Tiba-tiba ada sebuah pesan dari inbok f******k.
“Saya ambil buku Ziarah Cinta Mas. Bagaimana pembayarannya?”
Pesan yang amat singkat. Yah, memang unik. Terkadang ada orang yang bertanya panjang lebar. Ada yang sekadar basa-basi dan akhirnya tidak jadi beli. Bahkan ada yang seolah tidak membeli tapi akhirnya memborong begitu banyak buku.
“Anda tinggal di mana?” Balasku singkat.
“Saya tinggal di Jakarta.”
“Pembayaran via transfer.”
“Panggil saya Zahrah saja, biar lebih akrab. Berapa yang harus saya bayar?”
“Ziarah Cinta, 35 ribu Mbak. Jadi dengan ongkos kirim, total yang harus dibayar 50 ribu. Tidak pesan buku yang lain?”
“Jangan panggil Mbak, Zahrah saja. Ada buku lain yang serupa dengan Ziarah Cinta?”
“Iya Zahrah.”
Setelah membaca pesan terakhir itu, aku lalu melihat koleksi jualan bukuku. Mencari novel religi serupa Ziarah cinta. Lalu kubalas dengan menyebutkan 3 judul buku, dan dia tertarik hanya dengan satu di antara judul yang kusarankan.
“Nanti buku saya kirim ke mana?”
“Tidak usah, biar nanti kekasih saya mengambil buku tersebut ke tempat Mas. Kebetulan dia tinggal di kota yang sama denganmu.”
“Oke, terimakasih.”
“Sama-sama, nanti saya akan menghubungi kekasih saya agar mengambil buku itu.”
“Iya, saya tunggu. Jika butuh buku lain, silakan tanya di nomor ini.” Lalu aku menuliskan nomor handphone-ku.
Singkat dan deal. Sungguh, tawar-menawar yang seperti ini yang kusuka. Tanpa banyak basa-basi, tapi deal. Sebenarnya saya sudah tahu siapa orang yang mau beli buku itu. Dulu aku sempat mendengar ceritanya dari Sally. Dan pada suatu ketika juga pernah ia mengirimiku inbok. Sama persis. Dulu ia juga seperti saat ini, mengirimi pesan kepadaku sangat singkat. Ia mengenalkan namanya dan mengatakan kalau ia pacar Kun, teman pacarku. Ia cemburu dengan Sally. Aku tersenyum.
“Iya Mbak, Sally itu pacarku dan Kun juga temanku. Aku kenal mereka. Jangan khawatir. Mereka tidak seperti yang sampean bayangkan. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Percayalah. Sebab hanya kepercayaan adalah modal dari suatu hubungan, bila sampean tidak percaya. Tentu itu akan menyiksa sampean sendiri.”
“Oh iya, terimakasih. Maaf telah mengganggu.”
Makanya ketika ia tiba-tiba mengajukan pertemanan kepadaku, aku langsung faham kalau ia pacar Kun yang dulu cemburu dengan Sally. Baru setelah aku menerima pertemanan itu, kebetulan aku memang mau meng-upload buku dan mengulasnya. Yah, aktivitasku memang itu, hobi yang akhirnya aku jadikan sebagai usaha. Namun orientasiku lebih kepada hobi dan harapan memudahkan orang-orang untuk mendapatkan bacaan yang dibutuhkan. Harapan itu pulalah yang sampai membuatku ingin membuka toko buku di kota kecamatan tempat tinggalku ini. Aku memang sadar betul, bahwa usaha di bidang perbukuan di daerah kecil seperti tempat tinggalku ini pasti tidak bisa diarahkan untuk provit oriented. Namun bagaimana lagi, kecintaan melebihi segalanya. Termasuk aku yang begitu mencintai Sally. Aku pilah-pilah novel yang serupa dengan Ziarah Cinta. Dan ia menambah satu buku lagi.
Rejeki tidak ke mana.
Sesaat setelah aku merebahkan tubuh di ranjang, tiba-tiba saja handphone-ku berbunyi. Nomor baru. Aku memandanginya sesesaat.
“Yah, selamat siang. Ada yang bisa dibantu?”
“Saya Zahrah, yang tadi memesan buku.”
“Oh iya Zahrah, ada yang bisa dibantu?”
“Tidak, hanya ingin konfirmasi kalau saya jadi mengambil buku tadi. Tolong disimpankan untuk saya, jangan dijual kepada orang lain.”
“Oh iya Mbak.”
“Biar nanti kekasih saya itu ambil di tempat kamu.”
Aku tidak kaget dengar ucapan perempuan itu. Aku pernah bertemu dengan pacarnya dua kali. Lelaki yang penuh semangat, pantang menyerah, dan menyukai anak kecil. Ketika kali pertama aku ketemu dengan Kun saat menjenguk teman Sally yang sakit. Yah, di sanalah akhirnya aku sempat ngobrol sekilas dengannya. Walaupun aku tidak tahu latar belakangnya, namun obrolan yang singkat itu membuatku begitu salut kepadanya. Ia bercerita tentang kecintaannya naik gunung dan juga aktivitas sosialnya.
Seandainya kala itu aku diberi waktu untuk memilih, maka aku meminta waktu lebih lama untuk bisa ngobrol dengan Kun. Namun itu tidak terjadi, sehingga kita berbicara serba sedikit tentang banyak hal. Ia juga cerita sekilas tentang pelatihan yang ia berikan kepada kelompok petani untuk menggunakan pupuk buatan sendiri. Juga sekilas tentang aktivitasnya di hari minggu berjualan layah bolong, kendi, cobek, dan segala perabotan rumah tangga yang terbuat dari tanah liat. Selain itu, ia juga pengelolah kelompok menulis di sebuah milis. Sungguh, aktivitas yang membuatku benar-benar takjub kepadanya. Ia telah menghipnotisku dalam pertemuan pertama kami.
“Bang, aku mau mengambil buku pesanan Zahrah.” tiba-tiba Kun mengirimi pesan pendek.
“Oh iya, besok kita ketemu di depan ruko Royal Mojosari. Kebetulan besok aku ada acara.”
“Wah, acara apa?”
“Ah, tidak cuma bagi-bagi takjil bareng teman komunitas dan juga baca-baca puisi.”
“Wah, keren. Besok acaranya jam berapa?”
“Aku mengumpulkan teman-teman pukul 16.00 di depan ruko. Oh iya, besok ikut ngisi baca puisi ya.”
“Wah, aku penonton saja Bang, tidak bisa baca puisi.”
“Loh, jangan merendah dong. Pokoknya besok harus baca puisi. Sampai ketemu besok.”
*
Hari yang benar-benar melelahkan. Semalam aku kurang tidur, rasanya tubuhku ini seperti begitu lemas. Namun sejak pagi aku harus sudah beraktivitas, aku harus membuka mengiring uang pesanan buku ke bank. Setelah itu menyiapkan segala buku yang nanti harus digelar saat acara pembagian takjil. Yah untung saja kemarin tugas untuk menyiapkan makanan yang harus dibagi sudah aku pasrahkan kepada Alex dan Wedar, sehingga tidak begitu banyak yang harus aku selesaikan.
Tepat pukul 3 sore, semua urusanku sudah selesai, termasuk menyiapkan buku-buku yang nanti digelar saat takjil. Dan mengirimkan draf naskah ke kantor melalui email. Namun mataku sudah memerah, aku benar-benar tak kuat lagi menahan kantuk. Tidur 1 jam mungkin akan menyegarkan. Aku langsung SMS Wedar kalau aku mau istirahat dulu, aku benar-benar payah. Untung saja Wedar bisa mengerti dan ia berinisiatif mengatasi segala persiapan untuk bagi takjil. Memang, ia selalu menjadi begitu sigap dan cekatan jika Alex berada di sisinya. Cinta memang bisa menguatkan dalam sekali waktu sekaligus melemahkan.
“Kang di mana? Aku sudah di depan pelataran ruko ini.”
“Oke, tunggu sebentar, sebentar lagi aku meluncur.”
Kekasih Zahrah yang mau mengambil buku sudah sampai di Mojosari. Lalu kulihat ada beberapa panggilan juga dari teman-teman dan juga pesan. Ah, semua sudah siap. Astaga aku baru saja bangun tidur.
Tak lama kemudian, bunyi motor Sally datang. Aku membukakan pintu dulu. Yah, memang aku mengabari kalau mau bagi takjil dan ia bilang memang mau ikut tapi sepulang kerja. Sebentar ya, aku mau mandi dulu.
Seusai mandi, aku langsung ke ruang tamu. Aduh, Sally ternyata tidur. Kasihan dia, ia pasti lelah. Aku pelan-pelan duduk di dekatnya, aku bangunkan dia. Seperti biasa ketika ia bangun tidur, merajuk. Sebentar lagi ya. Aku menunggu di sampingnya. Ah, kekasihku begitu cantik, semoga ia menjadi jodohku. Aku memandangi wajahnya lekat-lekat. Tiba-tiba saja ia membuka mata.
“Kok melihatku seperti itu?”
“Ah ndak, aku tiba-tiba saja kangen banget sama kamu.”
“Kamu, bisa saja. Baiklah, nanti kalau begitu setelah selesai acara aku tidak langsung pulang.”
“Loh katanya nanti mau pulang cepat, mau menyelesaikan tulisan.”
“Ya tulisannya kan bisa dikerjakan nanti malam. Lah kalau kekasihnya menahan rindu, masak ya aku tega.” Aku langsung mencubit pipinya. Ia selalu saja mampu membuatku leleh. Dan melupakan pertengkaran yang kerap mewarnai hubungan kita.
Setelah itu, kita berangkat sambil membawa barang-barang yang tadi sudah kusiapkan. Teman-teman sudah berkumpul semua. Rukonya tidak jauh dari rumah, yah, mungkin 5 menit sudah sampai.
“Kang.” Tiba-tiba ada orang yang menepuk pundakku dari belakang. Aku langsung saja menoleh ke arahnya.
“Loh, sudah lama?”
“Ah, ndak beberapa menit yang lalu. Yah pas aku sms sampean tadi aku baru nyampek. Oh iya, ndak lupa membawa bukunya kan?”
“Oh iya, hampir saja lupa.” Aku lalu membuka kardus yang tadi kubawa, “ini pesanannya, dua novel.”
“Loh, kok dua? Katanya dia bilang hanya satu.”
“Iya, awalnya memang hanya beli satu. Terus selelah ia melihat-lihat koleksi bukuku yang lain, ya akhirnya nambah satu lagi.”
“Wah, aku tadi bawa uang bukunya cuma satu.”
“Ah, gampang itu. Sampean bawa saja dulu, nanti bisa sampean titipkan Sally kekurangannya.”
“Sebentar ya, aku ke teman-teman dulu.”
Aku lalu celingak-celinguk mencari Alex. Eh, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan beberapa motor yang datang menghampiriku. Cowok-cewek, aku lihat dari ujung tidak ada yang kenal.
“Loh kok malah bengong.” Wulan tiba-tiba mengagetkanku. Ia dibonceng oleh seorang lelaki yang cukup gemuk dan aku pun tidak mengenalnya, “kenalkan ini temen yang aku ceritakan dari komunitas fotografi kemarin.”
“Apriz”
“Nugie”
Kemudian tak lama setelah itu, Alex, Wedar, dan teman-teman yang lain pun datang dengan membawa takjil yang siap dibagikan. Banner komunitas pun dipasang, lalu kita siap untuk membagikan takjil. Namun, kulihat masih kurang setengah jam lagi, akhirnya aku membuka acara dulu. Aku memberi sambutan dan berterimakasih kepada teman-teman fotografi yang sudah berkenan bergabung. Lalu sambil menunggu Magrib tiba, aku dan teman-teman membacakan puisi secara bergantian. Baru setelah itu, kami membagikan semua takjil. Tinggal kita yang harus segera berbuka puasa.
“Kita mau berbuka di mana?” kata Wedar membuka percakapan.
“Terserah.” Sahut Alex.
“Terserah, pengennya di mana. Aku sih oke-oke saja.” Sahutku kemudian.
Tiba-tiba saja Kun berpamitan tidak bisa gabung berbuka bersama. Begitu juga teman-teman dari fotografi. Aku pun mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang telah berkenan bergabung dan membantu acaraku.
“Gimana Lex, jadi berbuka di mana?”
Alex hanya diam. Aku memandang yang lain, semua tidak ada yang merekomendasikan sebuah tempat. Saling tuding satu sama lain. Aku kemudian memandang ke arah Sally. Ia pun tak memiliki rekomendasi tempat untuk berbuka. Kemudian, ia menarik tanganku dan berbisik. Ayo salat dulu saja. Aku pun tersenyum dan mengelus kepalanya. Lalu, aku pun berpamitan kepada teman-teman untuk salat terlebih dahulu.
Ah, merasa benar-benar konyol. Sudah sejak kecil aku tinggal dan besar di kota ini. Namun baru kali ini aku merasa benar-benar tidak tahu dan mengamati sekelilingku. Yah, aku benar-benar tersentil ketika mengantar Sally mencari masjid atau musalah yang ada mukenahnya. Aku berpindah dari masjid ke masjid, dari musalah ke musalah. Nihil. Sebenarnya tidak semuanya nihil, kami hanya mencari tempat yang tidak begitu ramai, sehingga bisa lebih cepat dan tidak perlu mengantre. Sampai akhirnya aku memutuskan di masjid dekat rumah, jika memang tidak ada mukenah maka terpaksa pergi ke masjid jami’ di embong tengah.
Aku pun masuk ke pelataran masjid. Sally memintaku untuk menunggu di motor, lalu ia turun memastikan apakah di dalam ada mukenah. Tak lama setelah itu, ia pun keluar dari masjid dan tersenyum ke arahku. Akhirnya. Aku kemudian memarkirkan motor. Setelah itu, segera mengambil air wudhu.
Seusai salat, aku menunggu Sally di teras masjid. Aku merenung-resapi ketidakpekaanku. Entah rasanya aku benar-benar terpukul.
“Memikirkan apa? Aku sudah di sisimu, kenapa masih saja dipikirkan lagi.” Sambil duduk di sebelahku.
“Ah, kamu selalu saja bisa membuatku tersenyum Sally.” Aku kemudian meraih pundaknya. Memeluknya.
“Eh…ingat ini masjid.”
Aku kembali tersentak. Rasanya ia benar-benar membuatku jatuh cinta dan semakin cinta saja setiap kali berada di dekatnya. Aku kemudian mengelus kepalanya. Ayo, teman-teman pasti sudah menunggu.
Teman-teman sudah siap di atas motor.
“Ayo, kita cari buka di mana ini?” tegur Alex ke arahku ketika baru saja datang.
“Loh ternyata dari tadi belum dirembukkan ya? Aku pikir, setelah aku kemari sudah memastikan mau makan di mana.” Jawabku.
Setelah itu aku memandang kepada yang lain, menanyakan mau makan di mana. Ah, semua menjawab sama. Terserah. Lalu aku melihat ke Sally yang sedari tadi memelukku di atas motor.
“Ya sudah, ayolah, jalan dulu. Kalau saling menunggu tidak jadi makan nantinya.”
Aku pun berangkat terlebih dulu, kemudian teman-teman mengikuti di belakang. Aku bertanya pada Sally. Ia diam saja. Tanpa berpikir panjang, maka aku pun mengajak makan di tempat biasa. Penyetan di sebelah perempatan.
Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga
Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc
“Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke
Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?
Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *
Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu
Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K
Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan
Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.
Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan
Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K
Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu
Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *
Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?
“Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke
Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc
Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga