“Kau tidak sedang menjebakku, kan?” Jaxx tak yakin dengan jalan yang diambil Erica. Kumuh dan jalannya semakin sempit. Seolah mengarah ke gang buntu.
Erica menoleh sambil tersenyum, “Studioku ada di bawah gedung itu. Satu belokan lagi dan kita akan sampai.” Setelah sampai, Erica membuka studionya, dan mengajak Jaxx masuk, “Anggap saja rumah sendiri.” Mengambil album tebal dan menyerahkannya ke Jaxx, “Kuharap dengan ini kamu yakin dengan tawaranku, Jaxx.” Tersenyum semanis mungkin.
Jaxx membuka album, banyak sketsa wajah dan pemandangan yang nyaris sempurna, pantas saja Erica percaya diri dengan permintaan itu. Jaxx menutup album dan mengembalikannya ke Erica, “Okey. Lalu?”
Erica langsung mengulurkan tangan untuk meraba setiap inci di wajah Jaxx.
Bukannya senang, Jaxx malah mengerutkan kening, terganggu dengan apa yang terjadi. “Apa yang kau lakukan?”
“Aku sedang mengenali wajahmu dengan benar, Jaxx.”
“Kau melakukannya ke semua modelmu? Di album itu?”
Erica berhenti dan melirik Jaxx tajam, “Bukankah siapa yang ada di sana gambar artis dan orang terkenal? Aku memandangi wajah mereka dari poster dan beberapa contoh gambar di bukuku. Berbeda denganmu yang ada di sini.”
Jaxx langsung melepas dasi dan menutup mata Erica dengan itu, “Kurasa dengan begini kau akan lebih mudah mengenaliku.”
Erica yang otomatis tak bisa melihat apa pun, mengulurkan tangan, “Aku tidak bisa melihatmu kalau begini, Jaxx.”
Jaxx malah terkekeh sambil membuka semua kancing kemeja, “Gunakan instingmu, Erica. Bukankah karya yang indah adalah karya yang terlahir dari hati senimannya? Apa kau lupa ucapanmu sendiri?” Menempelkan tangan Erica ke dadanya, “Kau bisa menyentuhku sekarang.”
Erica mulai beraba perlahan. Banyak lekukan di sana, dia bingung, bagian yang mana ini? Tetapi semakin lama, dia seolah mengenali apa yang tengah dirabanya, ucapan Jaxx memang benar ternyata.
Jaxx menekan lagi tangan Erica agar meraba lebih percaya diri. Namun, keputusan yang diambilnya ternyata salah, Jaxx yang berniat menggoda, malah terpancing lebih dulu hingga membuat tubuhnya memanas. “Ah ... kurasa berdiri akan membuatku lelah.” Jaxx langsung melepas pakaiannya dan berbaring di sofa. “Lakukan lagi seperti tadi. Sebentar lagi kau pasti bisa mengenalku dengan baik.”
Erica menurut saja dengan perintah itu. “Dadamu bagus, Jaxx. Aku baru tahu kalau ini sangat kekar.” Erica menurunkan tangannya lagi, “Perutmu juga indah. Pusar ini tak terlalu dalam dan ...” Erica enggan meneruskan ucapannya.
Jaxx malah tersenyum. Tangan kirinya tetap digunakan sebagai bantal, sedangkan tangan kanan menggapai tangan Erica yang saat ini diam, “Kau harus profesional, Erica. Anggap saja pekerjaanmu memang seperti ini. Kau tidak mau tugasmu kurang maksimal, kan?” Menekan tangan Erica hingga mengepal miliknya. “Aku ini orang sibuk, kau tidak dapat kesempatan dua kali.”
Erica melanjutkan aktivitas, bahkan hal sensitif itu juga, “Aku tidak yakin dengan ukurannya.”
“Gunakan dengan mulutmu untuk mendapatkan ukuran yang pasti.” Jaxx tak sabar dengan permainan yang semakin melamban.
Erica mengulum juga, meletakkan di sana, membiarkan mulutnya penuh, dan melepasnya lagi, “Aku masih tidak tahu, Jaxx. Apa aku-”
“Jangan!” Jaxx menahan tangan Erica yang akan melepas dasi di mata, “Lakukan saja apa yang harus kau lakukan.”
“Aku tidak tahu harus melakukan apa, Jaxx.” Erica bingung dengan ucapan Jaxx.
Jaxx ingat, Erica sering mengatakan kejadian pertama, apa ini juga yang pertama kali untuk Erica? “Gunakan lidahmu juga. Hati-hati dengan gigimu. Anggap saja itu es krim dan kau akan tahu harus melakukan apa.” Erica benar-benar tak berpengalaman, sepertinya Jaxx harus mengajarinya banyak hal setelah ini.
Erica mengikuti ucapan itu dan dia tetap tidak merasakan apa pun.
“Ahhh ... itu lebih baik.” Jaxx mulai menikmati permainan ini.
“Apa aku melakukannya dengan baik, Jaxx?”
“Yaaa ... kau melakukannya dengan baik, Erica.” Jaxx menahan kepala Erica dan mendorongnya memenuhi mulut Erica lagi. Baru beberapa kali dan dering di ponselnya mengganggu konsentrasi.
“Jaxx, apa itu telepon penting? Kau bisa mengangkatnya dulu.” Erica masih punya banyak waktu untuk persiapan tugas akhir ini.
Jaxx mengambil ponsel, panggilan dari Bill itu pasti tidak penting, dan dia meletakkan ponselnya lagi, “Teruskan saja, Erica. Lakukan lebih cepat dan jangan ragu-ragu.” Menuntun Erica untuk menyantapnya lagi. Panggilan itu berhenti, hanya sebentar, dan berbunyi kembali membuat fokusnya terbelah. Meski sekuat apa Jaxx abai, nyatanya dia tetap tak bisa menikmati permainan Erica, tak ada pilihan selain mengangkat telepon itu, “Apa kau tidak bisa berhenti meneleponku, Sialan?!”
Sekretaris kantor yang menelepon pun menjawab, “Maaf, Mr. Jaxx, Mr. Scott memanggil Anda sekarang, tolong datang secepatnya, ada hal penting yang harus diselesaikan mendadak. Saya menelepon Bill, Anda sedang di tempat lain katanya, jadi saya menelepon ke sini langsung.”
“Brengsek!” Jaxx menutup telepon itu dan mengangkat kepala Erica agar menjauhi miliknya, “Aku harus pergi, Erica.” Mengenakan pakaiannya lagi dengan tergesa.
Erica membuka dasi di matanya dan menatap Jaxx dengan bingung, “Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku tidak melakukannya dengan baik tadi?”
Jaxx tersenyum, “Ada hal penting yang harus kuurus. Jangan mengkhawatirkanku.”
“Lalu ... kapan kita akan bertemu lagi?” Erica tak ingin semua berakhir seperti ini.
“Kalau kau sudah pandai melakukannya, aku akan kembali ke sini.” Jaxx membentuk lingkaran dengan tangan kanan dan memaju mundurkan di depan mulutnya.
Erica mengangguk, “Aku akan cepat belajar, Jaxx.” Mengulurkan dasi agar dikenakan Jaxx lagi.
“Simpan saja itu. Aku tidak ingin kamu melupakan apa yang harus kamu lakukan. Aku pergi.” Jaxx pun keluar.
Erica yang ditinggalkan sendiri, hanya bisa menatap pintu yang kini tertutup rapat, dasi di tangan pun dilipat rapi dan diletakkan di meja, “Aku akan cepat belajar, Jaxx. Kita akan bertemu lagi.”
Di kantor ... Jaxx baru saja tiba. Disambut oleh sekretaris kantor dan masuk ke ruangan Mr. Scott, “Ada apa? Sesuai jadwal, aku memiliki beberapa jam untuk bersantai hari ini.”
Mr. Scott menajamkan tatapannya, “Katamu Johan menerima uang itu, kan? Dia menyetujui permintaanmu dan pembangunan galeri akan jatuh ke tangan kita.” Mengambil tas di sampingnya dan melemparnya ke Jaxx, “Lalu apa ini?”
Jaxx langsung menoleh ke Bill, “Suruh mereka mencari Johan, aku ingin bertemu dengannya dalam keadaan hidup, siapa yang paling cepat menemukan Johan, aku akan memberinya hadiah besar.”
Bill mengangguk dan ke luar dari ruangan Mr. Scott.
Mr. Scott bersedekap dada dan menyandarkan punggung, “Kau sangat tahu siapa orang yang paling ingin bekerja sama dengan Johan juga. Kalau kita kehilangan pembangunan galeri itu, kau tidak akan membayangkan apa yang akan kulakukan, mungkin bukan penjara, tetapi lebih dari pada itu.”
Jaxx berdiri, menumpu di meja, dan menatap sama tajamnya ke Mr. Scott, “Ini bukan pekerjaan pertamaku, kan? Sebaliknya, apa yang akan kudapat jika pembangunan galeri menjadi milik kita?”
Mr. Scott tertawa, “Akhir-akhir ini kamu terlalu banyak bicara, Jaxx.” “Itu karena kamu terus mempermainkanku. Mr. Scott.” “Nyatanya tetap aku yang mengeluarkanmu dari penjara.” Setelah wajah Jaxx melunak, “Ambil proyek galeri itu dan temukan barangku di sana. Jangan membuang-buang waktu.” Jaxx langsung pergi dari ruangan Mr. Scott dan ikut mencari Johan. *** Tiga hari berlalu, Bill yang pergi selama tiga hari juga, belum membawa kabar baik, membuat Jaxx bingung. Ke mana kiranya Johan pergi? Tak sabar, dia pun langsung menelepon Bill, “Apa kau ketiduran di jalan?” Bill, “Maaf, Mr. Jaxx. Sepertinya Johan disekap oleh orang penting, aku sudah menyebar semua anak buah kita, tetapi mereka tetap tak menemukan Johan di mana pun.” Jaxx langsung menutup telepon itu dan panggilan lain masuk, nomor yang bahkan tak dia tahu siapa pemiliknya. Namun, Jaxx tetap mengangkat telepon itu, “Ya?” Seseorang di ujung saja tertawa, “Suaramu sangat berat, kurasa kamu sedang mengalami kesulitan saat
Erica berhenti mengunyah dan meletakkan sumpit, “Hans, bukankah ini terlalu cepat? Aku tahu kita memang sudah lama saling kenal, tetapi dengan keadaanku yang begitu jauh denganmu-” “Aku tidak peduli dengan apa pun keadaanmu, Erica.” potong Hans. “Aku tahu. Setidaknya biarkan aku berusaha agar lebih seimbang denganmu, agar lebih pantas di sampingmu, setelah ujian akhir ini, aku yakin bisa menjadi apa yang aku impikan, dan saat itu aku akan memikirkan pertanyaanmu.” Erica tak bisa menolak Hans terang-terangan. Pria itu baik dan lembut, tetapi hatinya tak pernah bisa terima. Tak ada yang menyukainya selama ini, apa karena Jaxx? Bahkan kalau dipikir Jaxx pun juga tak menyukainya. Apa yang Erica harap? Hans menghela napas, “Baiklah. Aku ingin semua tetap baik sampai kamu bisa menjawab perasaanku, Erica.” Erica tersenyum dan mengangguk. Lanjut makan, ingin pertemuan ini segera usai, dia tak tahan dengan tatapan banyak orang di sekitarnya. Hans terlalu mencolok dibanding dengannya yang t
Jaxx mengedipkan mata, mendengar suara itu, dia langsung menoleh dan mendekat ketika menemukan Erica, lalu berdiri tepat di depan Erica. Erica seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya, “Jaxx, kamu-” Tak sanggup melanjutkan ucapannya karena Jaxx sedang memagutnya saat ini. Jaxx tersenyum, “Aku tidak tahu kau sedang makan roti.” Erica menunduk dan menggigit bibir bawahnya sendiri. Jaxx langsung menarik dagu Erica agar menatapnya, “Jangan pernah menggigit bibirmu, kalau kau ingin, aku akan menggigitkannya untukmu.” Memagut bibir Erica lagi, bahkan memeluk juga, Jaxx merasa darahnya berdesir dengan cepat, dia pun menggendong Erica dan mengedarkan pandangannya, “Di mana kamarmu?” Erica menunjuk tempat tidur, “Di sana. Kamu bisa beristirahat, aku tidak akan mengganggumu, Jaxx.” Seolah tuli, Jaxx langsung ke sana dan menurunkan Erica, lalu membuang pakaian yang dikenakan, “Aku ingin meminta bayaranku, Erica. Kau bilang akan memberikan apa pun, kan? Aku ingin minta ini. Apakah kamu
Scott menoleh ke Johan, “Pulanglah. Terima kasih untuk hari ini.” Johan mengangguk dan langsung pergi tanpa menyapa tamu Mr. Scott. Scott kembali menoleh ke tamunya, “Apa yang membuatmu datang ke sini, Rose? Kurasa semua urusan kita sudah selesai.” Rose tertawa, mengeluarkan rokok, dan menyulutnya, “Aku ingin barangku kembali. Meski pun kamu menyekap Johan dan menjaganya dengan seribu pengawal sekali pun, aku akan tetap mendapatkannya. Bagaimana pun juga galeri itu kubeli jauh sebelum kamu tertarik. Jadi, kamu harus mengembalikannya padaku.” Scott terkekeh, “Bahkan aku tidak tahu apakah barang yang kamu maksudkan ada di sana. Kamu terlalu percaya diri, Rose. Aku juga tidak terlalu paham dengan galeri yang kamu maksudkan, semua dikerjakan oleh Jaxx, dan kurasa tentang barangmu, hanya Jaxx yang tahu.” Rose menggebrak meja dan berdiri, “Jangan pernah bermain-main denganku, Scott.” Barulah Scott tertawa, bahkan tubuhnya bergetar karena tertawa terlalu keras, “Kalau dipikir kembali,
Menjauhkan tangan itu dan membuat empunya duduk dengan benar di kursi Rose sendiri. Jaxx mengeluarkan rokok dari saku, baru saja menyulut korek, Rose sudah menyulutkan rokoknya. Rose tersenyum saat Jaxx mengisap, mengembus dengan seksi, dan menyimpan koreknya lagi di tas. Jaxx menekan rokoknya sembarang di mobil Rose, meninggalkan bekas di sana, dan tersenyum saat melihat Rose menahan amarah yang begitu kentara di wajah, “Aku tidak tahu apa tujuanmu menemuiku, mengatakan hal tidak penting, dan motif yang kamu sembunyikan. Aku hanya ingin apa yang sudah terjadi, lupakan saja, termasuk dengan pertemuan kita. Anggap saja tidak pernah ada dan apa pun tidak terjadi. Tentang Johan, tanyakan ke Scott, aku tidak ikut campur dalam pekerjaan apa pun selain memastikan kerja sama berjalan lancar dan sekarang, bolehkan aku turun? Kurasa sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.” Rose menoleh ke sopir dan mengangguk. Setelah mobil berhenti, membiarkan Jaxx turun, dan menurunkan kaca mobil,
Erica menggeliat. Melihat Jaxx di sebelahnya masih terlelap dengan tubuh telanjang, dia tersenyum, mengusap punggung itu, dan berpakaian kembali. Mengintip ke jendela, Erica tak terlalu ingat kejadian semalam meski bisa menebak, tetapi melihat tempat parkir di bawah sana, membuatnya malu untuk turun.“Kau sudah bangun?” Jaxx mengusap wajah dan duduk dengan bersandar. Mengambil rokok untuk disulut dan diisap, “Aku akan mengantarmu pulang setelah ini.”Erica tersenyum dan mengangguk, “Hari ini aku ada kelas siang. Jangan terburu-buru.” Erica mendekat untuk duduk di samping Jaxx.Jaxx mengambil jasnya, mengeluarkan cek, menulis deretan angka, dan memberikannya ke Erica. “Jangan bekerja lagi di sini.”“Aku tidak bisa menerimanya, Jaxx. Aku mendekatimu bukan untuk itu.”“Aku tahu. Aku hanya ingin kamu fokus dengan kuliahmu. Simpan saja ini.” Menyodorkan kembali dan tersenyum saat Erica menerima kali ini. Jaxx berdiri, mengulurkan tangannya ke Erica, “Kita sarapan dan aku akan mengantarmu p
Hari berganti ... sepulang dari kampus, Erica langsung ke tempat katering, membantu memasak dan menyiapkan pesanan, “Apa setiap hari akan seperti ini?” Pemilik katering tersenyum, “Kamu tahu pembangunan di sana? Di pertigaan? Setiap siang mereka makan di sini, jadi kita cukup sibuk setiap hari, tetapi mereka libur Minggu, tenang saja.” Erica tersenyum, “Setelah ini?” “Antar saja. Kau tinggal meletakkannya di meja nanti, sopir akan memberi tahumu.” Erica ikut ke mobil dan berangkat ke tempat pembangunan. Setelah melihat meja panjang kosong, dia tahu harus meletakkan semua kotak makan ini di mana, dan hujan yang tiba-tiba turun tak membuatnya memelankan langkah. “Berikan ini ke bosmu.” Mandor proyek mengulurkan amplop ke Erica. “Terima kasih.” Erica menyimpannya di kantong celemek. “Mereka minta untuk sore juga, bukan makanan, tetapi kudapan, apa kalian bisa mengirimnya? Jam tiga harus sudah di sini.” Erica melihat jam kecil yang dijadikan kalung, pemilik katering yang memberiny
Jaxx tersenyum sambil merapikan rambut Erica, “Aku ingin berkencan denganmu. Jadi, mari kita lakukan dengan baik.” Menggandeng Erica masuk butik, “Aku ingin yang terbaik untuknya."Pegawai butik langsung menyambut hangat, “Baik, Tuan.”Erica menurut dengan canggung ke pegawai butik itu, mencoba beberapa gaun yang terlihat aneh di tubuhnya, dan tetap tak mengerti karena Jaxx terus mengangguk dari tadi.“Pakai yang itu. Aku bayar sisanya.” Jaxx membantu Erica turun dari tempat mencoba gaun dan memberikan kartunya ke pegawai butik.“Bukankah ini terlalu berlebihan?” Erica mengenakan gaun sempit dengan belahan sepaha, rambutnya juga sempat diblow tadi, disemprot parfum, baru digandeng oleh Jaxx. Harusnya dia percaya diri, tetapi nyatanya apa yang tak pernah terpakai tetap saja terasa asing.“Sudah kukatakan kalau aku ingin berkencan denganmu, kan? Kita lakukan saja. Jangan terlalu banyak mengeluh, Erica.” Setelah dari butik, Jaxx mengajak Erica ke restoran mewah, makan makanan enak, dan t
“Mr. Scott!” Jaxx langsung berlari melihat Scott hampir masuk bandara, “Apa ini?!” Scott terkekeh, “Aku sudah bilang padamu kalau aku ingin pensiun, kan?” “Dengan melarikan diri? Aku bisa membebaskanmu dari wanita sialan itu, tinggal sedikit lagi, Aganta tidak akan dijual ke siapa pun. Meski itu juga berarti aku tidak bisa mengusir Rose, dia tidak akan bertingkah di sini, aku akan melakukan apa pun untuk menaikkan saham kita di sana.” Jaxx berharap bisa merayu Scott, “Tolong, tetaplah di sini.” Scott tersenyum lebar, “Aku hanya berlibur untuk beberapa hari, aku tidak mati atau pergi ke mars, jadi jangan kawatir. Aku akan kembali lagi, Jaxx.” “Kapan? Aku harus tahu kapan pastinya Anda kembali, Mr. Scott.” Andai Jaxx bisa mungkin dia sudah menarik koper-koper yang dibawa anak buah pribadi Scott dan mengajak Scott kembali ke markas inti. “Kau akan mengetahuinya. Berhati-hatilah dengan Rose, kita sama-sama tahu kalau dia selalu menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadinya se
Jaxx, Bill, dan Abi saling melempar pandang, “Siapa?” Jaxx mengurai pelukan itu dan menatap Erica lebih serius. “Pak Johan. Beliau pimpinan Aganta. Bukankah kamu sering ke sini, Jaxx? Aku pikir kamu mengenalnya sampai membuat pengajuanku berjalan sangat lancar tadi.” Melihat wajah Jaxx yang berkecamuk, Erica jadi gugup, “Apa ... kita merayakannya dengan es krim?” Jaxx menoleh ke Bill dan Abi, “Aku beli es krim dengan Erica. Kerjakan tugas kalian.” Merangkul Erica dan ke luar dari Aganta sambil terus mencari Johan. Dia tidak menyangka kalau pria itu sudah berada di Aganta setelah sekian lama dicari-cari ke mana pun. Erica yang terganggu karena Jaxx diam dari tadi, merangkul pria itu lebih erat, “Apa ada sesuatu, Jaxx?” Jaxx tersenyum, “Sesuatu? Tidak ada. Apa memangnya?” Jaxx mendekat ke penjual es krim, “Semangkuk yang spesial untuk perempuan yang spesial.” Penjual tersenyum lebar, “Pasti, Tuan.” Meracik pesanan dengan senang hati. Erica yang mendengar pesanan Jaxx, jadi merona
“Tidak. Untuk apa aku cemburu?” Erica mempercepat memakai pakaian dan meneguk minuman bersoda yang tadi dibelikan Bill. “Malam ini pulanglah ke rumahku.” Jaxx mendekat dan menebuk birnya, “Setelah patungnya didaftarkan ke Aganta, harusnya kau tidak perlu ke kampus, kan? Menemui dosen atau temanmu yang tidak jelas itu.” imbuh Jaxx. Erica menggeleng lagi, “Dengan tetap di sini aku bisa menemukanmu secara tidak sengaja seperti waktu itu. Meski aku tahu kalau kamu bisa mengobrol dengan siapa saja, kejutan yang seperti itu membuatku lebih hidup.” Jaxx terkekeh, “Ucapanmu bisa disimpulkan kalau kamu kesepian setiap di rumahku. Apa tebakku benar?” Erica masih mau menjawab, pintu studio diketuk oleh seseorang, dan dia ke sana untuk membukakannya. “Masuklah!” Ternyata itu Bill, Abi, dan beberapa orang pria, “Tolong berhati-hatilah. Aku akan menangis kalau sampai ada kesalahan.” Jaxx mendekat dan merangkul pinggang Erica, mengawasi patung dinaikkan ke truk, dan mengajak Erica berangkat ke
Setelah tangan Hans selesai dibersihkan, Rose menyuruh Hans mandi agar bau keringat itu hilang, dan dia membantu Jaxx membuat mi. “Aku mandi dulu.” Scott meninggalkan Rose dan Jaxx di dapur karena tubuhnya juga gerah. Rose pun tersenyum, “Jadi, kau yang mengambil paket itu?” “Paket apa?” Jaxx tak paham. “Kau bilang Hans terjatuh dan kau yang mengejar anjingnya, kan? Kalau Hans sudah mengambil paketnya, untuk apa kamu masih mengejar anjing itu, artinya kau yang berhasil mengejar.” Meliat Jaxx mau menyangkal, Rose bicara lagi, “Aku lebih berpengalaman darimu, Jaxx. Jangan membohongiku. Katakan, kenapa kamu bilang kalah Hans yang mengambilnya?” Jaxx tersenyum, “Dia punya dua sosis di kulkas dan itu cukup adil, kan? Aku tahu apa yang kulakukan, Madam. Jangan kawatir.” Mi yang sudah siap makan, Jaxx membawanya ke ruang makan, dan langsung disantap. Sedangkan Rose pergi sambil tersenyum. Pikiran Jaxx masih sangat dangkal ternyata. Dia ke kamar, menyiapkan pakaian untuk Scott dan duduk
Awalnya Jaxx mengerutkan kening, tetapi dia terkekeh setelahnya, “Jadi, kamu melihatku di bar malam itu? Kau marah dan pergi bersama temanmu minum? Kau konyol sekali, seperti anak kecil yang marah karena tidak dibelikan permen, aku harus menyebutnya konyol atau lucu?” Jaxx kembali mendekat untuk memagut bibir Erica, tetapi lagi-lagi Erica membuang muka, membuatnya semakin gemas. “Tidak. Aku pergi dengan temanku bukan karena itu.” Erica agak terkejut saat Jaxx menarik dagunya, membuat matanya mau tak mau menatap Jaxx, pandangan itu bukan amarah, hanya saja Erica terganggu, “Jangan menatapku seperti itu.” Jaxx tersenyum, “Kenapa? Aku suka.” Erica baru saja mau membuka mulut dan Jaxx langsung membungkam mulut itu dengan bibirnya, menyesap kuat, serta menuntut. Tangannya kembali liar merabai punggung Erica dan berdiri dengan Erica yang kini digendong. Merebahkan tubuh itu perlahan ke ranjang dan membuang pakaian Erica saat bibirnya melepas bibir Erica sejenak untuk beristirahat. “Aaaah
Erica menelan ludah, “Ak-aku pergi dengan Eva, kami hanya minum beberapa gelas, dan dia sengaja merekam dan menyebarkan video itu ke grup kampus. Dosen bilang akan membantuku kalau dia sudah tahu sebagus apa patung yang kubuat, jadi aku mengizinkannya datang.” Erica yang sudah melepas pelukan, ganti dengan memeluk lututnya sendiri, “Aku harus punya ijazah untuk masuk ke Aganta, apa pun akan kulakukan meski pun-” “Meski pun kau harus melayani pria hidung belang yang tadi?!” tukas Jaxx yang masih kesal dengan sanggahan Erica. Erica menusap wajah kasar, dia tak memiliki jawaban, meski kenyataannya dia tak ingin, tetapi bila hanya itu jalan satu-satunya, Erica bisa apa? “Mana patungnya?” Jaxx mengedarkan padangan, melihat patung sebesar dirinya, dia pun mendekat, sungguh itu sangat mirip dengan dirinya, dan dia langsung menoleh ke Erica lagi, “Apa ini sudah selesai?” Erica menggeleng, “Aku harus menyematkan selendang dan memberi sedikit warna di beberapa bagian lagi.” “Lakukan sekara
Jessie tersenyum lebar menyambut pembelinya, “Halo, Bill.” Menoleh ke Jaxx dan mengangguk, “Mau kopi?” Jaxx mengedarkan padangan, “Di mana Erica?” “Hari ini dia pulang lebih awal, ada sesuatu yang terjadi, dosen sedang memeriksa pekerjaannya, tetapi sepertinya dia tidak kembali, ini sudah sore, dan mereka baru pulang.” Jaxx menoleh ke Bill, “Telepon aku kalau ada hal mendesak.” “Baik, Mr. Jaxx.” Bill menoleh ke Abi dan tersenyum lebar. Dia akan menikmati kopi sambil sedikit bersantai hari ini. Jaxx berjalan santai ke studio, bukan dia tak percaya dengan Erica atau dosen Erica yang datang, hanya saja terlalu lama tak bertemu dengan Erica membuat Jaxx ingin segera bertemu perempuan yang selalu mengganggu jam tidurnya itu. Erica tersenyum, “Ya, tentu saja. Aku mengerjakan semua ini dengan profesional, Pak.” Dosen malah terkekeh, “Kurasa tidak, dengan bentuk dan ukuran seperti itu, urat-urat yang terlihat nyata, aku yakin ada hal lain yang terjadi.” Berbalik dan mendekat ke Erica,
Jaxx tersenyum dan mengangguk. Dia sendiri yang tahu seperti apa Scott membesarkan gudang haram ini dan Rose yang tiba-tiba meminta jatah dengan segala permainan kotor, seolah Jaxx pun gatal untuk segera menyingkirkannya juga. “Aku akan menyerahkan semua tanggung jawab padamu.” “Apa?!” Jaxx langsung menoleh, tak percaya dengan apa yang diucapkan Scott, semua seperti ilusi. Scott tersenyum, “Usiaku sudah tidak muda lagi, aku muak dan lelah, Rose tidak akan pernah mengganggu secara terang-terangan, jadi aku akan pensiun.” “Lalu? Apa yang harus kulakukan? Harta karun kita?” Jaxx memang mendambakan posisi yang diberikan Scott, tetapi setelah menerimanya, raganya gugup, “Aku tidak akan sehebat dirimu.” Scott malah tertawa, “Lakukan apa pun yang kamu mau, kalau obat surga itu membuatmu lelah, tetap simpan senjata kita, orang tidak akan pernah mabuk hanya karena senjata, kan?” Ya, selama ini Scott memang pemasok obat terlarang terbesar dan senjata ilegal di, kantor asuransi yang selama
Jaxx terkekeh dan melempar rokoknya sembarang.Pelayan memulung rokok itu dan membuangnya dengan benar setelah memastikan putungnya mati. Di sini, Rose paling takut kalau sampai terjadi kebakaran, dan Jaxx sepertinya sengaja memancing emosi Rose.“Aku tahu kau menyembunyikan Johan. Di mana dia sekarang?” Jaxx hanya menatap sekilas minuman yang disajikan untuknya. Dia tak akan tergoda oleh racun apa pun di rumah ini.Rose terkekeh, “Aku saja tidak tahu Johan itu yang mana. Sepertinya kamu salah paham, tetapi aku senang karena dengan kamu ke sini, aku jadi tahu kalau kamu masih memperhatikanku, buktinya kau langsung merokok saat aku sengaja menyuruh sopir agar pelan saja ke sininya.” Mengambil minuman dan menikmatinya, “Aku tidak memasukkan apa pun ke sini. Itu kalau kamu masih tertarik dengan teh herbal baru penemuan koki andalanku.”“Aku tidak berniat mencicipi apa pun, katakan saja di mana Johan, dan aku akan pergi.” Jaxx tak akan tertipu untuk ke dua kali.“Aku benar-benar tidak tah