Bab 5
Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang berkecamuk di hatinya. Tiba-tiba, Tangan besar Keent meraih jemari tangan Kamila yang dingin dan berkeringat. Keent menggenggamnya erat seraya melangkah masuk ke dalam. Kamila masih terdiam, kedua bola matanya membulat dan sesekali menatap wajah Keent yang tegas dan berkarisma di sampingnya. Semua siswa di sana menatap ke arah mereka dengan kagum. Bahkan, bukan hanya Kamila yang menjadi pusat perhatian, namun pesona Keent juga telah memanah hati para gadis di sana. Keent dan Kamila berjalan melewati semua siswa yang berjejer dengan santai. "Waahh tampannya.." "Keren banget!" Ucapan dari beberapa siswi terdengar nyaring di telinga Kamila. Namun, wajah Keent masih datar dan dingin. Bahkan Keent mengabaikan beberapa senyuman dan sapaan dari para gadis di depannya. Hal itu membuat Kamila terheran. "Seharusnya dia suka kan di gandrungi banyak gadis, Tapi, kenapa wajahnya kaku sekali?" Batin Kamila. Hingga kini mereka tiba di depan sebuah ruangan kepala sekolah. Keent akan masuk begitu saja, namun Kamila menghentikannya. "Om, sampai sini saja. Aku bisa sendiri." Ucap Kamila. "Kau tidak akan bisa sendiri. Aku wali mu dan harus bertanggungjawab sampai akhir. Mengerti?" Keent kembali meraih telapak tangan Kamila dan membawanya masuk ke dalam bersama. Beberapa menit berselang, akhirnya Keent sudah menyelesaikan semuanya. Mereka kembali keluar dari ruang itu dan saling berhadapan satu sama lain. "Om, terima kasih.." "Ssshh!" Jari telunjuk Keent mendarat di bibir tipis Kamila. Keent menggeleng pelan dan tersenyum. "Lain kali tidak perlu mengatakan hal itu. Mengerti?" "Hmm.." Kamila mengangguk. Keent lalu berpamitan pada Kamila untuk pergi ke rumah sakit. Namun, Kamila meraih ujung jas nya. Hal itu membuat Keent berbalik dan menatapnya. "Hmm.. kalau nanti ada yang nanya tentangmu, aku harus jawab apa?" "Tentang ku atau tentang kita?" "Dua-duanya.." "Jawab saja kalau aku sudah menyukai seseorang dan tidak bisa menerima wanita lain. Lalu jika mereka menanyakan hubungan kita, kau harus menjawabnya sesuai apa yang kau inginkan. Aku tidak mempermasalahkannya. Aku pergi dulu." Dengan lembut, Keent mengelus rambut panjang Kamila dan pergi begitu saja dari hadapannya. Kamila masih terpaku di sana, menatap langkah Keent yang semakin menjauh dari pandangannya. Perlahan Kamila menyentuh dadanya, tepat pada jantungnya yang semakin hari semakin tidak bisa terkontrol dengan baik. "Kamila, apa kau sudah gila? Ckk!" Pekiknya seraya berlalu dari depan ruangan kepala sekolah. ***** Di luar, terlihat Keent baru saja memasuki mobilnya. Ia mengambil ponsel dari dalam saku jasnya dan mulai menghubungi Andrew. Beberapa detik tersambung akhirnya telepon pun diangkat oleh Andrew dari seberang. "Halo, Keent. Ada apa?" Tanya Andrew. "Aku ingin kau mengawasi keluarga Herman. Aku merasa ada yang tidak beres dengan keluarga itu. Satu lagi, laporkan semua yang kau tau padaku. Ke depannya, aku tidak mau ada yang menyakiti ataupun menyentuh Kamila lagi." Perintah Keent. "Siap! Tapi, apa kau tidak ingin jujur kalau Kamila masih hidup pada mereka?" "Kamila belum siap. Aku menunggunya siap sambil menyelidiki apa saja yang telah di perbuat Herman pada Kamila sehingga membuat Kamila ketakutan." "Siap!" Keduanya mengakhiri sambungan teleponnya setelah berbincang cukup lama. Mata Keent menatap jauh ke arah sekolah Nusantara X itu. "Aku akan membantumu, Kamila." Gumamnya seraya menginjak pedal gas dan berlalu dari halaman depan sekolah tersebut. Di sepanjang jalan Keent terus fokus pada jalanan di depannya. Sesekali bayangan Kamila terlintas, namun hal itu ia lupakan seketika. "Wajahmu terlalu polos dan apa adanya. Membuatku ingin melindungimu terus." Gumamnya. Seketika, deringan ponsel membuyarkan lamunannya. Keent meraih ponselnya dan melihat nomor pak Damian, ayahnya. "Halo?" Sapa Keent sesaat setelah mengangkat sambungan telepon itu. "Keent, nanti malam ada acara temu keluarga besar. Ayah dan ibu mengadakan makan malam. Datanglah ke rumah dan ayah mohon sempatkan waktu mu kali ini saja." Terdengar suara rengekan dari Pak Damian, menunjukkan harapan yang besar pada kedatangan Keent malam nanti. Bagaimana tidak? Selama keluarga besar berkumpul, Keent tidak pernah datang kesana sama sekali. Keent dan keluarganya sama sekali tidak dekat, apalagi dengan adiknya, Kairo. "Aku akan memikirkannya nanti." Tanpa basa-basi, Keent langsung mematikan sambungan telepon itu dan fokus kembali, menepis semua pikiran yang mulai bersarang di otaknya. Selain menjadi dokter bedah hebat, Keent juga merupakan pemilik rumah sakit Ashari Medical dimana dia berdinas. Semua itu hasil jerih payahnya selama ini. Tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan keuangan keluarganya karena memang Keent berjuang sendirian kesana kemari. Tidak butuh waktu lama, mobil yang Keent kendarai sudah sampai di depan rumah sakit tersebut. Keent turun dari mobil dan masuk ke ruangan lobi. Baru beberapa langkah memasuki ruangan itu, seseorang sudah menghalangi langkahnya dan berdiri di depannya. "Dokter Keent!" Ucap wanita paruh baya itu yang merupakan bibi dari Kamila, Lina. "Anda disini?" "Iya, dok. Jadi begini, putri ku mengalami penyakit yang sedikit parah. Aku datang supaya dia bisa mendapat penanganan dari dokter Keent." "Harap patuhi prosedur yang ada terlebih dulu sebelum menemuiku. Terima kasih." Dengan langkah yang cepat, Keent berlalu melewati Lina begitu saja. Di dekat Lina, ia dapat melihat seorang wanita yang memandang ke arahnya tanpa berkedip sekali pun. Gadis itu bernama Intan, anak kandung dari Lina dan Herman. "Waah, Ma! Dia sangat tampan dan keren sekali. Kalau begitu ayo ikuti dia saja!" Ajak Intan seraya meraih tangan ibunya. "Hiih, tidak semudah itu. Kita akan kesana setelah mendaftar." "Iya baiklah." Mereka berdua pun melancarkan aksinya. Brak! Suara pintu ruangan yang baru saja di buka oleh Keent. Ia duduk di kursi biasa dan bersandar pada punggunh sofa di sana. "Huh, masalah apa lagi ini?" Gumamnya, kesal.Bab 6 "Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 6 "Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat
Bab 5 Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke