“Mbak Selvi, kamu bisa mengenalku?”Suara serta wajah Tika yang kulihat pertama kali. Mengapa pula dia harus bertanya seperti itu, pikirku. Tanpa melihat wajahnya pun aku sudah tahu kalau itu dia dari suaranya.“Seluruh wajahmu memenuhi penglihatanku, Tika. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalmu,” racauku terdengar sengau, seperti orang bangun tidur.Kenapa pula aku tertidur? Bukannya tadi aku berada di warung Mbak Jum? Rasa penasaran mulai berkecamuk di kepalaku. Tapi aku tidak bisa menemukan jawaban apa pun.kukerjapkan mata untuk menjernihkan penglihatan. Selain wajah Tika yang tampil penuh di depanku, aku berusaha mengenali tempatku terbaring saat ini, ruangannya terasa asing.Seingatku tadi sedang berbelanja di warung Mbak Jum. Entah kenapa aku bisa berujung terbaring di ruangan asing ini.“Kita berada di ruangan praktik Bidan Fitri. Tadi Mbak Selvi pingsan di warung Mbak Jum.” Tika sepertinya menyadari netraku yang melirik ke segala arah. Dia langsung menjelaskan tanpa aku bert
“Bisa nggak kamu nggak usah datang? Merusak mood aku aja mendengar ucapanmu itu,” dengkusku membuang muka mendapati Salman yang berdiri di depan pintu.“Apalagi melihat wajah menyebalkanmu itu. Rasanya dari semenjak zaman purba dulu kita sudah ditakdirkan untuk bermusuhan,” sambungku tapi dengan suara dipelankan. Biar bagaimana pun aku juga enggan mencari masalah terang-terangan.“Aku harus datang supaya pikiranmu itu terbuka. Nggak melulu cinta buta pada pria tak tau diri itu.” Dengan santainya dia berucap seperti itu sambil berjalan mendekatiku. Salman pun tidak peduli dengan Tika dan Bidan Fitri yang mendengar ucapannya.Tuh ‘kan, aku rasa mulutnya itu sudah disetel untuk selalu berucap ketus.“Aku rasa kamu di sini yang lebih tidak tahu diri, ikut campur dalam urusan rumah tangga orang. Memangnya kamu siapa?” Mulutku tak kalah pedas mencecarnya. Bukannya aku menutup mata atas bantuan Salman selama ini, tapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu memancing emosiku. Sepert
“Oh, oh. Aku baru ingat, pantas saja bawaannya aku pengen marah setiap ketemu kamu. Ternyata memang dari dulu kita sudah musuhan.” Di kepalaku seperti menyala sebuah bohlam, membuka semua tabir masa lalu ketika dulu aku sering melihat wajah itu sembunyi-sembunyi tak jauh dari tempatku nongkrong bersama Mas Agus.“Aku baru ingat, ternyata itu memang kamu!” sambungku ketika wajah Salman semakin jelas dalam ingatanku.Kuperhatikan Lamat wajah pria dengan garis rahang sedikit menonjol di depanku ini. Dalam hati aku merutuki diri yang tidak bisa mengenalnya lebih cepat. Jika aku sedikit teliti, wajahnya tidak terlalu banyak berubah, hanya guratan halus di dahinya yang menandakan usianya sudah bertambah.Meski berusaha menutupi, aku tahu Salman salah tingkah mendengar ucapanku. Wajah putih bersihnya itu terlihat memerah hingga ke daun telinganya.“Aku tak sangka, hingga usia tua begini ternyata kamu masih saja mau mengikuti perintah papa untuk membuntutiku,” ujarku menyunggingkan senyum mir
“Tak kusangka ternyata kamu lebih bodoh dari yang kuduga.” Jawaban Salman membuat kedua alisku bertaut.“Kayaknya bukan seperti itu jawaban dari pertanyaanku,” ujarku menyipitkan mata. Salman tidak lagi menanggapi, tapi wajahnya terlihat aneh. Sulit kuartikan raut yang dia alihkan itu.Apa benar dia pernah menyukaiku? Tapi dulu kami tidak pernah begitu dekat. Memang dia selalu berada di sekitarku, namun keberadaannya seperti sebuah bayangan yang tidak terlihat olehku. Dia selalu ada di mana pun aku berada, memantau setiap detail yang aku lakukan bersama Mas Agus. Tentu saja tugas mengawasiku itu dilakukannya atas suruhan papa.Salman dulu tidak pernah sedekat ini denganku, jangankan untuk saling berbicara, aku panggil saja dia sudah menghilang.Aku mengetahui dia ditugaskan papa untuk mengawasiku kala itu tak sengaja mendengar ucapan mereka ketika aku datang ke kantor papa. Mereka berdua sedang berbincang serius sehingga tidak menyadari kedatanganku. “Sejauh pemantauan saya hanya it
Hatiku diselimuti kabut kesedihan membayangkan masa depanku tanpa Mas Agus. Jika bukan bersama Mas Agus, entah seperti apa kehidupan yang kujalani saat ini.Selama hidup 28 tahun ini, hanya ada dua orang pria yang mengisi hatiku, yaitu papa dan satu lagi Mas Agus. Ketika sekolah memang banyak pria yang menaruh hati padaku, tapi tidak satu pun yang kutanggapi. Mungkin jika papa nekat melarangku dulu menikah dengan Mas Agus, bisa saja hidupku lebih parah dari ini. Cintaku dulu bahkan hingga kini sudah tercurah hanya untuk Mas Agus seorang. Anak muda zaman kini menyebutnya bucin. Ya, saking bucinnya aku bahkan rela meninggalkan semua kemewahan serta kenyamanan yang menghiasi kehidupanku sebelumnya demi memperjuangkan cintaku bersama Mas Agus.“Dulu, Mas Agus sangat mencintaiku. Dia bahkan rela berpanas-panasan demi kami tetap bisa makan dan hidup nyaman.” Mulutku bereaksi sendiri mengeluarkan pembelaan terhadap suamiku. Sudah tugasku menjadi selimut bagi pasanganku. Selain itu, aku ing
Sepertinya sudah waktunya aku bergerak melawan Mas Agus. Dia sudah terlalu banyak menyakitiku, bahkan ternyata dia juga menyakiti orang tuaku.Meski sulit aku percaya cerita yang disampaikan Salman, tapi perilaku Mas Agus dan juga keluarganya seakan memperjelas itu semua.Apa lagi yang kutunggu? Sampai aku kehilangan salah satu orang tuaku?Tidak. Tidak. Aku tidak ingin kehilangan mereka, terlalu banyak kesalahan yang belum sempat kutebus pada mereka.“Apa kamu mau membantuku balas dendam pada Mas Agus?” Tanpa pikir panjang, permintaan itu lolos begitu saja melewati tenggorokanku.Mas Agus saja sudah tidak memedulikanku, lantas kenapa aku harus bertahan membelanya? “Itu gunanya aku jauh-jauh datang ke sini.” Jawaban Salman terdengar meyakinkan.Kehidupanku benar-benar menyedihkan sekali saat ini. Apalagi semenjak kepergian Mas Agus bersama Yuni untuk menikah. Selama tiga hari mereka pergi, selama itu pula aku tidak makan dan minum, benar-benar menyiksa diri sendiri.Ketika kebodoha
“Mbak Selvi, makan dulu sebelum pulang, ya.” Bidan Fitri kembali mengunjungiku satu jam kemudian. Dia datang sambil membawa nampan yang berisi dua piring nasi lengkap dengan lauknya.Piring tersebut kemudian dia berikan satu padaku, kemudian satu lagi dia berikan pada Salman.“Dimakan ya, Mas wartawan. Maaf, lauknya seadanya. Tidak seperti makanan di kota yang lezat-lezat,” ucap Bidan Fitri ketika mengulurkan piring berisi nasi tersebut pada Salman.“Nggak perlu repot begini, Bu Fit. Suruh aja aku pulang, nanti biar aku cari makan di sana,” ucapku sedikit sungkan dengan perhatian Bidan Fitri. Kebaikan bidan ini memang sudah terkenal seantero komplek.Meski begitu, nasi yang dia berikan tanpa sungkan masuk ke mulutku. Memang perutku sudah keroncongan sejak tadi, tapi aku tidak berani memberitahu Salman. Takut terlalu banyak merepotkannya.Apalagi aroma kalio ayam masakan Bidan Fitri tercium harum sekali. Langsung membangkitkan selera makanku.“Dihabiskan ya, Mbak Selvi. Anggap saja seb
“Cepat, Mbak! Cepat liat ke sana. Barusan, kedua anakmu yang berusaha melarang Yuni ular itu masuk ke dalam rumahmu,” imbuh Tika lagi.Dia bahkan belum sempat mengatur nafasnya yang tersengal ketika kembali melaporkan apa yang dilihatnya.Melihat pundak Tika yang naik turun saat bernapas membuat dadaku ikut sesak. Sepertinya dia berlari sepanjang jalan menuju ke sini.“Kamu tenang dulu, Tik. Coba ceritakan dengan pelan-pelan, apa yang terjadi di sana,” ucapku sambil mengajaknya untuk menarik napas. Kuusap kedua bahunya supaya tubuhnya menjadi lebih rileks.Bukannya aku tidak mendengar apa yang barusan disampaikannya, tapi aku ingin memastikan saja biar lebih jelas.“Itu ... suamimu sudah kembali bersama istri barunya, eeh, Yuni. Mereka sekarang berada di depan rumahmu. Mau masuk ke dalam, tapi di halangi anak-anak Mbak yang dibantu Mbak Jum.” Meski masih dengan napas tersengal, suara Tika sudah semakin jelas terdengar.“Apa? Mas Agus mau membawa Yuni ke rumahku?” tanyaku dengan peki