Sang suami terhentak kaget dan langsung terdiam.
"Kamu sudah pulang? Bukannya dua jam lagi kamu baru pulang?" Marsya melihat jam tangan."Iya ... kebetulan di kantor sudah tidak ada kerjaan lagi. Ya, sudah aku pulang saja." Reval garuk-garuk kepala yang tidak gatal."Oh, begitu. Terus kamu langsung ke sini mau ngapain? Kamu belum berganti pakaian." Marsya memperhatikan tubuh Reval dari atas ke bawah."Eemm, ... aku mau mandi siapkan air," pinta Reval lalu meninggalkan Marsya begitu saja."Susah kalau punya suami kaya kulkas." Marsya mengumpat lalu berjalan ke dalam rumah.Sementara Reval menemui satpam terlebih dahulu sebelum ke kamarnya. Dia ingin menanyakan tentang pak Bowo. Reval tidak mau terjadi apa-apa lagi dengan Marsya."Tuan." Dua security langsung menunduk kepada Reval."Ceritakan bagaimana Pak Bowo bisa masuk ke rumah ini!" perintah Reval."Maaf, Tuan kami tidak tahu kalau Pak bowo seperti iBaru kali ini Reval melihat sang istri marah kepadanya. Sebenarnya bukan seperti ini yang diharapkan Reval. Dia ingin sekali melakukan apa yang diucapkan oleh sang istri. Namun, apalah daya keegoisan Reval yang begitu tinggi. Sementara Marsya yang sedang di kamar mandi. Dia begitu kesal kepada sang suami. Dia sedang bercermin menatap dirinya sendiri. Tidak terasa air mata jatuh di atas pipinya, dadanya begitu sesak karena ulah sang suami. Dia langsung menghapus air mata tersebut. Percuma bila harus menangisi masalah ini. Semuanya tidak akan pernah berubah. Reval tidak akan mungkin mencintainya apalagi perhatian kepada Marsya. "Dasar lelaki aneh! Kenapa harus marah-marah? Ujung-ujungnya malah nyalahin aku." Marsya menghapus air matanya. ***Reval memutuskan untuk keluar rumah. Kini dia sedang berada di club malam. Dia sedang menunggu Farhan untuk menemaninya."Kenapa lagi? Memang harus seperti ini, mabuk-mabukkan kalau ada ma
Tangan Angel sudah akan mendarat di pipi Marsya. Namun, Reval datang di saat yang tepat. Reval sudah melihat dari jauh kalau Angel kurang ajar kepada istrinya. "Kamu jangan berbuat seenaknya di rumahku!" bentak Reval."Oh, sekarang kamu bela dia lagi. Ingat Reval berita kita sudah tersebar ke mana-mana!""Aku tidak peduli dengan berita tersebut. Ayo, pulang kamu! Pagi-pagi malah ganggu orang." Reval menarik tangan Angel.Sementara Marsya hanya melihat Reval dan Angel. Berharap sang suami benar-benar mengusir Angel. Dia tidak mau Angel terus menerus menjadi benalu di rumah tangganya."Lepaskan aku, Reval lepaskan!" Angel meronta. "Sekarang aku mau tanya sama kamu. Kamu lebih milih aku atau dia pembantu sialan itu?" Angel menunjuk ke arah Marsya dengan dada kembang kempis.Reval langsung terdiam dan melepaskan tangannya dari Angel. Dia menatap wajah Angel lalu menoleh ke arah Marsya. Sama sekali dia tidak menginginkan pertanyaan y
"Sialan dia malah senang-senang dengan lelaki lain!" Kedua mata Reval menatap tajam Marsya dan Galih. Marsya mencari mobil Pak Jaya. Namun, yang terlihat oleh Marsya adalah Reval. Sang suami sedang berjalan ke arahnya sambil menatap tajam Marsya. "Reval!" Marsya langsung menghentikan langkahnya sambil melihat Reval yang sedang berjalan ke arah dia. "Kamu kenapa, Sya." Galih memegang tangan Marsya lalu melihat ke depan. Reval semakin panas dibuatnya karena Galih malah memegang tangan Marsya. "Ayo, pulang! Bisa-bisanya kamu jalan sama dia!" Reval menarik tangan Marsya setelah berada di hadapan mereka. "Hei, Bung jangan kasar begitu, dong." Galih menarik tangan Reval."Galih sudah aku tidak apa-apa," ucap Marsya."Tapi dia kasar sama kamu, Sya."Tambah panas dada Reval di saat Galih menyebut nama Marsya hanya nama belakangnya saja. Seolah Marsya begitu spesial di mata Galih. Reval dan Galih saling menatap satu
Reval mengajak Marsya untuk makan malam terlebih dahulu di restoran. Perut Reval begitu lapar. Apalagi cuaca dingin alam pegunungan membuat perut mereka semakin lapar.Reval dan Marsya sudah berada di restoran dan sudah memesan makanan. Reval menikmati makanannya. Begitu pula dengan Marsya. "Kamu kenapa bisa menjemputku? Bukannya kamu lagi sama Angel?" tanya Marsya setelah selesai mengunyah makanan. "Kenapa memangnya? Kamu tidak suka aku jemput?" tanya Reval, " atau jangan-jangan aku ganggu kamu karena kamu lagi berduaan sama lelaki berengsek itu.""Kamu bicara apa, sih? Dia temanku, Reval.""Yakin? Terus kenapa dia begitu peduli sama kamu? Ingat ya, Marsya kamu sudah menikah. Tidak baik wanita yang sudah menikah jalan dengan lelaki lain selain dengan suaminya.""Terus kamu boleh jalan sama wanita lain? Dasar curang!""Aku ini lelaki. Kenapa malah nyamain aku sama kamu. Terus Kenapa memangnya? kamu bermasalah kalau aku
Marsya mengatakan hal yang selama ini dia pendam. hatinya tiba-tiba lega setelah kata-kata tersebut keluar dari mulutnya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang sambil menatap wajah tampan Reval. Reval mengerutkan keningnya dan masih mencerna ucapan sang istri. Reval mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Marsya lalu berbaring di samping sang istri."Maksud kamu apa? Coba ulangi lagi perkataanmu!" pinta Reval."Aku tidak mau!" Marsya membalikkan badan membelakangi Reval.Reval malah tersenyum mendengar ucapan sang istri. Dia menatap punggung Marsya lalu mengusap rambut sang istri. Reval mendekatkan badannya ke punggung Marsya. Kini tidak ada jarak diantara mereka.Tangan Reval langsung memeluk tubuh Marsya dari belakang. Pucuk kepala sang istri dikecup oleh Reval. Marsya bingung ada apa dengan Reval, kenapa sang suami malah berbuat hal demikian?"Kamu pikir cintamu bertepuk sebelah tangan? Kamu lebih memilih memendam perasaan
Marsya dan Reval akan makan siang. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa ada Angel sedang berdebat dengan Sekretaris Karin. Angel memaksa masuk ke ruangan Reval. Sebelumnya Reval menyuruh Sekretaris Karin jika ada Angel jangan dibiarkan masuk. Akan tetapi, Angel malah memaksa dan marah-marah. Angel tidak terima karena biasanya Angel tidak pernah dilarang."Sejak kapan aku tidak boleh masuk, hah?" bentak Angel pada Sekretaris Karin."Maaf, Non, ini perintah dari Tuan Reval.""Ck, ck kamu tidak tahu siapa aku? Minggir!" Angel mendorong Sekretaris Karin."Non ...."Angel tidak mau mendengarkan ucapan Sekretaris Karin. Dia langsung membuka pintu ruangan Reval. Namun, di saat Angel membuka pintu, Reval pun sedang membuka pintu. Di saat pintu sudah terbuka keduanya saling membelalakkan mata.Angel langsung melirik ke arah Marsya yang sedang dirangkul oleh Reval. Dia menatap sinis Marsya dengan dada kembang kempis. Marsya langsung menunduk, ada rasa tidak enak melihat Angel seperti itu. Dia m
Marsya dan Bu Tasya tidak berpikir akan ada Pak Bowo di dalam rumah. Mereka dengan santainya berjalan sambil bercanda. Namun, betapa kagetnya mereka ternyata Pak Bowo sedang duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Marsya dan Bu Tasya langsung diam mematung sambil menatap ke arah Pak Bowo. Masih tidak percaya kalau sang suami ada di rumah. Mengatakan akan pergi dua hari, tetapi kenapa belum satu hari sudah pulang kembali. "Enak ya, kalian bisa jalan-jalan. Kamu sekarang sudah berani berbohong sama aku, Tasya! Dan kamu Marsya, kamu anak yang tidak tahu diri! Harus berapa kali Bapak tegaskan, kamu bisa menjadi orang kaya karena Bapak! Tapi kamu lupa sama Bapak, kamu lebih memilih Ibumu untuk diajak jalan-jalan, padahal Ibumu tidak ikut andil sedikit pun." Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menatap tajam wajah Bu Tasya dan Marsya secara bergantian. "Pak bukan begitu, tadinya Marysa mau ngajak Bapak jalan-jalan, cuma, 'kan, Bapak lagi ada perlu. Jadi Mars
Reval memang sedang menunggu Marsya. DIa khawatir kepada sang istri. Reval takut kalau Pak Bowo mengganggu Marsya. Reval pun melihat perubahan wajah Marsya. Dia merasakan kalau sang istri sedang memikirkan sesuatu. Reval tidak ingin sang istri kenapa-kenapa atau pun menyembunyikan sesuatu dari dirinya. "Tidak, aku tidak apa-apa." Marsya buang muka lalu melepas pelukan sang suami."Jangan bohong kamu!" Reval menarik Marsya kembali lalu melingkarkan kedua tangan di pinggang Marsya.Wajah Marsya diperhatikan oleh sang suami. Marsya malah tengok kanan kiri, dia paling tidak mau dilihat seperti itu oleh Reval. Tatapan sang suami seakan bertanya dan ingin mengetahui keadaan sang istri yang sebenarnya. "Kamu bertemu Bapakmu?" Reval menatap tajam wajah sang istri. "Tidak." Marsya menoleh ke sebelah kiri. "Jangan bohong kamu! Aku tidak bisa dibohongi, Marsya. Wajah kamu tuh, kelihatan kalau kamu sedang memikirkan sesuatu." R
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t