“Terimakasih telah menemaniku menikmati hujan.”
Pesan singkat itu kukirim kepada Sally. Entah kenapa aku selalu merasa ingin terus berkomunikasi dengan dia. Walaupun seharian aku sudah bersamanya, rasanya rindu ini selalu tumbuh dan tumbuh. Apakah setiap orang yang jatuh cinta selalu merasakan seperti ini?
“Terimakasih juga telah berkenan memotret motor adikku.”
“Oh iya, besok malam ada acara? Ngopi yuk!”
“Di mana?”
“Tempat dan waktu, kamu yang tentukan.”
“Oke. Di Café Lilo ya, pukul 19.00.”
“Oke”
“Semoga tidak hujan.”
Aku ingin tidur lebih awal, agar waktu lebih cepat berlalu. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Sally. Rasanya aku menemukan semangat baru dalam menjalani hidup sejak bertemu dengannya, bahkan aku kini sudah mulai berani melonggarkan pekerjaan. Tidak seperti dulu yang selalu membenamkan diri dalam pekerjaan. Pagi, siang, sore, bahkan malam.
Aku mengurung diri dari pergaulan dengan alasan aku sedang banyak kerjaan. Yah, itulah alasanku tiap kali ditanya oleh teman-teman. Namun hanya Alex yang bisa membaca kebohonganku. Mungkin aku harus berterimakasih dengannya. Seandainya aku tidak mengiyakan ajakannya menonton teater dulu, mungkin aku tidak akan bisa bertemu dengan Sally. Dan pastinya, aku akan terus berkutat dengan huruf-huruf yang selalu membantuku berbohong menghadapi kehidupan ini.
“Jangan lupa, nanti kita berkencan.”
Tiba-tiba pesan singkat itu membuatku tersenyum-senyum sendiri. Ah, sepagi ini kautelah memberi semangat Sal. Engkau memang malaikat penyelamatku dari kemuraman masa lalu. Entah, jika tidak ada kau, mungkin aku akan terus membenamkan diri dalam kenangan-kenangan masa silam tanpa kutahu kapan bisa menerima kenyataan.
“Pagi-pagi sudah senyam-senyum sendiri.” Tiba-tiba Pak Tarman mengagetkanku.
“Ah, Bapak. Biasalah orang sedang jatuh cinta.”
“Baiklah, aku tidak mau mengganggu orang yang sedang kasmaran.” Pak Tarman lalu menaruh kopi di meja, lalu segera beranjak keluar dari ruanganku seolah mengerti bahwa aku sedang tidak mau diganggu.
“Tentu. Aku akan datang Sal.”
Aku merasa benar-benar senang. Dan ia sekali lagi menyebut “kencan”.
Suasana masih sepi. Aku mematikan mesin motorku. Aku melihat ke sekeliling café. Sepi. Di dalam juga sepi, belum ada pengunjung. Aku memilih tempat duduk di atas motor sambil menunggu Sally datang. Tiba-tiba ada motor berhenti di sebelahku. Aku menoleh dan tersenyum.
“Sudah lama?” Tanya Sally.
“Belum. Baru beberapa menit yang lalu kok.”
Ia langsung bergegas dan memberi isyarat agar masuk ke dalam café. Ia langsung menuju ke meja waitress. Ia memesan cappuccino dan spaggety mie. Lalu ia memandang ke arahku, pandangan sebuah tanya.
“Ekspresso.” Jawabku singkat.
“Ekspresso, kosong Mas.” Jawab waitress singkat.
“Kalau begitu, kopi hitam saja.”
Sally kemudian berjalan keluar café dan memilih duduk di pojok. Tiba-tiba ia mengeluarkan laptop dan sebuah majalah. Ia nampak serius sekali. Aku tidak berani mengganggu. Aku memilih menyulut rokok dan melihat ke seluruh ruangan café. Melihat daftar menu yang berada di meja, dan melihat desain dari ujung-ujung.
“Sebentar ya Nugie, aku kena deadline. Aku ada janji sama temanku mengirim flash fiction malam ini.”
“Oh iya, silakan diselesaikan dulu. Maaf, boleh aku melihat majalahnya.”
Ia kemudian menyodorkan majalahnya ke arahku. Aku langsung asik menyimak dan membaca lembar demi lembar majalah yang ia sodorkan padaku. Aku tertarik dengan majalah itu. Ada rubrik yang bisa diisi oleh penulis luar. Kemudian kucari halaman redaksional, mencatat email. “Lumayan, aku coba peruntungan siapa tahu nanti tulisanku bisa dimuat. Lama juga tidak mengirim ke media.”Bisikku dalam hati.
Sesekali kuamati dia yang sedang mengetik di depan laptop. Ah, alisnya begitu tebal. Bulu matanya lentik. Dan bibir tipisnya itu, membuat senyumnya selalu nampak menawan. Namun ketika aku asik mencuri-curi pandang, ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Seolah ia tahu kalau aku sedang mengamatinya. Aku langsung salah tingkah. Aku segera saja mengalihkan pandangan ke majalah lagi. Pura-pura membaca.
Setelah aku yakin Sally kembali fokus dengan laptopnya. Aku diam-diam mencuri-curi pandang lagi. Matanya yang begitu tajam begitu nampak ketika ia mengerutkan dahinya. Dugaanku ada kata-kata yang salah dalam ceritanya. Jika kuamati, tatapan matanya itu serupa elang yang siap menerkam mangsanya dari ketinggian. Kemudian ia kembali meregangkan keningnya, tersenyum tipis. Lalu kembali menulis lagi.
Ah, senyumnya sangat manis. Ingin rasanya aku terus memandang wajahnya. Rasanya memandang berlama-lama pun aku tidak akan pernah bosan.
“Kenapa sih melihatku seperti itu?”
Aduh, aku tertangkap basah. Aku bingung harus mengelak dengan cara apa. Aku terdiam beberapa saat, hingga akhirnya tak kutemukan lagi alasan untuk menghindar.
“Adakah yang salah bila aku mengagumi kecantikanmu?” Jawabku.
Ia tersenyum. Sungguh, senyumnya memang sangat manis.
“Ya, tidak apa-apa. Tapi jangan menatapku seperti itu?”
“Oh, iya. Sudah selesai?”
“Sudah, ini masih dalam proses ngirim. Sory lama.”
“Tidak apa Sal. Bisa berada di sini bersamamu, bagiku sudah cukup.”
Ia tiba-tiba menatapku. Tatapan yang begitu tajam. Tatapan yang meremukkan ruang pertahananku. Aku benar-benar kalah. Aku telah terjatuh.
Hening.
Tak ada percakapan di antara kami. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar salah tingkah. Aku mulai tidak nyaman duduk. Aku berusaha menutupi kegugupanku dengan menyalakan rokok.
“Bagaimana tempat ini menurutmu?” ucapkan memecah kebisuan di antara kami.
“Asik. Aku suka, tapi kenapa majalah-majalah itu dibiarkan berserak di meja itu? Seolah ditaruh asal saja. Coba kalau ia diberi rak di dinding, pasti lebih menarik.”
“Jeli sekali kamu Nugie.”
“Iya, aku memang sering pergi ke tempat seperti ini. Eh, tapi bukan untuk nongkrong.”
“Lantas untuk apa?”
“Ya, untuk survei lokasi saja. Aku mengamati menu apa saja yang disajikan. Bagaimana desain ruangan dan segala pernak-pernik yang digunakan. Bagaimana pelayanannya. Dan apa yang menjadi suguhan utama di tempat itu, apakah itu menunya, tempatnya, atau pelayanannya.” Aku diam sejenak, “sebab aku ingin memiliki sebuah café atau kedai kopi, di mana nanti aku menyediakan buku bacaan dan juga menjual buku. Terus aku beri juga panggung apresiasi di sana.”
“Waw, keren. Kita kok bisa sama ya? Aku juga punya mimpi sepertimu.”
“Oh ya? Apakah itu berarti kita berjodoh?”
“Oh tidak, ingat ada tembok yang memisahkan kita.”
“Apakah tembok itu sekarang masih ada atau sudah rapuh?”
“Semakin kokoh dan tinggi malah.”
“Tapi aku yakin Sal, bahwa suatu ketika nanti aku bisa menghancurkan tembok itu dan kamu benar-benar kumiliki seutuhnya.”
Kita lalu terdiam. Hening.
Aku tidak tahu bagaimana bisa terjadi. Namun kesamaan antara aku dan Sally membuatku semakin yakin kalau ia memang diciptakan untukku. Mengapa? Ya, karena kita tidak pernah bersepakat bahkan menyusun rencana. Tetapi keinginan itu tiba-tiba saja muncul dan membuat kita terlibat pada keinginan yang sama. Aku rasa ini bukan semacam kebetulan, melainkan ini rencana Tuhan yang pastinya sudah disiapkan buat kita.
“Pasti asik. Aku setiap pagi berangkat ke café bersamamu. Lalu sambil menunggu pelanggan datang. Kita duduk di panggung apresiasi membacakan mimpi kita. Dan bila ada pelanggan datang, kita akan membiarkan mereka menunggu sambil menyimak cerita tentang mimpi kita.”
“Oh, tidak, kalau aku tidak seperti itu. Kalau nanti kita menikah, aku ingin duduk di rumah menunggu sambil mendoakanmu. Lalu sepulang dari café, aku menyodorkan secangkir kopi sambil menanyakan apakah tadi banyak pelanggan yang datang.”
“Wah, romantis sekali. Seorang peracik kopi handal yang setiap racikan kopinya dinanti banyak orang ternyata ia selalu buru-buru pulang taksabar menanti racikan kopi seorang perempuan yang sembunyi di balik punggungnya.”
Kita benar-benar terlarut dalam mimpi kita bersama. Hingga aku taksadar mulai berani memegang tangannya. Dan Sally juga merengkuh tanganku. Erat. Rasanya ingin malam ini berlangsung lebih lama.
Pertemuan dengan Sally di Lilo benar-benar membuat hidupku berubah. Aku ingin segera bisa mewujudkan mimpi itu bersama. Menikah dan memiliki sebuah café. Ah, rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepada sahabatku. Aku ingin mendengar bagaimana pendapatnya. Aku berusaha mengirim pesan kepada Alex. “Sedang di mana? Nongkrong yuk.” “Wih, tumben amat orang yang sok sibuk sekarang ngajak nongkrong?” “Ah, kamu selalu saja menyindirku. Sudahlah, terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin ketemu kamu. Aku ingin banyak bercerita kepadamu.” “Wah, mau cerita apa ini?” “Ada deh. Nanti aku ceritakan.” “Siap, tapi ditraktir ya?” “Oke. Ketemu di Monami ya.” “86, Ndan.” “Oke, ketemu di sana ya. Aku sekarang meluncur.” Ketika sampai di Monami aku berusaha mencari Alex, mungkin ia sudah datang terlebih dahulu. Namun setelah aku cari, tidak kutemukan. Aku langsung memesan kopi sambil menunggu dia datang. “S
Cobalah sesekali, dari atas kamu akan melihat betapa besarnya keagungan Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membedakan ajakan atau suruhan. Namun aku tetap tidak ingin dan pasti tidak mau. Walau itu Sally yang memaksa. Mungkin aku seseorang yang keras. Entah kerasnya seperti apa, kadang aku juga tidak mampu mendefinisikannya dengan baik. Sebab kadang aku menjadi lembut melebihi sutra. Aku bisa tahu yang tidak diketahui orang. Indra keenam. Entahlah, aku tidak pernah merisaukan itu. Namun kenyataannya aku aneh. Aku menyukai yang tidak disukai orang. Aku suka dengan buku-buku dan tenggelam di dalamnya. Kadang aku berbicara sendiri, kata mereka. Tidak denganku, sebab aku sedang dialog dengan sesuatu yang tidak pernah bisa diajak orang dialog. Hingga orang-orang berbondong-bondong datang untuk menonton dan menyebutnya monolog. Sebenarnya yang aneh siapa? Mereka yang menonton orang aneh atau aku? Bukan berarti aku tidak percaya atau tidak menyukai pilihan
Sejak percakapan di Coffe Shop itu, aku dengannya sering bertengkar. Entah hal-hal sepele pun bisa menjadi pemantik emosi di antara kita. Aku jadi merindukan saat pertama dulu. Kita selalu melontarkan kata-kata manis. Sampai akhirnya kita menuliskan puisi untuk mengikat janji. Dan kita saling merindu dan bercakap tiap malam melalui telpon, seolah sedang bercakap secara langsung. Aku benar-benar merindukan masa itu. “Kok belum tidur?” “Aku tidak terbiasa tidur sore. Entah rasanya aku lupa cara untuk tidur lebih awal.” “Berarti kamu insomnia.” “Tidak. Sebab kepalaku tidak pernah sakit bila tidak bisa tidur. Orang pengidap insomnia kepalanya selalu sakit. Sedangkan aku tidak pernah merasakan sakit. Jam tidurku bergeser.” “Bergeser? Maksudnya?” “Aku baru bisa tidur bila ayam sudah mulai berkokok. Di mana orang-orang mulai bangun tidur. Hal itulah yang membuatku selalu tidak bisa menikmati matahari terbit. Dan mungkin itulah aku be
Tiba-tiba ada sebuah pesan dari inbok facebook.“Saya ambil buku Ziarah Cinta Mas. Bagaimana pembayarannya?”Pesan yang amat singkat. Yah, memang unik. Terkadang ada orang yang bertanya panjang lebar. Ada yang sekadar basa-basi dan akhirnya tidak jadi beli. Bahkan ada yang seolah tidak membeli tapi akhirnya memborong begitu banyak buku.“Anda tinggal di mana?” Balasku singkat.“Saya tinggal di Jakarta.”“Pembayaran via transfer.”“Panggil saya Zahrah saja, biar lebih akrab. Berapa yang harus saya bayar?”“Ziarah Cinta, 35 ribu Mbak. Jadi dengan ongkos kirim, total yang harus dibayar 50 ribu. Tidak pesan buku yang lain?”“Jangan panggil Mbak, Zahrah saja. Ada buku lain yang serupa dengan Ziarah Cinta?”“Iya Zahrah.”Setelah membaca pesan terakhir itu, aku lalu melihat koleksi jualan bukuku. Mencari novel religi serupa Zi
Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga
Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc
“Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke
Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?
Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.
Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan
Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K
Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu
Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *
Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?
“Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke
Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc
Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga