Bab 2
"Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama yang luas. "Waah!" Kamila masuk. Ia terpukau melihat nuansa kamar yang serba putih dan elegant. Bahkan di sana sangat rapi dan beberapa barang tersusun dengan sempurna. "Seharusnya kamar seorang pria akan terlihat berantakan, banyak debu dan kotor. Kenapa kamar Om dokter rapi sekali? Apa karena dia seorang dokter jadi harus higienis ya?" Gumam Kamila. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar itu dengan lelehan air mata di kedua pipinya. "Ma, Pa, Aku tidak tau dengan siapa sekarang aku tinggal. Asalkan dia baik, maka aku akan menuruti apa yang dia katakan. Aku janji, aku akan bahagia agar kalian bisa tersenyum melihatku dari langit." Gumamnya lagi. Hingga akhirnya, Kamila beranjak dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. ***** Di perjalanan, terlihat Keent tengah fokus menyetir. Meskipun pandangannya ke depan dan nampak tak berkedip sekalipun, namun tetap saja pikirannya kemana-mana. Tiba-tiba ponselnya berdering, mendapat satu panggilan dari Andrew, teman sekaligus orang kepercayaan Keent selama ini. "Halo, Ndrew? Bagaimana?" Tanya Keent, mengawali perbincangan diantara mereka. "Keent, aku sudah menemukan tempat tinggal gadis itu. Selain orang tuanya, di sana juga ada paman dan bibinya." ucap Andrew. Mendengar hal itu membuat Keent sedikit kaget. Bagaimana tidak? Kamila bilang padanya kalau dia tidak punya keluarga selain orang tuanya. Tapi ternyata Kamila berbohong padanya. "Kau yakin mereka tinggal bersama Kamila dan kedua orang tuanya?" tanya Keent. "Tentu saja, Keent. Paman Kamila merupakan kakak dari ayahnya. Apa kita akan kesana? Aku pikir kita perlu untuk memberitahukan kejadian ini dan mengembalikan gadis itu pada keluarganya. Aku akan mengantarmu." "Aku ke rumah mu sekarang!" Sambungan telepon pun di matikan oleh Keent. Ia lalu menginjak pedal gas lebih dalam, melaju dengan kecepatan penuh menuju rumah Andrew yang berjarak lumayan dekat dari tempat ia berada. Tak hanya menjadi teman sekaligus orang kepercayaan Keent, Andrew juga di andalkan dalam hal penyidikan seperti ini. Tidak butuh waktu lama, mobil yang di kendarai oleh Keent sampai. Pintu samping di buka oleh Andrew dan mereka kembali melaju meninggalkan halaman depan rumah tersebut. Andrew sesekali menunjukkan alamat dan foto keluarga milik Kamila. "Kenapa seakan kau kaget dan tidak percaya padaku, Keent? Ayolah, aku sudah bekerja denganmu cukup lama dan semua yang kau cari selalu ku temukan." Andrew yang merasakan perbedaan dari Keent langsung mengeluh di depannya. Keent menghela napas panjang. Ia percaya pada Andrew, tapi wajah polos Kamila juga selalu membuatnya yakin. "Untuk itu aku ingin kesana dan membuktikannya. Aku ingin tau kenapa Kamila menyembunyikan hal ini." "Namanya Kamila? Kau tau darimana?" "Hmm... Aku tidak sengaja melihat ID Card sekolahnya." "Sekarang dia dimana?" "Di rumahku." "Hah??" Raut wajah Andrew tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Bagaimana tidak? Keent yang dikenal dingin dan anti wanita kini justru membawa seorang gadis untuk tinggal di rumahnya. Hal yang sangat langka dan sulit untuk di percaya. "Tidak usah berpikir yang aneh-aneh. Aku hanya membantunya saja karena dia butuh bantuan." Jawab Keent, dingin. "Ah, Hahaha.. Iya baiklah, memang seharusnya kau menolongnya agar kau bisa lebih dekat dengan wanita. Lihatlah dirimu sudah sangat matang tapi masih melajang!" Mendengar kata-kata itu membuat Keent langsung melirik sinis ke arah Andrew. Sementara Andrew yang melihat tatapan kematian dari sahabatnya itu memilih untuk bungkam dan tidak bersuara sama sekali. Setelah menyusuri jalanan yang cukup memakan waktu, akhirnya mereka sudah sampai di depan sebuah rumah yang cukup luas dan mewah. "Apa kau yakin ini rumahnya?" Tanya Keent yang langsung mendapat anggukan tegas dari Andrew. Keduanya memutuskan untuk turun dan berjalan ke arah pintu gerbang. Di sana, mereka sudah di sambut oleh seorang satpam yang langsung menyuruh mereka berdua masuk ke dalam. "Silahkan duduk, saya akan panggilkan tuan dan nyonya." Perintah satpam itu sembari berlalu dari hadapan mereka yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Keent menatap di sekeliling rumah yang tak kalah mewah dari rumahnya. "Aku pikir kedua orang tua Kamila adalah orang yang cukup mampu. Kenapa dia memilih tawaranku daripada pulang ke rumahnya?" Batin Keent. Tidak berselang lama, suara langkah orang terdengar mendekati mereka berdua. Benar saja, Saat Keent dan Andrew menoleh, ia bisa melihat sepasang suami istri yang berjalan mendekat ke arahnya. "Selamat pagi, Anda siapa ya? Kenapa aku baru melihatnya?" Sapa Herman, paman Kamila, seraya mengulurkan tangannya. "Keent, ini rekan ku Andrew." Mereka saling bersalaman satu sama lain sebelum akhirnya duduk berhadapan. "Jadi, ada perlu apa anda semua datang kesini?" tanya Lina, bibinya Kamila. Keent terlihat menghela napas panjang sebelum akhirnya ia menceritakan semuanya. Namun, belum Sempat Keent mengatakan kondisi dan keadaan Kamila, sudah di potong begitu saja oleh Herman. "Ya Tuhan, kasian sekali nasib mereka bertiga. Padahal aku sudah bilang tidak usah menjemput Kamila karena dia sudah besar dan bisa pulang sendiri, tapi mereka masih saja ngeyel!" Di sana, Lina juga terlihat bersedih meskipun air matanya sama sekali tidak menetes. Andrew mengernyitkan dahinya. Andrew merasa bahwa Herman dan Lina tidak benar-benar merasakan duka dan kesedihan yang seharusnya ia lihat. "Dimana kalian memakamkan adikku dan keponakanku? Aku ingin sekali berkunjung kesana." tanya Lina. "Di pemakaman umum jalan teratai. Tapi.." Lagi-lagi Keent tidak bisa mengatakan perihal Kamila karena mereka terus saja memotongnya. "Sekali lagi terima kasih karena sudah memakamkan mereka bertiga. Kami tidak tau lagi harus berbuat apa." kata Herman. Andrew semakin bingung, ia menoleh ke arah Keent yang duduk di sampingnya. Mulut Andrew sudah terasa gatal karena ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, Keent menggeleng pelan, memberikan kode pada Andrew untuk diam. "Gila! Kenapa paman dan bibinya seakan senang kalau mereka bertiga mati?" batin Andrew. "Aku harap kalian menjenguk makam mereka. Jika ada hal yang mengganjal dan ingin kalian tanyakan, maka kalian bisa langsung menghubungi ku. Ini kartu namaku." Keent meletakkan kartu namanya di atas meja. Lina langsung mengambil kartu itu dan melihatnya. Seketika kedua bola matanya membulat saat melihat nama dan identitas Keent yang merupakan seorang dokter ahli bedah yang hebat. "Kau seorang dokter?" tanya Lina. "Betul. Kami permisi." Keent beranjak dari sana dan di susul oleh Andrew. Mereka berlalu meninggalkan Herman dan Lina. Sementar Lina terus memandangi kartu nama itu. "Sepertinya akan sangat cocok jika dokter hebat ini menikah dengan Intan." gumam Lina, lirih.Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 5 Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang
Bab 6 "Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke
Bab 6 "Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat
Bab 5 Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke