Marsya belum menyadari jika dirinya berbuat salah kepada Reval. Dia masih bingung apa kesalahannya. Namun, ketika Marsya mendengar jawaban Reval. Marsya baru mengerti apa kesalahannya.
"Maafkan saya, Tuan! Saya tidak bermaksud untuk membohongi, Tuan." Marsya meremas selimut yang sedang dipakainya.
"Sialan kamu, kamu mau menipuku, hah. Memangnya keperawananmu bisa kamu tutupi. Dasar wanita bodoh! Kamu pikir aku tidak bisa membedakan mana yang perawan, mana yang tidak. Dasar wanita jalang!" Reval melempar bantal ke tubuh Marsya yang sedang berdiri.
Marsya tidak bisa menghindar, dia hanya diam saja ketika tubuhnya dilempar bantal oleh Reval. Tidak terasa air matanya menetes begitu saja. Marsya mengakui kalau dirinya memang telah berbohong kepada Reval mengenai keperawanannya.
"Maafkan saya, Tuan! Saya memang bersalah. Saya sudah berbohong terhadap, Tuan. Saya juga ... sudah berbohong kepada Bapak saya." Air matanya jatuh dipelupuk mata Marsya.
"Oh, ternyata Bapakmu tidak tahu kalau kamu sudah tidak perawan. Pantas saja Bapakmu begitu percaya diri. Sama siapa kamu melakukannya? Bukankah Bapakmu bilang kamu belum pernah pacaran."
"Saya memang belum pernah pacaran, Tuan."
"Terus kamu melakukannya dengan siapa, hah? Dengan pria hidung belang. Dengan Om-Om yang sekali pakai. Ternyata kamu sama saja dengan wanita di luaran sana. Kamu menjadi pelacur tanpa sepengetahuan Bapakmu!" Reval geleng-geleng kepala.
"Jaga mulut, Tuan! Saya bukan wanita seperti itu!" teriak Marsya.
"Kamu berani membentakku, sialan!" Reval bangun dari atas kasurnya kemudian memakai kimono dan menghampiri Marsya. "Kamu pikir kamu siapa, kamu berani membentakku, hah!" Reval memegang dagu Marsya.
"Maaf ... maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud membentak Anda. Saya cuma tidak mau dikatakan wanita seperti itu oleh, Tuan."
Reval melepaskan tangannya dari dagu Marsya secara kasar. "Seorang pelacur tidak menerima kalau dirinya pelacur." Reval tertawa mencibir.
"Tapi saya memang bukan pelacur. Saya bukan wanita seperti itu." Marsya menangis sambil menatap wajah Reval.
"Sudah tidak usah menangis. Air mata kamu hanya air mata buaya. Kamu pikir dengan kamu menangis aku akan simpatik sama kamu. Jangan harap! Kamu sama saja layaknya dengan wanita malam. Jadi jangan sok-sokan memelas dan menangis di hadapanku."
"Baik, sekarang mau, Tuan apa? Setelah, Tuan menganggap saya sebagai pelacur! Dari awal saya memang tidak mau dijodohkan dengan, Tuan. Bapak yang memaksa saya untuk menikah dengan, Tuan." Marsya menatap tajam wajah Reval.
"Berengsek kamu!" Reval menarik rambut Marsya.
"Aaahh ... sakit, Tuan. Ampun, Tuan sakit." Marsya meronta sambil menahan sakit kepalanya.
"Aku tidak peduli kamu kesakitan atau tidak. Sana diam kamu di kamar pembantu! Mulai sekarang kamu menjadi Asisten Rumah Tangga di rumah ini. Paham kamu!" Reval mendorong Marsya setelah berada di luar kamar. "Kalau aku mengusir kamu dari rumah ini, aku yang rugi. Walaupun aku memang sudah rugi sekarang."
Marsya hanya bisa terdiam sambil menangis. Tidak percaya bahwa Reval akan berbuat seperti ini terhadapnya, hanya karena dia sudah tidak perawan. Marsya memang telah berbohong terhadap Reval dan Pak Bowo.
"Sudah sana berengsek! Buat apa menangis di hadapanku!" Reval bertolak pinggang sambil menatap tajam Marsya.
"Saya belum pakai baju, Tuan. Saya, 'kan tidak mungkin ke bawah seperti ini."
"Ya, sudah sana pakai baju! Tidak pakai lama!"
"Baik, Tuan," ucap Marsya lalu masuk ke dalam kamar.
***
Kini Marsya sudah berada di kamar asisten rumah tangga. Dia tidak percaya akan berakhir seperti ini. Setelah Reval menikmati tubuhnya, dengan gampangnya Reval menjadikan dirinya sebagai asisten rumah tangga.
"Dasar lelaki! Seenaknya menikmati tubuhku. Hanya karena aku tidak perawan. Aku dicampakkan begitu saja. Dasar lelaki sialan!" Marsya merebahkan tubuhnya di atas kasur.
***
Sementara di kamar Reval, dia uring-uringan sendiri. "Sial, kenapa aku bisa tertipu dengan wajah polos dia. Dasar pelacur sialan, aku sama Bapaknya sudah ditipu sama dia." Reval mengacak-acak rambutnya sendiri.
Reval lalu bergegas pergi ke lantai bawah. Dia akan pergi ke club malam. Reval ingin bersenang-senang di club malam.
"Marsya! Marsya!" teriak Reval.
Samar-samar terdengar oleh Marsya, Reval sedang memanggilnya. "Iya, Tuan." Marsya berlari menemui Reval di meja makan.
"Kenapa kamu lelet sekali aku panggil!" marah Reval.
"Maaf, Tuan."
"Aku akan pergi ke club malam. Ingat sebelum aku pulang ke rumah, kamu jangan tidur dulu. Kamu harus tunggu aku sampai pulang. Awas kalau kamu sampai ketiduran!" perintah Reval.
"apa, Tuan! Saya harus nunggu, Tuan gitu. Kalau mata saya ngantuk, bagaimana, Tuan?"
"Kamu mau membantah omonganku, dasar pembantu sialan!" kesal Reval, "minggir sana! Pokoknya kamu tunggu aku sampai pulang." Reval mendorong Marsya sampai tubuh Marsya terdorong ke belakang lalu meninggalkan Marsya.
Marsya hanya bisa menghela napas ketika dirinya dimaki oleh Reval dan ditinggalkan begitu saja. "Ini semua gara-gara Bapak. Aku jadi berakhir seperti ini." Marsya duduk di kursi meja makan.
***
Marsya sedang duduk di sofa ruang tamu. Waktu menunjukkan pukul 23.35, kedua mata Marsya sudah sangat mengantuk. Dia lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Tidak terasa Marsya malah terlelap tidur.
Tidak lama kemudian Reval baru pulang, dengan keadaan mabuk. Dia diantar oleh asisten pribadinya. Marsya langsung bangun karena mendengar ocehan Reval.
"Tuan!" Marsya bangun dari tidurnya lalu menghampiri Reval.
Marsya kemudian memapah Reval masih dibantu oleh Farhan. "Terima kasih, asisten Farhan sudah membantu Tuan Reval. Sudah sampai di sini saja, sekali lagi terima kasih, ya."
"Ya, sudah. Saya permisi dulu." Farhan meninggalkan Marsya dan Reval.
***
Marsya sudah berada di dalam kamar Reval. Dia kemudian merebahkan Reval ke atas kasur. Marsya memang sudah terbiasa menghadapi orang mabuk. Setiap malam Bapaknya selalu pulang dalam keadaan mabuk.
"Kenapa semua lelaki harus seperti ini. Tidak Bapak, tidak tuan Reval pada doyan mabuk." Marsya membuka sepatu Reval dan kaos kaki Reval.
Marsya kemudian menyelimuti Reval. Namun, di saat dirinya akan beranjak dari atas kasur. Tangan Marsya malah ditarik oleh Reval.
"Tuan apaan sih, lepaskan!" Marsya berontak ingin melepaskan pegangan tangan Reval.
"Jangan berontak kamu, aku mau malam ini kamu tidur denganku. Kamu harus melayaniku." Tubuh Marsya di peluk Reval.
"Aku tidak mau lepaskan! Tuan sedang mabuk. Lepaskan, Tuan!" Marsya meronta ingin melepaskan pelukan tangan Reval.
Semakin Marsya ingin melepaskan pelukannya dari tangan Reval. Justru tangan Reval semakin kuat memeluk tubuh Marsya. Kini tubuh Marsya sudah berada di bawah tubuh Reval.
"Kamu istriku, kamu harus melayaniku. Kamu jangan membantah." Reval memegang bibir Marysa lalu melumatnya dengan kasar.
Marsya berontak, dia menggerak-gerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Sama sekali bibirnya tidak mau dicium oleh Reval. Akan tetapi, tetap saja Reval masih menikmati bibir Marsya.
Reval menatap tajam wajah Marsya karena dirinya tidak suka ditolak. Apalagi yang menolaknya hanyalah seorang Marsya. Seorang wanita yang hanya sebagai penebus hutang.
"Kamu siapa berani-berani menolakku, hah! Kamu tahu tidak, tidak ada wanita yang berani menolakku. Kamu yang sok-sokan tidak mau tidur denganku. Di luaran sana banyak wanita yang ingin tidur denganku! Kamu yang bukan siapa-siapa berani menolak, padahal kamu tidak lebih hanyalah seorang pelacur!"
Dalam keadaan mabuk bisa-bisanya Reval mengatai Marsya. Marsya tidak terima dirinya dikatai pelacur. Sama sekali apa yang dikatai sang suami tidak benar adanya. "Lepaskan, lepaskan saya!" Marsya memukul dada Reval berulang-ulang."Diam berengsek!" Reval tidak peduli dengan penolakan Marsya dan juga pukulan Marsya. "Kamu itu istriku, kamu harus melayaniku.""Tapi bukan kaya begini caranya! Aaaah ...." Marsya berteriak sekencang mungkin."Aku tidak peduli dengan teriakanmu. Teriak sekencang yang kamu bisa, pelacur!" "Aku bukan pelacur! Lepaskan!" Marsya meneteskan air matanya. Reval pun bercinta dengan Marsya. Walaupun sag istri menolak dan menangis, Reval tidak peduli. Yang terpenting dia bisa mengeluarkan hasrat kelelakiannya. Pergulatan pun telah selesai. Marsya hanya bisa menangis setelah ditiduri oleh Reval. Dia menoleh ke arah Reval dan sang suami sudah tertidur pulas.***"Kepalaku pusing sekali." Reval memegangi kepalanya lalu mengingat kejadian semalam. "Sial! Kenapa
Sudah habis kesabaran Marsya karena dirinya terus menerus dihina oleh Reval. Akhirnya, Marsya pun mengatakan hal yang sebenarnya kepada Reval. Tak terasa air mata jatuh di pelupuk matanya."Kamu jangan bohong! Kamu pasti hanya membela diri saja, 'kan agar aku simpatik sama kamu," ucap Reval."Buat apa saya bohong. Kalau saya mau menarik simpatik orang untuk apa harus saya pendam sendiri masalah ini. Saya pendam sendiri karena saya malu dan juga ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya."Dan juga apa?" tanya Reval penasaran.Marsya hanya terdiam, dia sama sekali tidak mau menjawabnya. "Marsya! Malah diam lagi kamu? Ayo, jawab! Atau kamu memang lagi berbohong karena tidak mau dikatai pelacur," bentak Reval."Saya tidak bohong, buat apa saya bohong!" teriak Marsya, "saya … saya sudah diancam sama orang itu. Saya tidak boleh cerita sama siapapun. Termasuk sama kedua orang tua saya. Kalau saya berani cerita, apalagi sama kedua orang tua saya. Katanya mereka akan dibunuh." Marsya menang
Ketika Marsya sudah sampai di rumah baru orang tuanya. Marsya tidak sengaja mendengar pembicaraan pak Bowo dan Bu Tasya. Dia tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya.Marsya seakan hilang keseimbangan di saat dia mendengar ucapan pak Bowo. Untung saja Reval langsung sigap memegang badan Marsya. Reval menatap wajah Marsya dengan penuh kasihan.Marsya menutup mulut dengan tangan kanannya. Tidak terasa air mata jatuh di pelupuk mata Marsya. Bibir Marsya seakan kelu dan dia menggelengkan kepalanya beberapa kali."Sudah jangan ditangisin. Ayo, kita keluar," bisik Reval. "Tapi …." Marsya meneteskan air matanya."Sudah, ayo!" Reval memegang tangan Marsya lalu membawanya keluar.Marsya melonjak kaget. Akan tetapi, Marsya tetap mengikuti sang suami berjalan. Tangan Marsya dipegang erat oleh Reval. Sang istri menangis sambil berjalan mengikuti sang suami. "Sudah jangan menangis, buat apa kamu tangisin mereka." Marsya hanya mengangguk lalu menghapus air matanya. Dia kemudian melihat R
"Apa!" kamu jangan mengada-ada, Reval. Sejak kapan kamu bisa akting?" "Terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang jelas Marsya memang istriku." "Kamu sedang mabuk, 'kan? Tidak, pokoknya aku tidak percaya kalau dia adalah istrimu. Sejak kapan kamu menikah? Kalau kamu sudah menikah sama dia. Kemarin malam buat apa kamu tidur denganku, kita sudah bercinta dan kamu sendiri yang bilang kalau dia adalah pembantu." "Iya, kemarin adalah kesalahanku. Aku sedang marah sama dia. Makanya aku berbuat begitu sama kamu dan ingat kita tidak bercinta malam itu!" Reval menunjuk wajah Angel. "Jadi aku hanya pelampiasanmu saja. Tetap saja kamu sudah menikmati tubuhku! Aku tidak terima pembantu ini istrimu!" Angel menatap tajam wajah Marsya. "Pergi kamu. Ayo, pergi!" Reval menarik tangan Angel. "Tidak, aku tidak mau! Aku cinta sama kamu, Reval. Aku mohon jangan usir aku." Angel mengangkat kedua tangannya memohon. Reval malah menyunggingkan se
Angel merasa geram kepada Reval dan juga Marsya. Bisa-bisanya mereka jalan bersama. Reval yang seharusnya menjemput dirinya, mereka malah pulang berduaan."Aku akan buat perhitungan dengan kalian. Apalagi kamu Marsya. Ingat, Marsya kamu sudah dibilang pembantu sama Reval. Reval milikku, milikku selamanya!" Angel melempar parfum dan yang lainnya yang ada di atas meja rias.***Marsya sedang berada di kamar Reval. Dia tiduran di atas sofa sambil melihat-lihat galeri ibunya di ponsel. Dia menatap wajah sang bunda sambil tersenyum.Marsya begitu rindu dengan ibunya. Walaupun Marsya sudah tahu kalau Bu Tasya bukanlah orang tuanya. Akan tetapi, tetaplah Bu Tasya telah merawat Marsya.Akhirnya, Marsya menghubungi Bu Tasya melalui ponselnya. "Hallo, Bu." Mata Marsya berkaca-kaca."Marsya! Ya, ampun Marsya ibu kangen sama kamu," jawab bu Tasya di balik ponsel."Iya, Bu. Marsya juga kangen sama, Ibu. Ibu baik-baik saja,
Ketika Angel sedang marah dan menjambak rambut Marsya. Reval telah pulang dari perusahaan. Dia merasa geram terhadap Angel karena Angel malah menjambak rambut sang istri."Reval! Kamu sudah pulang?" Angel langsung melepaskan rambut Marsya."Pergi kamu! Ngapain kamu datang ke rumahku lagi, hah? Tidak tahu diri, belum jelas aku bilang apa sama kamu. Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi, Angel." Reval menatap tajam wajah Angel.Sementara Marsya hanya terdiam dan menunduk."Reval please, aku mau balik lagi sama kamu, Sayang. Aku cinta kamu, aku tidak mau kehilangan kamu." Angel mengangkat kedua tangannya memohon.Reval menyunggingkan senyumnya. Ia kemudian berjalan ke arah Angel yang sedang duduk di sofa bersama Marsya. Reval sama sekali sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi kepada Angel."Ayo, pulang kamu! Aku sudah menikah. Jadi kamu tidak usah menggangguku lagi. Paham kamu!" Reval menarik tangan Angel."Aku tidak mau. Lepaskan
Reval menatap tajam wajah sang istri yang sedang berada di bawah tubuhnya. Jantung Marsya seakan mau copot karena ditatap sebegitunya oleh sang suami. Tatapan yang membuat semua para wanita dimabuk kepayang. "Kenapa? Kamu terpesona melihat ketampananku? Asal kamu tahu semua wanita menginginkanku. Mereka berharap ingin bercinta denganku. Jadi kamu adalah wanita paling beruntung karena bisa bercinta denganku dan menjadi istriku." Reval mendekatkan wajahnya ke arah Marsya. Reval menciumi bibir Marsya. Marsya merasakan ciuman tersebut. Ciuman malam ini sangat berbeda dirasakan oleh sang istri. Reval mencium bibir Marsya dengan begitu lembut. Marsya secara refleks membalas ciuman Reval. Sang suami begitu senang di saat sang istri membalas ciumannya. Akhirnya, mereka pun bercinta dengan begitu panas. Tidak bisa dipungkiri Marsya sangat menikmatinya. Sentuhan-sentuhan dan ciuman lembut Reval membuat Marsya tidak berdaya. "Ada
Akhirnya, Marsya sudah tidak bisa menahannya. Niat hati tidak ingin mengatakan hal itu. Namun, perkataan Pak Bowo membuat Marsya geram. "Marsya kamu bicara apa? Kamu anak Ibu dan Bapak. Kamu jangan berkata seperti itu." Bu Tasya memeluk Marsya. "Ke mana orang tua Marsya, Bu? Kenapa Marsya bisa sama, Ibu dan Bapak?" Marsya memeluk erat Bu Tasya sambil menangis tersedu-sedu. Pak Bowo sama sekali tidak merasa simpatik kepada Marsya. "Sudah-sudah ngapain kalian pada menangis. Tidak penting, cuma masalah anak kandung atau bukan. Tahu dari mana kamu, kalau Bapak sama Ibu bukan orang tua kandungmu?" tanya Pak Bowo. Bu Tasya melepaskan pelukan Marsya. Dia lalu mengusap pipi Marsya yang sudah basah oleh air mata. Bu Tasya tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya. "Bapak tidak perlu tahu! Toh, itu tidak penting, 'kan buat, Bapak. Marsya benci sama, Bapak. Bapak jahat!" Marsya berlari meninggalkan Pak Bowo dan Bu Tasya. "Mau ke mana kamu,
"Saya mohon maafkan saya. Jangan masukkan saya ke penjara. Saya mohon Tuan. Saya mengakui saya telah bersalah kepada Marsya. Saya ... Saya benar-benar minta maaf." Pak Bowo mengangkat kedua tangannya memohon sambil menundukkan kepalanya. Reval menyunggingkan senyumnya sambil memperhatikan Pak Bowo. "Minta maaf? Aku tidak salah dengar! Anda jangan minta maaf kepadaku, tetapi kepada Marsya anakmu!" jerit Reval, "Sekarang Anda minta maaf setelah semuanya sudah terbongkar. Ke mana saja Anda selama ini? Bahkan Anda masih memanfaatkan Marysa dan akan menjadikan mantan istriku sebagai wanita malam. Dan sekarang Anda berkata menyesal. Dasar manusia tidak tahu diri. Jika Marsya tidak mengenal teman Anda, Anda tidak mungkin melakukan hal ini. Oke, tunggu saja. Dalam waktu satu kali dua puluh empat jam Anda dan teman Anda akan masuk ke penjara!" desis Reval.Pak Bowo bangun dari duduknya lalu menghampiri Reval. "Tuan saya mohon jangan penjarakan saya. Saya mohon, Tuan!" Pak
Marsya tiba-tiba berteriak dan menangis histeris. Jantungnya berdetak tidak karuan dan tubuhnya bergetar hebat. Reval merasa bingung melihat Marsya. "Sayang kamu kenapa?" Reval memegangi tubuh Marsya sambil memperhatikan wajah sang mantan istri dengan penuh khawatir. "Orang itu ... orang itu ada lagi." Marsya berucap dengan terbata dan menangis lalu menyembunyikan wajahnya di dada Reval. Reval mengerutkan keninnya sambil berpikir lalu memperhatikan Pak Bowo dan teman pemilik rumah bordil yang sedang berjalan. "Tuan Reval." Pak Bowo menundukkan kepalanya setelah berada di depan Reval. Namun, dia merasa bingung melihat Marsya sedang menangis. "Ada ... ada apa dengan anak saya?" tanya Pak Bowo lalu menoleh kepada pemilik rumah bordil. Sang pemilik rumah bordil pun merasa bingung sambil mengerutkan keningnya.
"Sudah tahu Marsya masih mencintaiku. Kenapa kamu memaksanya?" kesal Reval, "asal kamu tahu, Garvin. Sebenarnya aku malas menemuimu, tetapi demi mengembalikan cincin ini aku terpaksa menemuimu. Aku tidak mau kamu berpikiran kalau Marsya masih menyimpan cincin pemberianmu. Hanya cincin pemberian dariku yang akan melingkar di jari manisnya." Reval mencondongkan badannya ke arah Garvin. Garvin menyunggingkan senyumnya. "Oke, sekali lagi aku mengaku kalah. Harusnya kamu berterima kasih kepadaku. Kalau malam itu bukan aku yang menemui Marsya. Marsya tidak akan selamat. Dia mungkin sudah dijamah dan ditiduri oleh pria hidung belang. Apa lagi penampilan Marsya saat itu sangat cantik dan seksi. Siapa yang tidak akan tergoda melihat ...." Garvin malah membayangkan penampilan Marsya lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Sialan! Kamu sedang membayangkan apa, hah?" Reval bangun dari duduknya. "Tuan Reval. Su
Marsya dan Reval sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Marsya. Mereka duduk berpelukan dan saling tersenyum. Reval tidak henti-hentinya menciumi kening sang mantan istri. "Senang sekali melihat mereka bahagia. Aku harap kalian berdua tidak akan terpisahkan." Farhan sekilas menoleh ke kaca spion sambil berbicara dalam hati. "Kamu kalau ada apa-apa cerita sama aku, ya. Kalau ada orang yang menekanmu jangan diam saja." Reval memeluk Marsya sambil tangan kanannya mengelus rambut Marsya. "Iya, Reval. Sekali lagi terima kasih, ya. Kamu sudah menolongku," ucap Marsya, "emm, tapi ...." Marsya tidak melanjutkan kata-katanya. "Kenapa?" tanya Reval khawatir. "Aku takut pulang, Reval. Bapak mau ...." "Sudah kamu pulang saja, tidak apa-apa kamu aman," ucap Reval lalu mencium kening Marsya. "Aman?" tanya Marsy
"Kita tunggu di sini saja. Aku ingin menunggu Marsya." Reval duduk di kursi. "Baik, Tuan." Farhan ikut duduk di samping Reval. Beberapa menit kemudian Garvin berjalan sambil menarik tangan Marsya. Dia melewati Reval dan Farhan yang sedang duduk dan sama sekali dia tidak menyadari adanya mereka. "Marsya!" Reval bangun dari duduknya. "Kenapa dia membawa Marsya seperti itu?" kesal Reval, "Kita ikuti dia! Awas saja kalau dia macam-macam!" Reval berjalan mengikuti Garvin secara pelan agar Garvin tidak mengetahuinya. "Hati-hati Tuan jangan sampai Mr. Garvin tahu kita mengikutinya." "Hhhmmm." Reval berjalan sambil memicingkan matanya. Reval kemudian berhenti dan memperhatikan Garvin yang sudah berada di depan mobil. "Berengsek! Kasar sekali dia!" Reval mengepalkan tangannya lalu melangkah. "Tuan ... jangan gegabah. Kita lihat saja dulu. Kita
"Honey, sepertinya mantan suamimu sedang cemburu." Garvin menatap tajam Reval sambil berbisik kepada Marsya. "Reval?" kaget Marsya lalu matanya mencari keberadaan sang mantan suami. "Kita temui dia." Garvin meraih tangan Marsya lalu menggenggam jari jemari Marsya. "Buat apa?" Marsya menahan langkahnya dan berusaha melepaskan tangannya dari Garvin. "Sudah kita temui dia!" Garvin tetap berjalan membawa Marsya. Marsya ingin sekali menolak. Dia tidak ingin membuat sang mantan suami sakit hati melihat dirinya bersama Garvin. "Reval maafkan aku, aku tidak mau seperti ini." Marsya berbicara dalam hati sambil mengikuti Garvin. "Hai, Reval," sapa Garvin setelah berada di hadapan Reval. Reval menundukkan kepalanya lalu menatap Marsya. "Tahan, Reval jangan memperlihatkan kemarahan dan kecemburuan di mata bule berengsek ini!" batin Reval. "Asisten Farhan," sapa Garvin. Mr. Garvin." Farhan menundu
"Ibu sebenarnya sudah menyadarinya. Cuma Ibu ingin kamu yang bercerita sama Ibu. Kalau Ibu yang bertanya duluan kamu tidak akan mungkin menjawab jujur," kata Bu Tasya "Iya, Bu. Marsya belum siap bercerita sama Ibu. Cuma Marysa juga tidak mungkin pendam sendiri. Apa lagi bapak sudah ikut campur dan malah memaksa Marsya untuk merayu Mr. Garvin. Marsya tidak mau, Bu. Merayu salah tidak merayu pun salah," ucap Marsya lalu menghela napas pelan."Kamu minta tolong sama tuan Reval. Kamu putuskan hubunganmu dengan Mr. Garvin. Kamu, 'kan tidak mencintai Mr. Garvin. Kamu tuh cintanya sama tuan Reval. Iya, 'kan?" Marysa mengangguk lalu tersenyum. "tapi Marsya bingung, Bu. Marysa tidak mungkin memutuskan hubungan Marsya dengan Mr. Garvin. Ini sudah pilihan Marsya. Mr. Garvin memberikan pilihan yang aneh sama seperti Bapak," kesal Marsya. "Aneh bagaimana maksudnya?" tanya Bu Tasya. Marsya kemudian menceritakan awal mula dia harus menjadi pacar M
Reval sudah berada di ruangan rapat. Kedua matanya langsung menatap tajam ke arah Garvin yang sedang duduk di meja sebelah kiri. Tatapannya bagaikan elang yang akan memangsa buruannya. "Kamu tidak akan lama bersama Marsya. Lihat saja Garvin. Kamu boleh sombong di hadapanku untuk saat ini dan kesombonganmu tidak akan lama." Reval berbicara dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya. "Tuan Reval! Silakan dimulai," bisik Karin. "Hhhmm." Reval hanya berdeham dan tatapannya masih kepada Garvin. Garvin pun malah membalasnya menatap Reval sambil tersenyum. "Ada yang sedang terbakar cemburu sepertinya," batin Garvin. Sementara Farhan hanya bisa menghela napas pelan. Dia kemudian memperhatikan Reval dan menggelengkan kepalanya kepada sang CEO. Reval pun mengerti melihat Farhan seperti itu. Dia kemudian menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya. Keadaannya sudah bisa terkontrol dan Reval memulai rapatnya. ***
Marsya membelalakkan matanya ketika secara tiba-tiba Reval langsung bertanya ke inti permasalahan. Dia meremas-remas tangannya sendiri. Tenggorokannya seakan tercekat dan dia tidak berani menatap Reval. "Kenapa diam saja? Ayo, jawab, Marsya!" Reval menatap tajam wajah Marsya yang sedang menunduk.Dada Reval kembang kempis dan dirinya benar-benar emosi. Namun, sebisa mungkin dia menahan emosinya di hadapan Marsya. Sementara Farhan memperhatikan Marsya secara seksama. Dia pun ingin bertanya, tetapi dia tidak ingin ikut campur. "Marsya!" panggil Reval lalu menggelengkan kepalanya, "Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres. Makanya kamu seperti ini, ada yang mengancammu, 'kan?" tanya Reval mengintimidasi. Marsya langsung mengangkat kepalanya mendengar pertanyaan sang mantan suami. "Tidak ada. Siapa yang mengancamku? Itu memang keinginanku. Waktu kamu pergi, di situ aku berpikir. Sepertinya aku salah jika harus dekat kembali denganmu. Aku t