Share

Rindu yang Kelabu

Penulis: akhmad fatoni
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-10 23:42:58

Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.

“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”

“Ah, gombal.”

Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”

“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”

“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.

“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.

Dan melihat Sally memegang tanganku, teman-teman pada gaduh.

“Hmmm, membuat orang jadi ngiri saja.” celetuk Alex.

“Emang kok, orang yang sedang kasmaran itu dunia serasa milik berdua.” sahut Wedar.

“Iya, yang lain Cuma kontrak.” Nana dan Andi menyahut bersamaan.

“Huhuhuhuhu….”

Namun aku acuh tak acuh dengan omongan teman-teman. Aku terus memandang Sally lekat-lekat, aku ingin mengawetkan wajahnya dan kusimpan dalam pikiranku. Bila kangen melanda, aku bisa membongkar ingatanku akan wajahnya. Aku terus memegang tangannya, sampai makanan datang baru melepaskan tangan Sally.

“Jangan memandangku seperti itu.”

Aku tidak menjawab, aku hanya tersenyum saja. Tiba-tiba pikiranku melayang. Kenapa beberapa hari ini kita selalu bertengkar sayang? Apakah engkau tidak merindukan masa-masa seperti ini, kita bercanda dan saling mengoda. Kenapa engkau lebih memilih selalu marah-marah tiap hari? Kautahu, aku hampir gila bila engkau tak menyapaku seharian. Aku merasa malam ini adalah malam yang sangat indah. Malam di mana semua seperti saat kali pertama dulu bertemu dengan Sally. Penuh debar dan geletar yang menjalar ke pikiran.

“Sudah?” tiba-tiba Sally mengagetkan lamunanku.

Aku melihat ke arah teman-teman, semua nampak sudah selesai makan.

“Ayo.”

“Biar aku yang bayar semua.”

“Loh, beneran?”

“Iya, aku tadi dapat rejeki.”

“Dapat THR ya?”

Sally  tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. Kemudian berdiri meninggalkanku.

“Kalau setiap hari seperti ini, aku ya mau.” celetuk Alex.

“Dasar, maunya gratisan melulu.” sahut Wedar.

“Siapa hayo yang tidak suka gratisan?” sambil menatap ke arahku, kemudian ke arah teman-teman. “tidak ada yang menolak toh?” jawab Alex.

“Sudah-sudah, jangan ribut. Setelah ini, kita mau ke mana? Dilanjutan nongkrong di rumah?” Sahutku.

Namun teman-teman semua tidak ada yang bisa untuk nongkrong, karena sudah ada keperluan. Ah, ya sudahlah berarti kita memang harus pulang. Setelah Sally selesai membayar. Kita pun berpisah.

*

Aku tidak tahu bagaimana semua bermula. Namun aku merasa perasaan itu datang dengan tiba-tiba. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Percakapan tengah malam, juga pesan singkat yang sering kita lontarkan membuat kenyamanan. Ia banyak cerita tentang Kun dan hubungannya. Aku juga begitu, menceritakan hubuganku dengan Sally. Namun ada sesuatu yang tidak semestinya. Ada yang aneh. Kita seperti tidak bisa untuk tidak saling berkirim kabar dan saling bercerita. Bahkan dia tidak pernah ragu mengatakan rindu kepadaku. Rindu yang takpernah kita tahu telah tumbuh di hati kita. Tiada yang menyuruh.

Sedangkan aku juga merasakan hal yang sama. Rasa yang seharusnya tidak boleh bersemayam. Namun aku juga tidak memungkiri, aku juga merindukannya. Semua itu serba membuatku salah. Aku sudah memiliki pacar, namun aku juga tidak bisa menolak kehadirannya telah membuatku nyaman. Ketika ia tidak memberi kabar, maka keresahan menghujam kalbu. Aku begitu menunggu SMS-nya, aku menantikan telpon darinya. Cerita-ceritanya selalu kutunggu setiap malam, bahkan airmatanya telah membuat rinduku semakin kukuh.

Kehadirannya memang begitu tepat, ketika aku selalu bertengkar dengan Sally, ia mengisi kehampaan itu. Ia menggantikan Sally yang tiap malam menelponku. Perhatiannya serupa candu, membuatku benar-benar lumpuh. Benar-benar membuatku lupa jika aku sedang resah karena bertengkar dengan Sally.

 Sejak itulah, secara tidak sengaja aku mulai menunggu dan menanti ia memberi kabar. Entah telpon ataupun SMS. Tapi kenapa malam ini, ia tidak memberi kabar. Kamu ke mana Zahrah?

“Sedang sibukkah? Kok tidak memberi kabar seharian.” pesanku singkat.

Tidak lama kemudian, Zahrah langsung membalasnya.

“Aku tidak berani mengganggu, sebab kamu kemarin bilang. Katanya hari ini kamu ada acara dengan teman-teman kamu berbagi takjil. Terus katamu, Sally juga ikut. Tapi asal kamu tahu, aku daritadi menunggu kabar darimu.”

“Maafkan aku Zahrah. Aku tadi juga menunggu kabar darimu, sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirimimu pesan lebih dulu. Kamu sedang apa?”

“Boleh aku menelponmu?”

“Sejak kapan aku melarang kamu menelponku?”

Tidak lama setelah itu, Zahrah langsung menelponku. Kita saling bercerita. Cerita tentang apa saja.  Sampai akhirnya aku merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang kerap aku rasakan bila logika dan perasaanku terkoneksi dengan baik. Namun aku dari dulu tidak pernah tahu dengan gamblang, hal itu datang hanya serupa petunjuk.

“Kamu sakit apa Za? Aku merasa kepala bagian belakangmu ada penyakit. Kepala yang sebelah kanan.”

“Kamu kok tahu kepalaku sekarang sedang sakit?”

“Aku merasakannya.”

“Kamu jangan membuatku takut. Kamu kok bisa tahu?”

“Kenapa kamu tidak pernah cerita soal itu? Aku merasakan itu sebuah penyakit yang tidak biasa?”

“Aku tidak cerita kepadamu karena aku tidak mau menambah beban buatmu.”

“Za, kamu sakit apa?”

Ia tidak menjawab, tapi tiba-tiba saja ia menangis. Aku mencoba menenangkan tetapi tangisnya malah menjadi-jadi. Aku bingung harus berbuat apa. Apakah sesuatu yang kutahu itu salah? Ah, aku menjadi semakin merasa bersalah. Tut…tut…tut….ia tiba-tiba saja mematikan telponnya.

Oh, Tuhan hamba harus melakukan apa jika sudah begini?

Bab terkait

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ziarah dan Pertemuan yang Tertunda

    “Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Singapura, Lingerie, dan Novel Baru

    Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-11
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Jangan Bilang pada Ibu

    Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Sebuah Nama

    Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mimpi yang Pecah

    Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Wasiat

    Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Surat

    Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-13

Bab terbaru

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Surat

    Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Wasiat

    Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mimpi yang Pecah

    Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Sebuah Nama

    Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Jangan Bilang pada Ibu

    Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Singapura, Lingerie, dan Novel Baru

    Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ziarah dan Pertemuan yang Tertunda

    “Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

DMCA.com Protection Status