Beranda / Romansa / Dibalik perbedaan / bab 3 bayang bayang kekuasaan

Share

bab 3 bayang bayang kekuasaan

Penulis: GNZ Creator
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 15:43:43

Langit malam Ardencia tampak kelabu, dan suasana di desa semakin mencekam seiring dengan meningkatnya tekanan dari kerajaan. Meski Alaric dan Seraphina berhasil kembali, mereka tahu bahwa perdamaian ini hanya sementara. Kembalinya mereka tidak meredakan masalah, malah membuat desa semakin menjadi pusat perhatian kerajaan. Desas-desus mengenai pesulap yang memimpin perlawanan semakin menyebar, dan bagi banyak orang di desa, Alaric kini menjadi simbol harapan sekaligus bahaya.

Di tengah ketegangan ini, Seraphina mulai mengenal lebih dekat kehidupan di desa. Dia bekerja bahu-membahu dengan penduduk, membantu di ladang, merawat anak-anak, dan mendengar cerita-cerita tentang kesulitan mereka. Setiap hari, Seraphina semakin sadar bahwa orang-orang ini bukanlah musuh, melainkan korban dari sistem yang tidak adil. Dan setiap hari, ia semakin yakin bahwa ia harus menjadi bagian dari perlawanan ini.

Namun, keadaan menjadi semakin sulit ketika penyakit mulai menyebar di desa. Air bersih semakin langka, dan makanan sulit didapat karena ladang yang tak terurus dan sering dirusak oleh prajurit kerajaan. Anak-anak mulai sakit, dan para orang tua kehilangan harapan. Alaric, yang biasanya selalu bisa menghibur mereka dengan trik sulapnya, kini terlihat lebih lelah dari biasanya. Beban di pundaknya semakin berat, dan meskipun ia berusaha kuat, Seraphina bisa melihat ketakutan di mata Alaric.

“Kita tidak bisa terus begini,” kata Seraphina suatu malam saat mereka duduk di luar rumah kecil Alaric, menatap desa yang sepi. “Mereka akan mati jika kita tidak segera melakukan sesuatu.”

Alaric menatap Seraphina dengan keputusasaan yang sulit disembunyikan. “Aku sudah mencoba segalanya. Pertunjukan sulapku tidak lagi cukup untuk membeli obat atau makanan. Dan prajurit kerajaan semakin sering datang untuk merampas apa yang tersisa.”

Seraphina tahu bahwa ini bukan saatnya untuk menyerah. Ia punya ide yang bisa mengubah segalanya, tetapi sangat berisiko. “Alaric, aku harus kembali ke istana,” ucapnya tiba-tiba.

Alaric langsung menoleh, wajahnya penuh kekhawatiran. “Apa? Tidak! Kau tidak bisa kembali ke sana. Kau tahu mereka tidak akan menerimamu begitu saja, terutama setelah apa yang terjadi.”

Seraphina menggeleng, tatapannya tajam. “Aku tidak punya pilihan lain. Hanya aku yang bisa bicara langsung dengan Raja. Aku putri kerajaan, dan aku masih punya pengaruh di istana. Kalau aku bisa meyakinkan mereka untuk menghentikan penindasan ini, kita punya kesempatan untuk bertahan.”

Alaric merasa terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Ia tahu bahwa Seraphina benar, tapi gagasan untuk mengirimnya kembali ke jantung musuh membuat hatinya hancur. Namun, Seraphina telah membuat keputusan. “Aku akan pergi malam ini,” tambahnya tegas. “Dan aku janji, aku akan kembali dengan solusi.”

Malam itu, Seraphina menyelinap keluar dari desa, menyusuri jalur-jalur tersembunyi yang dulu diajarkan Alaric padanya. Perjalanan menuju istana tidak mudah. Di sepanjang jalan, ia harus menghindari patroli prajurit yang mencari jejak pemberontakan. Setiap detik berlalu dengan ketegangan, dan Seraphina tahu bahwa jika tertangkap, nasibnya akan jauh lebih buruk daripada sekadar diusir.

Sementara itu, di desa, situasi semakin memburuk. Komandan Garreth, yang tidak pernah melupakan penghinaan di penjara, datang dengan rencana licik untuk menekan penduduk. Dia memerintahkan prajuritnya untuk memblokir pasokan makanan ke desa, memastikan bahwa kelaparan akan memaksa mereka untuk menyerah. Garreth juga menyebarkan berita palsu bahwa Seraphina telah dikhianati dan ditangkap oleh keluarganya sendiri, membuat semangat penduduk semakin jatuh.

Alaric berusaha menenangkan penduduk yang mulai putus asa. Namun, ia sendiri kesulitan menahan amarahnya. Di tengah kekacauan itu, muncul seorang pria tua yang terjatuh sakit di depan pintu rumah Alaric, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil. Alaric segera mengenali pria itu—Marja, pemimpin desa yang selama ini menjadi panutan bagi semua orang.

“Alaric... aku tidak bisa lagi,” ucap Marja dengan suara parau. “Kita butuh bantuanmu. Kau adalah satu-satunya yang bisa memimpin mereka sekarang.”

Alaric menggenggam tangan marja yang lemah. “Kita akan bertahan, Marja. Aku janji.”

Tetapi saat malam semakin larut, Alaric menyadari bahwa janji itu semakin sulit untuk ditepati. Ia berjalan ke tengah desa, menatap penduduk yang berkumpul dengan wajah lelah dan hampa. Mereka berharap pada Alaric, berharap pada seseorang yang sebenarnya sama tak berdayanya dengan mereka.

“Semua yang kita lakukan tidak akan cukup jika kita hanya bertahan,” Alaric berbisik pada dirinya sendiri. “Kita harus menyerang balik.”

Di istana, Seraphina berhasil menyelinap masuk ke dalam kamarnya yang dulu. Namun, harapannya untuk berbicara dengan Raja Alden pupus ketika ia mendengar suara ayahnya yang marah-marah dari ruang pertemuan utama. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, ia mendengarkan dengan cermat.

“Kita tidak bisa terus berkompromi!” Raja Alden berkata keras kepada para penasehatnya. “Desa itu adalah sarang pemberontak. Jika kita tidak menghentikan mereka sekarang, kita akan kehilangan kendali.”

Ratu Mirabelle tampak lebih tenang, namun wajahnya juga penuh ketegangan. “Tapi, Alden, mereka hanya ingin hidup. Kita tidak bisa terus memperlakukan rakyat seperti musuh.”

Namun, Raja Alden tak mendengarkan. “Aku sudah membuat keputusan. Besok pagi, kita akan mengirim pasukan besar untuk menghancurkan desa itu sepenuhnya. Kita akan memberi pelajaran pada siapa pun yang berani menentang.”

Seraphina merasa dunia berputar. Hatinya serasa ditikam mendengar keputusan ayahnya. Tanpa pikir panjang, ia bergegas ke ruangan itu, mendorong pintu dengan keras.

“Kalian tidak bisa melakukan ini!” teriaknya dengan air mata menggenang di mata. “Mereka bukan musuh! Mereka adalah rakyat kita!”

Raja Alden berdiri, terkejut melihat putrinya yang selama ini ia kira telah hilang. “Seraphina? Bagaimana kau bisa di sini?”

“Aku datang untuk menghentikan kalian,” jawab Seraphina, napasnya terengah-engah. “Jika kalian menghancurkan desa itu, kalian tidak hanya akan kehilangan rakyat, tapi juga kehormatan kalian sebagai pemimpin.”

Raja Alden mendekati Seraphina, amarahnya terlihat jelas. “Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan. Ini adalah soal mempertahankan kerajaan.”

“Tapi dengan cara apa?” balas Seraphina, tidak mundur sedikit pun. “Dengan mengorbankan nyawa orang tak bersalah? Ayah, kita bisa menyelamatkan mereka. Kita bisa mengubah kebijakan ini.”

Ratu Mirabelle mencoba menenangkan Raja Alden, namun pandangannya beralih ke Seraphina dengan tatapan penuh harap. Ia tahu bahwa putrinya tidak pernah berbicara tanpa alasan. “Apa yang kau usulkan, Seraphina?”

Seraphina menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang kacau. “Kita buat perjanjian damai. Hentikan pajak yang tidak masuk akal, biarkan desa itu berkembang sendiri tanpa tekanan. Kita bisa menyuplai mereka dengan makanan dan obat-obatan, dan sebagai gantinya, mereka akan bekerja sama dengan kerajaan. Kita bisa menciptakan kemitraan, bukan penindasan.”

Raja Alden tampak berpikir, namun jelas bahwa ia masih sulit menerima ide itu. “Dan apa jaminannya mereka tidak akan berbalik menyerang kita?”

“Kalian punya aku,” Seraphina menjawab dengan tegas. “Aku akan memastikan perjanjian ini berjalan. Jika mereka berkhianat, aku sendiri yang akan bertanggung jawab.”

Suasana dalam ruang pertemuan hening, ketegangan terasa menyesakkan. Ratu Mirabelle menatap Raja Alden dengan tatapan memohon, sementara Seraphina berdiri tegak, menanti keputusan.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Raja Alden mengangguk. “Baiklah. Kita akan coba cara ini. Tapi jika gagal, tidak ada lagi kompromi.”

Seraphina mengangguk, merasa beban sedikit terangkat dari pundaknya. Namun, ia tahu bahwa tantangan sebenarnya baru saja dimulai.

Keesokan harinya, Seraphina bersama beberapa utusan kerajaan kembali ke desa. Mereka membawa makanan, obat-obatan, dan janji akan perubahan. Penduduk menyambut mereka dengan hati-hati, masih sulit percaya bahwa kerajaan benar-benar akan berubah.

Alaric, yang telah mendengar kabar tentang keputusan raja, menyambut Seraphina dengan campuran lega dan kecemasan. “Apa yang kau lakukan adalah hal yang berani,” katanya lirih. “Tapi ini baru awal.”

Bab terkait

  • Dibalik perbedaan   bab 4 Pengkhianatan

    Di bawah langit yang mendung, penduduk desa berkumpul di lapangan utama, menatap Seraphina dan para utusan kerajaan dengan rasa campur aduk antara harapan dan kecemasan. Di antara kerumunan, Alaric berdiri di samping Seraphina, mencoba menenangkan kegelisahan yang terus membayang. Utusan kerajaan, mengenakan pakaian resmi mereka yang berwarna mencolok, tampak canggung di tengah desa yang sederhana dan penuh debu. Mereka mulai membacakan isi perjanjian damai, namun suara mereka tertelan oleh desahan warga yang masih ragu. Alaric menatap wajah-wajah penduduk yang pucat dan kelelahan, lalu menoleh ke Seraphina. “Mereka butuh lebih dari sekadar kata-kata,” bisiknya. “Mereka butuh tindakan nyata.” Seraphina mengangguk. Ia tahu bahwa membangun kembali kepercayaan adalah tugas yang jauh lebih sulit daripada membuat perjanjian. Ia melangkah maju, berdiri di depan penduduk desa dengan sikap penuh tekad. “Aku tahu kalian telah melalui banyak penderitaan,” ucapnya lantang. “Dan aku tidak memin

  • Dibalik perbedaan   bab 5 musuh yang tak terduga

    Raja Alden masih berdiri dengan ekspresi marah, tangannya mengepal di atas meja besar yang dipenuhi peta strategi dan laporan kerusuhan. Di hadapannya, Seraphina mencoba menjelaskan, namun kata-katanya tenggelam dalam kemarahan Raja. Di sekeliling ruangan, para penasehat kerajaan hanya bisa berbisik, terlalu takut untuk ikut campur dalam perselisihan antara raja dan putrinya.“Kau telah mempermalukan kerajaan,” bentak Raja Alden, suaranya menggema di ruangan yang dingin. “Ini bukan hanya tentang desa itu lagi, Seraphina. Kau menyeret seluruh kerajaan ke dalam kekacauan dengan membiarkan mereka menyerang kita.”Seraphina menghela napas, berusaha tetap tenang meski hatinya penuh dengan kepedihan. “Ayah, aku tahu ini terlihat buruk, tapi mereka terdesak. Orang-orang di desa disabotase oleh pihak-pihak dari kerajaan kita sendiri. Mereka tidak tahu harus percaya pada siapa lagi.”Raja Alden menatap Seraphina dengan tajam. “Dan kau pikir mereka akan percaya padamu? Sejak awal, aku tahu perj

  • Dibalik perbedaan   bab 6 Diambang keputusasaan

    Seraphina berdiri di atas bukit kecil di tepi desa, memandang pasukan kerajaan yang bersiap menyerang. Suara dentang logam dan derap kaki kuda memenuhi udara, membangkitkan ketegangan yang semakin menyiksa. Matahari yang terbenam memancarkan sinar keemasan, seakan menjadi pertanda bahwa hari itu bisa menjadi akhir dari segala harapan. Di bawahnya, desa tampak seperti sarang semut yang panik, penduduk berlarian mencari perlindungan sementara para pemberontak bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Di tengah kerumunan, Alaric mencoba memimpin penduduk untuk bertahan. Ia berusaha mengatur pasokan yang semakin menipis dan memastikan semua orang—terutama anak-anak dan orang tua—mendapat tempat yang aman. Namun, dalam hatinya, Alaric tahu bahwa apa pun yang mereka lakukan hanyalah penundaan dari kehancuran yang tak terelakkan. “Alaric!” teriak Seraphina, berlari ke arahnya dengan napas tersengal. Wajahnya memerah, dan matanya penuh kekhawatiran. “Pasukan akan menyerang dalam hitung

  • Dibalik perbedaan   bab 7 luka yang terlalu dalam

    Di sebuah gudang tua yang hampir roboh, mereka menemukan Marcus yang diikat dan terluka. Dengan cepat, Alaric menghancurkan rantai yang mengikat Marcus, sementara Seraphina menghalau para prajurit yang mengejar. Marcus, meski lemah, berusaha bangkit. Wajahnya penuh luka, namun sorot matanya masih menyala dengan semangat. "Terima kasih... kalian datang tepat waktu," ujar Marcus dengan suara serak, mencoba tersenyum meski rasa sakit terus mendera. Namun, kegembiraan mereka tak bertahan lama. Tepat ketika mereka berusaha melarikan diri, sekelompok prajurit tambahan yang dipimpin oleh salah satu tangan kanan Garreth, Lord Caelan, muncul menghadang jalan keluar. Caelan dikenal karena kecerdikannya dan kejam dalam pertempuran. Wajahnya yang penuh luka pertempuran dan tatapan dinginnya membuat siapa pun yang melihatnya merasa ngeri. "Seraphina, Alaric, dan Marcus... Betapa menyedihkan melihat kalian berjuang sia-sia. Ini adalah akhir dari semua perlawanan kalian," ujar Caelan dengan

  • Dibalik perbedaan   bab 8 pengorbanan diujung harapan

    Pagi mulai menyingsing di atas pegunungan, tetapi bagi Seraphina dan kelompok kecilnya, cahaya pagi itu terasa lebih seperti ancaman daripada harapan. Mereka telah bergerak sepanjang malam, bersembunyi dari patroli prajurit yang terus memburu mereka. Kondisi Alaric semakin kritis; napasnya tersengal, dan kulitnya semakin pucat. Luka di bahunya telah terinfeksi, mengeluarkan bau busuk yang mengkhawatirkan. Setiap langkah mereka seperti perlombaan melawan waktu, dan kekuatan Alaric semakin menipis. Di tengah perjalanan mereka, kelompok itu tiba di tepi hutan gelap, yang dikenal sebagai Hutan Gelap Larang. Konon, tempat ini dipenuhi makhluk gaib dan sihir kuno yang tak terduga. Lady Elys ragu-ragu untuk memasuki hutan tersebut, tetapi Seraphina memaksa. Ini satu-satunya cara untuk menghindari pengejaran pasukan kerajaan. “Kita tidak punya pilihan lain,” kata Seraphina dengan tegas, matanya menatap lurus ke dalam hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi yang tampak seperti penjaga misterius

  • Dibalik perbedaan   bab 9 Sekutu tersembunyi

    Di hutan yang semakin pekat, Seraphina dan Alaric beristirahat sejenak di bawah pepohonan rimbun. Seraphina menatap luka-luka Alaric yang semakin parah. Darah mengalir membasahi pakaian Alaric, membuat Seraphina bergegas merobek sebagian pakaiannya untuk membalut luka tersebut. Tangannya gemetar, berusaha menahan rasa takut yang menggerogoti hatinya. Namun, tatapan Alaric yang meski lemah namun penuh ketenangan, seakan memberi Seraphina sedikit harapan.“Kau harus istirahat, Alaric. Kalau tidak, kau bisa mati karena luka ini,” ucap Seraphina dengan suara serak. Namun Alaric, dengan senyum kecil yang dipaksakan, hanya menggeleng.“Kita tidak punya waktu, Seraphina,” jawab Alaric sambil mengerang pelan. “Kita harus terus bergerak, atau mereka akan menemukan kita.”Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah alam pun tidak ingin memberi mereka kenyamanan. Di kejauhan, mereka bisa mendengar suara langkah kaki para prajurit yang terus mencari mereka. Seraphina tahu mereka haru

  • Dibalik perbedaan   bab 10 antara nyawa dan harapan

    Angin malam berhembus dingin, menusuk sampai ke tulang. Alaric berjalan cepat di antara pepohonan, langkahnya tergesa meski rasa sakit di luka-lukanya masih terasa perih. Setiap langkah seolah mengguncang tubuhnya yang sudah lemah, namun pikirannya hanya tertuju pada satu hal: Seraphina. Mereka telah berpisah beberapa hari yang lalu, namun kecemasan yang menggerogoti hatinya seolah tak pernah pergi.Setiap suara ranting yang patah atau bayangan samar di antara pohon membuatnya siaga, waspada akan kemungkinan prajurit Eirik yang mungkin masih mengejar. Alaric tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Eirik bukan hanya sekadar prajurit kerajaan; dia adalah tangan kanan Raja Alden, seorang yang tak akan pernah berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan. Di sebuah tepi jurang kecil, Alaric berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan kecemasan yang terus menghantuinya. Dia memandang jauh ke arah langit, yang gelap tanpa bintang, seperti cerminan dari pikirannya

  • Dibalik perbedaan   bab 11 Terpisah oleh takdir

    Hari sudah menjelang senja ketika pasukan pemberontak yang dipimpin Marcus berhasil memukul mundur pasukan kerajaan. Seraphina memandang sekeliling dengan napas terengah-engah, darah dan keringat bercampur di wajahnya. Teriakan kemenangan dan ratapan kesedihan bercampur jadi satu di antara hiruk-pikuk pertempuran yang baru saja berakhir. Namun, di tengah keramaian itu, hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: Alaric.Seraphina berlari ke segala penjuru, mencari sosok yang paling ingin dilihatnya. Matanya berusaha menembus kerumunan para prajurit yang terluka, para pemberontak yang merayakan kemenangan kecil mereka, dan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. Namun, Alaric tidak ada di sana. Seraphina merasakan jantungnya berdegup kencang, ketakutan mulai merayapi pikirannya. “Apa ada yang melihat Alaric?” teriaknya pada siapa pun yang mau mendengarkan. Tapi tak ada jawaban yang memuaskan. Marcus, yang tengah mengatur barisan prajurit untuk mundur d

Bab terbaru

  • Dibalik perbedaan   bab 25 konfrontasi besar di istana

    Alaric, Seraphina, Miranda, dan Jameson, bersama sisa-sisa kelompok perlawanan, terus bergerak melintasi Ardencia yang kini berubah menjadi ladang perburuan. Pasukan Raja Alden menyebar di seluruh penjuru kota, menutup setiap jalan keluar, dan menyisir setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian mereka. Dari balik jendela-jendela yang pecah, warga kota yang ketakutan menyaksikan kejar-kejaran yang tak berkesudahan ini, melihat dengan mata mereka sendiri betapa kerasnya rezim Alden dalam menghadapi setiap ancaman terhadap kekuasaannya. Dengan Seraphina yang baru saja diselamatkan dan Albrecht yang gugur di pertempuran sebelumnya, kelompok ini terpaksa bersembunyi di pinggiran kota yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk pasukan kerajaan. Mereka bersembunyi di sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan lebat, sebuah tempat yang hanya diketahui oleh sedikit orang. Gubuk ini dulunya milik seorang pemburu yang sekarang sudah lama pergi, menjadi sa

  • Dibalik perbedaan   bab 24 kepungan dimalam hari

    Saat matahari mulai merangkak naik di langit Ardencia, suasana kota dipenuhi ketegangan yang terasa seperti petir di udara. Serangan besar di gerbang istana semalam membuahkan hasil yang mengejutkan; pasukan perlawanan berhasil mendesak penjaga istana mundur, meskipun belum mampu menembus ke dalam. Rakyat mulai percaya bahwa kemenangan bukanlah mimpi yang tak terjangkau. Namun, di balik sorak sorai kemenangan kecil itu, bayang-bayang pengkhianatan mulai merayap di dalam kelompok perlawanan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht berkumpul kembali di rumah persembunyian mereka yang tersembunyi di pinggiran kota. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan sekaligus tekad yang tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa perlawanan ini belum selesai—masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Namun, saat mereka sedang mempersiapkan strategi berikutnya, seorang pria yang tidak asing tiba-tiba memasuki ruangan dengan ekspresi yang mencurigakan.

  • Dibalik perbedaan   bab 23 kebangkitan perlawanan

    Kabar tentang ledakan besar di gudang persenjataan istana Ardencia tersebar luas bagaikan api yang tak terkendali. Malam itu, kota yang dulunya sunyi dan tercekam berubah menjadi medan pertempuran batin bagi setiap penduduknya. Para prajurit kerajaan bergerak lebih waspada, meningkatkan pengawasan, sementara rakyat Ardencia mulai merasakan harapan yang lama hilang. Mereka tahu, ada seseorang yang berani melawan tirani Raja Alden, dan itu cukup untuk menyalakan kembali api perlawanan di hati mereka. Di sebuah rumah tua di pinggiran kota, sebuah kelompok kecil berkumpul dalam kerahasiaan. Alaric, Miranda, Jameson, dan Albrecht duduk melingkar di sekitar meja kayu yang usang, dipenuhi peta Ardencia dan catatan-catatan tentang pergerakan pasukan kerajaan. Malam ini adalah malam yang penting; mereka sedang merencanakan kebangkitan perlawanan yang lebih besar dari sekadar serangan mendadak. Alaric, sang pesulap yang pernah menjadi tulang punggung

  • Dibalik perbedaan   bab 22 penyusupan yang beresiko

    Seraphina merapatkan selimut tipis di tubuhnya yang menggigil. Meskipun malam semakin larut, ia tidak bisa memejamkan mata. Kata-kata Duke Alistair masih terngiang di benaknya, menjadi api kecil yang membakar kegelisahan di hatinya. Ia tahu bahwa Alaric berada dalam bahaya, dan ia tidak bisa membiarkan dirinya menjadi umpan dalam permainan kotor Raja Alden dan para pejabatnya. Seraphina bukanlah wanita yang bisa dipermainkan begitu saja; ia adalah seorang pejuang yang sudah terbiasa menghadapi kematian dan pengkhianatan. Di sudut sel, Seraphina memandangi batu yang retak dan dinding yang penuh lumut. Ia menelusuri celah-celah kecil yang mungkin bisa menjadi jalan keluar. Satu-satunya cara untuk menghentikan rencana Raja Alden adalah dengan keluar dari tempat ini. Namun, melarikan diri dari penjara paling ketat di Aldencia bukanlah hal yang mudah, terlebih dengan penjagaan ketat dan penjaga yang tak kenal ampun. Seraphina tahu bahwa ia tidak bisa melakukan ini se

  • Dibalik perbedaan   bab 21 perjuangan pangeran luthar

    Di dalam penjara Aldencia yang gelap dan suram, Seraphina duduk sendirian di sudut selnya, mencoba bertahan dari dinginnya malam dan kesendirian yang membayangi setiap detik yang berlalu. Dinding batu yang dingin dan lembap seakan-akan menutup setiap harapan yang pernah ia miliki, membuatnya merasa terjebak di dalam mimpi buruk yang tak berujung. Suara tetesan air yang jatuh dari langit-langit menjadi satu-satunya hiburan yang menemani hari-harinya yang sepi. Seraphina telah berada di dalam sel sempit ini selama berbulan-bulan, dipisahkan dari dunia luar, dari Alaric, dan dari semua yang ia cintai. Sejak penangkapannya, Seraphina tidak pernah diberi penjelasan apa pun oleh para penjaga. Ia hanya diberitahu bahwa ia adalah tahanan politik yang dianggap sebagai ancaman bagi kerajaan. Namun, di balik semua itu, ia tahu bahwa dirinya hanyalah pion dalam permainan kekuasaan Raja Aldencia, alat untuk menjebak Alaric. Meski kondisi fisiknya tampak melemah, sem

  • Dibalik perbedaan   bab 20 Hasrat tak terbendung

    Latihan keras dan pertempuran tak henti-hentinya membuat Alaric, Jameson, dan Miranda semakin dekat. Setiap hari mereka berlatih bersama, berbagi canda tawa di tengah rasa lelah, dan menjadi sandaran satu sama lain saat kesulitan menghampiri. Namun, di balik keakraban mereka, ada momen-momen pribadi yang tak terucap, terutama antara Alaric dan Miranda. Malam itu, Alaric duduk di tepi sungai dengan pandangan menerawang. Luka di wajahnya masih terasa perih, namun yang lebih menyakitkan adalah luka di dalam hatinya. Ia merenung, menatap bayangan dirinya yang terpantul di air sungai. Dengan satu mata yang tersisa, Alaric melihat sosoknya yang berubah; tidak lagi pesulap muda yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang dihantui oleh kehilangan. Miranda datang mendekat, membawa kain bersih dan semangkuk air hangat. Ia duduk di sebelah Alaric tanpa banyak bicara, lalu mulai mengganti perban di wajah Alaric dengan tangan yang lembut. Mata birunya menat

  • Dibalik perbedaan   bab 19 Latihan dan persiapan

    Setelah pertempuran yang memisahkan Seraphina darinya, Alaric terjebak dalam kegelapan yang lebih pekat daripada sekadar kehilangan penglihatannya. Satu matanya yang tersisa kini menjadi satu-satunya jendela bagi dunianya yang terasa kian menyempit. Setiap kali ia menutup mata, yang ia lihat hanyalah bayangan Seraphina yang dibawa paksa oleh prajurit Ardencia. Rasanya, luka di matanya tak seberapa dibandingkan dengan luka yang mengoyak hatinya. Keheningan malam terasa seperti menghimpit, dan rasa bersalah terus menghantuinya, membisikkan bahwa ia gagal melindungi satu-satunya orang yang berarti dalam hidupnya. Beberapa hari berlalu, dan Alaric berusaha keras untuk memulihkan diri. Namun, meski luka di tubuhnya mulai berangsur membaik, luka di hatinya tetap menganga lebar. Di rumah sederhana tempatnya dirawat oleh penduduk desa, Alaric terbaring dengan perban yang masih melilit kepalanya. Kesakitan dan keputusasaan menjadikannya lebih pendiam daripada biasanya. Setiap

  • Dibalik perbedaan   bab 18 kembalinya ancaman dari ardencia

    Keputusan Alaric untuk menolak Miranda bukanlah hal yang mudah. Setelah malam yang panjang, Alaric akhirnya memutuskan untuk berbicara jujur kepada Miranda dan mengakhiri semua yang telah ia mulai. Ia sadar bahwa hubungan gelap ini bukan hanya mengancam hubungannya dengan Seraphina, tetapi juga harga dirinya sebagai seorang pria yang seharusnya menjaga komitmen dan kehormatan.Keesokan harinya, Alaric menemui Miranda di vila mewahnya. Miranda menyambutnya dengan senyuman manis dan pandangan penuh harap, seolah yakin bahwa Alaric akhirnya akan menerima tawarannya untuk meninggalkan Seraphina dan menjalani kehidupan baru bersamanya.“Alaric, aku tahu kau akan datang. Aku sudah menyiapkan segalanya untuk kita,” kata Miranda sambil mendekat, jemarinya menyentuh lembut tangan Alaric.Namun, Alaric dengan tegas menarik tangannya. “Miranda, kita harus bicara. Aku tidak bisa melanjutkan ini lagi. Seraphina adalah segalanya bagiku, dan aku tidak ingin kehilangan di

  • Dibalik perbedaan   bab 17 orang ketiga

    Keesokan harinya, kehidupan kembali ke rutinitas mereka yang sederhana. Alaric mempersiapkan dirinya untuk pertunjukan harian di alun-alun kota, sementara Seraphina tinggal di rumah, merapikan sedikit dagangan kerajinan yang ia buat untuk menambah penghasilan mereka. Kehidupan mereka mungkin tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat mereka merasa bahagia.Namun, tanpa mereka sadari, sebuah badai baru perlahan mendekat, membawa ancaman yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.Di tengah keramaian kota, Alaric menarik perhatian banyak orang dengan sulapnya yang memukau. Anak-anak dan orang dewasa terkagum-kagum melihat trik-triknya yang selalu berhasil membuat mereka terheran-heran. Di antara para penonton, seorang wanita berambut merah menyala dengan mata tajam memperhatikan Alaric dengan penuh minat. Namanya adalah Miranda, seorang pedagang yang baru tiba di kota itu. Penampilannya menarik perhatian dengan pakaian mahal dan sikapnya yang penuh percaya diri, berbed

DMCA.com Protection Status