"Jav, aku mau ke kantor.” Zoia menahan dada Javas agar tidak menyentuhnya.“Apa aku harus mengingatkanmu lagi kalau kita sama-sama owner?” balas Javas tidak ingin mengalah. “Jangan katakan kalau kamu ada janji sama klien lagi. Apa itu yang lebih penting?”“Tapi aku masih ngerasa sakit …”“Kan sudah aku bilang, pertama, kedua dan ketiga memang sakit. Biar sakitnya cepat hilang kita harus sering-sering melakukannya. Okay?”Zoia meneguk saliva menyadari ia tidak bisa membantah. Ia hanya bisa pasrah menuruti keinginan Javas. Bukankah tadi hatinya ingin mengukir kisah manis itu?Pada akhirnya Zoia mengizinkan Javas melakukannya. Meski masih terasa perih namun Zoia mencoba menikmatinya. Senyum lembut dan tatapan super mesra lelaki itu menjadi penawar rasa sakit yang dirasakannya.Zoia mendekap erat tubuh Javas ketika mereka sama-sama mencapai pelepasan. Namun ia mengendus aroma amber dari tengkuk Javas ketika pria itu merebahkan kepala di dadanya. Seketika Zoia menjauhkan hidung.“Kamu ken
Setelah mereka bicara dari hati ke hati atau lebih tepatnya setelah Javas bicara terbuka padanya, Zoia menjadi jauh lebih ringan. Ia merasa memiliki peluang untuk mempertahankan hubungannya lebih lama dengan Javas. Tapi Zoia tidak ingin berharap terlalu banyak. Walau bagaimanapun perempuan yang dicintai Javas adalah Prilly, bukan dirinya. Sedangkan ketika Zoia bertanya apa arti dirinya, Javas tidak mampu menjelaskan selain mengatakan bahwa statusnya hanyalah sekadar seorang istri. Tidak lebih. "Kamu nggak usah berharap apa-apa dari hubungan kita. Apa pun yang sudah kita lakukan, tapi aku nggak cinta sama kamu, aku nggak ada perasaan apa-apa." Itu yang dikatakan Javas tadi.Zoia mencatat di benaknya semua perkataan Javas agar ia tidak lupa diri dan terbuai oleh pesona lelaki itu.“Biar aku yang antar kamu ke kantor,” ucap Javas setelah mereka berdua selesai mandi.“Aku bisa sendiri,” jawab Zoia menolak.“Kenapa nggak mau? Kamu ada janji sama Zach? Dia yang bakal jemput kamu dan kalian
Zoia melangkah pelan di sepanjang jalan raya. Ia terkejut ketika mendengar suara klakson dari kendaraan yang melintas di dekatnya. Padahal Zoia berjalan di trotoar, bukan di badan jalan.Bulir keringat mulai mengalir di pelipisnya. Maklum saja, saat itu matahari hampir berada di puncak kepala. Zoia bisa saja memesan taksi. Tapi ia pikir tanggung memesannya, belum lagi menunggunya akan menghabiskan banyak waktu. Andai saja ada seseorang yang lewat di saat-saat seperti ini dan memberinya tumpangan. Entah itu teman atau hanya sekadar kenalan.“Ck!” Zoia berdecak kesal ketika mendengar rentetan suara klakson yang ditujukan padanya. Paling itu hanya orang usil yang mau mengganggu.“Zoia!”Zoia merotasi bola matanya. Bersama dengan itu langkah kakinya memelan. Siapa yang mengenalinya di sini dan memanggil namanya?Zoia memandang ke kanan. Tampak sebuah sepeda motor sport hitam berhenti di dekatnya. Zoia tidak tahu dia siapa. Sampai pengendaranya yang memakai jaket kulit hitam membuka kaca h
Javas merasa agak risi ketika Rosella berdiri mengawasi di sebelahnya. Namun ia tetap memilih menerima telepon di sana.“Halo, Kin, ada apa?”“Siang, Pak. Bapak di mana?” Terdengar suara Kinar.“Lagi di rumah sakit.”“Oh, maaf, Pak. Siapa yang sakit?” Kinar menunjukkan kepeduliannya.“Kamu menelepon saya kenapa?” Javas tidak ingin menjawab pertanyaan itu dan langsung menanyakan maksud dan tujuan sang sekretaris.“Ada dokumen yang harus ditandatangani, Pak.”“Salinan tanda tangan saya masih kamu simpan kan?”“Ada sih, Pak, tapi itu kan tanda tangan digital. Dokumen yang ini harus pakai tanda tangan asli, Pak.”“Oh, begitu. Nanti saya usahakan ke kantor.” Javas menjawab sambil memandang arloji di pergelangan tangannya.“Nggak bisa nanti, Pak. Dokumen ini harus dikirim sekarang.” “Ya sudah, kalau begitu sebentar lagi saya ke sana,” jawab Javas memutuskan. Javas bisa saja menyuruh Kinar datang atau menyuruh orang untuk mengantar dokumen tersebut. Tapi ia lebih memilih untuk langsung data
Zoia duduk terpaku di sebelah Javas, sedangkan suaminya itu mengunci mulut sejak tadi, lebih tepatnya setelah masuk ke mobil.Peristiwa beberapa menit yang lalu masih melekat dengan jelas di benak Zoia. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Javas muncul dan menyeretnya dari motor Zach. Mereka sempat menjadi pusat atensi para pengguna jalan raya. Seharusnya Zoia tidak perlu lagi merasa heran mengingat sikap semena-mena lelaki itu selama ini. Tapi yang barusan terjadi benar-benar membuatnya syok.“Kita mau ke mana, Jav?” Zoia memberanikan diri untuk bertanya setelah sedari tadi hanya diam.“Kamu kenapa boncengan sama dia?” Javas membalas pertanyaan dengan pertanyaan dengan nada datar.“Sama Zach?”“Kamu pikir kita sedang membicarakan siapa?” Javas memandang kesal. Sudah sejak tadi ia menekan emosinya dalam-dalam.Zoia terbatuk menyadari pertanyaaan bodohnya. Berada di dekat Javas kadang membuatnya blank. Ia terlalu fokus pada pesona lelaki itu. Kenapa efeknya bisa sedahsyat ini?“Rencana
Sesuai ucapannya, selesai makan siang Javas mengajak Zoia ke kantor. Awalnya Zoia menolak dengan alasan ia juga memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi bukan Javas namanya jika tidak berhasil membuat Zoia menuruti keinginannya. Lagi pula setelah Zoia pikir-pikir waktunya bersama Javas bisa dihitung dengan jari. Nanti Javas akan pergi dan menginap di rumah sakit. Membayangkan hal tersebut tanpa sadar Zoia mengembuskan napasnya. Entah bagaimana caranya melalui malam nanti tanpa Javas di sisinya. Zoia sudah mulai terbiasa tidur dalam pelukan laki-laki itu.Mungkin embusan napas Zoia terlalu keras sehingga membuat Javas memandang padanya.“Kenapa, Zoi?” “Nggak apa-apa.” Zoia sengaja berdusta menyembunyikan kerisauan hatinya jauh-jauh.“Bu Zoia cantik banget, Bu, bunganya juga.” Kinar menyapa ketika mereka tiba di kantor Javas.Zoia baru sadar kembang sepatu yang tadi disisipkan Javas masih berada di telinganya. Lantas Zoia mengambil bunga itu dan menyimpannya di dalam tas.“Past
Hari ini tepat dua malam Zoia tidur sendiri. Selama itu pula Javas tidak pulang ke rumah. Pertemuan terakhir mereka adalah sore itu ketika Javas mengajak ke kantornya. Setelah mereka berdebat, Javas akhirnya membiarkan Zoia kembali ke kantornya sendiri.Dan kini, Zoia begitu merindukan Javas. Malam-malamnya terasa dingin tanpa dekapan lelaki itu meskipun Zoia sudah mematikan pendingin udara.Zoia berguling sendiri di atas ranjang besarnya. Kasur empuk tempatnya membaringkan badan saat ini tidak lagi terasa nyaman. Zoia juga sudah mencoba berbagai posisi tidur agar segera terlelap. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, telentang hingga tengkurap. Namun tidak satu pun dari posisi tersebut yang mampu membuat matanya terpejam.“Arrrggg!!!” Zoia berteriak kesal lalu bangun dari berbaring. Ia menyandarkan punggungnya ke headboard sambil memandang tepat ke arah nakas, tempat di mana ponselnya berada.Zoia menjangkaunya. Selama beberapa saat ia menggenggamnya. Rasa rindu ini sudah tidak mampu
Javas bangkit dari tempat tidur, lalu berdiri dan menarik langkah menghampiri Zoia. Ia berdiri tepat di hadapan istrinya itu. Dua hari tidak bertemu dengan Zoia Javas merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Bukan. Ini bukanlah mengenai hubungan intim. Javas tidak mengerti dan tidak mampu mendefinisikannya.Entah mengapa melihat tetes air yang jatuh dari rambut perempuan itu dan menitik ke pundaknya membuat Zoia terlihat seksi.Javas mengulurkan tangannya untuk menyentuh Zoia. Namun cepat ditepis perempuan itu.“Jangan sekali pun pernah menyentuhku!” Zoia memundurkan tubuh ke belakang seraya mengangkat tangannya memberi peringatan.Dahi Javas berkerut spontan karena sikap yang ditunjukkan Zoia. Kenapa tiba-tiba istrinya itu bersikap denial? Ada apa ini? Apa yang terjadi sehingga Zoia marah?“Kamu kenapa, Zoi? Kenapa jadi begini? Salahku apa memangnya?” Ia bertanya heran. Biasanya Zoia tidak pernah menolak sentuhan sekecil apa pun.‘Masih berani bertanya salahnya apa? Dasar nggak punya p