Zoia melangkah pelan di sepanjang jalan raya. Ia terkejut ketika mendengar suara klakson dari kendaraan yang melintas di dekatnya. Padahal Zoia berjalan di trotoar, bukan di badan jalan.Bulir keringat mulai mengalir di pelipisnya. Maklum saja, saat itu matahari hampir berada di puncak kepala. Zoia bisa saja memesan taksi. Tapi ia pikir tanggung memesannya, belum lagi menunggunya akan menghabiskan banyak waktu. Andai saja ada seseorang yang lewat di saat-saat seperti ini dan memberinya tumpangan. Entah itu teman atau hanya sekadar kenalan.“Ck!” Zoia berdecak kesal ketika mendengar rentetan suara klakson yang ditujukan padanya. Paling itu hanya orang usil yang mau mengganggu.“Zoia!”Zoia merotasi bola matanya. Bersama dengan itu langkah kakinya memelan. Siapa yang mengenalinya di sini dan memanggil namanya?Zoia memandang ke kanan. Tampak sebuah sepeda motor sport hitam berhenti di dekatnya. Zoia tidak tahu dia siapa. Sampai pengendaranya yang memakai jaket kulit hitam membuka kaca h
Javas merasa agak risi ketika Rosella berdiri mengawasi di sebelahnya. Namun ia tetap memilih menerima telepon di sana.“Halo, Kin, ada apa?”“Siang, Pak. Bapak di mana?” Terdengar suara Kinar.“Lagi di rumah sakit.”“Oh, maaf, Pak. Siapa yang sakit?” Kinar menunjukkan kepeduliannya.“Kamu menelepon saya kenapa?” Javas tidak ingin menjawab pertanyaan itu dan langsung menanyakan maksud dan tujuan sang sekretaris.“Ada dokumen yang harus ditandatangani, Pak.”“Salinan tanda tangan saya masih kamu simpan kan?”“Ada sih, Pak, tapi itu kan tanda tangan digital. Dokumen yang ini harus pakai tanda tangan asli, Pak.”“Oh, begitu. Nanti saya usahakan ke kantor.” Javas menjawab sambil memandang arloji di pergelangan tangannya.“Nggak bisa nanti, Pak. Dokumen ini harus dikirim sekarang.” “Ya sudah, kalau begitu sebentar lagi saya ke sana,” jawab Javas memutuskan. Javas bisa saja menyuruh Kinar datang atau menyuruh orang untuk mengantar dokumen tersebut. Tapi ia lebih memilih untuk langsung data
Zoia duduk terpaku di sebelah Javas, sedangkan suaminya itu mengunci mulut sejak tadi, lebih tepatnya setelah masuk ke mobil.Peristiwa beberapa menit yang lalu masih melekat dengan jelas di benak Zoia. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Javas muncul dan menyeretnya dari motor Zach. Mereka sempat menjadi pusat atensi para pengguna jalan raya. Seharusnya Zoia tidak perlu lagi merasa heran mengingat sikap semena-mena lelaki itu selama ini. Tapi yang barusan terjadi benar-benar membuatnya syok.“Kita mau ke mana, Jav?” Zoia memberanikan diri untuk bertanya setelah sedari tadi hanya diam.“Kamu kenapa boncengan sama dia?” Javas membalas pertanyaan dengan pertanyaan dengan nada datar.“Sama Zach?”“Kamu pikir kita sedang membicarakan siapa?” Javas memandang kesal. Sudah sejak tadi ia menekan emosinya dalam-dalam.Zoia terbatuk menyadari pertanyaaan bodohnya. Berada di dekat Javas kadang membuatnya blank. Ia terlalu fokus pada pesona lelaki itu. Kenapa efeknya bisa sedahsyat ini?“Rencana
Sesuai ucapannya, selesai makan siang Javas mengajak Zoia ke kantor. Awalnya Zoia menolak dengan alasan ia juga memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi bukan Javas namanya jika tidak berhasil membuat Zoia menuruti keinginannya. Lagi pula setelah Zoia pikir-pikir waktunya bersama Javas bisa dihitung dengan jari. Nanti Javas akan pergi dan menginap di rumah sakit. Membayangkan hal tersebut tanpa sadar Zoia mengembuskan napasnya. Entah bagaimana caranya melalui malam nanti tanpa Javas di sisinya. Zoia sudah mulai terbiasa tidur dalam pelukan laki-laki itu.Mungkin embusan napas Zoia terlalu keras sehingga membuat Javas memandang padanya.“Kenapa, Zoi?” “Nggak apa-apa.” Zoia sengaja berdusta menyembunyikan kerisauan hatinya jauh-jauh.“Bu Zoia cantik banget, Bu, bunganya juga.” Kinar menyapa ketika mereka tiba di kantor Javas.Zoia baru sadar kembang sepatu yang tadi disisipkan Javas masih berada di telinganya. Lantas Zoia mengambil bunga itu dan menyimpannya di dalam tas.“Past
Hari ini tepat dua malam Zoia tidur sendiri. Selama itu pula Javas tidak pulang ke rumah. Pertemuan terakhir mereka adalah sore itu ketika Javas mengajak ke kantornya. Setelah mereka berdebat, Javas akhirnya membiarkan Zoia kembali ke kantornya sendiri.Dan kini, Zoia begitu merindukan Javas. Malam-malamnya terasa dingin tanpa dekapan lelaki itu meskipun Zoia sudah mematikan pendingin udara.Zoia berguling sendiri di atas ranjang besarnya. Kasur empuk tempatnya membaringkan badan saat ini tidak lagi terasa nyaman. Zoia juga sudah mencoba berbagai posisi tidur agar segera terlelap. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, telentang hingga tengkurap. Namun tidak satu pun dari posisi tersebut yang mampu membuat matanya terpejam.“Arrrggg!!!” Zoia berteriak kesal lalu bangun dari berbaring. Ia menyandarkan punggungnya ke headboard sambil memandang tepat ke arah nakas, tempat di mana ponselnya berada.Zoia menjangkaunya. Selama beberapa saat ia menggenggamnya. Rasa rindu ini sudah tidak mampu
Javas bangkit dari tempat tidur, lalu berdiri dan menarik langkah menghampiri Zoia. Ia berdiri tepat di hadapan istrinya itu. Dua hari tidak bertemu dengan Zoia Javas merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Bukan. Ini bukanlah mengenai hubungan intim. Javas tidak mengerti dan tidak mampu mendefinisikannya.Entah mengapa melihat tetes air yang jatuh dari rambut perempuan itu dan menitik ke pundaknya membuat Zoia terlihat seksi.Javas mengulurkan tangannya untuk menyentuh Zoia. Namun cepat ditepis perempuan itu.“Jangan sekali pun pernah menyentuhku!” Zoia memundurkan tubuh ke belakang seraya mengangkat tangannya memberi peringatan.Dahi Javas berkerut spontan karena sikap yang ditunjukkan Zoia. Kenapa tiba-tiba istrinya itu bersikap denial? Ada apa ini? Apa yang terjadi sehingga Zoia marah?“Kamu kenapa, Zoi? Kenapa jadi begini? Salahku apa memangnya?” Ia bertanya heran. Biasanya Zoia tidak pernah menolak sentuhan sekecil apa pun.‘Masih berani bertanya salahnya apa? Dasar nggak punya p
“Kusut banget muka lo, kenapa?” Khanza yang baru masuk ke ruangan Zoia langsung bertanya setelah duduk di kursi yang terletak tepat di hadapannya.“Nggak ada apa-apa.” Zoia menjawab setelah memandang ke arah Khanza sekilas. Lalu kembali mengembalikan konsentrasi pada laptop yang berada di hadapannya. Tadi Zoia sedang berselancar di dunia maya, melihat-lihat desain undangan pernikahan yang bagus.“Bohong.” Khanza mencebik tak percaya. Bersahabat sekian lama, Khanza jadi mengenal Zoia luar dan dalam. Tidak mungkin muka Zoia sampai ditekuk kalau tidak ada apa-apa. “Jadi sekarang ceritanya lo udah pake rahasia-rahasiaan sama gue?”Zoia terpaksa mengalihkan mata dari layar laptop ketika mendengar nada merajuk dalam suara Khanza.“Gue berantem sama Javas.”“Kenapa?” Khanza bertanya antusias.Embusan napas berat meluncur keluar dari mulut Zoia. Perlahan ingatannya mereka ulang kejadian tadi pagi yang menyakitkan hatinya.“Gue sebel, dia cuma jadiin gue buat pelampiasan nafsu doang. Coba lo b
Zoia memundurkan badan, menjaga jarak dari Javas sebagai bentuk perlindungan diri. Tidak cukup dengan mengejutkannya dengan masuk tiba-tiba, tapi lelaki itu juga mengagetkannya dengan perlakuannya tadi.“Siapa yang suruh kamu masuk?” Seingat Zoia baru beberapa menit yang lalu ia mengatakan pada resepsionis tidak ingin bertemu dengan Javas.“Nggak ada. Kamu nggak mau ketemu sama aku, resepsionis kantormu juga nggak kasih izin. Tapi hati kecilku yang minta aku buat ke sini.” Javas menjawab sambil menatap Zoia dengan lembut dan mengulum senyum mesra. Javas tahu, biasanya Zoia akan luluh karena senyum mautnya. Namun ternyata kali ini dugaannya meleset. Zoia tidak terpengaruh.“Oh, jadi kamu masih punya hati. Aku pikir buaya kayak kamu nggak punya hati, adanya empedu.”Javas tertawa keras mendengar kalimat bernada ketus itu. “Apa kamu bilang? Buaya? Tapi walau buaya gini kamu tetap cinta kan?” Javas mengangkat alis menggoda perempuan di hadapannya.“Ih, najis!” Zoia mengumpat pelan sambil