Home / Romansa / Di mana Rindu ini Kutitipkan / Mahar, Perbincangan yang Melantur

Share

Mahar, Perbincangan yang Melantur

Author: akhmad fatoni
last update Last Updated: 2021-07-10 23:38:27

Pertemuan dengan Sally di Lilo benar-benar membuat hidupku berubah. Aku ingin segera bisa mewujudkan mimpi itu bersama. Menikah dan memiliki sebuah café. Ah, rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepada sahabatku. Aku ingin mendengar bagaimana pendapatnya.

Aku berusaha mengirim pesan kepada Alex.

“Sedang di mana? Nongkrong yuk.”

“Wih, tumben amat orang yang sok sibuk sekarang ngajak nongkrong?”

“Ah, kamu selalu saja menyindirku. Sudahlah, terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin ketemu kamu. Aku ingin banyak bercerita kepadamu.”

“Wah, mau cerita apa ini?”

“Ada deh. Nanti aku ceritakan.”

“Siap, tapi ditraktir ya?”

“Oke. Ketemu di Monami ya.”

“86, Ndan.”

“Oke, ketemu di sana ya. Aku sekarang meluncur.”

Ketika sampai di Monami aku berusaha mencari Alex, mungkin ia sudah datang terlebih dahulu. Namun setelah aku cari, tidak kutemukan. Aku langsung memesan kopi sambil menunggu dia datang.

“Sudah sampai di rumah?” sebuah pesan singkat kukirim kepada Sally.

“Sudah baru saja. Kamu sedang apa?”

“Ini sedang menunggu Alex. Kita janjian ketemu di Monami.”

“Berarti dari Lilo tadi tidak langsung pulang?”

“Iya, mau ketemu dengan Alex. Lama aku tidak ngobrol dengan dia. Entah tiba-tiba aku pengen ngajak dia nongkrong.”

“Oke, salam ke Alex ya.”

“Siap.”

Ketika aku sedang asik SMS-an dengan Sally, tiba-tiba saja Alex mengagetkanku.

“Sory, lama. Tadi harus nganter ibu dulu ke penjahit.”

“Santai saja. Aku baru saja pesan kopi, belum jadi juga kok.”

“Owalah, aku kira sudah lama. Oh iya, aku sudah dipesankan?”

“Belum Lex, tadi mau aku pesankan kopi, tapi takutnya nanti tidak sesuai selera. Jadi aku biarkan saja nunggu kamu.”

Lalu Alex melambaikan tangan kepada pramusaji. Memesan kopi.

“Oh iya, ada apa ini? Kok tumben amat ngajak nongkrong. Biasanya saja kerja.”

“Yah, sesekali otak juga butuh disegarkan to?”

“Ah, kamu ini paling jago kalau mencari alasan.”

Kita memang sudah lama berteman, sehingga kita sudah sama tahu kebiasaan masing-masing. Aku mengenalnya sejak SMA. Dan dia temanku SMA yang sampai sekarang masih terus nyambung. Mungkin karena kita belum menikah, tapi aku berharap walau kita nanti sudah menikah masih terus bareng.

“Bagaimana kerjaanmu?”

“Biasa Gie, lancar. Pesanan mulai banyak. Yah, rasanya aku mulai menikmati pekerjaan online ini. Bisa lebih santai dan tidak terikat. Jadi bos untuk diri sendiri.”

“Wah, keren dong.”

“Aku kemarin juga membuatkan website jual-beli. Biar media promosinya tidak kenal lelah. Hehehehe”

“Wah, aku bisa update jam tangan terbaru dong.”

“Ah, bisa saja kau ini.”

Di saat sedang asik ngobrol, pramusaji datang membawa pesanan kita.

“Mbak tambah kentang goreng ya? Kamu tidak pesan Gie?”

“Oh tidak, aku sudah kenyang.”

“Oke, Mbak. Tambah kentang goreng satu ya.”

Pramusaji itu langsung beralih setelah mencatat pesanan Alex. Kemudian langsung pergi meninggalkan kami.

“Dapat salam dari Sally.”

“Sally siapa?”

“Itu cewek yang ketemu waktu kita nonton teater. Pas pulangnya nganter aku pulang.”

“Weh cepet sekali kau. Dasar.”

Aku hanya senyam-senyum sendiri mendengar perkataan Alex. Lalu aku menjelaskan tentang pertemuan kita. Bagaimana kedekatan kita saat ini. Namun Alex kurang setuju kalau aku menjalin hubungan dengan Sally. Katanya kurang suka saja dengan perangai Sally.

“Kamu pasti tidak suka dengan tatapan matanya dan juga sikap sinisnya itu ya? Aku sudah menduga. Namun aku akan membuktikan kalau Sally tidak seperti itu apa yang kamu duga Lex.”

“Apa tidak ada cewek lain selain dia? Kenapa sih setelah lama kamu menjomblo tiba-tiba dia kaupilih sebagai orang untuk melabuhkan hatimu. Aku kurang suka Nugie. Entah firasatku kurang baik ketika melihat dia. Aku tidak suka.”

“Kau jangan menilai orang secara instan Lex. Jika kau berpikiran seperti itu, percuma saja kauselama ini berteman denganku jika masih saja punya pemikiran yang kolot.” Aku diam sesaat, menyalakan rokok. “Aku paling tidak suka melihat orang yang punya pikiran instan. Belum tahu secara detail tapi sudah menilai kalau seseorang itu begini dan begitu.”

“Bukan seperti itu maksudku Nugie.”

“Ah, kausama saja dengan mereka yang kurang menghargai sebuah proses. Kautahu Lex, proses itu penting. Coba bayangkan, orang-orang yang suka dengan segala sesuatu yang berbau instan. Mereka cenderung lembek, memilih praktis tanpa harus bersusah-susah. Memang, kalau dari segi efisiensinya cukup memperpendek proses. Mau mie, tinggal merebus, tak usah meracik bumbu dan merasakan perih saat menghaluskan bumbu. Tapi kautahu efeknya pada sikap dan karakter?” Aku memandang Alex sejenak, ia menggegeleng, “begini Lex, orang yang seperti itu tidak bisa mendapatkan karakter kuat. Kita lihat saja, orang-orang di jaman nenek atau kakek kita, terus bandingkan dengan di jaman kita!” Lanjutku.

“Em, iya…iya…benar juga katamu sih. Tapi, aku kurang sreg saja melihat Sally.”

“Begini Lex, sebenarnya untuk itulah aku ingin bertemu denganmu. Aku ingin ngobrol banyak tentang dia kepadamu.”

Tiba-tiba saja pramusaji datang membawa kentang goreng. Alex basa-basi dengan pramusaji, naluriahnya langsung tergerak untuk menggoda. Sebab pramusaji ini lebih gres daripada yang tadi saat kita pesan minuman dan makanan. Pramusaji itu nampak terpesona mendengar perkataan-perkataan Alex.

“Ah, dasar kamu ini Lex, tetap saja dari dulu.” Gerutuku dalam hati.

Aku membiarkan dia terus menggoda pramusaji itu. Aku memilih mencari aktivitas lain. Melihat orang-orang yang malam ini berkunjung. Meja tepat di depanku, ada segerombolan pemuda. Di depannya, ada dua orang sedang menghadap laptop. Sedangkan di sebelah kirinya, ada sepasang muda-mudi sedang bercakap mesrah. Saling memandang, terlihat mencakapkan sesuatu dari hati ke hati. Ah, jadi iri aku.

“Woi, sedang melihat apa.”

“Ah, kau mengganggu orang sedang asik melihat orang sedang kasmaran saja.”

“Oh, aku dicuekin ini ceritanya.”

“Ah, siapa yang cuek hayo? Kamu tadi yang cuek terlebih dahulu, aku sedang serius cerita kamu malah menggoda pramusaji.”

“hehehehe…maaf, maaf. Oh iya, tadi sampai di mana?”

“Entah, sudah lupa aku.”

“Ah, begitu saja ngambek. Iya, iya, tadi sampai…” sambil garuk-garuk, “oh iya tadi kamu mau cerita tentang Sally.”

“Oh, iya. Begini Lex, sejak pertemuan kita malam itu. Aku sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Apa? Jatuh cinta pada pandangan pertama? Kamu masih percaya dengan mitos jatuh cinta pada pandangan pertama. Ini sudah 2014 Nugie, tapi kamu masih percaya dengan itu?”

“Apa salahnya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama? Cinta itu soal hati Lex. Soal kenyamanan. Dan aku merasa nyaman dengan Sally, lalu apa masalahnya?”

Alex tiba-tiba diam, tidak membantah lagi karena melihat aku mulai serius. Ia memandangku lebih cermat dan seolah ingin tahu lebih banyak.

“Lalu, apa yang akan kaulakukan?”

Aku menghembuskan nafas, lama aku terdiam. Tidak segera kujawab pertanyaan Alex. Aku memain-mainkan korek api. Kuputar-putar. Lalu kuambil sebatang rokok, kunyalakan.

“Aku benar-benar merasa nyaman ketika pertama ngobrol dengan dia. Padahal malam itu, hatiku sedang bergemuruh karena April bersama cowoknya di tempat dulu kita memandang langit malam. Kala itu, aku pernah mengajak April ke Payung, arah Batu. Aku masih ingat betul kejadian itu. Aku menjemputnya selepas Magrib. Lalu ia kuajak ke Payung. Aku menyusuri jalanan Kota Malang, sampai menembus dinginnya Batu, tapi aku tidak merasakan dingin sama sekali. Sebab ia melingkarkan tangannya di tubuhku dan menyandarkan kepalanya di pundakku.” aku terdiam, rasanya airmataku ingin meleleh mengenang itu semua. “Dan waktu itu, tiba-tiba ia sms aku berada di sana. Kaupasti bisa membayangkan bagaimana perasaanku? Aku benar-benar seperti orang lumpuh, lunglai, tidak ada energi walau hanya sekadar berdiri tegak. Namun di saat seperti itu, tiba-tiba Nana datang mengenalkan Sally. Saat aku memegang tangan Sally, rasanya aku punya kekuatan baru. Apalagi tatapan matanya, mampu membunuh kenanganku dengan April.”

Alex memandangku begitu serius.

“Dan bagiku Lex, seorang perempuan yang datang untuk mengobati luka seorang lelaki di masa lalunya. Maka perempuan itu berhak dicintai melebihi masa lalunya. Itulah Lex, aku tidak peduli. Aku telah memutuskan ingin menyerahkan hatiku pada Sally.”

“Tapi aku kurang suka dengan perangai Sally Nugie.”

“Pada awalnya, aku juga memiliki pandangan sepertimu. Namun karena keyakinanku itu, aku harus mencintainya melebihi April.”

“Semoga pilihanmu tidak salah.”

Aku hisap rokokku dalam-dalam, lalu memandang Alex. “Aku pasti bisa membuktikan kepadamu.” Lalu kami pun segera bergegas, karena malam sudah semakin larut.

Sesampai di rumah, aku menyempatkan berkirim kabar kepada Sally.

“Aku baru nyampek rumah, kamu sedang apa?”

“Sedang baca buku saja.”

“Wah, sedang baca buku apa ini?”

“Biasa membaca novel.”

“Oke, selamat membaca. Aku istirahat dulu.”

Have nice dream.

Waw, hatiku tiba-tiba melayang dapat ucapan yang manis sebelum tidur. Pikiranku jadi melantur. Aku membayangkan wajah Sally.

“Ah, kenapa aku tidak meminta foto? Kalau aku punya fotonya pasti akan kupandangi sebelum tidur.” gerutuku dalam hati.

Aku teringat kalau dulu pernah memotret Sally bareng dengan motor adiknya. Aku segera menyalakan laptop. Dug. Tiba-tiba jantungku berdetak lebih kencang setelah kutemukan fotonya. Ah, Sally sekali lagi kau membuatku benar-benar linglung. Sampai kapan kamu mau bertahan dengan perasaanmu yang tidak jelas itu? Aku yakin suatu ketika pasti bisa meruntuhkan tembok itu.

*

Hari-hariku banyak berubah semenjak kenal dengan Sally. Aku merasakan kembali menemukan duniaku yang dulu hilang. Semua telah berubah. Aku menemukan hidupku yang baru, apalagi saat ini semakin hari hubunganku dengan Sally semakin dekat. Meskipun dalam hati selalu saja ada yang mengganjal, namun aku selalu berusaha untuk menepiskannya.

Semuanya menjadi bergerak begitu cepat.

Itu semua berawal dari semua percakapan yang melantur.

Entah saat itu kami sedang membicarakan apa, tiba-tiba kita tercekat dan tidak bisa bercakap apapun.

“Jangan terlalu gegabah. Aku akan selalu ada di belakangmu dan doaku selalu untukmu. Bersabarlah.”

“Terimakasih Sal, entah dengan cara apa aku harus membalasnya.”

“Tak usah kaurisaukan itu. Aku memang diciptakan untukmu. Aku tidak meminta apapun. Aku hanya ingin namaku tertera di halaman buku yang kautulis. Ya, itu saja. Dan kita akan memulai dari sana.”

“Itu sajakah mahar yang kaupinta?”

“Ada lagi.”

Hening.

Jantungku berdetak lebih kencang. Aku memandang matanya yang begitu tajam.

“Aku ingin buku itu nanti diterbitkan penerbit Jogja atau Jakarta.”

 Aku menghembuskan nafas.

 Mataku terpejam, “Oke.”

Related chapters

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Puncak, di Sanalah Semua Bermula

    Cobalah sesekali, dari atas kamu akan melihat betapa besarnya keagungan Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membedakan ajakan atau suruhan. Namun aku tetap tidak ingin dan pasti tidak mau. Walau itu Sally yang memaksa. Mungkin aku seseorang yang keras. Entah kerasnya seperti apa, kadang aku juga tidak mampu mendefinisikannya dengan baik. Sebab kadang aku menjadi lembut melebihi sutra. Aku bisa tahu yang tidak diketahui orang. Indra keenam. Entahlah, aku tidak pernah merisaukan itu. Namun kenyataannya aku aneh. Aku menyukai yang tidak disukai orang. Aku suka dengan buku-buku dan tenggelam di dalamnya. Kadang aku berbicara sendiri, kata mereka. Tidak denganku, sebab aku sedang dialog dengan sesuatu yang tidak pernah bisa diajak orang dialog. Hingga orang-orang berbondong-bondong datang untuk menonton dan menyebutnya monolog. Sebenarnya yang aneh siapa? Mereka yang menonton orang aneh atau aku? Bukan berarti aku tidak percaya atau tidak menyukai pilihan

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Malam, Di sanalah Rumah Paling Teduh

    Sejak percakapan di Coffe Shop itu, aku dengannya sering bertengkar. Entah hal-hal sepele pun bisa menjadi pemantik emosi di antara kita. Aku jadi merindukan saat pertama dulu. Kita selalu melontarkan kata-kata manis. Sampai akhirnya kita menuliskan puisi untuk mengikat janji. Dan kita saling merindu dan bercakap tiap malam melalui telpon, seolah sedang bercakap secara langsung. Aku benar-benar merindukan masa itu. “Kok belum tidur?” “Aku tidak terbiasa tidur sore. Entah rasanya aku lupa cara untuk tidur lebih awal.” “Berarti kamu insomnia.” “Tidak. Sebab kepalaku tidak pernah sakit bila tidak bisa tidur. Orang pengidap insomnia kepalanya selalu sakit. Sedangkan aku tidak pernah merasakan sakit. Jam tidurku bergeser.” “Bergeser? Maksudnya?” “Aku baru bisa tidur bila ayam sudah mulai berkokok. Di mana orang-orang mulai bangun tidur. Hal itulah yang membuatku selalu tidak bisa menikmati matahari terbit. Dan mungkin itulah aku be

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Malam Lebaran

    Tiba-tiba ada sebuah pesan dari inbok facebook.“Saya ambil buku Ziarah Cinta Mas. Bagaimana pembayarannya?”Pesan yang amat singkat. Yah, memang unik. Terkadang ada orang yang bertanya panjang lebar. Ada yang sekadar basa-basi dan akhirnya tidak jadi beli. Bahkan ada yang seolah tidak membeli tapi akhirnya memborong begitu banyak buku.“Anda tinggal di mana?” Balasku singkat.“Saya tinggal di Jakarta.”“Pembayaran via transfer.”“Panggil saya Zahrah saja, biar lebih akrab. Berapa yang harus saya bayar?”“Ziarah Cinta, 35 ribu Mbak. Jadi dengan ongkos kirim, total yang harus dibayar 50 ribu. Tidak pesan buku yang lain?”“Jangan panggil Mbak, Zahrah saja. Ada buku lain yang serupa dengan Ziarah Cinta?”“Iya Zahrah.”Setelah membaca pesan terakhir itu, aku lalu melihat koleksi jualan bukuku. Mencari novel religi serupa Zi

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ziarah dan Pertemuan yang Tertunda

    “Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Singapura, Lingerie, dan Novel Baru

    Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?

    Last Updated : 2021-07-11
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Jangan Bilang pada Ibu

    Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *

    Last Updated : 2021-07-13

Latest chapter

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Surat

    Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Wasiat

    Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mimpi yang Pecah

    Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Sebuah Nama

    Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Jangan Bilang pada Ibu

    Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Singapura, Lingerie, dan Novel Baru

    Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ziarah dan Pertemuan yang Tertunda

    “Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

DMCA.com Protection Status