Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Matahari juga sudah menunjukkan eksistensinya. Namun di kamarnya Javas masih meringkuk malas di bawah selimut.Semalam laki-laki itu tidak bisa tidur. Ia baru bisa memejamkan matanya menjelang subuh. Javas menghabiskan waktu dengan memelototi ponsel menunggu Zoia membalas chat, lalu melamun membayangkan saat ia bercinta dengan Zoia. Ia mereka ulang adegan itu di kepalanya dengan begitu detail. Mulai dari saat Zoia membuka baju, melepaskan satu per satu penutup tubuhnya, dilanjutkan dengan foreplay, main course hingga bagaimana mereka berdua sama-sama mendapat pelepasan. Namun alih-alih akan puas dan melepas, badan Javas jadi meriang sendiri.Suara ponsel yang tidak berhenti berbunyi dari tadi semakin memekakkan telinga. Ia berdecak. Mau tidak mau Javas harus menghentikannya demi kenyamanan telinganya.Begitu ingat istrinya Javas langsung duduk dengan penuh semangat. Barangkali itu telepon dari Zoia. Namun harapannya pupus seketika melihat bu
Kinar tertegun mendengar perkataan Javas. Dahi perempuan itu sontak berkerut atas permintaan absurd tersebut. Javas ada-ada saja. Kinar sudah cukup lama bekerja menjadi sekretaris Javas, namun baru kali ini atasannya itu memberi perintah konyol seperti saat ini.“Kecelakaan? Maksud Bapak apa? Bapak kan sehat-sehat saja, Pak.” Kinar memindai pria di hadapannya dengan begitu intens dengan tatapan heran.Javas balas memandang sekretarisnya dengan lebih lekat. Kadang Kinar begitu cepat tanggap atas perintah yang diberikannya. Tapi di lain waktu perempuan itu agak lemot. “Kinar, percuma kamu cantik tapi otak kamu nggak dipakai”“Ih, Bapak!” Kinar mengerucutkan mulutnya.“Makanya kalau saya kasih perintah itu dicerna dulu.”“Iya, Pak, sudah saya cerna tapi Bapak kan sehat-sehat saja, Pak.”“Pura-pura, Kinar! Saya pura-pura kecelakaan.”“Ya ampun, Pak. Kalau punya keinginan yang baik-baik saja kenapa sih, Pak? Jangan minta yang jelek-jelek, takutnya nanti jadi kenyataan.”“Nggak usah sok ng
"Gimana, Kin?” kejar Javas begitu Kinar menjauhkan ponsel dari telinganya. Tadi saat Kinar menelepon Javas serius menyimak. Hanya saja ia tidak tahu apa yang dikatakan Zoia. Kinar lupa menyalakan loud speaker.“Bu Zoia katanya nggak bisa ke sini, Pak. Ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan.” Kinar menjawab sesuai dengan yang disampaikan Zoia padanya tadi.Javas kaget mendengar jawaban Kinar lantaran sebelumnya sekretarisnya itu mengatakan padanya bahwa Zoia bersedia datang ke kantornya. Rasa kecewa langsung menghantamnya saat itu juga.“Gimana sih? Katanya tadi dia mau datang ke sini.”“Tadi memang iya, Pak, tapi tiba-tiba ibu Zoia membatalkannya.”Javas menghempaskan napas kasar. Lalu dijambaknya rambut sendiri sebagai pelampiasan emosinya. Ia pikir trik ini akan berhasil karena ia tahu Zoia mudah diluluhkan. Tapi ternyata dugaannya meleset. Ia gagal. Zoia tidak lagi selembek perkiraannya.“Ada lagi yang bisa saya kerjakan, Pak?” Kinar ikut bingung melihat tingkah Javas
Zoia tidak tahu dari mana suaminya muncul. Kedatangan Javas yang sama sekali berada di luar prediksinya tidak hanya membuat Zoia terkejut. Ia juga takut Javas akan berbuat nekat. Zoia tidak ingin Javas membuat keributan di sini seperti yang kemarin terjadi di kantornya. Sudah cukup Javas membuatnya malu.“Jav …” Zoia menggumam pelan sambil menepis tangannya dari Javas.“Jadi ini pekerjaan penting yang harus diselesaikan sampai-sampai membuatmu nggak memedulikan suamimu sendiri?” Javas bicara dengan gaya menghakimi.Zoia yang merasa tidak bersalah membalas balik dengan menatap Javas begitu saksama. “Kata Kinar kamu kecelakaan. Gimana? Udah sehat? Udah nggak cedera lagi otaknya?”Sindiran Zoia membuat Javas kehilangan kata untuk sesaat. Tidak ingin malu, Javas segera mengalihkan pembicaraan dengan cepat.“Sekarang ikut denganku, kita pulang.” Javas menggamit tangan Zoia bermaksud membawanya pergi. Tapi, sekilat gerakan Javas, secepat itu pula Zoia melepaskannya.“Sorry, aku nggak bisa.
“Zoia, i think i love you." Javas mengulangi perkataannya yang membuat Zoia seketika mengerjapkan mata setelah puluhan detik yang lalu membeku.Zoia mempertegas pandangannya, mencari kesungguhan di wajah gagah suaminya. Javas tampak serius. Akan tetapi karena pria itu penuh dengan modus dan Zoia hampir berkali-kali tertipu, membuatnya sulit untuk percaya. Tadinya Zoia hampir saja terlena. Ia bahagia mendengar ungkapan cinta itu. Perasaannya ternyata berbalas.Tiba-tiba saja alarm tanda bahaya menyala di kepalanya. Kata-kata yang sering didengungkan Khanza memberinya peringatan. Buaya itu modusnya banyak. Dia punya sejuta satu cara untuk menjerat mangsanya. Dan bisa jadi yang didengar Zoia saat ini adalah salah satunya.“Zoi, kenapa nggak dijawab? Kamu juga cinta sama aku kan, Zoi? Kamu pasti sayang aku kan? Jangan bilang kamu nggak percaya.” Javas menegur lantaran dari tadi Zoia tidak menanggapi.Gelengan kepala perempuan itu adalah jawabannya.Javas kaget mengetahui jawaban Zoia. Tan
Pagi ini Zoia bangun dengan penuh semangat. Walaupun tubuhnya linu karena manuver Javas yang menggempurnya semalaman, tapi hatinya bahagia. Komitmen Javas yang lebih memilih hidup bersamanya ketimbang dengan Prillylah alasan di balik semua itu.Sambil menutup mulutnya yang menguap dengan telapak tangan, Zoia memandang ke sebelahnya. Javas masih tidur dengan pulas dan tidak ada tanda-tanda akan membuka mata. Sedangkan tangan lelaki itu melingkari tubuh Zoia dengan sangat protektif.Senyum tipis membayang di bibir Zoia saat ingat kemarin ia dan Javas menghabiskan malam yang berkesan yang membuat Zoia semakin mencintai laki-laki itu.Zoia mencondongkan badan untuk menciumi pipi Javas dan melafalkan kata penuh cinta di dalam hati.Lalu dengan perlahan perempuan itu menyibak selimut dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan suaminya. Javas pasti masih sangat lelah. Pipi Zoia merona menyaksikan sendiri tubuhnya terbuka tanpa pelapis apa-apa selain selembar selimut yang menutup
Javas melangkah tegap. Ia sudah bertekad drama apa pun yang akan dilihatnya nanti tidak akan mempan untuk mengubah pendiriannya. Ia sudah berjanji pada Zoia akan menyelesaikan masalah dengan Prilly hari ini juga. Satu hal yang sangat disyukuri Javas adalah bahwa Zoia sangat percaya padanya. Dan Javas tidak akan merusak kepercayaan istrinya."Kalau dia nangis gimana?" tanya Zoia tadi menguji Javas saat lelaki itu mengantar Zoia ke kantornya."Ya biarin aja. Menangis itu kan hal yang manusiawi." Javas menjawab dengan bijak."Yakin kamu nggak bakal luluh?""Kalau dulu mungkin iya, tapi sekarang hanya kamu yang mampu meluluhkanku." Itu tadi jawaban Javas yang membuat Zoia tersipu. Merona, meremang dan tersipu adalah tiga hal yang identik dengan Zoia saat berhadapan dengan Javas.Begitu berhadapan muka langsung dengan Javas, Prilly berjingkat. Ia bermaksud untuk mengecup pipi kekasihnya itu. Tapi di luar dugaan, Javas memundurkan tubuh, menghindari Prilly, alhasil perempuan itu hanya menci
Prilly tidak akan menyerah. Demi apa pun juga ia tidak akan melepaskan Javas dengan begitu saja. Hanya karena kebetulan menggantikannya satu hari lantas dengan seenaknya Zoia ingin menggantikan posisinya seumur hidup?No!Prilly kembali menitikkan air mata demi meluluhkan Javas dan membuatnya agar tampak senatural mungkin.“Kamu jahat, Jav, kamu pikir aku apa? Setelah mengambil manfaat dariku lalu dengan seenaknya mencampakkanku.” Perempuan itu sesenggukan, mati-matian mencoba agar lelaki yang duduk di kursi terpisah di sebelahnya menjadi tertekan.Javas menghela napas panjang. Dilema melingkupinya. Bukannya ia ingin mencampakkan Prilly dan membuang perempuan itu begitu saja. Akan tetapi yang namanya perasaan tidak bisa dipaksa, bukan?Javas memang sempat singgah sementara di hati Prilly namun bukan menetap. Javas sudah memiliki dermaga lain yang akan menjadi tempat terakhirnya melabuhkan hati.“Lebih jahat mana aku dari kamu, Pril? Kamu pergi di hari pernikahan kita secara mendadak d