Bab 6
"Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat itu untuk mengambilkan obat sesuai resepnya. Si perawat pergi untuk mencari obat yang di maksud oleh Keent. "Jadi bagaimana, dok?" Tanya Intan. "Aku meresepkan obat untuk mu terlebih dulu. Minum obatnya secara teratur sesuai dengan resep yang sudah saya berikan. Jika dalam tiga hari nyerinya tidak berhenti, Anda boleh balik lagi kesini." Jelas Keent. Merasa tidak sesuai dengan maksud dan keinginannya, membuat Intan sedikit kesal. Apalagi di tambah wajah Keent yang cuek padanya, membuat Intan semakin tambah kesal. Untung saja wajah Keent yang sangat tampan sudah membuat Intan terhipnotis duluan, jadi, Intan tidak mempermasalahkan hal itu. "Ini, dok." Perawat itu berhasil mengambilkan obatnya dan memberikannya pada Keent. Gerakan Keent sangat cekatan saat memberikan resepnya pada obat itu. Lalu, ia memberikannya pada Intan di depannya. "Silahkan ikuti apa yang sudah saya intruksikan." Kata Keent. "Dok, tapi kalau seandainya putri ku masih nyeri setelah minum obat, apakah dokter yang akan menangani?" Tanya Lina. "Tentu saja. Asalkan berdoa lah yang baik-baik agar anak anda cepat sembuh." jawabnya. "Pasti, dok. Ayo Intan, kita pulang!" Ajak sang ibu sembari menarik lengan Intan keluar dari sana. Sekepergian Lina dan Intan, Akhirnya Keent bisa menghela napas lega dan melayani pasien selanjutnya dengan sangat ramah. Jika dengan mereka dia bisa acuh, tapi tidak dengan yang lain. Bukan Karena Keent tidak profesional, tapi dia memang benci pada keluarga Kamila. Diluar, terlihat Intan yang memanyunkan bibirnya sambil berjalan asal. "Kenapa dokter itu cuek sekali? ibu bilang dia ramah dan baik, mana buktinya? Untung saja dia tampan, kalau tidak, aku sudah mencongkel matanya yang melotot itu!" Intan terus saja mengoceh di sana. Hal itu membuat Lina panik. Lina takut jika Intan akhirnya kesal pada Keent dan tidak mau menemuinya lagi. Jika hal itu terjadi, otomatis rencana Lina yang awalnya ingin menjodohkan mereka jadi gagal total. "Aduh, Intan. Namanya juga dokter, pasti begitulah. Ibu yakin dengan pasien lain pun akan sama sikapnya. Lagian tadi juga cukup ramah kok." Jelas Lina. "Hmm.. Baiklah, masih oke!" jawab Intan yang masih santai menanggapinya. ***** "Selamat pagi, Anak-anak. Ibu ingin memperkenalkan pada kalian anak baru di sekolah ini, terutama di kelas ini. Dia pindahan dari kota sebelah. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengannya. Kamila, ayo masuk!" Panggil seorang guru yang merupakan wali kelas itu. Dengan langkah pelan, Kamila masuk ke dalam ruangan kelas baru yang asing baginya. Meski begitu, Kamila sangat senang karena semua siswa sepertinya menyambut kedatangannya dengan ramah. Kini, Kamila sudah berdiri di depan semua siswa dan siswi lainnya. Ibu guru tadi menyuruh Kamila untuk memperkenalkan diri. Kamila menghela napas panjang dan maju selangkah ke depan. Dengan memberanikan diri, Kamila menatap seluruh teman barunya yang kini tepat berada di depannya tanpa terlewat sedikitpun. "Namaku Kamila. Aku pindahan dari luar kota. Karena Om Dokter pindah rumah di sini, otomatis aku ikut dengannya. Semoga kita berteman baik. Terima kasih." ucap Kamila. Gemuruh tepuk tangan terdengar jelas dan riuh mengisi keheningan yang sempat tercipta saat Kamila memperkenalkan diri. "Om dokter itu yang tadi berangkat sama kamu ya, Kamila? Siapanya kamu? Paman mu?" Salah seorang siswi menanyakan hal itu pada Kamila. Mendengar nama Doktet Keent membuat Kamila sedikit gugup. Ia tidak tau harus menjawab apa, bahkan tidak terlintas dalam pikirannya sama sekali jika mereka semua fokus pada Keent tadi. "I-iya. Dia Pamanku!" Hanya itulah yang bisa terucap dari mulut Kamila agar semua nya selesai. Namun rupanya, hal ini masih berlanjut. Pertanyaan demi Pertanyaan ia terima di sana. Tapi bukan untuknya, melainkan untuk Keent. "Wah.. Tampan sekali paman mu. Apa sudah menikah?" "Kamila, Kita berteman ya! Biar bisa main ke rumah kamu!" "Bisa minta nomor ponselnya? Jantungku sakit dan butuh dokter!" Semua pertanyaan jadi satu, membuat kepala Kamila ingin meledak saat itu juga. "Dia memang populer di kalangan anak muda, pantas saja aku..." Batin Kamila seraya memegangi jantungnya yang terus berdebar.Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 5 Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang
Bab 6 "Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat
Bab 5 Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke