Sesuai ucapannya, selesai makan siang Javas mengajak Zoia ke kantor. Awalnya Zoia menolak dengan alasan ia juga memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan. Tapi bukan Javas namanya jika tidak berhasil membuat Zoia menuruti keinginannya. Lagi pula setelah Zoia pikir-pikir waktunya bersama Javas bisa dihitung dengan jari. Nanti Javas akan pergi dan menginap di rumah sakit. Membayangkan hal tersebut tanpa sadar Zoia mengembuskan napasnya. Entah bagaimana caranya melalui malam nanti tanpa Javas di sisinya. Zoia sudah mulai terbiasa tidur dalam pelukan laki-laki itu.Mungkin embusan napas Zoia terlalu keras sehingga membuat Javas memandang padanya.“Kenapa, Zoi?” “Nggak apa-apa.” Zoia sengaja berdusta menyembunyikan kerisauan hatinya jauh-jauh.“Bu Zoia cantik banget, Bu, bunganya juga.” Kinar menyapa ketika mereka tiba di kantor Javas.Zoia baru sadar kembang sepatu yang tadi disisipkan Javas masih berada di telinganya. Lantas Zoia mengambil bunga itu dan menyimpannya di dalam tas.“Past
Hari ini tepat dua malam Zoia tidur sendiri. Selama itu pula Javas tidak pulang ke rumah. Pertemuan terakhir mereka adalah sore itu ketika Javas mengajak ke kantornya. Setelah mereka berdebat, Javas akhirnya membiarkan Zoia kembali ke kantornya sendiri.Dan kini, Zoia begitu merindukan Javas. Malam-malamnya terasa dingin tanpa dekapan lelaki itu meskipun Zoia sudah mematikan pendingin udara.Zoia berguling sendiri di atas ranjang besarnya. Kasur empuk tempatnya membaringkan badan saat ini tidak lagi terasa nyaman. Zoia juga sudah mencoba berbagai posisi tidur agar segera terlelap. Mulai dari miring ke kanan, ke kiri, telentang hingga tengkurap. Namun tidak satu pun dari posisi tersebut yang mampu membuat matanya terpejam.“Arrrggg!!!” Zoia berteriak kesal lalu bangun dari berbaring. Ia menyandarkan punggungnya ke headboard sambil memandang tepat ke arah nakas, tempat di mana ponselnya berada.Zoia menjangkaunya. Selama beberapa saat ia menggenggamnya. Rasa rindu ini sudah tidak mampu
Javas bangkit dari tempat tidur, lalu berdiri dan menarik langkah menghampiri Zoia. Ia berdiri tepat di hadapan istrinya itu. Dua hari tidak bertemu dengan Zoia Javas merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Bukan. Ini bukanlah mengenai hubungan intim. Javas tidak mengerti dan tidak mampu mendefinisikannya.Entah mengapa melihat tetes air yang jatuh dari rambut perempuan itu dan menitik ke pundaknya membuat Zoia terlihat seksi.Javas mengulurkan tangannya untuk menyentuh Zoia. Namun cepat ditepis perempuan itu.“Jangan sekali pun pernah menyentuhku!” Zoia memundurkan tubuh ke belakang seraya mengangkat tangannya memberi peringatan.Dahi Javas berkerut spontan karena sikap yang ditunjukkan Zoia. Kenapa tiba-tiba istrinya itu bersikap denial? Ada apa ini? Apa yang terjadi sehingga Zoia marah?“Kamu kenapa, Zoi? Kenapa jadi begini? Salahku apa memangnya?” Ia bertanya heran. Biasanya Zoia tidak pernah menolak sentuhan sekecil apa pun.‘Masih berani bertanya salahnya apa? Dasar nggak punya p
“Kusut banget muka lo, kenapa?” Khanza yang baru masuk ke ruangan Zoia langsung bertanya setelah duduk di kursi yang terletak tepat di hadapannya.“Nggak ada apa-apa.” Zoia menjawab setelah memandang ke arah Khanza sekilas. Lalu kembali mengembalikan konsentrasi pada laptop yang berada di hadapannya. Tadi Zoia sedang berselancar di dunia maya, melihat-lihat desain undangan pernikahan yang bagus.“Bohong.” Khanza mencebik tak percaya. Bersahabat sekian lama, Khanza jadi mengenal Zoia luar dan dalam. Tidak mungkin muka Zoia sampai ditekuk kalau tidak ada apa-apa. “Jadi sekarang ceritanya lo udah pake rahasia-rahasiaan sama gue?”Zoia terpaksa mengalihkan mata dari layar laptop ketika mendengar nada merajuk dalam suara Khanza.“Gue berantem sama Javas.”“Kenapa?” Khanza bertanya antusias.Embusan napas berat meluncur keluar dari mulut Zoia. Perlahan ingatannya mereka ulang kejadian tadi pagi yang menyakitkan hatinya.“Gue sebel, dia cuma jadiin gue buat pelampiasan nafsu doang. Coba lo b
Zoia memundurkan badan, menjaga jarak dari Javas sebagai bentuk perlindungan diri. Tidak cukup dengan mengejutkannya dengan masuk tiba-tiba, tapi lelaki itu juga mengagetkannya dengan perlakuannya tadi.“Siapa yang suruh kamu masuk?” Seingat Zoia baru beberapa menit yang lalu ia mengatakan pada resepsionis tidak ingin bertemu dengan Javas.“Nggak ada. Kamu nggak mau ketemu sama aku, resepsionis kantormu juga nggak kasih izin. Tapi hati kecilku yang minta aku buat ke sini.” Javas menjawab sambil menatap Zoia dengan lembut dan mengulum senyum mesra. Javas tahu, biasanya Zoia akan luluh karena senyum mautnya. Namun ternyata kali ini dugaannya meleset. Zoia tidak terpengaruh.“Oh, jadi kamu masih punya hati. Aku pikir buaya kayak kamu nggak punya hati, adanya empedu.”Javas tertawa keras mendengar kalimat bernada ketus itu. “Apa kamu bilang? Buaya? Tapi walau buaya gini kamu tetap cinta kan?” Javas mengangkat alis menggoda perempuan di hadapannya.“Ih, najis!” Zoia mengumpat pelan sambil
“Aku nggak ngerti sebenarnya kalian berdua ada masalah apa?” tanya Zoia seraya meletakkan dua kaleng soft drink serta beberapa bungkus toast bread di atas meja, tepat di hadapan Zach. Mereka sudah berada di rumah Javas.“Yang seharusnya nanya begitu aku, bukan kamu. Kalian ada masalah apa sampai berantem kayak tadi?” Zach membalikkan pertanyaan itu pada Zoia.Zoia tidak langsung menjawab. Ia memutar-mutar kaleng soft drink di tangannya. Haruskah ia sejujur itu pada Zach?“Trust me, aku bukan ember bocor. Rahasia kalian aman di tanganku.” Zach seakan tahu apa yang saat ini sedang menjadi keraguan Zoia.“Aku ngerasa Javas mainin aku, Zach. Katanya pernikahan kami hanya sementara dan suatu saat nanti akan menceraikan aku. Okay, aku coba buat terima dan menjalani peran sebaik mungkin sebagai istri dia, termasuk …” Zoia menahan kata-katanya. Apa ini pantas untuk dikatakan pada Zach yang notabene adalah seorang laki-laki?“I see.” Zach tersenyum tipis menanggapi. Ia mengerti apa yang akan d
Ting!Zoia yang sedang berbicara dengan Khanza langsung memandang ke ponselnya ketika benda tersebut berbunyi.“Dari Javas,” beritahunya pada Khanza.“Lo buka WA sekarang tapi jangan dibaca dulu.” Khanza mengangkat tangannya sebagai isyarat sebelum Zoia terlanjur membacanya.Menuruti kata-kata sang sahabat, Zoia membaca aplikasi perpesanan tersebut dan mengabaikan pesan dari Javas. Ia malah ikut ngobrol virtual dengan grup lain yang diikutinya.“Jangan lo tutup dulu ya, Zoi. Lo online aja.” Khanza kembali mengingatkan.Zoia menganggukkan kepala.Di kamarnya Javas masih menanti balasan pesan dari Zoia. Matanya tidak sedetik pun beralih dari layar gawai. Seakan sekali saja ia melihat ke arah lain maka balasan dari Zoia akan lenyap begitu saja. Tapi jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Padahal Zoia sedang online.“Aku tahu kamu lagi online, Zoi. Aku udah sering ngeliat modus orang marah kayak gini, tapi tolong, kamu jangan pake modus kayak mereka. Itu terlalu kekanakan.”Pesan kedua terk
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari juga sudah menunjukkan eksistensinya. Namun di kamarnya Javas masih meringkuk malas di bawah selimut.Semalam laki-laki itu tidak bisa tidur. Ia baru bisa memejamkan matanya menjelang subuh. Javas menghabiskan waktu dengan memelototi ponsel menunggu Zoia membalas chat, lalu melamun membayangkan saat ia bercinta dengan Zoia. Ia mereka ulang adegan itu di kepalanya dengan begitu detail. Mulai dari saat Zoia membuka baju, melepaskan satu per satu penutup tubuhnya, dilanjutkan dengan foreplay, main course hingga bagaimana mereka berdua sama-sama mendapat pelepasan. Namun alih-alih akan puas dan melepas, badan Javas jadi meriang sendiri.Suara ponsel yang tidak berhenti berbunyi dari tadi semakin memekakkan telinga. Ia berdecak. Mau tidak mau Javas harus menghentikannya demi kenyamanan telinganya.Begitu ingat istrinya Javas langsung duduk dengan penuh semangat. Barangkali itu telepon dari Zoia. Namun harapannya pupus seketika melihat bu