Bab 23 Mobil yang di tumpangi oleh mereka bertiga akhirnya sampai di tempat pemakaman umum jalan teratai. Anehnya, Semua orang sudah berada di sana dan menatap ke arah mereka yang baru saja turun dari mobil. Herman, Lina, dan Intan terbelalak melihat kedatangan Kamila tepat di depannya. "Astaga, ternyata dia benar-benar masih hidup!" Pekik Lina. Herman maju selangkah di depan para klien dan semua orang yang hadir. Dia kini berada di tengah-tengah mereka semua dan menatap wajah Simon yang berdiri tak jauh darinya. "Lihatlah dokter ini, selama ini dia menyembunyikan keponakan ku. Aku sama sekali tidak tau apa tujuannya! Dia yang bilang kalau semua keluarga Dimas mati, pada kenyataannya, Dia menculik Kamila dan memanfaatkan kepolosan gadis itu!" Ucap Herman. Terlihat raut wajah Herman yang begitu sendu, ia sepertinya tengah berakting agar semua orang di sana mendukung dan mempercayai ucapannya. "Apa maksudmu? Bukankah kau sendiri yang berharap kalau Kamila mati? Sehingga
Bab 24 "Maaf, Sayang. Ternyata tidak sesuai dengan harapan. Jadi.." "Tidak apa, aku memang sudah bisa menebak akan seperti ini." Kamila memotong pembicaraan Keent. "Tapi, Keent. Seharusnya mereka kaget dengan kedatangan Kamila kan? Kenapa mereka seakan biasa saja, Mereka seperti sudah tau kalau kita akan membawa Kamila kesini." Andrew merasa ada yang janggal dari kejadian barusan. Hal itu membuat Keent jadi berpikir ulang, bahwa memang benar ada yang tidak beres. "Kau benar. Pasti ada yang memberitahu mereka sebelumnya. Andrew, bisa kau menyelidikinya untukku?" Pinta Keent. "Tentu saja." Jawabnya. Kamila berbalik, lalu berjalan ke arah makam kedua orang tuanya. Sementara Keent dan Andrew hanya bisa melihatnya dari sana. Andrew menoleh ke arah sahabatnya itu. "Keent, selnjutnya apa yang akan kau lakukan pada keluarga Herman?" Tanya Andrew. "Kita harus mengusirnya dari rumah Kamila, lalu mengembalikan Kamila ke rumahnya. Ini akan lebih baik kan? Aku tidak mau jik
Bab. 1Pagi yang cerah tiba, terlihat seorang gadis baru saja tersadar dari tidurnya. Ia melihat langit-langit kamar yang asing, membuatnya beranjak duduk dan mengusap kedua matanya. Pandangannya di perjelas lagi, sehingga ia tau kalau dirinya tengah berada di ruangan rumah sakit. Kejadian kecelakaan tragis semalam mendarat di pikirannya, membuatnya teringat akan satu hal. "Papa! Mama!" Teriaknya. Gadis itu, Kamila Lestari, melepas infus di tangannya dengan asal. Ia beranjak dari brankar dan berlari keluar dari ruangan, berlari tak tentu arah menyusuri lorong rumah sakit untuk mencari kedua orang tuanya. Tepat di depan sebuah ruangan, Kamila menabrak seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Awas!" Dokter itu, Keent Andareksa, meraih pinggang ramping Kamila yang hendak terjatuh. keduanya saling membalas tatapan satu sama lain. "Dok, apa kau melihat kedua orang tuaku? Dimana dia?" Tanya Kamila. "Apa kau..." Belum sempat Keent menjawab, seorang dokter juga ke
Bab 2 "Berapa harga ketulusan Om?" Pertanyaan itu membuat Keent hanya terkekeh kecil. Usapan lembut ia berikan pada rambut Kamila yang panjang dan lurus. "Sudahlah. Sekarang pergi ke kamar dan bersihkan dirimu. Pakai baju yang baru kita beli di toko tadi. Kalau aku libur, Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan membeli banyak baju. Aku mau berangkat lagi dan pulang sore nanti. Ingat, jangan membukakan pintu untuk siapapun selain aku, mengerti?" "Hmm..." Kamila mengangguk. Lalu Kamila mengantarkan Keent sampai teras rumah, melambaikan tangan, dan masuk kembali ke dalam rumah setelah Keent sudah benar-benar tak terlihat dari pandangannya. Ia berjalan perlahan masuk, memadangi semua sisi rumah itu dengan seksama. "Rumahnya bagus, sayangnya, sangat sepi sekali. Kalau begini, aku jadi teringat mama dan papa terus." Gumam Kamila. Ia memberanikan diri menaiki tangga. Hingga kini tibalah ia di depan sebuah kamar. Perlahan, ia membuka pintunya dan melihat sebuah ruangan kamar utama y
Bab 3 Di ruangan kerjanya, terlihat Keent tengah mengemasi barang-barang di mejanya. Sore itu, dia hendak pulang ke rumah. Namun ia masih penasaran sekaligus menunggu telepon dari paman dan bibi Kamila. "Seharusnya jika mereka sudah ke pemakaman, mereka akan menghubungiku untuk menanyakan makam Kamila kan? Kenapa sampai sore begini mereka sama sekali tidak menghubungiku?" Gumamnya. Perasaan Keent berkecamuk. Di sisi lain ia sangat kesal dengan keluarga itu, tapi lain sisi dia juga kasian melihat keberadaan Kamila yang sama sekali tidak di hargai. Keent memutuskan untuk beranjak dan pergi dari sana. Ia mengganti jas dokternya dengan jas yang ia kenakan biasanya. Saat ia akan keluar, ponselnya berdering. Terlihat nomor asing di layar, membuatnya penasaran dan mengangkatnya. "Halo, dengan siapa?" Tanya Keent. "Ini Lina, keluarga dari Kamila. Hikkss... Hikss.. Aku dan suamiku baru saja kesana. Kami mengirimkan bunga dan berdoa untuk mereka bertiga. Terima kasih dokter Keent,
Bab 4 "Iya aku mau, Om. Kalau begitu aku pergi dulu.." Kamila hendak pergi, namun Keent meraih pergelangan tangannya lagi. Hingga kini keduanya sudah saling menatap satu sama lain. Keent menghela napas panjangnya, Ia ingin mengatakan sesuatu, namun seakan suaranya tercekat. "Kau yakin ingin tinggal disini bersamaku selamanya?" Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulutnya. Kamila mengangguk dengan tegas. Dari raut wajahnya, Kamila memang sudah membulatkan tekadnya untuk tinggal bersama Keent. Hal itu bisa di rasakan dari cara Kamila menatap Keent, harapan yang nyata dan tak terbantahkan. "Om, kau juga tidak boleh menarik ulur ucapan mu kemarin. Kau bilang mengadopsiku dan aku akan nurut padamu. Jadi, kau tidak boleh membuangku." Kedua mata Kamila mulai memerah, menahan tangis yang akan keluar begitu saja. Sementara Keent, melihat raut wajah Kamila yang memelas semakin tidak tahan. Keent meraih tubuh Kamila dan membawanya dalam pelukan. Ia mengelus punggung Kamila den
Bab 5 Pagi menyapa, terlihat sebuah mobil berwarna hitam baru saja terparkir di depan gerbang sekolah Nusantara X. Tepat hari ini, Kamila mulai bersekolah di tempat yang baru. Di jok samping kemudi, Keent bisa melihat Kamila yang begitu gugup. Hal itu membuat Keent meraih telapak tangannya dengan lembut. Sentuhan itu membuat Kamila menoleh ke arah Keent. "Ayo, turun. Aku akan mengantarmu masuk ke dalam." Ajak Keent. "Ti-tidak usah. Aku bisa sendiri." "Kenapa seakan kau menolakku?" Tanya Keent. Kamila menggeleng dengan cepat. Ia tidak mau jika perkataannya tadi membuat Keent berpikir yang tidak semestinya. "Bu-bukan menolak. Aku pikir.." "Turun dan ikuti aku sekarang juga." Keent memotong perkataan Kamila begitu saja dan keluar dari mobil. Sementara Kamila mengernyitkan dahinya dan menyusulnya. Di depan gerbang sekolah, keduanya berjejer menatap ke dalam kerumunan siswa siswi yang melihatnya. Kamila gugup, ia meremas ujung seragam barunya untuk meredakan rasa yang
Bab 6 "Selanjutnya Ibu Lina!" Seru salah seorang perawat dari depan ruangan kerja milik Keent. Lina dan Intan langsung beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam. Dari wajah mereka sudah sangat di pastikan bahwa kedatangannya sudah tidak baik. "Selamat pagi, dokter Keent." sapa Lina dengan senyuman yang mengembang. "Pagi, siapa yang sakit dan apa keluhannya?" tanya Keent, kedua matanya masih fokus pada kertas yang sedang berada di tangannya. Lina menyuruh Intan, anaknya, untuk berbicara. Intan yang sedari tadi terpaku menatap ketampanan Keent langsung tersadar. "Begini, dok. Payudara ku yang sebelah kanan terasa sakit. Saat di tekan sedikit rasanya nyeri, aku takut kalau terjadi sesuatu. Bukankah jika sudah seperti ini harus di operasi dok? Atau mungkin dokter punya solusi lain selain melakukan Operasi?" Jelas Intan. Keent langsung memanggil perawatnya masuk. "Kenapa, dok?" Tanya si perawat saat sudah masuk ke dalam. Keent lalu memberikan secarik kertas pada perawat
Bab 24 "Maaf, Sayang. Ternyata tidak sesuai dengan harapan. Jadi.." "Tidak apa, aku memang sudah bisa menebak akan seperti ini." Kamila memotong pembicaraan Keent. "Tapi, Keent. Seharusnya mereka kaget dengan kedatangan Kamila kan? Kenapa mereka seakan biasa saja, Mereka seperti sudah tau kalau kita akan membawa Kamila kesini." Andrew merasa ada yang janggal dari kejadian barusan. Hal itu membuat Keent jadi berpikir ulang, bahwa memang benar ada yang tidak beres. "Kau benar. Pasti ada yang memberitahu mereka sebelumnya. Andrew, bisa kau menyelidikinya untukku?" Pinta Keent. "Tentu saja." Jawabnya. Kamila berbalik, lalu berjalan ke arah makam kedua orang tuanya. Sementara Keent dan Andrew hanya bisa melihatnya dari sana. Andrew menoleh ke arah sahabatnya itu. "Keent, selnjutnya apa yang akan kau lakukan pada keluarga Herman?" Tanya Andrew. "Kita harus mengusirnya dari rumah Kamila, lalu mengembalikan Kamila ke rumahnya. Ini akan lebih baik kan? Aku tidak mau jik
Bab 23 Mobil yang di tumpangi oleh mereka bertiga akhirnya sampai di tempat pemakaman umum jalan teratai. Anehnya, Semua orang sudah berada di sana dan menatap ke arah mereka yang baru saja turun dari mobil. Herman, Lina, dan Intan terbelalak melihat kedatangan Kamila tepat di depannya. "Astaga, ternyata dia benar-benar masih hidup!" Pekik Lina. Herman maju selangkah di depan para klien dan semua orang yang hadir. Dia kini berada di tengah-tengah mereka semua dan menatap wajah Simon yang berdiri tak jauh darinya. "Lihatlah dokter ini, selama ini dia menyembunyikan keponakan ku. Aku sama sekali tidak tau apa tujuannya! Dia yang bilang kalau semua keluarga Dimas mati, pada kenyataannya, Dia menculik Kamila dan memanfaatkan kepolosan gadis itu!" Ucap Herman. Terlihat raut wajah Herman yang begitu sendu, ia sepertinya tengah berakting agar semua orang di sana mendukung dan mempercayai ucapannya. "Apa maksudmu? Bukankah kau sendiri yang berharap kalau Kamila mati? Sehingga
Bab 22 Herman terkaget bukan main. Ternyata, dokter yang dulu datang ke rumahnya adalah putra pertama Andareksa Group, Keent Andareksa. Pantas saja saat ia melihat namanya, ia merasa tidak asing. "Ha ha ha kenapa dunia seakan sempit sekali? Kita semua saling berhubungan. Tapi pak, bukankah kakak mu sudah menjadi dokter? Kenapa kau masih saja takut dan menganggapnya saingan?" Tanya Herman. "Kau tidak perlu tau privasiku lebih lanjut. Pada intinya, aku ingin membuat Keent pergi dari kediaman kedua orang tuaku. Itu saja!" Herman mengangguk dengan mantap, ia merasa bahwa sekarang ia memiliki power yang penuh karena mendapatkan dukungan dari Kairo. Sungguh bantuan besar tak di sangka, membuat Herman hanya bisa tersenyum karena keberuntungan sedang berpihak padanya kali ini. "Baiklah pak Kairo, aku akan mengatakan padamu. Karena sebuah insiden kecil, dokter itu menyuruhku untuk jujur di depan semua staf dan klien yang sudah aku bohongi. Lalu dokter itu menyuruh ku untuk datang
Bab 21 "Aku adalah sahabat dari Keent, namaku Andrew. Jadi, aku dan Keent memutuskan untuk membawa Kamila yang tengah berduka ke rumahnya. Karena awalnya kami menganggap Kamila seperti keluarga. Memang kami satu rumah, tapi di sana ada pembantu dan pengawal yang berjaga. Dan siang nanti, kami baru akan mengantarkan Kamila pulang karena dia sudah siap menerima jika kedua orang tuanya sudah tidak ada." Andrew menjelaskannya panjang lebar. Bahkan, ia sangat detail sekali supaya semua siswa dan siswi yang ada di sana jadi mengerti. Bahwa sebenarnya tolong-menolong itu sangat penting bagi sesama manusia. "Bukankah kita sebagai sesama makhluk hidup harus saling tolong menolong? Perihal dokter Keent dan Kamila pacaran, itu hak mereka. Sejak kapan kalian jadi orang yang suka mengurusi hidup orang lain? Kalian lah yang mencemarkan nama baik sekolah sendiri karena sikap kalian yang menindas orang seperti ini." Timpal Andrew lagi. Mereka semua diam, tidak ada satupun yang menjawab, term
Bab 20 Suasana di dalam mobil terlihat canggung. Hal itu terjadi karena Kamila malu saat Andrew mendengar ucapannya yang menggelikan. Tapi nampaknya Andrew masih biasa saja, Kamila sendiri yang merasa malu dan tertekan. Ia ingin cepat sampai, agar tidak ada obrolan menyebalkan di antara mereka. "Kamila, apa kau sudah berpacaran dengan pria dingin itu?" Tanya Andrew, menoleh ke arah spion mobil dalam. Kamila langsung membulatkan matanya, gugup mulai bersarang, membuat Kamila benar benar bingung harus menjawab apa. Jika ia menyembunyikan hubungannya dari Andrew, maka Andrew akan berpikir kalau ia murahan. Bagaimana tidak? Andrew baru saja melihatnya berciuman dengan Keent. Menolak, membuat Andrew tidak akan percaya sama sekali. "I-iya. Aku tidak percaya kalau Om Keent akan menembakku. Aku pikir, selera orang dewasa bukan sepertiku. Aku sempat tidak mempercayainya." Seketika Andrew terkekeh, hal itu membuat Kamila mengernyit dan bingung. Bahkan Kamila merasa bahwa Andrew mung
Bab 19 Malam hari di sebuah restoran, terlihat Luna tengah duduk di meja pojok ruangan. Sesekali kedua matanya menoleh ke arah pintu masuk, seperti tengah menunggu seseorang datang. Sampai akhirnya setelah menunggu sedikit lama, seseorang masuk ke dalam restoran itu. "Kairo!" Panggil Luna seraya berdiri dan melambaikan tangannya. Kairo melihat ke arah Luna, membalas lambaian tangannya dan berjalan mendekat. Kini, mereka sudah duduk bersama di sana. "Maaf, sudah membuatmu menunggu terlalu lama." Kata Kairo. "Aku hampir saja meninggalkan mu. Memangnya, apa yang ingin kau katakan padaku?" Tanya Luna. Jadi, Mereka berdua bertemu karena Kairo meminta Luna datang dengan alasan ingin mengatakan sesuatu. Luna yang penasaran, akhirnya mau menemui Kairo di restoran malam itu. Kairo lalu mengambil ponsel dalam saku jasnya, ia membuka ponselnya dan menaruhnya di atas meja, tepat di depan Luna. Perlahan Luna mengambil ponsel itu, dengan fokus ia melihat beberapa foto identitas Kami
Bab 18 "Om, Jangan.." Kamila menghentikan tangan Keent yang menyusup ke dalam bajunya. Keent berhenti dan menatap wajah Kamila yang semakin membuat Keent tidak tahan ingin memakannya. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak bisa menahan diri. Kalau begitu kita tidur siang saja." Ucap Keent. "Hmm..." Kamila mengangguk. Keent lalu mengecup kening Kamila sebelum akhirnya ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tepat di samping gadis itu dan memeluknya. "Bibirku kebas sekali. Kenapa Om Keent sangat jago berciuman? Bukankah katanya dia belum pernah pacaran?" Batin Kamila. Tiba-tiba, perut Kamila berbunyi. Hal itu membuat Keent langsung menoleh ke arah kekasihnya itu. "Kamila, kau belum makan?" Tanya nya. "Aku menunggu Om Keent pulang biar makan bareng." Jawabnya. Mendengar hal itu membuat Keent menghela napas panjang. Ia lalu beranjak dan mendudukkan Kamila dengan cepat. "Lain kali kalau kau lapar dan aku belum pulang, kau harus makan dulu. Oke?" "Iya, Om. Aku..."
Bab 17 "Kamila, apa sudah pakai handuknya?" Tanya Keent yang masih menutup kedua matanya. Namun, ia sama sekali tidak mendengar jawaban ataupun suara dari Kamila. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuka kedua matanya perlahan. Di luar dugaan, ternyata Kamila sudah tidak ada di sana. Hal itu membuat Keent hanya terkekeh lantaran ia begitu gampang di bodohi oleh gadis itu. Keent yang masih berada di tepi kolam langsung beranjak ke atas. seluruh jas dan tubuhnya basah kuyup. Bergegas ia melepaskan semua pakaiannya dan hanya menyisakan celana short nya saja. "Om, aku bawakan handuk untukmu..." Tiba-tiba suara Kamila mengagetkannya. Kamila terpana melihat tubuh Keent yang begitu atletis di depannya. Bahkan sesekali Kamila harus menelan salivanya dan tak berkedip sekalipun. Keent tidak malu, dengan percaya dirinya ia berjalan ke arah Kamila yang masih mengulurkan handuk untuknya. Ia mengambil handuk itu dan melingkarkan pada tubuh bagian bawah. Dada kekarnya masih terekspos, me
Bab 16 Mobil yang di tumpangi oleh ayah Damian dan Ibu Desi baru saja tiba di depan rumah mewah miliknya. Keduanya turun dan berjalan beriringan masuk ke dalam. Sedari tadi tangan ayah Damian terkepal, menunjukkan bahwa dirinya sedang menahan emosi yang meluap. "Sayang, kita bisa bicarakan baik-baik dengan Kairo." Kata Ibu Desi. Sesekali Ibu Desi mencoba membujuk suaminya agar tidak melakukan hal yang bisa membuat kerusuhan rumah itu. Nyatanya, ayah Damian tidak mendengarkannya. ayah Damian sudah terlanjur marah dan merasa di permainkan oleh anak bungsunya itu. "Dimana Kairo?" Tanya ayah Damian pada seorang pelayan yang melintas di depannya. "Di kamarnya, tuan. Sepertinya masih tidur." Jawabnya. "Lihatlah anakmu, sudah jam segini masih tidur! Bagaimana aku bisa mempercayakan perusahaan ini padanya!" Suara ayah Damian terdengar begitu gemetar karena menahan emosi yang seakan ingin meledak begitu saja. Ia melangkahkan kakinya ke arah tangga menuju lantai dua dimana ka