Share

Hancur dan Terkumpul

Author: akhmad fatoni
last update Last Updated: 2021-07-10 23:19:30

Hidupku serupa pelangi.

Rasanya indah. Tiba-tiba muncul nuansa baru. Aku jadi begitu cerah dan penuh semangat, sehingga aku selalu mendendangkan lagu-lagu cinta. Teman-teman di kantor pun ikut merasakan pancaran energi bahagia itu, membuat suasana kantor menjadi riuh. Penuh kebahagiaan. Inilah surga. Surga dunia. Surga yang turun di kantorku pagi ini.

“Wah, ada yang sedang jatuh cinta rupanya.” ucap Pak Tarman sembari menaruh kopi di meja kerjaku. Aku membalas dengan senyuman, “dunia menjadi indah ketika sedang jatuh cinta. Selamat jatuh cinta, tapi awas patah nanti hatinya.” lanjut Pak Tarman sembari meninggalkan ruanganku.

Omongan Pak Tarman tiba-tiba begitu menancap di pikiranku. Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Sally. Jatuh cinta pada pandangan pertama. Orang yang baru kukenal, bahkan perangainya pun aku taktahu. Ia memang cantik, tapi pandangan matanya itu benar-benar membunuh. Apakah aku terbunuh dengan pandangan mata itu? Mata yang begitu tajam.

Ah, entahlah, pastinya Sally mampu membuatku tenang. Di saat aku gundah merindukan mantanku yang sudah hampir satu tahun putus. Sally mampu membuatku lupa kepada dia. Sally mampu membangkitkan keterpurukanku atas bayangan mantan kekasihku itu. Meskipun aku tidak suka tatapan mata Sally dan juga gaya bicaranya yang sinis. Alex pun tidak suka dengan Sally, ketika kutanya perihal Sally. Memang, semua orang pasti akan menganggap Sally orang yang sombong. Sedari dulu aku pun sangat membenci perempuan cantik yang memiliki sifat seperti Sally, namun kali ini aku tidak bisa membenci Sally. Ah, apakah aku benar-benar jatuh cinta?

Keragu-raguan itu kerap kali muncul dalam benakku. Namun, ketika kerinduanku mencuat kepada mantan kekasihku. Mantan yang benar-benar sudah amat kejam membiarkan aku sendiri, ketika aku telah memilihnya untuk tinggal di pikiran dan hatiku. Dan anehnya, bila dalam kondisi seperti itu Sally mengirimkan pesan pendek, tiba-tiba saja kegaduhan dalam hati ini hilang. Entah, aku pun taktahu. Padahal sebelum bertemu dengan Sally, begitu banyak perempuan cantik yang dekat denganku atau mereka yang sengaja mendekatiku, akan tetapi hasilnya nihil. Mereka tidak mampu mengusir perasaanku terhadap orang yang telah benar-benar melekat dalam hati.

Mungkin itulah yang membuatku takpeduli dengan tatapan mata Sally, senyum sinis Sally, dan juga gaya bicaranya yang begitu angkuh. Ya, karena dia mampu mengusir bayangan orang yang ada dalam hatiku. Orang yang terus membuat aku lumpuh ketika merindukannya. Mungkin sudah waktunya aku membuka hati dan padamulah Sally pilihan itu. Dan aku pun takpeduli apa kata orang tentang pilihanku.

“Kau telah membuatku menentukan pilihan Sal.” Bisikku dalam hati.

                                                                   *

Aktivitasku mulai berubah semenjak bertemu dengan Sally. Aku punya kesibukan baru sepulang kerja, tidak lagi berkutat dengan buku-buku. Berkirim pesan singkat. Yah, aku mengabarkan aktivitasku dan Sally mengabarkan aktivitasnya selama sehari penuh. Sampai suatu ketika Sally sedang belanja di sebuah supermarket yang takjauh dari rumahnya. Ia lupa membawa jas hujan, sehingga ketika hujan turun dengan derasnya ia begitu amat tersiksa.

“Terjebak hujan.” Pesannya.

“Seandainya nomor kita satu provider, mungkin aku bisa membuat jebakan itu menjadi tidak begitu membosankan. Jadi, maafkan daku. Selamat menikmati hujan.” Balasku.

Aku kembali berkutat dengan pekerjaan yang belum rampung. Sebab buku harus segera terbit. Aku membaca tiap kata, mengubah, dan sesekali menambah agar lebih memikat. Yah, begitulah keseharianku, tidak bisa lepas dari tulisan dan buku-buku.

Satu jam kemudian, Sally mengirim pesan lagi. Ia berkata sudah berada di rumah. Sedang makan kebab. Salah satu makanan kesukaannya. Ia berceritapanjang-lebar, persis seperti seorang pencerita yang handal. Sangat antusias. Namun aku tidak bisa terperangkap dalam ceritanya, sebab aku tidak pernah makan kebab.

Selain bercerita kebab, ia juga amat antusias jika bercerita soal dance. Bahkan katanya tiap malam ia selalu latihan di kamar. Aku tidak bisa membayangkan jika aku melihat dia sedang nge-dance. Sungguh, aku tidak ingin, bukan bermaksud tidak menghargainya, melainkan karena aku kurang begitu suka melihat cewek nge-dance. Namun, aku berusaha memendam itu. Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik.

Setelah ia bercerita panjang lebar tentang kesukaannya, barulah aku bercerita tentang keseharianku. Aku bercerita tentang naskah-naskah yang telah aku garap. Naskah yang meraung-raung meminta untuk segera diselesaikan dan diterbitkan. Juga bercerita tentang Pak Tarman, seorang pegawai yang aku merasa begitu nyaman berada di dekatnya. Aku juga bercerita, karena Pak Tarman itu aku merasa saat di kantor seperti berada di rumah.

Aku juga bercerita tentang Mbak Lila, perempuan dengan cadangan senyum yang takpernah ada habisnya. Juga ketelatenannya menemui dan mengatur jadwal para tamu. Setiap hari hampir seratus orang. Belum lagi, ia harus menjawab telpon yang hampir tidak lelah berdering. Yah, sehingga aku bercerita pada Sally, jika belajar tentang kesabaran dan keuletan aku merujuk untuk belajar kepada Mbak Lila.

Rasanya aku begitu nyaman berbagi cerita dengannya dan aku rasa Sally juga merasakan hal yang sama. Sebab cerita itu selalu rampung hampir tengah malam, bahkan dini hari. Jadinya, aku merasa punya teman baru. Teman spesial yang menemaniku kerja lembur, bahkan ia selalu membuatkan kopi hitam untukku, walau itu hanya semacam imaji. Yah, ia selalu membalas pesan dengan, “Lembur ya lembur, tapi ya disruput dulu kopinya,” atau “setidaknya secangkir kopi ini selalu membuatmu terus bersemangat.”

Oh Sally, kenapa engkau selalu membuatku berdebar-debar.

                                                                 *

Suasana kantor sudah mulai sepi. Aku lirik jam dinding di ruanganku, pukul 17.30. Aku pun mulai berkemas. Merapikan semua file dan juga draf yang harus segera dirampungkan untuk kugarap di rumah.

Loh tumben ndak lembur Mas?” Tiba-tiba suara Pak Tarman mengagetkanku. Aku tersipu. Biasanya memang aku tidak pernah pulang jam segini. Aku selalu memilih untuk merampungkan semuanya di kantor. Kadang sampai pukul sepuluh malam aku baru pulang, sehingga Pak Tarman betul-betul hapal.

“Oh iya, sekarang sudah ada yang menunggu, pastinya lebih memilih lembur di rumah agar tidak terganggu.”

“Ah Pak Tarman bisa saja.”

“Memang cinta itu bisa mengubah segalanya kok Mas.”

Ucapan Pak Tarman begitu landep. Jlub. Menancap di otak.

Aku memang merasa banyak berubah semenjak kenal dengan Sally. Aku sudah tidak melarutkan diri pada buku-buku dan juga pekerjaanku. Aku seolah punya aktivitas baru yang lebih menarik. Menunggu pesan-pesan Sally.

“Salam kepada ibu ya Pak Tarman, saya pulang dulu.” sembari meninggalkan ruanganku dan membiarkan Pak Tarman seorang diri membersihan segala gelas dan piring dari makan siangku tadi.

Cinta memang membuat segala sesuatu menjadi indah. Aku merasa selalu berbahagia. Sepanjang perjalanan pulang, aku selalu menyanyi dan bersiul. Padahal, jarang sekali aku menyalakan musik dalam mobilku.

Kulirik handphone, masih belum ada pesan masuk. Masih sibukkah kau dewi penolongku? Entah, jika sudah selesai jam kerja. Rasanya aku taksabar menunggu kabar dari Sally. Jika kabar darinya terlambat datang, aku pasti panik.

Jika Sally tidak segera memberi kabar, maka aku segera mengirimkan SMS kepadanya. Aku menunggu balasan tapi, takkunjung tiba satu pesan pun dari Sally. “Kau sedang apa Sally?” Aku begitu panik, hampir tiap menit aku cek handphone berharap ada pesan darinya. Tapi hasilnya nihil.

Oh my God…

                                                                  *

Rasanya tidak mudah melewati waktu dengan menunggu. Mungkin itulah kenapa menunggu menjadi hal paling membosankan. Entah siapa dulu yang kali pertama mencetuskan itu, hingga akhirnya semua orang mengamini.

Sejak semalam rasanya ada gumpalan darah yang tidak mau mencair di kepalaku. Sebelum tidur, pikiran ini mblayang[1] takkaruan yang membuatku hampir dua jam takkunjung bisa tidur. Dan efeknya masih terasa pagi ini. Rasanya ada yang membebani pikiranku. Tentu hal itu memberi efek samping yang tidak main-main. Murung. Ibu pun diam-diam nampaknya menaruh curiga, tapi ia tidak berani melontarkan tanya. Sedangkan bapak, masih tetap dingin terhadapku.

Ketika sesampai di kantor pun, semua orang pada menatapku heran. Entah mereka seperti melihat wajah pencuri yang semalam telah loncat dari jendela rumah mereka. Tajam dan penuh selidik. Aku ingin marah dan meneriaki kata ini di telinga mereka, “Woi, aku bukan pencuri, kalian seharusnya iba sebab aku sudah kemalingan semalam.” Ah, tapi aku takcukup berani untuk menjadi seorang yang frontal. Aku lebih memilih diam dan menikmati mata-mata yang terus menatapku penuh selidik itu.

 “Wah, pagi-pagi sudah loyo. Bagaimana mau mengawali hari jika di ujung saja sudah seperti ini.” Pak Tarman tiba-tiba saja mengagetkanku dengan menyodorkan secangkir kopi.

“Setidaknya, Pak Tarman sudah memberiku baterai cadangan dengan minuman pekat ini.” Sembari nyruput cangkir yang baru saja ditaruh Pak Tarman di depanku.

“Mas Nugie ini memang pinter berkelit kok, tapi sayangnya kalau mau berkelit dengan bapak kok tidak jago, selalu tertangkap basah.” sembari berjalan keluar.

Sekali lagi, omongan Pak Tarman selalu berhasil membobol pertahananku. Aku betul-betul tidak bisa menyembunyikan sesuatu pun dari orang itu. Dan anehnya, sejak aku bekerja di sini, hanya Pak Tarmanlah orang pertama yang bisa membuatku terpikat. Tentu pikatan yang lain, bukan seperti pikatan Sally yang bisa membuatku seperti ini. Mungkin lebih tepatnya disebut pikatan pikiran. Yah, Pak Tarmanlah orang pertama yang bisa langsung dekat denganku. Sebab aku memang orang yang sulit menerima orang baru. Aku cenderung diam di lingkungan yang masih asing, tapi tidak dengan Pak Tarman. Rasanya baru pertama ngobrol dengannya aku sudah seperti bertemu kawan lama yang bertahun-tahun tidak pernah bertemu. Lalu kita bercerita banyak hal, hingga secara taksadar aku merasa menemukan sosok seorang ayah dalam sosok Pak Tarman. Tentu seorang ayah yang ideal dalam pikiranku.

Ucapan Pak Tarman itu membuatku bergemuruh, sehingga aku langsung beranjak menuju dapur untuk mencarinya.

“Pak, bisa ngobrol sebentar?”  

“Mas Nugie mengagetkan saja. Tentu, tentu. Apa yang bisa saya bantu?”

Entah kenapa aku mendadak tidak malu-malu. Padahal kemarin aku selalu mengelak jika gerak-gerikku ditangkap basah oleh Pak Tarman. Aku selalu menolak kalau dianggap sedang jatuh cinta. Sebab aku sudah bukan lagi ABG yang baru merasakan cinta. Tanpa ragu, aku bercerita.

“Semalam ia tiba-tiba saja menghilang. Tidak memberiku kabar sama sekali. Aku begitu panik, sampai-sampai aku tidak bisa tidur nyenyak.”

“Iya Mas, sangat kelihatan. Begitu loyo dan lesu.”

“Justru itu, saya mengejar Pak Tarman kemari. Apa yang harus aku lakukan Pak?”

“Ya jangan berpikiran buruk dulu. Toh sampean belum tahu kenapa ia tidak berkirim kabar. Lebih baik, sekarang ditanya kenapa semalam tidak memberi kabar. Ya, berpikiran positif saja.”

Dus. Omongan Pak Tarman terasa begitu memukulku.

Aku langsung tersenyum dan berlari meninggalkannya yang sedang sibuk membuat minuman, “Terimakasih Pak.”

Aku segera bergegas ke ruanganku. Handphone. Aku membuka tas. Aku sudah taksabar untuk segera mengikuti saran Pak Tarman. Memang sedari kemarin aku hanya dikepung oleh rasa panik. Pikiran-pikiran pun selalu negatif.

“Aduh di mana juga handphone ini. Ayo keluarlah, jangan bersembunyi.” Aku terus berceracau sambil membongkar seluruh isi tasku. Namun hasilnya nihil. Aku periksa di loker, tidak ada. Di meja, hampa.

“Aduh, bodohnya kau Nugie.” Tiba-tiba aku menemukan akal ketika pandanganku melihat gagang telpon kantor.

“Ah, sial.” kembali aku menggerutu. Suasana semakin hening. Tiada bunyi handphone berdering, “ah, pasti gara-gara aku tadi buru-buru berangkat. Aduh, nomer Sally pun aku belum hapal.”

Aku betul-betul lemas, taktahu lagi apa yang harus aku lakukan. Rasanya sudah tidak ada semangat tersisa. Semua dibawa lari Sally sejak kemarin malam. Sepi berusaha kuusir dengan menyalakan musik. Aku coba konsentrasi dan kembali membaca naskah yang harus kuedit hari ini. Namun pikiranku takbisa fokus, sudah kucoba membaca perlahan. Tapi lagi-lagi pikiranku terbawa pada Sally.

“Oh Sally, kau membuatku benar-benar gila.”

                                                              *

“Maaf, semalam aku tidak mengirimimu kabar. Pulsaku habis.”

“Nugie, kaumarah?”

“Sebenarnya pulsaku masih ada, tapi aku memilih tidak membalas pesanmu. Sebab aku selalu menyisakan beberapa ribu, takut nanti ada yang penting dan aku tidak bisa membalas.”

“Nugie, tolong balas. Ini pulsa terakhirku.”

“Aku tunggu nanti pukul 19.30 di kedai kopi di pinggir alun-alun kota.”

Ah, pesan siapa ini. Nomor baru, tapi kok merasa sok dekat. Aku hanya mengabaikan pesan itu. Aku memang sangat tidak suka meladeni orang-orang yang tidak jelas. Aku merebahkan badan, namun HP-ku berbunyi lagi.

“Ini nomorku. Kuharap engkau datang. Sally.”

 “Maaf Sally, hapeku tadi tertinggal. Aku baru pulang.” pesan itu langsung kukirim ke Sally.

“Aku sudah di sini sejak 30 menit yang lalu.”

Aku langsung melihat jam dinding. Ah, pukul 20.00. Dus. Aku tiba-tiba panik. Langit kamarku tiba-tiba saja berubah kelam.

Duaaaarrr…

Petir itu tiba-tiba memecahkan jantungku.

“Maaf Sally, di sini hujan. Aku nampaknya tidak bisa berangkat.”

Lama Sally tidak membalas pesanku. Keadaan semakin menggigil. Hujan semakin deras. Aku berharap hujan segera reda. Sembari menunggu hujan reda, aku ke dapur untuk membuat kopi. Setidaknya untuk menenangkan pikiran, walau itu hanya sebatas ilusi.

Hujan juga takkunjung reda. Waktu menunjukkan pukul 21.00, tiba-tiba Sally mengirim sebuah pesan:

Tentang sajak siang

Yang berinsut pada malam

Malam ketika senyum sapa

Menyepi dalam logam-logam

Kautahu, jelaga malam ini begitu menyiksaku

Rasanya persendianku ikut beku

Lalu beberapa menit selanjutnya

Aku meregang nyawa dalam secangkir kopi susu

Oh, maafkan aku Sally.

[1] Blayang: melayang-layang. Bisa diartikan pikirannya ke mana-mana dan tidak bisa tenang.

Related chapters

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Hujan yang Membasahi Hatiku

    Aroma hujan masih terasa. Bau tanah menyeruak dan membuat suasana menjadi terasa segar. Hujan mengguyur semalaman. Hujan selalu saja menyisakan ingatan dalam benakku. Hujan membuatku terlelap sejak sore. Kedatangannya serupa dongeng yang selalu membuatku selalu ingin melingkarkan tubuh, mirip kucing yang sedang kedinginan. Itulah yang membuatku selalu menggagumi hujan. Hujan selalu membuatku merasa teduh, serupa hangatnya pelukan ibu. Namun, hujan semalam telah membuatku mengecewakan Sally. Semoga hujan tidak membuatmu menjauh dariku Sally.“Maaf Sally, semalam hujan mengguyur. Aku teramat payah, hingga tertidur. Dan maaf, aku tidak bisa datang menemanimu semalam.” Pesan itu langsung kukirim kepada Sally.“Sekarang hari Sabtu, nanti aku pulang lebih awal. Bisakah nanti kita ngopi, mengganti pertemuan semalam.” Sekali lagi aku mengirimkan pesan kepada Sally.Aku tahu, Sally tidak akan membalas pesanku. Biasanya jam segini ia ma

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Cafe dan Sebuah Impian

    “Terimakasih telah menemaniku menikmati hujan.”Pesan singkat itu kukirim kepada Sally. Entah kenapa aku selalu merasa ingin terus berkomunikasi dengan dia. Walaupun seharian aku sudah bersamanya, rasanya rindu ini selalu tumbuh dan tumbuh. Apakah setiap orang yang jatuh cinta selalu merasakan seperti ini?“Terimakasih juga telah berkenan memotret motor adikku.”“Oh iya, besok malam ada acara? Ngopi yuk!”“Di mana?”“Tempat dan waktu, kamu yang tentukan.”“Oke. Di Café Lilo ya, pukul 19.00.”“Oke”“Semoga tidak hujan.”Aku ingin tidur lebih awal, agar waktu lebih cepat berlalu. Aku tidak sabar untuk segera bertemu dengan Sally. Rasanya aku menemukan semangat baru dalam menjalani hidup sejak bertemu dengannya, bahkan aku kini sudah mulai berani melonggarkan pekerjaan. Tidak seperti dulu yang selalu membenamkan diri dalam

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mahar, Perbincangan yang Melantur

    Pertemuan dengan Sally di Lilo benar-benar membuat hidupku berubah. Aku ingin segera bisa mewujudkan mimpi itu bersama. Menikah dan memiliki sebuah café. Ah, rasanya aku ingin menceritakan ini semua kepada sahabatku. Aku ingin mendengar bagaimana pendapatnya. Aku berusaha mengirim pesan kepada Alex. “Sedang di mana? Nongkrong yuk.” “Wih, tumben amat orang yang sok sibuk sekarang ngajak nongkrong?” “Ah, kamu selalu saja menyindirku. Sudahlah, terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin ketemu kamu. Aku ingin banyak bercerita kepadamu.” “Wah, mau cerita apa ini?” “Ada deh. Nanti aku ceritakan.” “Siap, tapi ditraktir ya?” “Oke. Ketemu di Monami ya.” “86, Ndan.” “Oke, ketemu di sana ya. Aku sekarang meluncur.” Ketika sampai di Monami aku berusaha mencari Alex, mungkin ia sudah datang terlebih dahulu. Namun setelah aku cari, tidak kutemukan. Aku langsung memesan kopi sambil menunggu dia datang. “S

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Puncak, di Sanalah Semua Bermula

    Cobalah sesekali, dari atas kamu akan melihat betapa besarnya keagungan Tuhan. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana membedakan ajakan atau suruhan. Namun aku tetap tidak ingin dan pasti tidak mau. Walau itu Sally yang memaksa. Mungkin aku seseorang yang keras. Entah kerasnya seperti apa, kadang aku juga tidak mampu mendefinisikannya dengan baik. Sebab kadang aku menjadi lembut melebihi sutra. Aku bisa tahu yang tidak diketahui orang. Indra keenam. Entahlah, aku tidak pernah merisaukan itu. Namun kenyataannya aku aneh. Aku menyukai yang tidak disukai orang. Aku suka dengan buku-buku dan tenggelam di dalamnya. Kadang aku berbicara sendiri, kata mereka. Tidak denganku, sebab aku sedang dialog dengan sesuatu yang tidak pernah bisa diajak orang dialog. Hingga orang-orang berbondong-bondong datang untuk menonton dan menyebutnya monolog. Sebenarnya yang aneh siapa? Mereka yang menonton orang aneh atau aku? Bukan berarti aku tidak percaya atau tidak menyukai pilihan

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Malam, Di sanalah Rumah Paling Teduh

    Sejak percakapan di Coffe Shop itu, aku dengannya sering bertengkar. Entah hal-hal sepele pun bisa menjadi pemantik emosi di antara kita. Aku jadi merindukan saat pertama dulu. Kita selalu melontarkan kata-kata manis. Sampai akhirnya kita menuliskan puisi untuk mengikat janji. Dan kita saling merindu dan bercakap tiap malam melalui telpon, seolah sedang bercakap secara langsung. Aku benar-benar merindukan masa itu. “Kok belum tidur?” “Aku tidak terbiasa tidur sore. Entah rasanya aku lupa cara untuk tidur lebih awal.” “Berarti kamu insomnia.” “Tidak. Sebab kepalaku tidak pernah sakit bila tidak bisa tidur. Orang pengidap insomnia kepalanya selalu sakit. Sedangkan aku tidak pernah merasakan sakit. Jam tidurku bergeser.” “Bergeser? Maksudnya?” “Aku baru bisa tidur bila ayam sudah mulai berkokok. Di mana orang-orang mulai bangun tidur. Hal itulah yang membuatku selalu tidak bisa menikmati matahari terbit. Dan mungkin itulah aku be

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Malam Lebaran

    Tiba-tiba ada sebuah pesan dari inbok facebook.“Saya ambil buku Ziarah Cinta Mas. Bagaimana pembayarannya?”Pesan yang amat singkat. Yah, memang unik. Terkadang ada orang yang bertanya panjang lebar. Ada yang sekadar basa-basi dan akhirnya tidak jadi beli. Bahkan ada yang seolah tidak membeli tapi akhirnya memborong begitu banyak buku.“Anda tinggal di mana?” Balasku singkat.“Saya tinggal di Jakarta.”“Pembayaran via transfer.”“Panggil saya Zahrah saja, biar lebih akrab. Berapa yang harus saya bayar?”“Ziarah Cinta, 35 ribu Mbak. Jadi dengan ongkos kirim, total yang harus dibayar 50 ribu. Tidak pesan buku yang lain?”“Jangan panggil Mbak, Zahrah saja. Ada buku lain yang serupa dengan Ziarah Cinta?”“Iya Zahrah.”Setelah membaca pesan terakhir itu, aku lalu melihat koleksi jualan bukuku. Mencari novel religi serupa Zi

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

    Last Updated : 2021-07-10
  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

    Last Updated : 2021-07-10

Latest chapter

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Surat

    Teruntuk keluarga Zahrah yang sempat saya tahu:Mas Ben dan Mbak NayBagaimana kabar Mas Ben dan Mbak Nay di sana? Semoga dalam kondisi sehat selalu. Sebenarnya saya ingin bisa bicara langsung, sebab terlalu banyak yang ingin saya bicarakan. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin nampaknya. Dulu, sewaktu Mbak Nay menghubungi saya via email dan mengatakan Zahrah di rumah sakit dalam kondisi masih belum sadar. Keesokan harinya, saya kirim email. Menanyakan kabar Zahrah. Ia masih belum sadar dan ia terus menyebut nama saya. Saya diminta Mbak Nay menelpon ke nomor Zahrah, pura-pura sedang berbicara dengannya. Saya ngobrol sampai 18 menit. Setelah itu, saya matikan. Kemudian mengirim email pada Mbak Nay bertanya ikhwal keadaan Zahrah. Katanya, setelah mendengar suara saya ada respon. Meskipun responnya airmata yang ia teteskan dalam ketidaksadaran. Ah, saya taktahu itu pertanda baik atau buruk. Saya semakin kacau.

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Wasiat

    Aku benar-benar terkejut dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Aku merasa ini sesuatu yang amat sulit aku terima. Terlalu berat. Rasanya aku ingin bercerita kepada Pak Tarman, namun saat di kantor mulut ini rasanya seperti tercekat dan tidak ada kata-kata yang mau terlontar. Aku pun urung bercerita, hanya sekadar ngobrol dan bercanda untuk mengusir kesedihan yang menggelayuti hati. Sebenarnya aku masih belum bisa menerima semua ini, namun kabar itu membuatku telah layu. Semangat kerjaku pun rapuh. Tiada lagi rasa menggebu untuk menyelesaikan pekerjaan, bahkan yang ada hanya ingin segera pulang dan membenamkan kepala di bawah bantal. Lalu menangis sejadi-jadinya tanpa suara dan membiarkan airmata menjadi saksi bahwa luka ini benar-benar nyata dan begitu menyiksa. Semuanya meledak. Hatiku koyak-moyak dibuatnya. Sebulan menanti kabar dari Nay, dan ketika ia mengabari kemarin aku malah ingin menarik kembali waktu agar Nay tidak menjawab pertanyaanku. “Ia sudah tenan

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Mimpi yang Pecah

    Tiap kali aku memandang foto Zahrah, rindu dalam hatiku begitu meluap-luap dan rasanya ingin tumpah. Apalagi ketika mendengar kabar kalau ia sedang sakit dan sudah tidak sadarkan diri selama 3 bulan. Duh, rasanya benar-benar kelimpungan. Aku merasa bersalah telah berburuk sangka karena ia lama menghilang, bagai ditelan bumi. Tiada kabar sedikit pun. Namun ketika ada kabar dan aku masih tetap tidak bisa menjenguknya. Aku sungguh berat mengiyakan jawaban Nay agar segera ke sana menemaninya. Aku tidak bisa meninggalkan ibu. Dua orang perempuan yang kusayang sedang sakit. Ingin rasanya aku menjenguk Zahrah, tapi sungguh tidak pantas aku meninggalkan ibu yang juga membutuhkanku untuk di sampingnya. Sedangkan untuk makan ibu harus diambilkan. Jika harus ke kamar mandi, maka harus dipapah. Duh, aku benar-benar limbung. Linglung. Sosok ibu memang sosok perempuan yang palih teduh. Tatkala aku murung saja saat menemaninya, ibu tiba-tiba saja bertanya. “K

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Sebuah Nama

    Kemurungan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Dan kali ini, kemurungan itu bertamu kepadaku. Entah, rasanya ia begitu nyaman bertamu di ruang batinku. Kepergian Sally rasanya membuatku menjadi hampa. Sapaannya tiap waktu memang serupa candu. Senyumnya bagai pupuk yang selalu mampu memunculkan benih suka dalam diriku. Gengaman tangannya membuatku tegar menghadapi hidup yang hingar-bingar. Dan pelukannya membuatku menjadi lelaki yang begitu tangguh. Ah, mana janjimu dulu Sally. Janji akan selalu berada di balik punggungku. Kenapa kini kaupergi setelah semua benih itu tumbuh dalam hatiku. Kepergianmu rasanya seperti mencabut akar semangatku untuk hidup. Aku kini seperti pohon layu yang bersiap-siap tumbang. Pekerjaan yang sedari dulu membuatku penuh gairah, kini sudah takmampu membuatku tersenyum menyapanya. Rasanya aku sudah enggan melakukan rutinitas. Rasanya aku ingin mengejarmu saja, tanpa harus bekerja dan melakukan aktivitas lainnya. Teman-teman di kantor pun selalu

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Jangan Bilang pada Ibu

    Aku kemarin bercerita kepada ibu. Bercerita tentang kedekatanku dengan Zahrah. Aku bercerita bagaimana kita mengawali cerita ini. Cerita yang membuat kita sering berbagi kisah, bahkan mencuri waktu dan jam kerja. Namun, ibu tidak suka kalau aku mendekatinya. Ibu berkata begitu tentu bukan tanpa alasan, tetapi ibu berpikir seperti dulu yang telah aku pikirkan: dikira merebut pacar orang. “Berarti ibu tidak suka terhadapku ya Mas?” “Bukan begitu Za, ini tidak ada hubungan antara suka dan tidak suka.” “Tapi katamu tadi, ibu melarangmu berhubungan denganku.” “Iya, memang seperti itu. Tetapi kamu harus tahu, ibu berkata seperti itu karena ibu tidak mau anaknya ini dikatakan merebut pacar orang. Merebutmu dari Kun.” “Sama saja.” “Sudahlah Za, aku telpon kamu bukan untuk bertengkar. Aku ingin mengobati rinduku padamu, tapi jika kamu malah mengajakku bertengkar, lebih baik aku menutup telponnya saja.” Tut…tut…tut… *

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Singapura, Lingerie, dan Novel Baru

    Tuhan kenapa ujian ini terasa begitu berat buatku? Apakah aku tidak berhak merasakan sebuah kebahagian?Ketika aku sudah di atas pohon yang mulai rapuh, aku begitu takut jatuh. Aku merasa tidak akan lama pohon ini bisa terus menahan diriku di atasnya, sehingga aku pun mulai berpikir harus mencari pohon baru yang lebih kuat untuk bisa kupanjat. Akan tetapi ketika aku berusaha memanjat pohon lain, aku salah menapakkan kaki pada ranting yang kering dan terjatuh. Begitulah, seperti diriku yang menjalin hubungan dengan Sally yang sudah rapuh dan sering bertengkar. Dan aku mulai goyah ketika mendapatkan perhatian dari Zahrah. Harapanku memang bisa mendapatkan pijakan yang lebih kuat, ternyata semua itu tidak seindah seperti yang dibayangkan.“Za kamu di mana? Aku mencoba menghubungi dari sore tadi, tapi nomormu tidak aktif. Aku menunggumu 5 jam seperti orang linglung.”“Aku sudah di Jakarta Mas.”“Hah…..di Jakarta?

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ziarah dan Pertemuan yang Tertunda

    “Aku kangen,” ujarmu di tengah percakapan kita.“Kau sudah menemukan kekasih baru ya?” Tanyaku.“Belum,” ia menjawab dengan singkat, “Aku merindukan ibu.”“Pulanglah, kunjungilah pusaranya. Tumpahkan rindumu di sana. Ceritakan segala kisah yang telah alpa dari pengelihatannya. Setidaknya dengan begitu kaubisa mengobati kerinduanmu Za.”Kemudian kita terdiam. Tidak ada kata yang mampu terlontar, seolah kita berbicara dengan dengus napas.Hening.Tiba-tiba di sana ia terisak.“Aku kangen ibu Mas. Berikan aku pelukan, agar aku merasa sedikit tenang.”“Sini dekatkan dirimu, biar aku bisa memelukmu.”Meskipun kita hanya telpon, kita seolah sedang bertatap muka. Yah, seperti bilang memeluk atau mencium. Hanya dengan cara itu kita berusaha merasa satu dan mendekatkan diri. Lekat dan lebur dalam rasa.“Makasih ya Mas. Semoga suatu ke

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Ibu, Melarangku Mencintaimu

    Kedekatanku dengan Zahrah membuat ia kerap muncul di ingatanku. Terkadang juga muncul dalam setiap berbincanganku, bahkan ketika berbicara dengan ibu. Sungguh, semua terjadi begitu saja. Seolah sudah tertata dan terprogram dengan rapi di memori otakku.“Bu, aku mencintainya.”“Sudahlah, jangan dekati dia.”“Tetapi aku benar-benar mencintainya.”“Lantas bagaimana dengan Sally?”Aku tiba-tiba terdiam. Tak ada jawaban yang bisa kulontarkan kepada ibu. Aku merasa benar-benar tidak punya alasan lagi untuk perasaanku itu. Perasaan yang tak semestinya ada. Ia hadir di antara aku dan Sally.Lantas aku harus berbuat apa Bu? Aku bingung dengan ini semua. Di saat aku sudah mulai yakin dengan Sally, ia nampaknya semakin menjauh. Kita sudah sering bertengkar, terkadang pertengkaran antara kita hanya karena hal-hal sepele.Aku jadi merasakan sebuah keane han. Padahal aku dan Sallysudah merenc

  • Di mana Rindu ini Kutitipkan   Rindu yang Kelabu

    Teman-teman tiba-tiba saja duduk menyendiri. Mereka seolah-olah tidak mau mengganggu aku bercengkrama dengan Sally. Ah, aku jadi malu, tapi aku senang karena bisa leluasa ngobrol dengan Sally.“Aku malam ini betul-betul merindukanmu Sal.”“Ah, gombal.”“Loh….” aku terdiam sesaat. “kenapa ya setiap aku berkata jujur aku selalu dibilang orang ngombal? Perkataanku terlihat berlebihan atau seperti merayukah?”“Ya jelas, wong dari tadi aku sudah menemanimu. Kok ya masih bilang kangen.”“Padahal aku berkata apa yang kurasakan. Kenapa sih semua orang tidak pernah bisa memercayai apa yang aku rasakan? Apa yang aku unggapkan walaupun itu benar?” tiba-tiba saja aku merasa sebal dan sedih.“Maaf, maaf, iya, aku faham kok kalau kamu memang kangen sama aku. Jangan serius-serius dong.” sembari Sally memegang tanganku.Dan melihat Sally memegang tanga

DMCA.com Protection Status