Beranda / Romansa / Di mana Rindu ini Kutitipkan / Pelataran dan Sebuah Perkenalan

Share

Di mana Rindu ini Kutitipkan
Di mana Rindu ini Kutitipkan
Penulis: akhmad fatoni

Pelataran dan Sebuah Perkenalan

Penulis: akhmad fatoni
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-10 23:13:57

Bertemu, penasaran, rindu, dan berakhir pada perpisahan.

Siklus cinta yang selalu saja membuatku terjatuh berkali-kali dan anehnya aku tidak pernah takut terjatuh. Sampai detik ini, aku pun belum bisa menemukan titik paling absurd yang sulit dijamah. Titik yang mempertemukan dua belah jiwa.

                                                          *

Mbak Lila, perempuan manis penunggu ruang tamu. Yah, aku lebih suka menyebutnya dengan perempuan penunggu ruang tamu daripada resepsionis. Tapi, jangan menganggap tempat kerjaku di sebuah hotel. Aku bekerja di sebuah kantor penerbitan. Mbak Lila, inilah yang dengan telaten dan piawai mengatur jadwal pertemuan antara para penulis, distributor, dan para tamu. Dan entah, ia rasanya tak pernah kehabisan bekal senyuman. Aku diam-diam sering mengamatinya, bukan hanya karena wajah cantiknya itu tetapi bagaimana ia selalu saja mampu meramu senyum yang membuat ia makin menawan dan lebih manis.

Sejak kali pertama aku datang ke kantor ini, ia juga yang menyambutku pertama dan meminta menunggu di kursi tamu. Ramah, lembut, dan tentu dengan senyum manisnya. Aku masih ingat betul waktu itu. Waktu di mana aku melamar pekerjaan di kantor ini. Aku sebagai seorang yang membutuhkan pekerjaan merasa diberi sebuah kenyamanan dengan sambutan yang begitu ramah. Aku menunggu di kursi tetap di sebelah kanan meja resepsionis. Aku sesekali melirik Mbak Lila. Duh, cantiknya.

“Saudara Adi Nugraha.” Suara lembut Mbak Lila membuyarkan lamunanku, “silakan menuju ruang wawancara.” sambil ia menunjuk sebuah ruang di sebelah kiri. 

Bayangan wajahnya yang cantik itu, tidak bisa lepas dari ingatakanku sampai ketika aku menemui petugas yang mewawancaraiku wajah cantik resepsionis itu masih terekam jelas. Perasaan itu membuat ras deg-degan sejak pertama masuk kantor ini, seketika lenyap, bahkan saat aku duduk di kursi wawancara ini. Aku bisa menyodorkan senyum paling manis yang kumiliki.

Hal itulah yang membuatku merasa nyaman setiap mengawali kerja. Ya, setiap pagi senyum dan sapa Mbak Lila itulah yang membuatku merasa nyaman bekerja. Pekerjaan yang masih baru dan asing.

Pak Tarman, office boy yang tidak lagi muda. Wajahnya beruban dan aku taksir berumur 50-an. Pak Tarman inilah orang kedua setelah Mbak Lila yang kukenal pertama di kantor ini. Perangainya membuatku terpana. Santun, sopan, dan ramah, seperti Mbak Lila. Setelah aku bekerja di kantor ini, barulah kutahu Pak Tarman selain menyapu, mengepel, dan membersihkan kantor ini, juga memiliki tugas ganda: membuatkan kopi dan teh untuk semua karyawan. Aku sempat kaget ketika pertama Pak Tarman menanyakan mau minum kopi atau teh. Tentu saja, aku yang kolot langsung menjawab tidak perlu. Bukan alih-alih takut merepotkan, tetapi takut diminta untuk membayar. Otakku memang terlalu matematis.

“Silakan Mas kopinya. Melihat dari bibirnya yang berwarna agak gelap, pasti Mas Adi Nugraha seorang perokok. Tentu perokok itu, lebih suka minum kopi daripada minut teh.” Sembari melihat papan nama kecil di mejaku.

“Oh iya, terimakasih. Panggil saja nama saya Nugie, N-U-G-I-E.” Sembari meraba dompet dari saku celana belakang.

“Maaf Mas N-U-G-I-E, semua karyawan tidak boleh memberikan uang tips. Ini sudah pekerjaan saya. Setiap karyawan harus saya buatkan minuman, tentunya setelah saya membersihkan semua ruangan di kantor ini.. Dan semuanya gratis kok.” ucapnya seolah mengerti kegagapan wajahku sebagai karyawan baru.

Pekerjaan baru ini membuatku makin betah. Tentunya karena kesukaanku dengan buku-buku. Aku memang tidak pernah suka membawa pulang pekerjaan, itulah yang kadang membuatku sering pulang malam. Dan Pak Tarman rela bekerja lembur hanya menungguiku.

“Pak Tarman pulang saja duluan, sebentar lagi pekerjaan saya sudah selesai kok.”

“Tidak apa-apa Mas, toh ini kewajiban saya. Melayani setiap pekerja. Sebelum semua pekerja pulang, berarti jam kerja saya belum selesai.”    

Jika sudah seperti itu, aku pasti tidak bisa memaksanya lagi. Beliau memang orang yang amat patuh. Semua pekerjaan selalu berusaha dikerjakan serapi mungkin. Tidak pernah ditunda-tunda. Yah, darinya aku banyak belajar disiplin. Selalu menyelesaikan mengedit naskah yang akan segera diterbitkan tepat waktu. Jika memang pekerjaan belum selesai, sedangkan waktu sudah malam barulah aku memilih untuk kukerjakan di rumah. Sebab jika aku menyelesaikan di kantor, Pak Tarman pun mau tidak mau harus lembur menungguiku. Namun, aku selalu menjawab bila ditanya Pak Tarman kalau pekerjaanku sudah selesai. Kebaikan Pak Tarman itu, membuatku meminta pada atasanku untuk memberi uang lembur kepadanya tiap kali aku harus melembur semua pekerjaan kantor.   

Adanya Pak Tarman yang selalu menemaniku lembur, membuat aku merasa lembur di rumah. Begitu juga ketika di rumah, aku tidak pernah mau santai sebelum pekerjaan kantorku benar-benar rampung. Aku kerap tidur larut. Ibu selalu menegurku jika aku tiap malam terus begadang. Namun teguran-teguran itu, selalu saja kuabaikan. Dan jika sudah seperti itu, ibu tak pernah menggerutu. Nampaknya ialah orang terbaik yang harus selalu aku kenalkan ke dunia.

“Masih banyak kerjaannya?” Sembari menaruh secangkir kopi di meja kerjaku.

“Lumayan Bu, besok harus dipresentasikan soalnya. Aku harus membacanya sampai tuntas.”

“Oh iya, Alex tadi ke sini tapi kamu belum pulang.”

“Sama siapa dia Bu?” tanyaku.

“Kayaknya sendirian. Dia juga tidak lama kok. Baru datang, langsung mau balik. Ibu tanya ada pesan yang perlu disampaikan, katanya nanti ia telepon saja. Memangnya dia belum telepon kamu?” sembari berjalan meninggalkanku.

“Sudah si Bu, tapi tadi aku tidak tahu pas dia telepon. Setelah ini, biar aku telepon balik.”             

 Ah, tinggal 10 halaman lagi. Biar aku lanjutkan dulu, baru nanti setelah itu telepon Alek.

Setelah semuanya rampung. Laptop kumatikan. Eh, tiba-tiba hapeku berbunyi.

“Ya, halo…katanya kamu tadi habis dari rumah? Ada apa? Sory tadi aku lembur. Biasa dikejar deadline, besok harus presentasi.”

“Wah, dasar pemburu dolar. Eh, masih membujang saja sudah bekerja sekeras ini, apalagi nanti kalau sudah punya istri dan anak, pasti lupa padaku dan tidak lagi bisa ngopi bareng.”

“Dasar, bukannya begitu kawan. Tuntutan profesi.”

“Iya, iya…aku pasti kalah kalau beradu argumenmu.”

“Asem…, oh iya ada apa tadi ke rumah?”

“Besok ada acara di gedung pemuda. Acaranya teman-teman. Datang yuk!”

“Besok ya….”

“Ah, ayolah…jangan lembur lagi. Rayu bosmu. Minta konpensasi sehari saja, untuk besok. Kau juga sudah lama tidak refresing. Hitung-hitung menyegarkan otak, mengembalikan pada posisi nol.”

“Baiklah, aku usahakan. Besok seusai rapat, aku kabari. Aku tak melobi pak bos.”

“Oke deh…”

                                                                *

Presentasi berjalan dengan lancar. Buku lolos. Satu pekerjaan telah selesai.

“Saya memang tidak salah memilihmu.” Tiba-tiba saya dikagetkan dengan tepukan tangan Pak Bram.

“Ah, Bapak terlalu berlebihan. Saya menjadi seperti ini karena bimbingan dari Bapak,” Tiba-tiba aku ingat ajakan Alex. “oh iya Pak. Nanti saya pulang lebih awal ya. Sebab nanti ada keperluan.

“Ah, ada acara apa? Tentu saja Nugie, bahkan untuk cuti pun akan saya beri. Kamu sudah bekerja keras untuk perusahaan ini.”

“Tidak Pak, hanya acara pertunjukan teater. Saya tidak bisa lembur untuk hari ini, saya ada undangan untuk menghadiri acara tersebut.”

“Oh tentu, silakan. Jika kamu memang nanti butuh cuti. Tinggal hubungi Lila.” Sembari meninggalkanku yang merapikan alat-alat presentasiku.

Pak Bram, owner penerbit tempatku bekerja. Tidak banyak bicara, tegas, dan masih muda. Aku salut melihatnya. Jika aku melihat, umurnya nampaknya hanya berselang beberapa tahun di atasku. Salah satu hal yang aku suka darinya yaitu selalu saja memberi ucapan selamat kepada setiap pegawainya bila mampu mengerjakan sesuatu dengan baik. Tidak hanya itu, ia juga selalu mendidik dengan telaten, bila melihat pegawainya masih belum mampu mengerjakan tugas dengan baik. Ia selalu bercerita tentang pengalaman orang-orang hebat dalam meniti kariernya. Itulah yang membuat kami semua selalu saja segan kepadanya.

Setelah usai, aku langsung memberi kabar kepada Alex kalau nanti bisa berangkat. Alex, salah satu teman karibku. Ia sahabatku sejak di bangku SMA. Teman-teman bahkan sering mengatakan di mana ada Alex, pasti di situ ada Nugie. Ya, kami memang selalu saja bersama. Meskipun saat ini, kita tidak bekerja di tempat yang sama. Kita masih saja kerap nongkrong dan jalan-jalan berdua. Entahlah, aku selalu saja menemukan kesamaan. Tentunya intensitasnya ketika kami bekerja sudah tidak seperti dulu.

                                                                *

Setiba di sana, suasana masih nampak sepi dan tenang-tenang saja. Hanya nampak  beberapa orang yang bercelana hitam dan berkaos putih. Mungkin panitia acara. Aku dan teman-teman memarkirkan motor. Setelah itu, celingak-celinguk mencari warung kopi di sekitar kantor. Ah, nihil. Akhirnya aku memilih duduk di tikar-tikar yang sudah disiapkan panitia. Sembari menunggu acara dimulai.

“Sebentar, aku mau masuk. Aku tadi janjian dengan temanku.” Seru Nana.

“Oh iya, kita duduk di sini. Jika nanti mencari.” Jawabku.

Aku berangkat ke acara bersama 6 orang. Aku berboncengan dengan Nana, Alex dengan Wedar, dan Wulan dengan Sam. Ketika aku sedang asik ngobrol dengan Alex, tiba-tiba pandanganku tercuri dengan sosok perempuan yang berjalan bersama Nana. Elegan sekali. Aku menatapnya dengan tamat. Cukup memukau dan mampu mencuri perhatianku. Duh, ada apa denganku?

Aku kembali ngobrol dengan Alex dan teman-teman. Bercerita perihal pekerjaan dan kesibukan masing-masing. Gayeng. Tiba-tiba obrolan kami terpecah ketika Nana datang.

“Kenalkan ini, temanku.” Ucap Nana.

“Sally…” Perempuan itu menyodorkan tangan ke arahku.

Aku benar-benar terpaku. Bukannya aku menjabat tangannya dan menyebutkan namaku, tapi aku hanya terbengong menatapnya.

Loh, malah bengong.” Suara Nana, menyadarkanku.

“Maaf,” aku menjabat tangannya, “Nugie.”

Lalu ia bersalaman dengan Alex, Wedar, Wulan, dan juga Sam. Ketika aku sedang menamatkan pandanganku kepada teman Nana itu. Tiba-tiba ada orang duduk di sebelah kiriku dan taksengaja menyenggol pundakku.

“Oh, maaf Mas.” Serunya.

“Oh iya tidak apa-apa. Loh, kamu…” aku seperti tak asing dengan wajahnya, “masih ingat denganku?” tanyaku balik.

Ia nampak mengingat sesuatu.

“Siapa ya?” tanya perempuan itu.

“Kamu yang dulu pernah aku latih menggarap drama toh?” Aku mencoba mengembalikan ingatan di mana kita dulu pernah bertemu.

Ia memejamkan mata. Duh. Cantik juga perempuan ini. Uh…pikiranku mulai kacau. Namun usahanya untuk mengingat nihil. Ia menggeleng. Ia mengenalkan dua orang perempuan yang juga datang bersamanya.

“Namamu Lidya kan?” Tanyaku meyakinkan.

“Iya,” jawabnya sembari tersipu malu.

“Sudah ingat? Dulu, waktu kamu ada tugas penggarapan naskah drama. Teman sekelasmu meminta aku untuk membantu garap naskah tersebut. Masak sudah lupa?”

“Oh, iya…iya aku ingat Mas.” Jawab Lidya.

“Aktivitasmu apa sekarang? Masih lancar hubunganmu….siapa nama cowokmu itu?”

“Danny.”

“Iya, Danny.”

“Masih Mas. Tapi sampai sekarang ia masih belum lulus kuliah.”

“Loh kok bisa? Ya dibantu dong cowoknya garap skripsi. Biar cepat lulus.”

“Ya ndak mungkin Mas. Secara, aku sekarang sudah tidak di Surabaya lagi. Aku ngajar Mas.”

“Oh, ngajar di mana sekarang Lid?”

“Di SMAN 1 Sooko. Ini muridku, murid teater. Selain mengajar formal, aku juga mengajar eskul teater di sana.”

“Weh, manjur dong ajaranku.” aku kemudian tertawa.

Saat sedang asik-asiknya berbincang dengan Lidya sembari membongkar kenangan yang lama terkubur. Tiba-tiba Nana memanggilku, aku menoleh.

“Sally ini penulis. Tulisannya mengisi kolom cergam setiap hari Minggu.” ujar Nana sembari menceritakan siapa teman barunya itu.

Aku hanya terpaku. Rasanya segalanya runtuh. Hanya ada tatapan yang memburu. Memburu wajah teduh yang tepat berada di depanku. Matanya amat tajam, seperti mata elang. Senyumnya serupa gerimis yang mampu membuat basah bila tidak segera berlindung. Sungguh, aku telah basah karena senyuman itu.

Nampaknya ia telah membaca kegagapanku. Aku benar-benar kalah pada pandangan pertama. Dus. Hatiku rasanya bercecer di mana-mana. Apalagi saat tadi berjabat tangan dengannya, kehalusan tangannya membuatku melayang.

Aku benar-benar kacau. Dan anehnya, aku ingin terus dalam kekacauan semacam ini. Namun, aku tiba-tiba gagap setelah Nana berdehem. Nana mengajak ngobrol Sally. Entah membicarakan apa. Aku kemudian kembali ngobrol dengan Lidya. Aku kembali bercengkrama. Membuka kenangan lama bersama Lidya dan kisah-kisah selama aku melatih dia. Nostalgia selalu indah.

Panitia acara datang membawa beberapa gelas kosong dan teko yang telah berisi kopi. Setelah meletakkan di meja, kemudian ia mempersilakan agar mengambil kopi sendiri. Aku langsung beranjak, sebab daritadi aku mencari warung di sekitar sini tidak ada. Ya, satu keburuntungan lagi untukku mala mini.

“Mas, tolong buat aku juga ya.” Teriak Sally ketika aku hendak menuang kopi.

Aku pun mengambil tiga gelas. Aku isi tidak terlalu penuh. Aku menghampiri Sally, “Perempuan penggila kopi,” batinku sembari aku menyodorkan kopi itu untuknya, juga kepada Nana.

 “Terimakasih ya Mas.” Serunya basa-basi.

“Oh, iya…”aku pun membalas senyumnya, “suka kopi juga ya?”

“Begitulah.” Jawabnya santai.

Kita kembali berbincang. Ia kemudian bercerita perihal pekerjaannya. Kita saling berkisah tentang keseharian masing-masing. Dan aku juga menanyakan apakah ia suka dengan kegiatan semacam ini. Sebab sebelumnya aku belum pernah melihatnya.Ternyata ia suka dengan segala aktivitas seni, khususnya teater, tari, dan lukisan. Aku langsung saja meminta nomor handphone-nya, agar aku lebih mudah bila ingin mengabari kalau ada kegiatan serupa. Dengan ringan ia mendiktekan nomornya.

Acara satu per satu mulai disuguhkan. Namun baru sampai pada pertengahan acara Nana tiba-tiba pamit pulang. Begitulah Nana, ia selalu saja terkena jam malam. Setiap pukul 9 malam, pada acara apa pun ia selalu pamit pulang. Aku sedikit bingung. Sebab tadi aku berangkatnya berboncengan dengan dia. Alamak.  

“Aku pulang dulu ya?” pamit Nana.

“Loh, kok sudah pulang. Acara baru saja dimulai.” jawabku.

“Iya, biasa terkena jam malam. Ingin hati terus di sini, tapi apa daya.” sahut Nana dengan suara penuh kekecewaan.

“Ya, sudah kalau begitu, hati-hati ya.” jawabku.

Aku kemudian mengantarkan Nana ke tempat parkir, membantu mengeluarkan motor. Namun aku mulai berpikir, lantas aku nanti pulang bareng siapa? Ah, sudahlah biar nanti diatur.

“Kamu tidak balik juga?” tanyaku pada Sally, ketika kembali duduk di sebelahnya.

“Ndak Mas, tadi sudah ijin kok kalau ada acara.” sambil tersenyum. Alamak, manis betul senyum gadis ini.

“Sebelumnya aku minta maaf ya. Sebenarnya tak enak ngomongnya, namun bagaimana lagi. Ini di luar rencana. Begini, aku tadi ‘kan berangkat sama Nana, namun ia pamit pulang dulu. Jadinya aku tidak ada teman pulang. Bolehkah nanti aku minta tolong diantar ke terminal?”

Sally nampak berpikir.

“Tolong ya, sungguh sebenarnya aku tidak enak. Kita baru saja kenal, tapi sudah merepotkan.” tambahku.

“Oh, iya tidak apa-apa kok Mas.” jawab Sally dengan suara lirih. Aku menduga ia sebenarnya berat hati. “selama bisa membantu, pasti dibantu.”

Slum. Aku benar-benar senang, sampai-sampai aku tidak kontrol diri. Aku langsung mememang tangan Sally, sambil terus mengucapkan terimakasih. Ia tersenyum padaku. Senyum itu yang membuatku begitu tenang dan sekaligus menyadarkanku kalau apa yang kulakukan berlebihan.

“Maaf, maaf, maaf...” aku benar-benar takut kalau ia marah. Namun, nampaknya ia tidak ada rasa marah sedikit pun.

“Tidak apa Mas. Begitulah ekspresi bahagia yang begitu besar. Aku juga pernah merasakan hal itu. Jadi, tidak begitu kaget jika ada orang yang melakukan hal serupa.” sembari tersenyum kepadaku.

Rasa panik bercampur senang membuatku tidak begitu mengikuti rangkaian acara. Dan tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan suara pembawa acara yang memanggil namaku. Yah, namaku dipanggil untuk membacakan puisi. Sally, tiba-tiba kaget dan melihatku.

“Mas yang dimaksud oleh pembawa acara itu?” tanyanya dengan setengah tidak percaya. Aku hanya menjawab dengan senyuman, sembari mengeluarkan draf kumpulan puisiku yang dalam waktu dekat akan segera terbit.

Aku membacakan 3 puisi.

“Itu bukunya Mas?” ia membuka percakapan setelah aku kembali duduk di sebelahnya.

“Iya, ada apa?” jawabku.

Ia tidak menjawab, tiba-tiba saja mengambil draf buku itu dari tanganku. Aku hanya terpaku. Ia mengambil tasnya. Ah, aku berpikir yang aneh-aneh. Pikirku, baru kenal sudah mau mengambil paksa bukuku. Aku hanya melihat dia dengan saksama. Ia mengeluarkan sebuah pulpen dari tas, lalu membuka halaman terakhir dari draf bukuku. Nampaknya ia menuliskan sesuatu di sana.

“Dibaca kalau sudah sampai di rumah.” sembari menyodorkan buku itu kepadaku.

“Oh, aku pikir tadi mau diambil buku tersebut. Maaf, telah berprasangka buruk.” sekali lagi ia tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya tersenyum. Seusai acara, aku pun diantarkan Sally ke terminal.

Saat perjalanan pulang, kita ngobrol tentang banyak hal. Tentang hal remeh-temeh. Aku benar-benar menikmati obrolan kita, walaupun terkadang tidak terdengar dan terpaksa mengulang karena suaraku tertempa angin, hingga tak terasa terminal sudah di depan. Ah, kenapa jarak terminal terlalu dekat. Ingin rasanya terminal ini pindah lebih jauh, agar aku masih bisa ngobrol lebih lama dengan Sally.Tapi, hal itu sungguh mustahil.

                                                       *

                Kauboleh menggandeng tanganku, tapi tidak hatiku.

Aku benar-benar tak menyangga pesan yang ditulis Sally berbunyi seperti itu. Apakah ia memberi isyarat kepadaku perihal hati yang rapuh. Hati yang harus sembuh. Dan Sally datang dengan penyembuh itu? Oh, sungguh aku taktahu.

“Beberapa menit yang lalu, aku sudah sampai di rumah. Dan sudah kubaca pula pesanmu. Apa maksudmu menuliskan itu?” message send.

Beberapa menit setelah itu, “Tidak ada maksud apa-apa. Terimakasih untuk secangkir kopinya?” hah, gila. Dingin sekali jawabannya. Namun aku tidak bisa tenang dengan jawaban Sally. Ia sudah mengubah tatanan dalam pikiranku. Aku membaca tanda-tanda yang harus aku ubah menjadi pesan terselebung di dalamnya.

Aku akan membuat semua tanda itu menjadi semakin jelas. Kaumampu membuatku merasakan sebuah keteduhan yang selama ini telah hilang dalam hidupku. Meskipun sikapmu begitu acuh dan seolah-olah tidak memerlukan sebuah cinta, tapi aku yakin bahwa suatu ketika aku pasti bisa memilikimu. Mendapatkan hatimu.

Kaudatang dalam hidupku, tentu dengan menawarkan sesuatu. Maka aku harus memberikan sesuatu yang lebih kepadamu, melebihi tawaran yang kauberikan. Kaupasti tahu tentang kekagumanku terhadapku. Kaumungkin tahu dari tatapan mataku atau kegugupanku saat berbincang denganmu. Jika tidak, kautidak mungkin menuliskan pesan itu. Yah, kau terlalu berani untuk ukuran orang yang baru saja kaukenal.

Baiklah Sally, aku terima tantanganmu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Silva Anggi Lestari
enak, ngalir ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Hancur dan Terkumpul

    Hidupku serupa pelangi.Rasanya indah. Tiba-tiba muncul nuansa baru. Aku jadi begitu cerah dan penuh semangat, sehingga aku selalu mendendangkan lagu-lagu cinta. Teman-teman di kantor pun ikut merasakan pancaran energi bahagia itu, membuat suasana kantor menjadi riuh. Penuh kebahagiaan. Inilah surga. Surga dunia. Surga yang turun di kantorku pagi ini.“Wah, ada yang sedang jatuh cinta rupanya.” ucap Pak Tarman sembari menaruh kopi di meja kerjaku. Aku membalas dengan senyuman, “dunia menjadi indah ketika sedang jatuh cinta. Selamat jatuh cinta, tapi awas patah nanti hatinya.” lanjut Pak Tarman sembari meninggalkan ruanganku.Omongan Pak Tarman tiba-tiba begitu menancap di pikiranku. Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Sally. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang baru kukenal, bahkan perangainya pun aku taktahu. Ia memang cantik, tapi pandangan matanya itu benar-benar membunuh. Apakah aku terbunuh dengan p

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Hujan yang Membasahi Hatiku

    Aroma hujan masih terasa. Bau tanah menyeruak dan membuat suasana menjadi terasa segar. Hujan mengguyur semalaman. Hujan selalu saja menyisakan ingatan dalam benakku. Hujan membuatku terlelap sejak sore. Kedatangannya serupa dongeng yang selalu membuatku selalu ingin melingkarkan tubuh, mirip kucing yang sedang kedinginan. Itulah yang membuatku selalu menggagumi hujan. Hujan selalu membuatku merasa teduh, serupa hangatnya pelukan ibu. Namun, hujan semalam telah membuatku mengecewakan Sally. Semoga hujan tidak membuatmu menjauh dariku Sally.“Maaf Sally, semalam hujan mengguyur. Aku teramat payah, hingga tertidur. Dan maaf, aku tidak bisa datang menemanimu semalam.” Pesan itu langsung kukirim kepada Sally.“Sekarang hari Sabtu, nanti aku pulang lebih awal. Bisakah nanti kita ngopi, mengganti pertemuan semalam.” Sekali lagi aku mengirimkan pesan kepada Sally.Aku tahu, Sally tidak akan membalas pesanku. Biasanya jam segini ia ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Cafe dan Sebuah Impian

    “Terimakasih telah menemaniku menikmati hujan.”Pesan singkat itu kukirim kepada Sally. Entah kenapa aku selalu merasa ingin terus berkomunikasi dengan dia. Walaupun seharian aku sudah bersamanya, rasanya rindu ini selalu tumbuh dan tumbuh. Apakah setiap orang yang jatuh cinta selalu merasakan seperti ini?“Terimakasih juga telah berkenan memotret motor adikku.”“Oh iya, besok malam ada acara? Ngopi yuk!”“Di mana?”“Tempat dan waktu, kamu yang tentukan.”“Oke. Di Café Lilo ya, pukul 19.00.”“Oke”“Semoga tidak hujan.”Aku ingin tidur lebih awal, agar waktu lebih cepat berlalu. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Sally. Rasanya aku menemukan semangat baru dalam menjalani hidup sejak bertemu dengannya, bahkan aku kini sudah mulai berani melonggarkan pekerjaan. Tidak seperti dulu yang selalu membenamkan diri dalam

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mahar, Perbincangan yang Melantur

    Pertemuan dengan Sally di Lilo benar-benar membuat hidupku berubah. Aku ingin segera bisa mewujudkan mimpi itu bersama. Menikah dan memiliki sebuah café. Ah, rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepada sahabatku. Aku ingin mendengar bagaimana pendapatnya. Aku berusaha mengirim pesan kepada Alex. “Sedang di mana? Nongkrong yuk.” “Wih, tumben amat orang yang sok sibuk sekarang ngajak nongkrong?” “Ah, kamu selalu saja menyindirku. Sudahlah, terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin ketemu kamu. Aku ingin banyak bercerita kepadamu.” “Wah, mau cerita apa ini?” “Ada deh. Nanti aku ceritakan.” “Siap, tapi ditraktir ya?” “Oke. Ketemu di Monami ya.” “86, Ndan.” “Oke, ketemu di sana ya. Aku sekarang meluncur.” Ketika sampai di Monami aku berusaha mencari Alex, mungkin ia sudah datang terlebih dahulu. Namun setelah aku cari, tidak kutemukan. Aku langsung memesan kopi sambil menunggu dia datang. “S

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Puncak, di Sanalah Semua Bermula

    Cobalah sesekali, dari atas kamu akan melihat betapa besarnya keagungan Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membedakan ajakan atau suruhan. Namun aku tetap tidak ingin dan pasti tidak mau. Walau itu Sally yang memaksa. Mungkin aku seseorang yang keras. Entah kerasnya seperti apa, kadang aku juga tidak mampu mendefinisikannya dengan baik. Sebab kadang aku menjadi lembut melebihi sutra. Aku bisa tahu yang tidak diketahui orang. Indra keenam. Entahlah, aku tidak pernah merisaukan itu. Namun kenyataannya aku aneh. Aku menyukai yang tidak disukai orang. Aku suka dengan buku-buku dan tenggelam di dalamnya. Kadang aku berbicara sendiri, kata mereka. Tidak denganku, sebab aku sedang dialog dengan sesuatu yang tidak pernah bisa diajak orang dialog. Hingga orang-orang berbondong-bondong datang untuk menonton dan menyebutnya monolog. Sebenarnya yang aneh siapa? Mereka yang menonton orang aneh atau aku? Bukan berarti aku tidak percaya atau tidak menyukai pilihan

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Malam, Di sanalah Rumah Paling Teduh

    Sejak percakapan di Coffe Shop itu, aku dengannya sering bertengkar. Entah hal-hal sepele pun bisa menjadi pemantik emosi di antara kita. Aku jadi merindukan saat pertama dulu. Kita selalu melontarkan kata-kata manis. Sampai akhirnya kita menuliskan puisi untuk mengikat janji. Dan kita saling merindu dan bercakap tiap malam melalui telpon, seolah sedang bercakap secara langsung. Aku benar-benar merindukan masa itu. “Kok belum tidur?” “Aku tidak terbiasa tidur sore. Entah rasanya aku lupa cara untuk tidur lebih awal.” “Berarti kamu insomnia.” “Tidak. Sebab kepalaku tidak pernah sakit bila tidak bisa tidur. Orang pengidap insomnia kepalanya selalu sakit. Sedangkan aku tidak pernah merasakan sakit. Jam tidurku bergeser.” “Bergeser? Maksudnya?” “Aku baru bisa tidur bila ayam sudah mulai berkokok. Di mana orang-orang mulai bangun tidur. Hal itulah yang membuatku selalu tidak bisa menikmati matahari terbit. Dan mungkin itulah aku be

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Malam Lebaran

    Tiba-tiba ada sebuah pesan dari inbok facebook.“Saya ambil buku Ziarah Cinta Mas. Bagaimana pembayarannya?”Pesan yang amat singkat. Yah, memang unik. Terkadang ada orang yang bertanya panjang lebar. Ada yang sekadar basa-basi dan akhirnya tidak jadi beli. Bahkan ada yang seolah tidak membeli tapi akhirnya memborong begitu banyak buku.“Anda tinggal di mana?” Balasku singkat.“Saya tinggal di Jakarta.”“Pembayaran via transfer.”“Panggil saya Zahrah saja, biar lebih akrab. Berapa yang harus saya bayar?”“Ziarah Cinta, 35 ribu Mbak. Jadi dengan ongkos kirim, total yang harus dibayar 50 ribu. Tidak pesan buku yang lain?”“Jangan panggil Mbak, Zahrah saja. Ada buku lain yang serupa dengan Ziarah Cinta?”“Iya Zahrah.”Setelah membaca pesan terakhir itu, aku lalu melihat koleksi jualan bukuku. Mencari novel religi serupa Zi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10

Bab terbaru

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Surat

    Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Wasiat

    Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mimpi yang Pecah

    Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Sebuah Nama

    Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Jangan Bilang pada Ibu

    Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Singapura, Lingerie, dan Novel Baru

    Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ziarah dan Pertemuan yang Tertunda

    “Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status