"Haish! Kenapa bisa seperti ini? Aku sudah susah payah menarik Reno malah dia sangat brengsek! Kalau begini aku harus membuat Ardi memaafkanku. Ya, aku harus merayunya dengan air mata."Tiara kembali karena gagal mendapatkan Reno.Dia berdiri di depan pintu kamar Daffa untuk mencari Ardi."Mana mungkin Ardi mau tidur di kamar Daffa, lagian ada Rani yang cuma wanita kampungan. Dia jelas bukan selera Ardi, tapi aku tetep harus melihat kamar ini juga."Pintu dibuka. Kamar itu sudah diterangi sorot mentari dari celah jendela. Tapi masih sepi, penghuni kamar itu belum ada yang bangun.Tiara tercengang membelalak melihat Ardi tidur di belakang Rani sambil memeluk. Suaminya itu bahkan tidak memakai baju. Dua orang itu berada di bawah selimut yang sama. Sedang Daffa, masih terlelap di box bayi."Kurang ajar!"Dada Tiara bergejolak ingin mengamuk meluapkan emosi. Tangannya mengepal kuat. Dia melangkah cepat ke sisi ranjang dan menyibak selimut itu.Tak disangka ternyata mereka berdua ...."Ard
Apa yang tadi aku lakukan? Aku memeluk Mas Bara? Tapi nggak apa-apa kan memeluk suami sendiri. Cuma kok malu begini,' batin Alya. Dia masih membenahi degub jantungnya karena malu sendiri. "Sayang, bilang saja seperti yang tadi kamu jelaskan padaku." Bara mengusap kepala Alya uyang terbalut jilbab.Alya mengangguk kaku. Dia bertambah gugup dengan perlakuan Bara.Ivan memainkan dasinya sambil tersenyum dan melengos. 'Tuan emang jago bikin panas hati,' batinnya.Sedang Ardi mengatup matanya sebentar untuk menguatkan hatinya.Melihat istrinya masih diam. "Sayang, ayo! Katakan saja jangan ragu."Alya tidak ragu, tapi susunan kata telah menguap, dia butuh waktu sebentar lagi. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam."Ehem! Mas Ardi ada yang mau aku bicarakan." Alya hanya melirik mantan suaminya itu.Ardi ingin mencoba negosiasi sebelum Alya yang ambil alih soal hutangnya. "Maaf, Tuan. Soal hutang perusahaan akan saya lunasi besok. Saya jamin hal itu. Jadi sepertinya tidak perlu melibatkan Aly
"Sayang, gimana masakanmu, udah siap semua? Aku yakin hasilnya pasti bakal enak?" Bara duduk di sisi Alya dan langsung menelisik wajah istrinya tampak berbeda.Alya menatap kosong suaminya yang baru saja kembali. Pikirannya masih bercabang kebanyak arah, rasa takut dan gelisah malas makin kental."Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi, kenapa wajahmu pucat?" Bara cepat dan merangkup dua pipi Alya."Oh, aku nggak apa-apa." Alya tersenyum kaku. Matanya berkaca. Sikap yang demikian itu yang membuat hatinya semakin kacau. "Sayang, katakan kamu kenapa?" Bara sangat khawatir.Alya menggeleng. "Aku hanya mendadak pusing saja. Bagaimana kalau kita pulang sekarang?"Bara melebarkan mata. "Kita pulang dan aku akan memanggil dokter."Alya lemas sekali. Dia bahkan tidak menolak Bara saat dipapah berdiri.Bara hendak membawa Alya pulang, tapi saat keluar dari area dapur, Desi malah mencegat dengan bertolak pinggang. Senyumnya sangat merekah, jelas sekali kalau dia sangat bahagia. "Kamu sudah nek
"Mas Bara, maaf aku nggak bisa diam saja. Sebelum benar-benar bertahan di sisimu dan membuka hati, aku ingin memastikan seperti apa kamu." Alya berangkat dengan niat kuat membuntuti suaminya. Dia tidak mendapat informasi apa pun selain kata siang hari. Jadi dia sengaja menunggu suaminya di sisi jalan depan perusahaan. Melihat mobil suaminya setelah keluar dari area perusahaan, Alya langsung menyuruh sopir taksi melajukan mobil. "Jangan sampai kita kehilangan jejak mobil itu, Pak." Alya menuju mobil suaminya yang tepat ada di depan. "Baik, Bu." Alya duduk gelisah. Dia meremas tautan tangannya yang berkeringat di atas pangkuan. Berkali-kali dia mengatur nafas. 'Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, singkapkan keraguan dalam hati ini. Tampakkan yang putih jelas putih dan yang hitam jelas hitam. Ampuni hamba yang lemah ini.' Alya terus merapal do'a dalam hati. Hingga mobil suaminya masuk pada sebuah restoran. Setelah memastikan suaminya masuk, Alya cepat turun dari taksi. W
Apa Mas Bara tahu kalau tadi aku membuntutinya? Kenapa bisa kebetulan bertemu di rumah ini? Benarkah dia hanya lewat saja atau tahu kalau aku di sini?' batin Alya."Mau nginep di sini, Mas? Tapi, kan kamu lagi sibuk. Biasanya kalau malam kamu ada waktu tersendiri masuk ke ruang kerja. Di sini kamu nggak bisa, kan?""Sesibuk apa pun, aku tetap akan ada waktu untuk istri dan keluarga istriku." Bara menarik tangan Alya dan diletakkan di atas pangkuan. Dia mengusap lembut tangan itu.Alya menatap tangannya yang digenggam Bara. 'Sayang sekali aku hanya istri sementaramu saja. Rayuan manismu mungkin agar aku jadi istri penurut dan tidak banyak membantah,' batinnya nyeri."Ayah suka dengan pemikiranmu, Nak Bara. Semoga pernikahan kalian langgeng dan penuh kebahagiaan. Ayah dan Ibu juga selalu berdoa agar orang tuamu dilembutkan hatinya. Mereka bisa menerima Alya apa adanya dan sepenuh hati.""Amin." Cepat Bara menyahut sambil melirik istrinya.Bara kecewa, istrinya yang tidak merespon do'a i
"Nyonya Desi memanggil Anda, Nona Alya." Dipanggil Nona karena keluarga Bara belum mau mengakui Alya jadi Nyonya Bara. Termasuk semua bawahan Desi dan Yudha.Saat Alya hampir masuk gerbang rumah Bara, sebuah mobil berhenti dan seseorang suruhan Desi maju.Alya teringat notif itu. Dia memutuskan ikut dan masuk dalam permainan Desi. Pasti akan ada hal besar sampai memanggilnya ke rumah tanpa sepengetahuan Bara.Saat tiba di rumah itu, alangkah tercengangnya Alya, seorang wanita yang kemarin bertemu suaminya duduk akrab dengan mertuanya.'Dia juga ada di sini. Berarti Mas Bara juga akan datang nanti. Mertuaku sangat pintar mengatur siasat. Dia ingin aku langsung mundur. Ya, tentu saja. Lagi pula, Mas Bara juga sudah menyetujui permintaan mengganti istri. Lalu, buat apa aku merendahkan harga diri untuk tetap bertahan?' batin Alya.Alya bahkan tidak dipersilahkan duduk. Wanita itu meremas ujung jilbab dengan terus mengatur laju nafasnya-Dia berdiri di depan dua wanita itu.'Bismillah kuat.
Berita kecel4kaan langsung tersebar melalui media sosial. Ivan sudah berusaha agar identitas Bara tidak terekspos ke ranah publik, tapi tetap saja mereka bisa mengambil foto mobilnya. Untung saja, mobil itu bukan mobil yang biasa digunakan Bara untuk ke kantor.Akan tetapi, banyak pihak yang menduga siapa yang jadi korban kecelak4an itu. Meski hanya disebut bahwa korbannya seorang pengusaha muda.Tidak dengan keluarga Bara, Yudha dan Desi mengenali mobil itu. Mereka langsung panik. Beruntung Desi tidak kena serangan jantung.Sedang Alya? Dia tidak ON dalam media sosial. Wanita itu masih duduk termangu di balkon kamarnya. Dia malah sedang menguatkan hati untuk pergi begitu saja dari rumah itu, lalu kapan membuat pengajuan cerai kemudian.***Di sebuah rumah sakit. "Bagaimana kondisi Tuan saya, Dok?" Dokter itu mengangguk.Ivan membuang nafas lega. "Kalau begitu, kita lanjutkan sesuai rencana."Bara masih di ruang tindakan. Selang beberapa saat tubuhnya sudah dipasang banyak alat medi
"Mas, Mas, Mas Bara. Kamu sudah bangun mas?" Alya tersenyum haru. Dia mengusap air matanya dan beberapa kali mengecup kening suaminya.Pelan Bara membuka matanya, tapi tatapannya masih kosong. Dia melihat siapa saja yang ada di ruangan itu, lalu kembali memejamkan mata."Panggil dokter!" teriak Yudha.Desi lantas menarik Alya mundur. "Minggir! Bara tidak butuh kamu!" Alya hampir terjungkal kalau tidak ditahan Ivan. "Anda baik-baik saja, Nyonya?"Alya mengangguk. "Aku ingin melihat kondisi Mas Bara, Van. Jangan bawa aku keluar.""Saya tidak akan membawa keluar, tapi Anda harus berhati-hati menghadapi Nyonya Desi."Dokter datang dan sebentar memeriksa kondisi Bara.Alya meremas jari-jarinya dengan terus menatap wajah suaminya. Telinganya terus mendengar apa yang dijelaskan oleh dokter. Air mata itu terus mengalir tidak tega melihat kondisi itu.'Mas, kamu pasti bisa bertahan. Kamu masih berhutang banyak penjelasan padaku,' batin Alya.Posisi Alya masih terhalang oleh Desi dan Yudha un