Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri.
"Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Sore hari, Marsya baru pulang dari kerjanya. Tiba-tiba saja Marsya langsung disuruh oleh Pak Bowo untuk membersihkan diri dan berganti pakaian yang bagus. Dia akan dijodohkan kepada Reval Adrian Altezza, tanpa sepengetahuan sang anak. "Kita mau ke mana, Pak?" tanya Marsya setelah berganti pakaian. "Sudah kamu tidak usah banyak tanya. Pokoknya Bapak jamin, kamu pasti bahagia." Pak bowo merangkul Marsya sambil berjalan keluar rumah. "Kita cuma berdua, Pak, kenapa Ibu tidak diajak?" Marsya menoleh ke belakang. "Bawel ya, kamu! Dari tadi bicara terus. Sudah, ayo, naik! Kita tidak boleh terlambat." Pak Bowo mendorong paksa Marsya agar masuk ke dalam mobil. "Ingat, ya. Di sana kamu jangan banyak bicara. Awas kalau kamu bertingkah! Kamu harus menuruti apa yang diinginkan oleh tuan Reval," perintah Pak Bowo setelah berada di dalam mobil online, "jalan, Pak," pinta Pak Bowo kepada supir."Maksud, Bapak apa? Tuan Reval, tuan Reval siapa sih, Pak?" Bingung Marsya dengan ucapan Pak Bowo.
Marsya belum menyadari jika dirinya berbuat salah kepada Reval. Dia masih bingung apa kesalahannya. Namun, ketika Marsya mendengar jawaban Reval. Marsya baru mengerti apa kesalahannya. "Maafkan saya, Tuan! Saya tidak bermaksud untuk membohongi, Tuan." Marsya meremas selimut yang sedang dipakainya. "Sialan kamu, kamu mau menipuku, hah. Memangnya keperawananmu bisa kamu tutupi. Dasar wanita bodoh! Kamu pikir aku tidak bisa membedakan mana yang perawan, mana yang tidak. Dasar wanita jalang!" Reval melempar bantal ke tubuh Marsya yang sedang berdiri. Marsya tidak bisa menghindar, dia hanya diam saja ketika tubuhnya dilempar bantal oleh Reval. Tidak terasa air matanya menetes begitu saja. Marsya mengakui kalau dirinya memang telah berbohong kepada Reval mengenai keperawanannya. "Maafkan saya, Tuan! Saya memang bersalah. Saya sudah berbohong terhadap, Tuan. Saya juga ... sudah berbohong kepada Bapak saya." Air matanya jatuh dipelupuk mata Marsya. "Oh, ternyata Bapakmu tidak
Dalam keadaan mabuk bisa-bisanya Reval mengatai Marsya. Marsya tidak terima dirinya dikatai pelacur. Sama sekali apa yang dikatai sang suami tidak benar adanya. "Lepaskan, lepaskan saya!" Marsya memukul dada Reval berulang-ulang."Diam berengsek!" Reval tidak peduli dengan penolakan Marsya dan juga pukulan Marsya. "Kamu itu istriku, kamu harus melayaniku.""Tapi bukan kaya begini caranya! Aaaah ...." Marsya berteriak sekencang mungkin."Aku tidak peduli dengan teriakanmu. Teriak sekencang yang kamu bisa, pelacur!" "Aku bukan pelacur! Lepaskan!" Marsya meneteskan air matanya. Reval pun bercinta dengan Marsya. Walaupun sag istri menolak dan menangis, Reval tidak peduli. Yang terpenting dia bisa mengeluarkan hasrat kelelakiannya. Pergulatan pun telah selesai. Marsya hanya bisa menangis setelah ditiduri oleh Reval. Dia menoleh ke arah Reval dan sang suami sudah tertidur pulas.***"Kepalaku pusing sekali." Reval memegangi kepalanya lalu mengingat kejadian semalam. "Sial! Kenapa
Sudah habis kesabaran Marsya karena dirinya terus menerus dihina oleh Reval. Akhirnya, Marsya pun mengatakan hal yang sebenarnya kepada Reval. Tak terasa air mata jatuh di pelupuk matanya."Kamu jangan bohong! Kamu pasti hanya membela diri saja, 'kan agar aku simpatik sama kamu," ucap Reval."Buat apa saya bohong. Kalau saya mau menarik simpatik orang untuk apa harus saya pendam sendiri masalah ini. Saya pendam sendiri karena saya malu dan juga ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya."Dan juga apa?" tanya Reval penasaran.Marsya hanya terdiam, dia sama sekali tidak mau menjawabnya. "Marsya! Malah diam lagi kamu? Ayo, jawab! Atau kamu memang lagi berbohong karena tidak mau dikatai pelacur," bentak Reval."Saya tidak bohong, buat apa saya bohong!" teriak Marsya, "saya … saya sudah diancam sama orang itu. Saya tidak boleh cerita sama siapapun. Termasuk sama kedua orang tua saya. Kalau saya berani cerita, apalagi sama kedua orang tua saya. Katanya mereka akan dibunuh." Marsya menang
Ketika Marsya sudah sampai di rumah baru orang tuanya. Marsya tidak sengaja mendengar pembicaraan pak Bowo dan Bu Tasya. Dia tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya.Marsya seakan hilang keseimbangan di saat dia mendengar ucapan pak Bowo. Untung saja Reval langsung sigap memegang badan Marsya. Reval menatap wajah Marsya dengan penuh kasihan.Marsya menutup mulut dengan tangan kanannya. Tidak terasa air mata jatuh di pelupuk mata Marsya. Bibir Marsya seakan kelu dan dia menggelengkan kepalanya beberapa kali."Sudah jangan ditangisin. Ayo, kita keluar," bisik Reval. "Tapi …." Marsya meneteskan air matanya."Sudah, ayo!" Reval memegang tangan Marsya lalu membawanya keluar.Marsya melonjak kaget. Akan tetapi, Marsya tetap mengikuti sang suami berjalan. Tangan Marsya dipegang erat oleh Reval. Sang istri menangis sambil berjalan mengikuti sang suami. "Sudah jangan menangis, buat apa kamu tangisin mereka." Marsya hanya mengangguk lalu menghapus air matanya. Dia kemudian melihat R
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t