Setelah mereka bicara dari hati ke hati atau lebih tepatnya setelah Javas bicara terbuka padanya, Zoia menjadi jauh lebih ringan. Ia merasa memiliki peluang untuk mempertahankan hubungannya lebih lama dengan Javas. Tapi Zoia tidak ingin berharap terlalu banyak. Walau bagaimanapun perempuan yang dicintai Javas adalah Prilly, bukan dirinya. Sedangkan ketika Zoia bertanya apa arti dirinya, Javas tidak mampu menjelaskan selain mengatakan bahwa statusnya hanyalah sekadar seorang istri. Tidak lebih. "Kamu nggak usah berharap apa-apa dari hubungan kita. Apa pun yang sudah kita lakukan, tapi aku nggak cinta sama kamu, aku nggak ada perasaan apa-apa." Itu yang dikatakan Javas tadi.Zoia mencatat di benaknya semua perkataan Javas agar ia tidak lupa diri dan terbuai oleh pesona lelaki itu.“Biar aku yang antar kamu ke kantor,” ucap Javas setelah mereka berdua selesai mandi.“Aku bisa sendiri,” jawab Zoia menolak.“Kenapa nggak mau? Kamu ada janji sama Zach? Dia yang bakal jemput kamu dan kalian
Zoia melangkah pelan di sepanjang jalan raya. Ia terkejut ketika mendengar suara klakson dari kendaraan yang melintas di dekatnya. Padahal Zoia berjalan di trotoar, bukan di badan jalan.Bulir keringat mulai mengalir di pelipisnya. Maklum saja, saat itu matahari hampir berada di puncak kepala. Zoia bisa saja memesan taksi. Tapi ia pikir tanggung memesannya, belum lagi menunggunya akan menghabiskan banyak waktu. Andai saja ada seseorang yang lewat di saat-saat seperti ini dan memberinya tumpangan. Entah itu teman atau hanya sekadar kenalan.“Ck!” Zoia berdecak kesal ketika mendengar rentetan suara klakson yang ditujukan padanya. Paling itu hanya orang usil yang mau mengganggu.“Zoia!”Zoia merotasi bola matanya. Bersama dengan itu langkah kakinya memelan. Siapa yang mengenalinya di sini dan memanggil namanya?Zoia memandang ke kanan. Tampak sebuah sepeda motor sport hitam berhenti di dekatnya. Zoia tidak tahu dia siapa. Sampai pengendaranya yang memakai jaket kulit hitam membuka kaca h
Javas merasa agak risi ketika Rosella berdiri mengawasi di sebelahnya. Namun ia tetap memilih menerima telepon di sana.“Halo, Kin, ada apa?”“Siang, Pak. Bapak di mana?” Terdengar suara Kinar.“Lagi di rumah sakit.”“Oh, maaf, Pak. Siapa yang sakit?” Kinar menunjukkan kepeduliannya.“Kamu menelepon saya kenapa?” Javas tidak ingin menjawab pertanyaan itu dan langsung menanyakan maksud dan tujuan sang sekretaris.“Ada dokumen yang harus ditandatangani, Pak.”“Salinan tanda tangan saya masih kamu simpan kan?”“Ada sih, Pak, tapi itu kan tanda tangan digital. Dokumen yang ini harus pakai tanda tangan asli, Pak.”“Oh, begitu. Nanti saya usahakan ke kantor.” Javas menjawab sambil memandang arloji di pergelangan tangannya.“Nggak bisa nanti, Pak. Dokumen ini harus dikirim sekarang.” “Ya sudah, kalau begitu sebentar lagi saya ke sana,” jawab Javas memutuskan. Javas bisa saja menyuruh Kinar datang atau menyuruh orang untuk mengantar dokumen tersebut. Tapi ia lebih memilih untuk langsung data
Zoia duduk terpaku di sebelah Javas, sedangkan suaminya itu mengunci mulut sejak tadi, lebih tepatnya setelah masuk ke mobil.Peristiwa beberapa menit yang lalu masih melekat dengan jelas di benak Zoia. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Javas muncul dan menyeretnya dari motor Zach. Mereka sempat menjadi pusat atensi para pengguna jalan raya. Seharusnya Zoia tidak perlu lagi merasa heran mengingat sikap semena-mena lelaki itu selama ini. Tapi yang barusan terjadi benar-benar membuatnya syok.“Kita mau ke mana, Jav?” Zoia memberanikan diri untuk bertanya setelah sedari tadi hanya diam.“Kamu kenapa boncengan sama dia?” Javas membalas pertanyaan dengan pertanyaan dengan nada datar.“Sama Zach?”“Kamu pikir kita sedang membicarakan siapa?” Javas memandang kesal. Sudah sejak tadi ia menekan emosinya dalam-dalam.Zoia terbatuk menyadari pertanyaaan bodohnya. Berada di dekat Javas kadang membuatnya blank. Ia terlalu fokus pada pesona lelaki itu. Kenapa efeknya bisa sedahsyat ini?“Rencana
Sesuai ucapannya, selesai makan siang Javas mengajak Zoia ke kantor. Awalnya Zoia menolak dengan alasan ia juga memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi bukan Javas namanya jika tidak berhasil membuat Zoia menuruti keinginannya. Lagi pula setelah Zoia pikir-pikir waktunya bersama Javas bisa dihitung dengan jari. Nanti Javas akan pergi dan menginap di rumah sakit. Membayangkan hal tersebut tanpa sadar Zoia mengembuskan napasnya. Entah bagaimana caranya melalui malam nanti tanpa Javas di sisinya. Zoia sudah mulai terbiasa tidur dalam pelukan laki-laki itu.Mungkin embusan napas Zoia terlalu keras sehingga membuat Javas memandang padanya.“Kenapa, Zoi?” “Nggak apa-apa.” Zoia sengaja berdusta menyembunyikan kerisauan hatinya jauh-jauh.“Bu Zoia cantik banget, Bu, bunganya juga.” Kinar menyapa ketika mereka tiba di kantor Javas.Zoia baru sadar kembang sepatu yang tadi disisipkan Javas masih berada di telinganya. Lantas Zoia mengambil bunga itu dan menyimpannya di dalam tas.“Past
Hari ini tepat dua malam Zoia tidur sendiri. Selama itu pula Javas tidak pulang ke rumah. Pertemuan terakhir mereka adalah sore itu ketika Javas mengajak ke kantornya. Setelah mereka berdebat, Javas akhirnya membiarkan Zoia kembali ke kantornya sendiri.Dan kini, Zoia begitu merindukan Javas. Malam-malamnya terasa dingin tanpa dekapan lelaki itu meskipun Zoia sudah mematikan pendingin udara.Zoia berguling sendiri di atas ranjang besarnya. Kasur empuk tempatnya membaringkan badan saat ini tidak lagi terasa nyaman. Zoia juga sudah mencoba berbagai posisi tidur agar segera terlelap. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, telentang hingga tengkurap. Namun tidak satu pun dari posisi tersebut yang mampu membuat matanya terpejam.“Arrrggg!!!” Zoia berteriak kesal lalu bangun dari berbaring. Ia menyandarkan punggungnya ke headboard sambil memandang tepat ke arah nakas, tempat di mana ponselnya berada.Zoia menjangkaunya. Selama beberapa saat ia menggenggamnya. Rasa rindu ini sudah tidak mampu
Javas bangkit dari tempat tidur, lalu berdiri dan menarik langkah menghampiri Zoia. Ia berdiri tepat di hadapan istrinya itu. Dua hari tidak bertemu dengan Zoia Javas merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Bukan. Ini bukanlah mengenai hubungan intim. Javas tidak mengerti dan tidak mampu mendefinisikannya.Entah mengapa melihat tetes air yang jatuh dari rambut perempuan itu dan menitik ke pundaknya membuat Zoia terlihat seksi.Javas mengulurkan tangannya untuk menyentuh Zoia. Namun cepat ditepis perempuan itu.“Jangan sekali pun pernah menyentuhku!” Zoia memundurkan tubuh ke belakang seraya mengangkat tangannya memberi peringatan.Dahi Javas berkerut spontan karena sikap yang ditunjukkan Zoia. Kenapa tiba-tiba istrinya itu bersikap denial? Ada apa ini? Apa yang terjadi sehingga Zoia marah?“Kamu kenapa, Zoi? Kenapa jadi begini? Salahku apa memangnya?” Ia bertanya heran. Biasanya Zoia tidak pernah menolak sentuhan sekecil apa pun.‘Masih berani bertanya salahnya apa? Dasar nggak punya p
“Kusut banget muka lo, kenapa?” Khanza yang baru masuk ke ruangan Zoia langsung bertanya setelah duduk di kursi yang terletak tepat di hadapannya.“Nggak ada apa-apa.” Zoia menjawab setelah memandang ke arah Khanza sekilas. Lalu kembali mengembalikan konsentrasi pada laptop yang berada di hadapannya. Tadi Zoia sedang berselancar di dunia maya, melihat-lihat desain undangan pernikahan yang bagus.“Bohong.” Khanza mencebik tak percaya. Bersahabat sekian lama, Khanza jadi mengenal Zoia luar dan dalam. Tidak mungkin muka Zoia sampai ditekuk kalau tidak ada apa-apa. “Jadi sekarang ceritanya lo udah pake rahasia-rahasiaan sama gue?”Zoia terpaksa mengalihkan mata dari layar laptop ketika mendengar nada merajuk dalam suara Khanza.“Gue berantem sama Javas.”“Kenapa?” Khanza bertanya antusias.Embusan napas berat meluncur keluar dari mulut Zoia. Perlahan ingatannya mereka ulang kejadian tadi pagi yang menyakitkan hatinya.“Gue sebel, dia cuma jadiin gue buat pelampiasan nafsu doang. Coba lo b
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.