“Siapa, Tik? Mas Agus?” Aku kembali mendekati Tika untuk memastikan foto yang diperlihatkannya.Kusentak ponsel dari tangan Tika dengan kasar. Perasaanku sudah tak menentu lagi ketika mendengar nama Mas Agus disebut. Aku ingin melihat rupa suamiku itu dalam balutan gaun pengantin.“Auu, pelan-pelan dong, Mbak. Kalau jatuh ponselku gimana? Mampu Mbak ganti?” ringis Tika mengusap jemarinya. Tak sengaja kukuku menggores jemarinya ketika aku meraih ponselnya.'Jangankan ponsel macam beginian. Ponsel dengan merek apel tergigit pun mampu aku beli. Kalau minta ke papa,' ucapku membatin. Tapi bukan ini fokusku sekarang, aku tidak peduli dengan sikap Tika yang mulai lancang padaku.“Maaf, maaf, Tik. Aku penasaran liat foto Mas Agus.” Kata yang akhirnya keluar dari mulutku.“Penasaran sih penasaran, Mbak. Tapi hati-hati juga dong. Ponsel mahal aku tuh, 2 juta setengah aku beli. Kalau rusak, aku yakin Mbak nggak bakalan mampu beli.” Tika kembali mencecarku. Sekarang baru aku mengerti ucapannya
Aku berdecak kesal menyadari Salman yang berjalan di samping Rafni. ‘Dia pasti akan meledekku lagi,' ringisku membatin. Entah kenapa, bawaannya aku langsung emosi melihat wajah Salman mengingat dia yang mulai ikut campur dalam kehidupanku.“Itu Rafni sudah pulang, Mbak Sel.” Tika ikut menyadari kedatangan Rafni. “Wuaah, baik bener Mas wartawan, sampai belain jemput Rafni,” sambung Tika menegur Salman yang berada di samping Rafni.“Kasian liat anak orang clingak clinguk di depan gerbang sekolah mencari orang tuanya. Sementara bapaknya sudah sibuk dengan perempuan lain, sementara mamanya lagi stress mikirin kelakuan lakinya.” Salman ternyata mendengar ucapan Tika. Sindiran pria berpostur tinggi itu tepat menghunjam jantungku. Tanpa melihat pun aku yakin dia sedang tersenyum mengejek ke arahku.“Aku nggak pernah meminta kamu untuk menjemput anakku! Kalau tujuanmu menyelamatkan anak-anakku hanya untuk mengejekku, terima kasih banyak atas perhatian pura-puramu itu,” dengkusku meluapkan k
“Mbak Selvi, kamu bisa mengenalku?”Suara serta wajah Tika yang kulihat pertama kali. Mengapa pula dia harus bertanya seperti itu, pikirku. Tanpa melihat wajahnya pun aku sudah tahu kalau itu dia dari suaranya.“Seluruh wajahmu memenuhi penglihatanku, Tika. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalmu,” racauku terdengar sengau, seperti orang bangun tidur.Kenapa pula aku tertidur? Bukannya tadi aku berada di warung Mbak Jum? Rasa penasaran mulai berkecamuk di kepalaku. Tapi aku tidak bisa menemukan jawaban apa pun.kukerjapkan mata untuk menjernihkan penglihatan. Selain wajah Tika yang tampil penuh di depanku, aku berusaha mengenali tempatku terbaring saat ini, ruangannya terasa asing.Seingatku tadi sedang berbelanja di warung Mbak Jum. Entah kenapa aku bisa berujung terbaring di ruangan asing ini.“Kita berada di ruangan praktik Bidan Fitri. Tadi Mbak Selvi pingsan di warung Mbak Jum.” Tika sepertinya menyadari netraku yang melirik ke segala arah. Dia langsung menjelaskan tanpa aku bert
“Bisa nggak kamu nggak usah datang? Merusak mood aku aja mendengar ucapanmu itu,” dengkusku membuang muka mendapati Salman yang berdiri di depan pintu.“Apalagi melihat wajah menyebalkanmu itu. Rasanya dari semenjak zaman purba dulu kita sudah ditakdirkan untuk bermusuhan,” sambungku tapi dengan suara dipelankan. Biar bagaimana pun aku juga enggan mencari masalah terang-terangan.“Aku harus datang supaya pikiranmu itu terbuka. Nggak melulu cinta buta pada pria tak tau diri itu.” Dengan santainya dia berucap seperti itu sambil berjalan mendekatiku. Salman pun tidak peduli dengan Tika dan Bidan Fitri yang mendengar ucapannya.Tuh ‘kan, aku rasa mulutnya itu sudah disetel untuk selalu berucap ketus.“Aku rasa kamu di sini yang lebih tidak tahu diri, ikut campur dalam urusan rumah tangga orang. Memangnya kamu siapa?” Mulutku tak kalah pedas mencecarnya. Bukannya aku menutup mata atas bantuan Salman selama ini, tapi setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu memancing emosiku. Sepert
“Oh, oh. Aku baru ingat, pantas saja bawaannya aku pengen marah setiap ketemu kamu. Ternyata memang dari dulu kita sudah musuhan.” Di kepalaku seperti menyala sebuah bohlam, membuka semua tabir masa lalu ketika dulu aku sering melihat wajah itu sembunyi-sembunyi tak jauh dari tempatku nongkrong bersama Mas Agus.“Aku baru ingat, ternyata itu memang kamu!” sambungku ketika wajah Salman semakin jelas dalam ingatanku.Kuperhatikan Lamat wajah pria dengan garis rahang sedikit menonjol di depanku ini. Dalam hati aku merutuki diri yang tidak bisa mengenalnya lebih cepat. Jika aku sedikit teliti, wajahnya tidak terlalu banyak berubah, hanya guratan halus di dahinya yang menandakan usianya sudah bertambah.Meski berusaha menutupi, aku tahu Salman salah tingkah mendengar ucapanku. Wajah putih bersihnya itu terlihat memerah hingga ke daun telinganya.“Aku tak sangka, hingga usia tua begini ternyata kamu masih saja mau mengikuti perintah papa untuk membuntutiku,” ujarku menyunggingkan senyum mir
“Tak kusangka ternyata kamu lebih bodoh dari yang kuduga.” Jawaban Salman membuat kedua alisku bertaut.“Kayaknya bukan seperti itu jawaban dari pertanyaanku,” ujarku menyipitkan mata. Salman tidak lagi menanggapi, tapi wajahnya terlihat aneh. Sulit kuartikan raut yang dia alihkan itu.Apa benar dia pernah menyukaiku? Tapi dulu kami tidak pernah begitu dekat. Memang dia selalu berada di sekitarku, namun keberadaannya seperti sebuah bayangan yang tidak terlihat olehku. Dia selalu ada di mana pun aku berada, memantau setiap detail yang aku lakukan bersama Mas Agus. Tentu saja tugas mengawasiku itu dilakukannya atas suruhan papa.Salman dulu tidak pernah sedekat ini denganku, jangankan untuk saling berbicara, aku panggil saja dia sudah menghilang.Aku mengetahui dia ditugaskan papa untuk mengawasiku kala itu tak sengaja mendengar ucapan mereka ketika aku datang ke kantor papa. Mereka berdua sedang berbincang serius sehingga tidak menyadari kedatanganku. “Sejauh pemantauan saya hanya it
Hatiku diselimuti kabut kesedihan membayangkan masa depanku tanpa Mas Agus. Jika bukan bersama Mas Agus, entah seperti apa kehidupan yang kujalani saat ini.Selama hidup 28 tahun ini, hanya ada dua orang pria yang mengisi hatiku, yaitu papa dan satu lagi Mas Agus. Ketika sekolah memang banyak pria yang menaruh hati padaku, tapi tidak satu pun yang kutanggapi. Mungkin jika papa nekat melarangku dulu menikah dengan Mas Agus, bisa saja hidupku lebih parah dari ini. Cintaku dulu bahkan hingga kini sudah tercurah hanya untuk Mas Agus seorang. Anak muda zaman kini menyebutnya bucin. Ya, saking bucinnya aku bahkan rela meninggalkan semua kemewahan serta kenyamanan yang menghiasi kehidupanku sebelumnya demi memperjuangkan cintaku bersama Mas Agus.“Dulu, Mas Agus sangat mencintaiku. Dia bahkan rela berpanas-panasan demi kami tetap bisa makan dan hidup nyaman.” Mulutku bereaksi sendiri mengeluarkan pembelaan terhadap suamiku. Sudah tugasku menjadi selimut bagi pasanganku. Selain itu, aku ing
Sepertinya sudah waktunya aku bergerak melawan Mas Agus. Dia sudah terlalu banyak menyakitiku, bahkan ternyata dia juga menyakiti orang tuaku.Meski sulit aku percaya cerita yang disampaikan Salman, tapi perilaku Mas Agus dan juga keluarganya seakan memperjelas itu semua.Apa lagi yang kutunggu? Sampai aku kehilangan salah satu orang tuaku?Tidak. Tidak. Aku tidak ingin kehilangan mereka, terlalu banyak kesalahan yang belum sempat kutebus pada mereka.“Apa kamu mau membantuku balas dendam pada Mas Agus?” Tanpa pikir panjang, permintaan itu lolos begitu saja melewati tenggorokanku.Mas Agus saja sudah tidak memedulikanku, lantas kenapa aku harus bertahan membelanya? “Itu gunanya aku jauh-jauh datang ke sini.” Jawaban Salman terdengar meyakinkan.Kehidupanku benar-benar menyedihkan sekali saat ini. Apalagi semenjak kepergian Mas Agus bersama Yuni untuk menikah. Selama tiga hari mereka pergi, selama itu pula aku tidak makan dan minum, benar-benar menyiksa diri sendiri.Ketika kebodoha