Aku berdecak kesal menyadari Salman yang berjalan di samping Rafni. ‘Dia pasti akan meledekku lagi,' ringisku membatin. Entah kenapa, bawaannya aku langsung emosi melihat wajah Salman mengingat dia yang mulai ikut campur dalam kehidupanku.“Itu Rafni sudah pulang, Mbak Sel.” Tika ikut menyadari kedatangan Rafni. “Wuaah, baik bener Mas wartawan, sampai belain jemput Rafni,” sambung Tika menegur Salman yang berada di samping Rafni.“Kasian liat anak orang clingak clinguk di depan gerbang sekolah mencari orang tuanya. Sementara bapaknya sudah sibuk dengan perempuan lain, sementara mamanya lagi stress mikirin kelakuan lakinya.” Salman ternyata mendengar ucapan Tika. Sindiran pria berpostur tinggi itu tepat menghunjam jantungku. Tanpa melihat pun aku yakin dia sedang tersenyum mengejek ke arahku.“Aku nggak pernah meminta kamu untuk menjemput anakku! Kalau tujuanmu menyelamatkan anak-anakku hanya untuk mengejekku, terima kasih banyak atas perhatian pura-puramu itu,” dengkusku meluapkan k
“Mbak Selvi, kamu bisa mengenalku?”Suara serta wajah Tika yang kulihat pertama kali. Mengapa pula dia harus bertanya seperti itu, pikirku. Tanpa melihat wajahnya pun aku sudah tahu kalau itu dia dari suaranya.“Seluruh wajahmu memenuhi penglihatanku, Tika. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalmu,” racauku terdengar sengau, seperti orang bangun tidur.Kenapa pula aku tertidur? Bukannya tadi aku berada di warung Mbak Jum? Rasa penasaran mulai berkecamuk di kepalaku. Tapi aku tidak bisa menemukan jawaban apa pun.kukerjapkan mata untuk menjernihkan penglihatan. Selain wajah Tika yang tampil penuh di depanku, aku berusaha mengenali tempatku terbaring saat ini, ruangannya terasa asing.Seingatku tadi sedang berbelanja di warung Mbak Jum. Entah kenapa aku bisa berujung terbaring di ruangan asing ini.“Kita berada di ruangan praktik Bidan Fitri. Tadi Mbak Selvi pingsan di warung Mbak Jum.” Tika sepertinya menyadari netraku yang melirik ke segala arah. Dia langsung menjelaskan tanpa aku bert
“Bisa nggak kamu nggak usah datang? Merusak mood aku aja mendengar ucapanmu itu,” dengkusku membuang muka mendapati Salman yang berdiri di depan pintu.“Apalagi melihat wajah menyebalkanmu itu. Rasanya dari semenjak zaman purba dulu kita sudah ditakdirkan untuk bermusuhan,” sambungku tapi dengan suara dipelankan. Biar bagaimana pun aku juga enggan mencari masalah terang-terangan.“Aku harus datang supaya pikiranmu itu terbuka. Nggak melulu cinta buta pada pria tak tau diri itu.” Dengan santainya dia berucap seperti itu sambil berjalan mendekatiku. Salman pun tidak peduli dengan Tika dan Bidan Fitri yang mendengar ucapannya.Tuh ‘kan, aku rasa mulutnya itu sudah disetel untuk selalu berucap ketus.“Aku rasa kamu di sini yang lebih tidak tahu diri, ikut campur dalam urusan rumah tangga orang. Memangnya kamu siapa?” Mulutku tak kalah pedas mencecarnya. Bukannya aku menutup mata atas bantuan Salman selama ini, tapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu memancing emosiku. Sepert
“Oh, oh. Aku baru ingat, pantas saja bawaannya aku pengen marah setiap ketemu kamu. Ternyata memang dari dulu kita sudah musuhan.” Di kepalaku seperti menyala sebuah bohlam, membuka semua tabir masa lalu ketika dulu aku sering melihat wajah itu sembunyi-sembunyi tak jauh dari tempatku nongkrong bersama Mas Agus.“Aku baru ingat, ternyata itu memang kamu!” sambungku ketika wajah Salman semakin jelas dalam ingatanku.Kuperhatikan Lamat wajah pria dengan garis rahang sedikit menonjol di depanku ini. Dalam hati aku merutuki diri yang tidak bisa mengenalnya lebih cepat. Jika aku sedikit teliti, wajahnya tidak terlalu banyak berubah, hanya guratan halus di dahinya yang menandakan usianya sudah bertambah.Meski berusaha menutupi, aku tahu Salman salah tingkah mendengar ucapanku. Wajah putih bersihnya itu terlihat memerah hingga ke daun telinganya.“Aku tak sangka, hingga usia tua begini ternyata kamu masih saja mau mengikuti perintah papa untuk membuntutiku,” ujarku menyunggingkan senyum mir
“Tak kusangka ternyata kamu lebih bodoh dari yang kuduga.” Jawaban Salman membuat kedua alisku bertaut.“Kayaknya bukan seperti itu jawaban dari pertanyaanku,” ujarku menyipitkan mata. Salman tidak lagi menanggapi, tapi wajahnya terlihat aneh. Sulit kuartikan raut yang dia alihkan itu.Apa benar dia pernah menyukaiku? Tapi dulu kami tidak pernah begitu dekat. Memang dia selalu berada di sekitarku, namun keberadaannya seperti sebuah bayangan yang tidak terlihat olehku. Dia selalu ada di mana pun aku berada, memantau setiap detail yang aku lakukan bersama Mas Agus. Tentu saja tugas mengawasiku itu dilakukannya atas suruhan papa.Salman dulu tidak pernah sedekat ini denganku, jangankan untuk saling berbicara, aku panggil saja dia sudah menghilang.Aku mengetahui dia ditugaskan papa untuk mengawasiku kala itu tak sengaja mendengar ucapan mereka ketika aku datang ke kantor papa. Mereka berdua sedang berbincang serius sehingga tidak menyadari kedatanganku. “Sejauh pemantauan saya hanya it
Hatiku diselimuti kabut kesedihan membayangkan masa depanku tanpa Mas Agus. Jika bukan bersama Mas Agus, entah seperti apa kehidupan yang kujalani saat ini.Selama hidup 28 tahun ini, hanya ada dua orang pria yang mengisi hatiku, yaitu papa dan satu lagi Mas Agus. Ketika sekolah memang banyak pria yang menaruh hati padaku, tapi tidak satu pun yang kutanggapi. Mungkin jika papa nekat melarangku dulu menikah dengan Mas Agus, bisa saja hidupku lebih parah dari ini. Cintaku dulu bahkan hingga kini sudah tercurah hanya untuk Mas Agus seorang. Anak muda zaman kini menyebutnya bucin. Ya, saking bucinnya aku bahkan rela meninggalkan semua kemewahan serta kenyamanan yang menghiasi kehidupanku sebelumnya demi memperjuangkan cintaku bersama Mas Agus.“Dulu, Mas Agus sangat mencintaiku. Dia bahkan rela berpanas-panasan demi kami tetap bisa makan dan hidup nyaman.” Mulutku bereaksi sendiri mengeluarkan pembelaan terhadap suamiku. Sudah tugasku menjadi selimut bagi pasanganku. Selain itu, aku ing
Sepertinya sudah waktunya aku bergerak melawan Mas Agus. Dia sudah terlalu banyak menyakitiku, bahkan ternyata dia juga menyakiti orang tuaku.Meski sulit aku percaya cerita yang disampaikan Salman, tapi perilaku Mas Agus dan juga keluarganya seakan memperjelas itu semua.Apa lagi yang kutunggu? Sampai aku kehilangan salah satu orang tuaku?Tidak. Tidak. Aku tidak ingin kehilangan mereka, terlalu banyak kesalahan yang belum sempat kutebus pada mereka.“Apa kamu mau membantuku balas dendam pada Mas Agus?” Tanpa pikir panjang, permintaan itu lolos begitu saja melewati tenggorokanku.Mas Agus saja sudah tidak memedulikanku, lantas kenapa aku harus bertahan membelanya? “Itu gunanya aku jauh-jauh datang ke sini.” Jawaban Salman terdengar meyakinkan.Kehidupanku benar-benar menyedihkan sekali saat ini. Apalagi semenjak kepergian Mas Agus bersama Yuni untuk menikah. Selama tiga hari mereka pergi, selama itu pula aku tidak makan dan minum, benar-benar menyiksa diri sendiri.Ketika kebodoha
“Mbak Selvi, makan dulu sebelum pulang, ya.” Bidan Fitri kembali mengunjungiku satu jam kemudian. Dia datang sambil membawa nampan yang berisi dua piring nasi lengkap dengan lauknya.Piring tersebut kemudian dia berikan satu padaku, kemudian satu lagi dia berikan pada Salman.“Dimakan ya, Mas wartawan. Maaf, lauknya seadanya. Tidak seperti makanan di kota yang lezat-lezat,” ucap Bidan Fitri ketika mengulurkan piring berisi nasi tersebut pada Salman.“Nggak perlu repot begini, Bu Fit. Suruh aja aku pulang, nanti biar aku cari makan di sana,” ucapku sedikit sungkan dengan perhatian Bidan Fitri. Kebaikan bidan ini memang sudah terkenal seantero komplek.Meski begitu, nasi yang dia berikan tanpa sungkan masuk ke mulutku. Memang perutku sudah keroncongan sejak tadi, tapi aku tidak berani memberitahu Salman. Takut terlalu banyak merepotkannya.Apalagi aroma kalio ayam masakan Bidan Fitri tercium harum sekali. Langsung membangkitkan selera makanku.“Dihabiskan ya, Mbak Selvi. Anggap saja seb
Tanpa menjelaskan apa-apa, Salman langsung memerintahkan dua orang pria berseragam polisi untuk menangkap Mas Agus.Bukan Mas Agus saja yang terlonjak kaget, aku pun heran mendapati Salman yang langsung membawa polisi masuk ke ruanganku, terlebih untuk menangkap Mas Agus, ayah dari anak-anakku.Dua orang polisi itu pun langsung bergerak sesuai perintah Salman mendekati Mas Agus yang tidak sempat melawan. Dengan gerakan sigap keduanya memegang tangan Mas Agus kemudian memborgolnya.. Mas Agus yang masih kaget tidak bisa berbuat apa-apa, terlihat pasrah ketika gelang besi itu sudah melingkar di pergelangan tangannya.“Ada apa ini, Salman? Kenapa kamu menyuruh polisi menangkap Mas Agus?” tanyaku heran. Protes lebih tepatnya, kenapa dia membuat keputusan sepihak begitu tanpa persetujuanku.Memang secara nyata hanya gelar CEO yang aku miliki, sementara semua pekerjaannya dia yang handle. Tapi tidak begini juga.Aku tahu Mas Agus telah banyak berbuat salah. Namun, di sisi lain dia salah
Ternyata perkenalan dengan para karyawan tidak semenakutkan yang aku bayangkan. Mereka menerimaku dengan sambutan yang meriah, meski masih ada beberapa pandangan tak suka yang kutangkap dari yang duduk di kursi bagian depan, yang kuduga mereka adalah para staf.Aku mencoba tak peduli dengan mereka yang tidak suka, toh masih banyak para karyawan yang menyambutku dengan baik. Aku anggap itu sebagai dukungan.“Lega akhirnya bisa berdiri memperkenalkan diri di hadapan mereka semua,” ucapku semringah pada Salman yang terus mendampingiku hingga acara selesai.Kini kami melangkah beriringan kembali ke ruanganku setelah acara selesai.Semenjak acara berlangsung tadi aku menahan diri supaya tidak berbicara dengannya. Padahal tanganku sudah bergerak-gerak ingin menyentuhnya untuk meluapkan kebahagiaan yang memuncak di dada. Tak ku pikirkan lagi Mas Agus yang sekarang entah berada di mana.Kebahagiaan ini hanya ingin kubagi dengan Salman saja.“Kamu kira menghadapi gerombolan monster sampa
Dalam perjalanan menuju ke perusahaan aku tidak berani bersuara. Aku hanya menjawab setiap tanya yang dilontarkan Salman. Wajah merah padamnya terus terngiang di benakku. Bagai mana jika dia melampiaskan kemarahannya padaku karena Mas Agus sudah tidak ada?“Kenapa diam saja? Tak suka suamimu aku bentak-bentak?” Terdengar Salman berbicara di sampingku.“Bukan gitu, aku hanya takut melihat rautmu, kayak ... siap menerkamku.” Jujur aku mengakui perasaan di hati. Biar saja dia beranggapan apa padaku.Terdengar lagi suara keluar dari mulut Salman, kali ini seperti dia sedang membuang napas. Kulihat dia memukul dadanya pelan.“Kenapa? Kamu sakit?” tanyaku berubah cemas.“Nggak, cuman terasa nyeri di sini.” Salman menekan dadanya dengan telapak tangan yang masih menempel di sana.Kecemasanku kian bertambah ketika melihat dia meringis menahan sakit. “Kita ke rumah sakit dulu aja kalau terlalu sakit. Aku nggak mau nanti terjadi apa-apa sama kamu,” pungkasku ikut mengernyit. Aku paling ti
Ceklek! Bam! Pintu bagian belakang terbuka lalu di tutup kembali, bersamaan dengan itu muncul penumpang lain di bagian belakang. Salman yang hendak menghidupkan mobil menjadi urung karena kaget dengan kedatangan penumpang tak diundang itu.Netranya beralih menatapku tajam, bisa kutebak dia ingin menuntut penjelasan padaku mengenai keberadaan Mas Agus bersama kami. Dia mungkin tidak tahu, jika pria yang masih bergelar suamiku itu semalam menginap di rumahku.Aku hanya mengangkat bahu sekilas sebelum berbalik pada Mas Agus.“Mas, kamu ngapain?” pekikku setengah tertahan melihat Mas Agus sudah duduk di bangku belakang. Kudengar geraman rendah keluar dari mulut Salman. Dia pasti kesal melihat penumpang gelap di belakang.“Mau pergi ke perusahaan bareng kamu,” jawab Mas Agus santai. Dia menyugar rambutnya yang masih setengah basah, entah apa maksudnya. Ingin terlihat keren di depan Salman kah? Atau ingin memanasi Salman.“Kamu bisa pergi sendiri, Mas. Nggak harus bareng denganku,” ucapku
Hampir meloncat jantungku mendengar ucapan Mas Agus yang berdiri di depan pintu.Dia bilang apa barusan? Memintaku untuk tidur sekamar dengannya? ‘Dasar laki-laki rakus! Tak akan pernah aku mau satu ranjang dengannya lagi!’ rutukku dalam hati.Bayangan dia bergumul penuh mesra dengan Yuni membuat perutku mual dan perasaan jijik memenuhi dada. Nggak akan pernah aku mau memakai cangkul yang sudah merambah di ladang orang lain, apalagi itu ladang milik Yuni. Najis!“Suaminya manggil tuh, Ma. Cepat temani sana, bukannya Mama yang mengizinkan dia tinggal di sini?” ujar Rafni menyindirku.Baru saja aku hendak menolak Mas Agus, tapi ucapan Rafni yang menohok langsung ke ulu hatiku membuat kuurung untuk bersuara.Jika kutolak Mas Agus sekarang di depan Rafni, dan Rafni juga menolakku tidur bersama mereka akan membuat posisiku tak menguntungkan. Bisa saja Mas Agus mengambil kesempatan untuk mendesakku supaya bisa tidur dengannya.Kupaksa otakku bekerja keras untuk memikirkan jalan keluarnya d
“Ngapain dia di sini, Ma? Mau apa lagi dia ke sini?” Pertanyaan tidak suka itu dilayangkan oleh Rafni begitu melihat Mas Agus rebahan di depan televisi saat dia pulang.Dia menyusulku ke kamar khusus untuk menanyakan keberadaan Mas Agus. Sementara adiknya langsung mengambil mainan baru yang diberikan Sonia. Dia tidak begitu peduli pada Rafni terdengar marah. “Nak, Papa masih orang tuamu, tidak baik kamu berucap seperti itu.” Aku menegur ucapannya yang menurutku kata-katanya tidak cocok keluar dari mulutnya sebagai anak. Sebenci apa pun dia terhadap salah satu orang tuanya, aku tetap tidak suka mendengar dia berucap tak sopan mengenai mereka. Cukup membenci saja.“Aku tidak mempunyai orang tua yang suka menyakiti, Ma. Aku cuma punya Mama.” Meninggi suara Rafni, dadanya terlihat naik turun saat dia harus mengatur napas bersamaan dengan meluapkan emosi yang membuncah di dada.“Mama tidak menyuruhnya ke sini. Tadi, ketika Mama masuk ke rumah Papamu sudah berada di sini sedang bermain den
“Ngapain di sini, Mas?” tanyaku kaget pada pria yang sudah lama tak kulihat itu.Di depanku, Mas Agus sedang bermain bersama Ayuni. Membuka perintilan mainan makeup yang tadi Sonia berikan.Tidak terlihat kaget dengan kedatanganku, Mas Agus tampak asyik mendengar ocehan Ayuni yang menjelaskan nama-nama alat makeup di tangannya.“Mas!” panggilku lagi. Sedikit membentak sehingga mampu mengalihkan perhatiannya. Salah sendiri, kenapa pura-pura budek.“Apa salahnya Mas pulang, Dek, ini kan rumah Mas juga.” Mas Agus mendongak sebentar ke arahku kemudian kembali meladeni Ayuni. Panggilannya itu, kembali memanggilku 'Dek' setelah beberapa waktu lalu terang-terangan membentakku dengan memanggil namaku demi membela istri mudanya.Dan, memang benar ini rumah dia, tapi sudah lama sekali dia tidak pulang ke sini. “Aku kira kamu sudah melupakan kami, Mas. Tampak tertutup matamu melihat jalan ke rumah belakangan ini,” sindirku. Ucapanku seperti tak masuk ke pendengaran Mas Agus, terlihat dia cuek
“Emm, Salman ... aku bukan gadis remaja yang bisa kamu gombalin seperti itu. Jadi aku mohon berhenti merayuku dengan kata-kata yang bisa membuatku salah paham.” Aku bukannya perempuan yang terlalu polos sehingga tidak mengerti maksud ucapan Salman. Hati setiap wanita kurasa pasti akan sama, akan tergoyah jika terus-menerus mendengar kalimat gombalan. Sekuatnya aku menahan diri untuk tidak tergoda pada Salman tetap saja pesonanya kadang tak mampu kulewatkan, terlebih dia seperti memberi angin segar padaku yang terlihat juga menaruh perasaan padaku.“Siapa yang bilang kamu gadis remaja? Kamu itu emak-emak beranak dua,” timpal Salman dengan wajah sok polosnya.“Bukan secara harfiah juga, Salman! Au ah, males ngomong sama kamu.” Aku mendengkus seraya membuang muka membelakanginya. Kudengar kekehan di belakang kepalaku.Setelahnya tercipta keheningan cukup lama di antara kami. Aku sedang sibuk menyusun kalimat yang bagus untuk mengutarakan niatku menjodohkan Salman kembali bersama Sonia.
Sonia yang sedang fokus mencatat produk skincare untuk kugunakan mendongak mendengar ucapanku.“Bantu apa?” tanyanya.Dari cara dia bertanya bisa kutangkap dia tak percaya dengan bantuan yang akan kuberikan. Jika dibandingkan aku dengannya, memang tidak meyakinkan sih aku bisa memberinya sesuatu. Bukan dilihat dari segi materi karena aku yakin Sonia bukan wanita penggila harta. Dengan keterampilan yang dia punya aja, dia sudah bisa bebas finansial.“Memang terdengar tidak meyakinkan sih, tapi sebagai imbalan atas kebaikanmu, aku akan berusaha membantumu sebisaku,” imbuhku serius. Terserah dia percaya atau tidak, tapi saat ini sedang bersungguh-sungguh.“Bantuannya ini apa dulu? Aku nggak meragukan kamu kok. Tapi aku harus tau kamu mau membantuku dari segi apa? Biar aku bisa menjelaskan apa saja yang harus kamu lakukan kalau benar-benar mau membantu,” balas Sonia terlihat serius, tapi setengah detik kemudian bibirnya merekah mengeluarkan kekehan lembut.“Bercanda ... apa pun yang akan