menjadi lebih rendah. “Alaric berasal dari garis keturunan yang sudah lama dianggap hilang—garis keturunan yang bisa menjadi ancaman terbesar bagi Raja Alden. Dia bukan hanya pesulap, dia adalah keturunan dari keluarga yang dulu berkuasa sebelum kerajaan berdiri. Darah yang mengalir di tubuhnya bisa menjadi kunci untuk menghancurkan kerajaan, atau menyelamatkannya.” Kata-kata tabib itu mengguncang Seraphina. Ia menatap Alaric yang terbaring lemah. Alaric, pesulap sederhana yang selama ini berjuang untuk desa dan orang-orang yang ia cintai, ternyata menyimpan rahasia yang jauh lebih besar. Seraphina tahu bahwa ini akan mengubah segalanya. Jika Raja Alden tahu tentang Alaric, maka bukan hanya Alaric yang dalam bahaya, tapi seluruh pemberontakan ini bisa runtuh. “Aku tidak peduli dengan masa lalunya,” kata Seraphina akhirnya. “Yang aku pedulikan sekarang adalah menyelamatkan nyawanya.” Tabib itu tersenyum tipis. “Kau memang berbeda dari ayahmu, Putri. Tapi ingat, setiap keputusan memiliki konsekuensi. Dan jika kau ingin menyelamatkan temanmu, kau harus siap membayar harganya.” Ramuan itu akhirnya diberikan kepada Alaric. Perlahan, warna di wajahnya mulai kembali, dan nafasnya yang tadinya tersengal-sengal menjadi lebih teratur. Namun, belum sempat mereka merasakan kelegaan, pintu pondok itu tiba-tiba didobrak dengan keras. Prajurit-prajurit kerajaan masuk, dipimpin oleh Eirik yang tersenyum sinis melihat mereka berdua. “Kalian benar-benar tidak tahu kapan harus menyerah,” ucap Eirik sambil menghunus pedangnya. “Sekarang, tidak ada lagi jalan keluar untuk kalian.” Seraphina berdiri di depan Alaric yang masih lemah, siap melindunginya meskipun tahu dia tidak memiliki kemampuan bertarung seperti Eirik. Tabib itu melangkah mundur, memandang dengan cemas namun tidak bisa berbuat banyak. Situasi semakin tegang saat para prajurit mengelilingi mereka. “Menyerahlah, Seraphina,” kata Eirik, mendekat dengan tatapan penuh kemenangan. “Kerajaan akan mengampunimu jika kau menyerahkan Alaric. Dia adalah ancaman terbesar bagi ayahmu, dan kau tahu itu.” Seraphina menggeleng keras, air mata berderai di pipinya. “Aku tidak akan pernah mengkhianati Alaric. Kami sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang.” Eirik tertawa kecil, lalu memberi isyarat kepada prajuritnya untuk menyerang. Seraphina mencoba melawan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Alaric, meskipun terluka, mencoba bangkit dan menggunakan sihirnya untuk melindungi Seraphina. Pertarungan di dalam pondok kecil itu menjadi kacau, dengan suara sihir dan dentingan pedang memenuhi udara. Di tengah kekacauan, Alaric menggunakan seluruh kekuatan yang tersisa untuk menciptakan ledakan sihir yang cukup kuat untuk menjatuhkan beberapa prajurit. Namun, sihir itu juga membuat tubuhnya semakin lemah. Eirik melihat kesempatan itu dan menyerang Alaric dengan pedang terhunus, tetapi di detik terakhir, Seraphina melompat untuk melindungi Alaric, menahan serangan itu dengan seluruh tubuhnya. Serangan itu menghantam Seraphina, membuatnya terjatuh ke tanah dengan luka yang cukup dalam. Alaric berteriak, merasa ketakutan dan marah melihat Seraphina terluka demi melindunginya. Dengan kekuatan terakhirnya, Alaric mengeluarkan sihir yang lebih besar, menciptakan badai api yang memaksa Eirik dan prajuritnya mundur. Di tengah amukan sihir itu, Eirik dan pasukannya akhirnya terpaksa mundur, meninggalkan Alaric dan Seraphina yang terluka parah. Tabib itu segera berlari untuk membantu mereka, namun dia tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di pondok itu lebih lama lagi. Ancaman semakin dekat, dan waktu mereka hampir habis. Seraphina, dengan napas yang tersengal-sengal, menggenggam tangan Alaric dengan erat. “Jangan pernah menyerah, Alaric. Kita harus terus berjuang, apa pun yang terjadi.” Alaric menatap Seraphina, merasakan campuran rasa bersalah dan tekad yang semakin membara. Dia tahu bahwa mereka sudah melampaui batas, dan kini pertempuran bukan hanya untuk mereka berdua, tetapi untuk semua orang yang mempercayai mereka. Mereka harus bertahan, harus menemukan cara untuk melawan balik, karena jika tidak, semua yang telah mereka korbankan akan sia-sia. Dan di saat itulah, Alaric berjanji pada dirinya sendiri—ini belum berakhir. Perjuangan ini baru saja dimulai, dan dengan atau tanpa sekutu, dengan darah dan air mata, mereka akan menuntut keadilan yang sudah terlalu lama ditunda. **Bab 13: Di Antara Cinta dan Perang** Malam mulai menjelang ketika mereka akhirnya menemukan perlindungan di sebuah gua kecil di pinggir hutan. Suara aliran sungai di dekatnya memberikan sedikit rasa tenang, meskipun hati mereka masih berdebar kencang setelah pertarungan yang baru saja terjadi. Seraphina masih terluka parah akibat serangan Eirik, tapi dengan bantuan ramuan dari sang tabib, lukanya mulai perlahan membaik. Namun, kelelahan dan rasa sakit masih begitu jelas terpancar di wajahnya. Alaric duduk di samping Seraphina, menatapnya dengan cemas sambil mencoba menenangkan dirinya. Mereka telah berhasil selamat, tapi bayangan tentang betapa dekatnya mereka dengan kematian tadi terus menghantuinya. Dia mengulurkan tangannya untuk menyeka keringat di dahi Seraphina, gerakan kecil yang penuh dengan kehangatan dan kepedulian. “Kau harus banyak beristirahat, Seraphina,” kata Alaric lembut, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik suaranya. “Kau sudah banyak mengorbankan dirimu hari ini.” Seraphina menatap Alaric, matanya yang cerah meski dipenuhi lelah memancarkan keteguhan. “Aku hanya melakukan apa yang perlu, Alaric. Aku tidak bisa membiarkanmu terluka lebih parah.” Keheningan mengisi ruang di antara mereka, hanya terdengar suara gemericik air sungai di kejauhan. Alaric merasakan perasaan hangat yang tak biasa ketika bersama Seraphina, sebuah perasaan yang selama ini selalu dia abaikan karena situasi yang menuntut mereka untuk terus bergerak. Tapi sekarang, dengan mereka berdua terjebak dalam keheningan malam, Alaric tak bisa lagi menahan perasaannya. Alaric menatap Seraphina dengan penuh perasaan, memandang wajah yang selama ini selalu berada di sisinya dalam setiap bahaya. Seraphina yang tegar dan kuat, yang selalu siap melindunginya meski dengan nyawanya sendiri. Perasaan syukur dan cinta yang sudah lama terpendam kini tak bisa lagi dia sembunyikan. “Aku takut kehilanganmu,” ucap Alaric lirih, hampir berbisik. Kata-kata itu begitu sederhana, tapi beratnya terasa dalam hati. “Setiap kali kita bertarung, setiap kali kau terluka, aku merasa seperti ada sebagian dari diriku yang hilang.” Seraphina tersenyum lembut, meski matanya berkaca-kaca. Ia merasakan hal yang sama, namun terlalu takut untuk mengungkapkannya. “Aku juga, Alaric. Kau adalah alasan mengapa aku terus berjuang, mengapa aku berani menentang ayahku dan segala yang selama ini kukenal.” Alaric mendekat, jemarinya perlahan menyentuh pipi Seraphina, merasakan kulitnya yang hangat dan lembut. “Seraphina, aku tidak pernah menginginkan ini terjadi. Aku tidak pernah ingin melibatkanmu dalam perang ini, tapi kehadiranmu… kau membuat segalanya berarti.” Seraphina merasakan detak jantungnya semakin cepat. Kedekatan Alaric membuat perasaannya kacau, namun juga memberinya kenyamanan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menggenggam tangan Alaric, menyalurkan kehangatan dan kasih sayang yang selama ini terpendam. “Aku di sini bukan karena terpaksa, Alaric,” jawab Seraphina lembut. “Aku memilih untuk bersamamu, karena kau adalah satu-satunya harapan yang kupunya. Bukan hanya untukku, tapi untuk semua orang yang ingin lepas dari cengkraman kerajaan.” Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat dunia di sekitar mereka seolah menghilang. Tidak ada perang, tidak ada prajurit yang memburu, tidak ada ancaman yang menunggu di depan. Hanya ada mereka berdua, dua jiwa yang terluka tapi menemukan kekuatan di dalam diri satu sama lain. Perlahan, Alaric mendekat, dan Seraphina tidak menolak. Ciuman itu lembut, penuh dengan perasaan yang selama ini mereka tahan. Namun, momen kehangatan itu segera dipecahkan oleh kenyataan yang kembali menghantam. Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan, membuat mereka segera terjaga. Alaric dan Seraphina saling berpandangan, sadar bahwa perasaan mereka, seindah apa pun, tidak bisa mengalihkan perhatian dari bahaya yang terus mengintai. “Kita harus terus bergerak,” kata Alaric, meskipun hatinya masih terasa hangat karena momen yang baru saja terjadi. Seraphina mengangguk, meskipun ia tahu perjalanan ke depan akan semakin berat. Cinta yang mulai tumbuh di antara mereka akan menjadi kekuatan, namun juga bisa menjadi kelemahan yang bisa dimanfaatkan musuh. Di perjalanan selanjutnya, mereka semakin sering saling mendukung. Alaric selalu berada di sisi Seraphina, memastikan dia tidak terlalu memaksakan diri meskipun ancaman terus mengintai. Sementara Seraphina, meskipun fisiknya belum pulih sepenuhnya, tetap tegar dan berusaha melindungi Alaric dengan cara apa pun yang ia bisa. Konflik batin pun mulai tumbuh. Di satu sisi, mereka tahu bahwa misi mereka adalah prioritas utama—menemukan cara untuk menghentikan Raja Alden dan menyelamatkan orang-orang yang selama ini mereka perjuangkan. Namun di sisi lain, perasaan mereka yang semakin dalam membuat setiap keputusan menjadi lebih rumit. Keberadaan mereka di tengah hutan, terisolasi dari dunia luar, hanya membuat mereka semakin dekat, saling bergantung, dan saling melengkapi. Namun, takdir tidak pernah memberikan kemudahan. Suatu malam, saat mereka sedang beristirahat, Seraphina mendengar percakapan dari dalam hutan. Ternyata, Eirik belum menyerah, dan kini ia membawa lebih banyak prajurit untuk menangkap mereka. Seraphina tahu, kali ini mereka tidak akan selamat jika tetap bertahan di tempat itu. “Kita harus berpisah,” ucap Seraphina dengan nada tegas, meskipun hatinya sangat berat untuk mengatakannya. “Jika kita bersama, mereka akan dengan mudah menangkap kita. Kau harus pergi ke arah selatan dan aku akan menarik perhatian mereka ke arah lain.” Alaric menatap Seraphina dengan tatapan marah dan khawatir. “Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi. Kita sudah terlalu sering berpisah, dan aku tidak bisa membiarkanmu menghadapi bahaya sendiri.” “Tapi ini satu-satunya cara, Alaric,” desak Seraphina. “Kau harus mempercayai aku. Aku bisa menjaga diriku sendiri, dan kita akan bertemu lagi di tempat yang sudah kita sepakati.” Perdebatan itu berlangsung cukup lama, dengan Alaric yang enggan melepaskan Seraphina pergi sendirian. Namun, Seraphina tetap teguh dengan keputusannya. Akhirnya, dengan berat hati, Alaric menyetujui rencana tersebut. Sebelum berpisah, mereka saling memeluk erat, seolah-olah pelukan itu adalah satu-satunya jaminan bahwa mereka akan bertemu lagi. “Aku akan menunggumu, Alaric,” bisik Seraphina, suaranya dipenuhi dengan harapan. “Dan ketika semua ini berakhir, kita akan memiliki waktu kita sendiri.” Alaric mengangguk, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kau harus selamat, Seraphina. Karena aku tidak akan berhenti berjuang, selama aku tahu kau ada di luar sana, berjuang juga.” Mereka pun berpisah, membawa perasaan yang bercampur aduk antara cinta, harapan, dan ketakutan. Perjalanan mereka masih panjang, penuh dengan rintangan yang belum terlihat. Namun kini, di tengah segala ancaman dan bahaya, mereka menemukan alasan baru untuk terus berjuang. Bukan hanya demi kebebasan, tapi demi satu sama lain. Cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi pengingat bahwa di tengah kegelapan, selalu ada cahaya yang bisa ditemukan, bahkan dalam sosok yang paling tak terduga. Namun, perpisahan itu hanya awal dari tantangan yang lebih besar. Seraphina dan Alaric tidak hanya berjuang melawan kerajaan, tetapi juga berjuang untuk mempertahankan perasaan mereka di tengah konflik yang semakin rumit. Mereka tahu bahwa meskipun terpisah, hati mereka tetap saling terikat. Namun, dengan musuh yang semakin dekat dan bahaya yang terus mengintai, hanya waktu yang akan membuktikan apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan.Angin malam berhembus dingin, menusuk sampai ke tulang. Alaric berjalan cepat di antara pepohonan, langkahnya tergesa meski rasa sakit di luka-lukanya masih terasa perih. Setiap langkah seolah mengguncang tubuhnya yang sudah lemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Seraphina. Mereka telah berpisah beberapa hari yang lalu, namun kecemasan yang menggerogoti hatinya seolah tak pernah pergi.Setiap suara ranting yang patah atau bayangan samar di antara pohon membuatnya siaga, waspada akan kemungkinan prajurit Eirik yang mungkin masih mengejar. Alaric tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Eirik bukan hanya sekadar prajurit kerajaan; dia adalah tangan kanan Raja Alden, seorang yang tak akan pernah berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Di sebuah tepi jurang kecil, Alaric berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang terus menghantuinya. Dia memandang jauh ke arah langit, yang gelap tanpa bintang, seperti cerminan dari pikirannya
Hari sudah menjelang senja ketika pasukan pemberontak yang dipimpin Marcus berhasil memukul mundur pasukan kerajaan. Seraphina memandang sekeliling dengan napas terengah-engah, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Teriakan kemenangan dan ratapan kesedihan bercampur jadi satu di antara hiruk-pikuk pertempuran yang baru saja berakhir. Namun, di tengah keramaian itu, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Alaric.Seraphina berlari ke segala penjuru, mencari sosok yang paling ingin dilihatnya. Matanya berusaha menembus kerumunan para prajurit yang terluka, para pemberontak yang merayakan kemenangan kecil mereka, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Namun, Alaric tidak ada di sana. Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. “Apa ada yang melihat Alaric?” teriaknya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Marcus, yang tengah mengatur barisan prajurit untuk mundur d
Alaric dan Seraphina duduk di sudut kabin kapal yang sempit, mencoba menghangatkan diri setelah pelarian yang nyaris berakhir tragis. Suara ombak yang menghantam lambung kapal terdengar berirama, namun jauh dari menenangkan. Marcus masuk ke dalam kabin, membawa sepotong roti dan air untuk Seraphina. Wajahnya tegang, matanya tidak bisa lepas dari peta yang terhampar di meja. “Kita harus bergerak cepat,” ujar Marcus sambil menunjuk titik di peta. “Pasukan kerajaan pasti sudah menyadari pelarian kita. Mereka akan mengejar.” Seraphina mengangguk, meski pikirannya masih kalut. Pengkhianatan ayahnya, pengasingan yang ia alami, dan kini, pelarian yang baru saja berakhir dengan keajaiban, semua itu masih membebani hatinya. Namun yang paling mengganggunya adalah sebuah firasat buruk yang belum bisa ia jelaskan. “Apa rencana kita selanjutnya?” tanya Seraphina, memecah keheningan. “Kita tidak bisa terus bersembunyi. Ayahku pasti akan mengirim pasuka
Di dalam penjara bawah tanah istana, Seraphina meringkuk dalam kegelapan. Suara tetesan air yang monoton menjadi satu-satunya irama yang menemaninya. Tubuhnya lemah, dan hatinya dipenuhi oleh kepahitan setelah melihat ayahnya berpaling darinya. Namun, meskipun dia berada di dasar keputusasaan, pikiran Seraphina tetap berputar; ia tak bisa menyerah sekarang. Ada terlalu banyak yang dipertaruhkan. Sementara itu, di luar istana, Alaric dan Marcus berusaha mati-matian mencari cara untuk menyelamatkan Seraphina. Mereka tahu bahwa waktu mereka terbatas, dan setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan Seraphina pada nasib yang mengerikan di tangan Duke Alistair. Namun, kali ini situasinya berbeda. Kerajaan telah memperkuat keamanan istana dengan prajurit-prajurit terlatih, dan mata-mata berkeliaran di setiap sudut kota. “Alaric, kita tidak bisa menyerbu begitu saja,” kata Marcus sambil memandangi istana dari kejauhan. “Duke Alistair sudah siap.
Malam itu, di desa yang masih terjaga oleh ketakutan dan harapan yang tipis, Luthar memandang Alaric dan Seraphina dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya. Langit mulai menggelap, dan hanya cahaya api unggun yang menerangi pertemuan kecil mereka. Luthar, yang biasanya penuh dengan sikap arogan dan dingin, kini terlihat berbeda—terbebani oleh keputusan besar yang harus ia buat. “Dengar,” kata Luthar, memecah kesunyian. “Keadaan semakin tidak terkendali. Raja Alden sudah terlalu jauh dengan kebijakannya, dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahannya. Ini bukan hanya soal prajurit yang datang menyerang desa ini, tapi seluruh Ardencia sedang di ambang kehancuran.” Alaric dan Seraphina menatap Luthar dengan penuh perhatian. Mereka tahu bahwa Luthar tidak mungkin mengatakan hal seperti ini tanpa alasan yang kuat. Luthar menarik napas dalam-dalam, seakan menimbang setiap kata yang akan ia ucapkan. “Kalian berdua harus pergi,” lanjut
Sementara Alaric dan Seraphina melanjutkan perjalanan mereka di Eldoria, keadaan di Ardencia berubah dengan cepat dan semakin tidak terkendali. Ketidakhadiran Alaric dan Seraphina tidak serta-merta membuat situasi menjadi lebih tenang; justru sebaliknya, kerajaan itu berada dalam keadaan yang lebih kacau daripada sebelumnya. Dengan Luthar yang berjuang sendirian dari dalam istana, berbagai konflik internal dan eksternal mulai mengancam kestabilan kerajaan. Sejak kepergian Seraphina, Raja Alden semakin tak terkendali dalam usahanya mempertahankan kekuasaan. Dengan kabar hilangnya putri kerajaan dan pesulap desa yang menjadi pahlawan rakyat, Raja Alden merasa terancam. Baginya, Alaric dan Seraphina bukan hanya ancaman terhadap kekuasaannya, tetapi juga simbol pemberontakan yang bisa menginspirasi rakyat untuk melawan. Ia memerintahkan pasukan untuk mencari mereka hingga ke pelosok Ardencia, mengerahkan kekuatan militer yang lebih besar dari sebelumnya.
Suatu malam setelah pertunjukan yang sukses di rumah Bartholomew, Alaric dan Seraphina kembali ke tempat tinggal mereka yang sederhana. Mereka menyewa sebuah kamar kecil di lantai atas penginapan tua yang terletak di ujung kota Eldoria. Kamar itu tidak mewah, tetapi cukup nyaman bagi mereka. Terdapat jendela besar yang menghadap ke jalanan, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang berpendar indah di malam hari. Malam itu terasa sejuk, dan suara angin yang berhembus lembut melalui celah jendela memberikan suasana yang tenang.Di dalam kamar, Alaric duduk bersandar di ranjang, masih mengenakan setengah dari kostum sulapnya yang penuh debu, sementara Seraphina sedang melepaskan gaun pertunjukannya. Meski lelah, wajah mereka berseri-seri dengan kebahagiaan yang jarang mereka rasakan dalam beberapa bulan terakhir. Kesuksesan pertunjukan malam ini membuat mereka merasa sedikit lega dari tekanan yang selama ini menghantui. Seraphina menatap Alaric dan tersenyum. “Kau tad
Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed
Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa
Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.
Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung
Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se
Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem
Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat
Setelah pertempuran yang memisahkan Seraphina darinya, Alaric terjebak dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sekadar kehilangan penglihatannya. Satu matanya yang tersisa kini menjadi satu-satunya jendela bagi dunianya yang terasa kian menyempit. Setiap kali ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah bayangan Seraphina yang dibawa paksa oleh prajurit Ardencia. Rasanya, luka di matanya tak seberapa dibandingkan dengan luka yang mengoyak hatinya. Keheningan malam terasa seperti menghimpit, dan rasa bersalah terus menghantuinya, membisikkan bahwa ia gagal melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya. Beberapa hari berlalu, dan Alaric berusaha keras untuk memulihkan diri. Namun, meski luka di tubuhnya mulai berangsur membaik, luka di hatinya tetap menganga lebar. Di rumah sederhana tempatnya dirawat oleh penduduk desa, Alaric terbaring dengan perban yang masih melilit kepalanya. Kesakitan dan keputusasaan menjadikannya lebih pendiam daripada biasanya. Setiap
Keputusan Alaric untuk menolak Miranda bukanlah hal yang mudah. Setelah malam yang panjang, Alaric akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur kepada Miranda dan mengakhiri semua yang telah ia mulai. Ia sadar bahwa hubungan gelap ini bukan hanya mengancam hubungannya dengan Seraphina, tetapi juga harga dirinya sebagai seorang pria yang seharusnya menjaga komitmen dan kehormatan.Keesokan harinya, Alaric menemui Miranda di vila mewahnya. Miranda menyambutnya dengan senyuman manis dan pandangan penuh harap, seolah yakin bahwa Alaric akhirnya akan menerima tawarannya untuk meninggalkan Seraphina dan menjalani kehidupan baru bersamanya.“Alaric, aku tahu kau akan datang. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kita,” kata Miranda sambil mendekat, jemarinya menyentuh lembut tangan Alaric.Namun, Alaric dengan tegas menarik tangannya. “Miranda, kita harus bicara. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Seraphina adalah segalanya bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan di
Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed