“Aku nggak ngerti sebenarnya kalian berdua ada masalah apa?” tanya Zoia seraya meletakkan dua kaleng soft drink serta beberapa bungkus toast bread di atas meja, tepat di hadapan Zach. Mereka sudah berada di rumah Javas.“Yang seharusnya nanya begitu aku, bukan kamu. Kalian ada masalah apa sampai berantem kayak tadi?” Zach membalikkan pertanyaan itu pada Zoia.Zoia tidak langsung menjawab. Ia memutar-mutar kaleng soft drink di tangannya. Haruskah ia sejujur itu pada Zach?“Trust me, aku bukan ember bocor. Rahasia kalian aman di tanganku.” Zach seakan tahu apa yang saat ini sedang menjadi keraguan Zoia.“Aku ngerasa Javas mainin aku, Zach. Katanya pernikahan kami hanya sementara dan suatu saat nanti akan menceraikan aku. Okay, aku coba buat terima dan menjalani peran sebaik mungkin sebagai istri dia, termasuk …” Zoia menahan kata-katanya. Apa ini pantas untuk dikatakan pada Zach yang notabene adalah seorang laki-laki?“I see.” Zach tersenyum tipis menanggapi. Ia mengerti apa yang akan d
Ting!Zoia yang sedang berbicara dengan Khanza langsung memandang ke ponselnya ketika benda tersebut berbunyi.“Dari Javas,” beritahunya pada Khanza.“Lo buka WA sekarang tapi jangan dibaca dulu.” Khanza mengangkat tangannya sebagai isyarat sebelum Zoia terlanjur membacanya.Menuruti kata-kata sang sahabat, Zoia membaca aplikasi perpesanan tersebut dan mengabaikan pesan dari Javas. Ia malah ikut ngobrol virtual dengan grup lain yang diikutinya.“Jangan lo tutup dulu ya, Zoi. Lo online aja.” Khanza kembali mengingatkan.Zoia menganggukkan kepala.Di kamarnya Javas masih menanti balasan pesan dari Zoia. Matanya tidak sedetik pun beralih dari layar gawai. Seakan sekali saja ia melihat ke arah lain maka balasan dari Zoia akan lenyap begitu saja. Tapi jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Padahal Zoia sedang online.“Aku tahu kamu lagi online, Zoi. Aku udah sering ngeliat modus orang marah kayak gini, tapi tolong, kamu jangan pake modus kayak mereka. Itu terlalu kekanakan.”Pesan kedua terk
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari juga sudah menunjukkan eksistensinya. Namun di kamarnya Javas masih meringkuk malas di bawah selimut.Semalam laki-laki itu tidak bisa tidur. Ia baru bisa memejamkan matanya menjelang subuh. Javas menghabiskan waktu dengan memelototi ponsel menunggu Zoia membalas chat, lalu melamun membayangkan saat ia bercinta dengan Zoia. Ia mereka ulang adegan itu di kepalanya dengan begitu detail. Mulai dari saat Zoia membuka baju, melepaskan satu per satu penutup tubuhnya, dilanjutkan dengan foreplay, main course hingga bagaimana mereka berdua sama-sama mendapat pelepasan. Namun alih-alih akan puas dan melepas, badan Javas jadi meriang sendiri.Suara ponsel yang tidak berhenti berbunyi dari tadi semakin memekakkan telinga. Ia berdecak. Mau tidak mau Javas harus menghentikannya demi kenyamanan telinganya.Begitu ingat istrinya Javas langsung duduk dengan penuh semangat. Barangkali itu telepon dari Zoia. Namun harapannya pupus seketika melihat bu
Kinar tertegun mendengar perkataan Javas. Dahi perempuan itu sontak berkerut atas permintaan absurd tersebut. Javas ada-ada saja. Kinar sudah cukup lama bekerja menjadi sekretaris Javas, namun baru kali ini atasannya itu memberi perintah konyol seperti saat ini.“Kecelakaan? Maksud Bapak apa? Bapak kan sehat-sehat saja, Pak.” Kinar memindai pria di hadapannya dengan begitu intens dengan tatapan heran.Javas balas memandang sekretarisnya dengan lebih lekat. Kadang Kinar begitu cepat tanggap atas perintah yang diberikannya. Tapi di lain waktu perempuan itu agak lemot. “Kinar, percuma kamu cantik tapi otak kamu nggak dipakai”“Ih, Bapak!” Kinar mengerucutkan mulutnya.“Makanya kalau saya kasih perintah itu dicerna dulu.”“Iya, Pak, sudah saya cerna tapi Bapak kan sehat-sehat saja, Pak.”“Pura-pura, Kinar! Saya pura-pura kecelakaan.”“Ya ampun, Pak. Kalau punya keinginan yang baik-baik saja kenapa sih, Pak? Jangan minta yang jelek-jelek, takutnya nanti jadi kenyataan.”“Nggak usah sok ng
"Gimana, Kin?” kejar Javas begitu Kinar menjauhkan ponsel dari telinganya. Tadi saat Kinar menelepon Javas serius menyimak. Hanya saja ia tidak tahu apa yang dikatakan Zoia. Kinar lupa menyalakan loud speaker.“Bu Zoia katanya nggak bisa ke sini, Pak. Ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan.” Kinar menjawab sesuai dengan yang disampaikan Zoia padanya tadi.Javas kaget mendengar jawaban Kinar lantaran sebelumnya sekretarisnya itu mengatakan padanya bahwa Zoia bersedia datang ke kantornya. Rasa kecewa langsung menghantamnya saat itu juga.“Gimana sih? Katanya tadi dia mau datang ke sini.”“Tadi memang iya, Pak, tapi tiba-tiba ibu Zoia membatalkannya.”Javas menghempaskan napas kasar. Lalu dijambaknya rambut sendiri sebagai pelampiasan emosinya. Ia pikir trik ini akan berhasil karena ia tahu Zoia mudah diluluhkan. Tapi ternyata dugaannya meleset. Ia gagal. Zoia tidak lagi selembek perkiraannya.“Ada lagi yang bisa saya kerjakan, Pak?” Kinar ikut bingung melihat tingkah Javas
Zoia tidak tahu dari mana suaminya muncul. Kedatangan Javas yang sama sekali berada di luar prediksinya tidak hanya membuat Zoia terkejut. Ia juga takut Javas akan berbuat nekat. Zoia tidak ingin Javas membuat keributan di sini seperti yang kemarin terjadi di kantornya. Sudah cukup Javas membuatnya malu.“Jav …” Zoia menggumam pelan sambil menepis tangannya dari Javas.“Jadi ini pekerjaan penting yang harus diselesaikan sampai-sampai membuatmu nggak memedulikan suamimu sendiri?” Javas bicara dengan gaya menghakimi.Zoia yang merasa tidak bersalah membalas balik dengan menatap Javas begitu saksama. “Kata Kinar kamu kecelakaan. Gimana? Udah sehat? Udah nggak cedera lagi otaknya?”Sindiran Zoia membuat Javas kehilangan kata untuk sesaat. Tidak ingin malu, Javas segera mengalihkan pembicaraan dengan cepat.“Sekarang ikut denganku, kita pulang.” Javas menggamit tangan Zoia bermaksud membawanya pergi. Tapi, sekilat gerakan Javas, secepat itu pula Zoia melepaskannya.“Sorry, aku nggak bisa.
“Zoia, i think i love you." Javas mengulangi perkataannya yang membuat Zoia seketika mengerjapkan mata setelah puluhan detik yang lalu membeku.Zoia mempertegas pandangannya, mencari kesungguhan di wajah gagah suaminya. Javas tampak serius. Akan tetapi karena pria itu penuh dengan modus dan Zoia hampir berkali-kali tertipu, membuatnya sulit untuk percaya. Tadinya Zoia hampir saja terlena. Ia bahagia mendengar ungkapan cinta itu. Perasaannya ternyata berbalas.Tiba-tiba saja alarm tanda bahaya menyala di kepalanya. Kata-kata yang sering didengungkan Khanza memberinya peringatan. Buaya itu modusnya banyak. Dia punya sejuta satu cara untuk menjerat mangsanya. Dan bisa jadi yang didengar Zoia saat ini adalah salah satunya.“Zoi, kenapa nggak dijawab? Kamu juga cinta sama aku kan, Zoi? Kamu pasti sayang aku kan? Jangan bilang kamu nggak percaya.” Javas menegur lantaran dari tadi Zoia tidak menanggapi.Gelengan kepala perempuan itu adalah jawabannya.Javas kaget mengetahui jawaban Zoia. Tan
Pagi ini Zoia bangun dengan penuh semangat. Walaupun tubuhnya linu karena manuver Javas yang menggempurnya semalaman, tapi hatinya bahagia. Komitmen Javas yang lebih memilih hidup bersamanya ketimbang dengan Prillylah alasan di balik semua itu.Sambil menutup mulutnya yang menguap dengan telapak tangan, Zoia memandang ke sebelahnya. Javas masih tidur dengan pulas dan tidak ada tanda-tanda akan membuka mata. Sedangkan tangan lelaki itu melingkari tubuh Zoia dengan sangat protektif.Senyum tipis membayang di bibir Zoia saat ingat kemarin ia dan Javas menghabiskan malam yang berkesan yang membuat Zoia semakin mencintai laki-laki itu.Zoia mencondongkan badan untuk menciumi pipi Javas dan melafalkan kata penuh cinta di dalam hati.Lalu dengan perlahan perempuan itu menyibak selimut dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan suaminya. Javas pasti masih sangat lelah. Pipi Zoia merona menyaksikan sendiri tubuhnya terbuka tanpa pelapis apa-apa selain selembar selimut yang menutup