"Kamu harus atur waktunya biar sangat pas. Aku kasih jeda waktu 10 menit setelah istriku masuk.""Siap, Tuan. Akan saya bawa Ardi. Biar dia tahu siapa Alya. Hehe.""Jangan sampai salah atau tidak ada bonus bulan ini!"---Kini, mata Ardi membeliak. Wanita yang setiap hari mengganggunya, baik terjaga maupun terlelap kini sedang beradu mesra dengan pria lain. Rasanya sangat panas, meski pria itu adalah suaminya yang sekarang. Semakin hari penyesalan itu semakin dalam, Ardi terus mengatakan kata andai, andai dan andai dalam hatinya."Alya?" lirih Ardi, sesak melihat adegan itu. Sebuah sayatan sesal membuat luka menganga di hatinya."Sayang." Bara sangat puas, timing-nya tepat, dan dipastikan Ivan akan mendapat bonus besar. "Mas .... Ardi?" Alya langsung kembali menatap suaminya. Tangannya yang memegang sendok bergerak. Kenapa waktunya bisa sangat tepat? Pikirnya.Hap. Bara lantas memegang tangan Alya yang hendak menyuapinya. "Ada apa, Sayang?"Alya gegas mengatur perasaannya. "Nggak apa
"Hish!" Ardi memukul meja. Wajahnya merah, nafasnya makin berat. Dadanya nyeri dengan gumpalan emosi ingin mengamuk, tapi tidak bisa."Alya .... Secepat itu kamu melupakanku. Huh! Aku memang pantas mendapatkannya! Aku memang brengsek! Wanita sepertimu berhak bahagia, tapi .... Rasanya sakit sekali .... Al, bagaimana mengakhiri rasa ini? Kamu pergi, perasaan ini timbul dan terasa semakin berat. Kamu dan Tiara bak langit dan bumi, aku benar-benar buta telah memilih wanita licik itu."Raganya lemas, hatinya lelah, dadanya ingin meledak, pikirannya kacau. Ardi berpikir jika dirinya bisa gila jika tidak bisa keluar dari jerat lingkaran gelap itu.Di saat kacau-balau, Fera malah terus mendesak Ardi mengharuskan dirinya tiba di tempat pertemuan m3sum Tiara dan suami Fera. Dia ingin acuh pada kelakuan Tiara, rasanya lelah menghadapi istrinya itu, tapi kalau begini apa bisa menghindar?[Tadi suamiku bilang kalau mau main golf sama teman-temannya, ternyata mau main sama istrimu di atas ranjang.
"Haish! Kenapa bisa seperti ini? Aku sudah susah payah menarik Reno malah dia sangat brengsek! Kalau begini aku harus membuat Ardi memaafkanku. Ya, aku harus merayunya dengan air mata."Tiara kembali karena gagal mendapatkan Reno.Dia berdiri di depan pintu kamar Daffa untuk mencari Ardi."Mana mungkin Ardi mau tidur di kamar Daffa, lagian ada Rani yang cuma wanita kampungan. Dia jelas bukan selera Ardi, tapi aku tetep harus melihat kamar ini juga."Pintu dibuka. Kamar itu sudah diterangi sorot mentari dari celah jendela. Tapi masih sepi, penghuni kamar itu belum ada yang bangun.Tiara tercengang membelalak melihat Ardi tidur di belakang Rani sambil memeluk. Suaminya itu bahkan tidak memakai baju. Dua orang itu berada di bawah selimut yang sama. Sedang Daffa, masih terlelap di box bayi."Kurang ajar!"Dada Tiara bergejolak ingin mengamuk meluapkan emosi. Tangannya mengepal kuat. Dia melangkah cepat ke sisi ranjang dan menyibak selimut itu.Tak disangka ternyata mereka berdua ...."Ard
Apa yang tadi aku lakukan? Aku memeluk Mas Bara? Tapi nggak apa-apa kan memeluk suami sendiri. Cuma kok malu begini,' batin Alya. Dia masih membenahi degub jantungnya karena malu sendiri. "Sayang, bilang saja seperti yang tadi kamu jelaskan padaku." Bara mengusap kepala Alya uyang terbalut jilbab.Alya mengangguk kaku. Dia bertambah gugup dengan perlakuan Bara.Ivan memainkan dasinya sambil tersenyum dan melengos. 'Tuan emang jago bikin panas hati,' batinnya.Sedang Ardi mengatup matanya sebentar untuk menguatkan hatinya.Melihat istrinya masih diam. "Sayang, ayo! Katakan saja jangan ragu."Alya tidak ragu, tapi susunan kata telah menguap, dia butuh waktu sebentar lagi. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam."Ehem! Mas Ardi ada yang mau aku bicarakan." Alya hanya melirik mantan suaminya itu.Ardi ingin mencoba negosiasi sebelum Alya yang ambil alih soal hutangnya. "Maaf, Tuan. Soal hutang perusahaan akan saya lunasi besok. Saya jamin hal itu. Jadi sepertinya tidak perlu melibatkan Aly
"Sayang, gimana masakanmu, udah siap semua? Aku yakin hasilnya pasti bakal enak?" Bara duduk di sisi Alya dan langsung menelisik wajah istrinya tampak berbeda.Alya menatap kosong suaminya yang baru saja kembali. Pikirannya masih bercabang kebanyak arah, rasa takut dan gelisah malas makin kental."Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi, kenapa wajahmu pucat?" Bara cepat dan merangkup dua pipi Alya."Oh, aku nggak apa-apa." Alya tersenyum kaku. Matanya berkaca. Sikap yang demikian itu yang membuat hatinya semakin kacau. "Sayang, katakan kamu kenapa?" Bara sangat khawatir.Alya menggeleng. "Aku hanya mendadak pusing saja. Bagaimana kalau kita pulang sekarang?"Bara melebarkan mata. "Kita pulang dan aku akan memanggil dokter."Alya lemas sekali. Dia bahkan tidak menolak Bara saat dipapah berdiri.Bara hendak membawa Alya pulang, tapi saat keluar dari area dapur, Desi malah mencegat dengan bertolak pinggang. Senyumnya sangat merekah, jelas sekali kalau dia sangat bahagia. "Kamu sudah nek
"Mas Bara, maaf aku nggak bisa diam saja. Sebelum benar-benar bertahan di sisimu dan membuka hati, aku ingin memastikan seperti apa kamu." Alya berangkat dengan niat kuat membuntuti suaminya. Dia tidak mendapat informasi apa pun selain kata siang hari. Jadi dia sengaja menunggu suaminya di sisi jalan depan perusahaan. Melihat mobil suaminya setelah keluar dari area perusahaan, Alya langsung menyuruh sopir taksi melajukan mobil. "Jangan sampai kita kehilangan jejak mobil itu, Pak." Alya menuju mobil suaminya yang tepat ada di depan. "Baik, Bu." Alya duduk gelisah. Dia meremas tautan tangannya yang berkeringat di atas pangkuan. Berkali-kali dia mengatur nafas. 'Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, singkapkan keraguan dalam hati ini. Tampakkan yang putih jelas putih dan yang hitam jelas hitam. Ampuni hamba yang lemah ini.' Alya terus merapal do'a dalam hati. Hingga mobil suaminya masuk pada sebuah restoran. Setelah memastikan suaminya masuk, Alya cepat turun dari taksi. W
Apa Mas Bara tahu kalau tadi aku membuntutinya? Kenapa bisa kebetulan bertemu di rumah ini? Benarkah dia hanya lewat saja atau tahu kalau aku di sini?' batin Alya."Mau nginep di sini, Mas? Tapi, kan kamu lagi sibuk. Biasanya kalau malam kamu ada waktu tersendiri masuk ke ruang kerja. Di sini kamu nggak bisa, kan?""Sesibuk apa pun, aku tetap akan ada waktu untuk istri dan keluarga istriku." Bara menarik tangan Alya dan diletakkan di atas pangkuan. Dia mengusap lembut tangan itu.Alya menatap tangannya yang digenggam Bara. 'Sayang sekali aku hanya istri sementaramu saja. Rayuan manismu mungkin agar aku jadi istri penurut dan tidak banyak membantah,' batinnya nyeri."Ayah suka dengan pemikiranmu, Nak Bara. Semoga pernikahan kalian langgeng dan penuh kebahagiaan. Ayah dan Ibu juga selalu berdoa agar orang tuamu dilembutkan hatinya. Mereka bisa menerima Alya apa adanya dan sepenuh hati.""Amin." Cepat Bara menyahut sambil melirik istrinya.Bara kecewa, istrinya yang tidak merespon do'a i
"Nyonya Desi memanggil Anda, Nona Alya." Dipanggil Nona karena keluarga Bara belum mau mengakui Alya jadi Nyonya Bara. Termasuk semua bawahan Desi dan Yudha.Saat Alya hampir masuk gerbang rumah Bara, sebuah mobil berhenti dan seseorang suruhan Desi maju.Alya teringat notif itu. Dia memutuskan ikut dan masuk dalam permainan Desi. Pasti akan ada hal besar sampai memanggilnya ke rumah tanpa sepengetahuan Bara.Saat tiba di rumah itu, alangkah tercengangnya Alya, seorang wanita yang kemarin bertemu suaminya duduk akrab dengan mertuanya.'Dia juga ada di sini. Berarti Mas Bara juga akan datang nanti. Mertuaku sangat pintar mengatur siasat. Dia ingin aku langsung mundur. Ya, tentu saja. Lagi pula, Mas Bara juga sudah menyetujui permintaan mengganti istri. Lalu, buat apa aku merendahkan harga diri untuk tetap bertahan?' batin Alya.Alya bahkan tidak dipersilahkan duduk. Wanita itu meremas ujung jilbab dengan terus mengatur laju nafasnya-Dia berdiri di depan dua wanita itu.'Bismillah kuat.
"Alya sudah masuk kamar itu, Nona Julia. Reporter juga telah siap." Bawahan Julia melapor.Julia tersenyum dingin. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Begitu pintu terbuka, biarkan mereka langsung menyerbu masuk. Dan ... Ha ha ha ha sad ending!"Bawahannya mengangguk, lalu keluar dengan cepat.Julia menyandarkan tubuhnya di sofa. Ya, dia ada di kamar sebelah, menanti momen yang telah rencanakan dengan detail. Tujuannya jelas -menghancurkan reputasi Alya dan membuat Bara tidak menginginkan istrinya lagi.Rencana inti dimulai. Kamar Ardi dibuka dari luar. BRAKKK!"Siapa kalian?" teriak Ardi."Apa yang sedang kali lihat aku?" teriak Alya.Seketika suasana gaduh dan kacau. Kilatan lampu kamera berlomba di ruangan itu. Para reporter mencoba mendesak masuk. Namun, apa yang mereka temukan membuat semua orang terdiam heran. Tidak seperti yang dikatakan Julia.Alya berdiri di tengah ruangan dengan senyum miring. "Ada yang bisa saya bantu? Kenapa kalian semua ada di sini?" Dia m
"Mau tidak mau, kamu harus eksekusi rencana itu besok. Aku akan atur soal Alya bisa sampai ke tanganmu. Setelah itu, kamu selesaikan. Kalau sampai gagal, kamu dan keluargamu akan masuk penjara!" Julia menatap tajam wajah Ardi, menekan ancamannya.Ardi menelan ludah, mengangguk tanpa suara. Julia tersenyum tipis, merasa sudah menang. "Bagus kalau kamu mengerti. Aku ingin semua berjalan mulus. Aku akan langsung melihat hasilnya. Jangan sampai ada satu pun kesalahan."Tanpa menunggu jawaban, Julia keluar dari ruangan itu.Setelah memastikan Julia telah benar-benar pergi, Ardi menarik ponselnya.[Julia akan beraksi besok. Semua sudah disiapkan di hotel seperti rencananya. Bisa jadi dia akan menggunakan media untuk membesarkan skandal.] Pesan terkirimkan pada Bara.Balasan Bara datang beberapa detik kemudian. [Lakukan apa yang dia mau. Jangan sampai dia curiga. Sisanya aku yang atur. Tetap berkoordinasi.]----"Sayang, sepertinya soal bertemu dengan anak kita hanya bisa malamnya. Karena b
"Bara, istrimu menuduh mama bersekongkol dengan pembantu untuk mencelakainya. Ini sudah kelewatan. Mama nggak terima dan kamu harus kasih dia pelajaran!" Desi berlari mendekati Bara, wajahnya langsung dipenuhi air mata.Alya menatap sendu ke arah suaminya. Senyum kaku tersungging di bibirnya. "Mas, kamu pulang?" Biasanya dia akan menghampiri dan mencium punggung tangan suaminya, tapi karena ada drama mertua kali ini dia menahan diri.Bara menatap bingung keduanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?""Mama difitnah, Bara."Alya melangkah maju. "Pembantu itu mengaku, Mas. Mama menyuruhnya memberikan obat berbahaya untukku."Desi langsung mendengkus, menyeka air matanya. "Itu bohong! Pembantu itu jelas bekerja sama dengan Alya untuk menjatuhkan mama. Kenapa kamu percaya omong kosong seperti itu, Bara? Kamu lihat sendiri, Alya hanya ingin menghancurkan hubungan ibu dan anak!""Apa maksud Mama menghancurkan hubungan? Aku hanya ingin kebenaran terungkap." Alya menatap Desi heran.Desi tidak meny
"Itu hasil tes DNA. Kamu lihat sendiri." Benny berdiri tegak dengan tatapan kosong, mencoba menyembunyikan gejolak batinnya. Ada ketakutan yang disembunyikan dalam hatinya. Tangannya sedikit gemetar saat memberikan amplop itu pada Bara.Bara cepat meraih amplop itu, lalu pelan membukanya. Jantungnya berdetak kencang. Dia juga gemetar. Dalam hati berharap semoga hasil seperti yang dia inginkan.Lembar kertas putih itu terlihat jelas di tangannya. Matanya bergerak membaca setiap kata, setiap angka yang tertulis di sana. Dalam sekejap, matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan luapan emosi."Dia anakku, benar-benar anakku." Suaranya pecah, tangannya mencengkeram kertas itu. Senyumnya lebar. Dia bernafas lega, seperti kebahagiaan kembali digenggamnya.Benny tetap mematung. Wajahnya datar, tapi di dadanya sedang ada pergelutan rasa. Dia tahu apa yang harus dilakukan, tapi cinta pada istrinya terlalu besar."Anak ini sudah menjadi bagian dari keluarga kami, Tuan Bara. Dia bukan hanya
"Kamu yakin istriku ada di kamar ini? Apa sebelum dia booking hotel, mengatakan sesuatu?" Bara menatap Ivan ragu . Pikirannya kacau, terutama setelah Alya mematikan ponselnya seharian tanpa penjelasan. Sangat jelas kalau istrinya itu sedang menghindarinya dan tidak mau bicara padanya.Ivan menggeleng. "Berdasarkan laporan, tidak ada tanda-tanda nyonya Alya marah, Tuan. Saya juga tidak tahu apa rencana nyonya. Kenapa sampai bisa ada di hotel."Bara mendekati pintu kamar, menekan bel ragu. Ketika pintu terbuka, Alya tidak langsung terlihat."Masuk, Mas." Hanya terdengar suaranya saja.Bara melangkah perlahan, matanya menyapu ruangan. Tidak ditemukan istrinya. Begitu pintu ditutup. "Mas."Bara tercengang melihat Alya berdiri di balik pintu dengan pakaian yang membuatnya menelan ludah."Mas, kenapa?" Alya menatap puas melihat wajah suaminya seperti itu."Ke-kenapa kamu memakai pakaian seperti itu? Ehm, lingerie?" Bara berusaha menyembunyikan rasa panas yang muncul tiba-tiba.Alya tidak
"Aku harus bertemu dengan Rani, istri Ardi. Ada masalah apa dia?" Alya masih menatap layar ponselnya. Pesan itu membuatnya tidak tenang.Dia mengetik balasan. [Aku setuju bertemu. Tapi aku yang tentukan tempatnya.] Pesan terkirim. Sebuah nama restoran juga dilampirkan, lengkap dengan alamatnya. Alya duduk di kursi belakang. "Pak, tolong kabari seseorang karena aku akan bertemu istri mas Ardi. Sepertinya ada yang perting." Alya bicara pada sopirnya yang merupakan orang kepercayaan untuk menjaganya saat pergi. "Baik, Nyonya. Dan lebih baik Anda hati-hati nanti. Jangan sampai rencana Tuan terkendala.""Aku tahu."Setibanya di restoran. Alya duduk menunggu dengan tatapan ke layar. Dia masih menunggu pesan balasan atau telepon suaminya. "Sedang apa Mas Bara sebenarnya?" Dia duduk tak tenang. Pikirannya semakin macam-macam. Dia sengaja tidak membahas pada orang lain.Beberapa waktu kemudian, Rani datang. Wanita itu hanya membawa dirinya, tanpa kedua anaknya. Ya, Rani telah mengasuh dua
"Wah, ada calon mantan nyonya ternyata." Julia tertawa remeh. "Ssttt! Jangan begitu sama Alya. Dia sangat pintar bersandiwara kalau di depan Bara. Sampai Tante yang melahirkannya pun dibenci sama anaknya sendiri gara-gara wanita ini." Desi tersenyum sinis dengan picingan mata tajam.Alya mencoba untuk tenang. Dia mengulum senyum lebar. "Mama, Julia.""Saya tidak tahu kalau Nyonya besar dan Nona Julia juga ada di sini," ucap pembantu itu.Desi tersenyum dingin, matanya menyapu Alya dari kepala hingga kaki. "Seharusnya kamu lebih banyak di rumah. Jadi ibu rumah tangga yang bener. Kalau keluar dengan tampilan seperti ini, nama baik anakku yang langsung jatuh. Istri kampungannya pamer kebodohan."Julia menggeleng remeh. "Payah. Istri pengusaha hebat, tapi penampilan sama pembantu saja kalah."Alya tetap tenang. Dia merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya. Hanya memang tidak berlebihan dalam memakai make up dan perhiasan. Dia cukup pakai dress lengan panjang dan jilbab."Mas Bara
"I-ini ... anakku?" Bara menatap foto bayi mungil yang tertawa lebar di layar ponselnya. Matanya berkaca-kaca, dadanya mendesir hebat. Jarinya mengusap layar, seolah ingin menyentuh pipi bulat si kecil yang tampak bahagia.Ivan membiarkan atasannya larut dalam buncahan rasa."Ya, itu anak Anda. Mereka menyebut Zayn, tapi Anda punya nama sendiri." "Biar istriku yang kasih nama nanti. Dia pasti akan senang melihat bayinya. Jangan sampai lama-lama."Sekian saat, Bara larut dalam campuran rasa bahagia dan kesedihan. Dia terus mengusap wajah di ponsel itu. "Huuufff ...." Bara berusaha mengatur pikiran dan perasaannya. Dia tidak boleh terlalu terburuk. Harus segera membawa bayi itu pada istrinya. "Anda baik-baik saja, Pak?""Kirimkan foto anakku padaku. Aku akan taruh di file khusus. Jangan sampai istriku melihatnya sebelum aku siap. Akhir-akhir ini dia sudah mulai tersenyum, aku nggak mau dia kembali menangis karena aku belum bisa membawa anaknya kembali.""Baik, Pak."Bara menurunkan p
"Kabar baik apa yang bisa aku dengar setelah kamu bertemu dengan Alya, Ardi?" Julia menatap tajam depan. Dia duduk di kursi belakang mobil.Sebentar Ardi menoleh belakang. "Dia terlihat sangat lelah. Katanya, rumah tangganya dengan Bara sedang tidak baik-baik saja. Sungguh di luar dugaanku. Bara adalah seorang pengusaha hebat. Jadi istrinya adalah sebuah impian. Tapi tadi, Alya berkata seperti itu. Dia bilang selama ini memendam semuanya sendiri. Pada saat bertemu denganku, dia langsung menumpahkan keluh kesahnya yang menumpuk."Julia mencondongkan tubuh ke arah kursi depan. "Lelah? Apa maksudnya dia lelah? Aku lihat selama ini dia sangat berani melawan Tante Desi dan aku. Dia malah bilang siapa yang berani merusak rumah tangganya, tidak akan tinggal diam."Ardi terdiam sesaat. Dia harus memilih kata yang tepat, jangan sampai Julia ragu padanya. "Dia merasa tidak pantas menjadi istri Bara. Alya bilang, dia selalu direndahkan oleh mertuanya. Katanya, dulu saat bersamaku, meski aku tida