“Mana Mas Bagas? Suruh dia keluar!” pintaku pada perempuan itu.“Mas Bagas siapa, Mbak? A-aku enggak kenal,” jawabnya sedikit gelagapan. Kulangkahkan kaki agar semakin dekat dengan wanita itu, lantas membelai rambutnya, dapat kulihat tangannya gemetar. Padahal, aku hanya ingin membisikkan sesuatu padanya.“Cepat suruh keluar Mas Bagas dari kamarmu atau kamu mau warga yang menyeret paksa? Kamu tahu hukuman masa itu jauh lebih kejam dari pada hukuman aparat penegak hukum atau memang kamu mau wajah mulusmu ini hancur ditangan warga?” bisikku ditelinganya.Dia langsung mendongakkan wajahnya ke arahku, sedang senyum ini terus mengembang seiring dengan tatapan ketakutan perempuan itu padaku. Seluruh anggota tubuhnya ikut gemetar, dia benar-benar takut dengan ucapanku, padahal itu hanya gertakan saja. Tanpa pikir panjang perempuan itu masuk ke dalam kamarnya.Teriakan warga bergemuruh seiring dengan keluarnya Mas Bagas dari kamar kos. Kuperhatikan penampilan suamiku dari atas sampai bawah, s
Perlahan kucoba membuka mataku, mengerjap-ngerjap beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang menyeruak masuk. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku masih mencoba meraba di mana tempatku berbaring sekarang, sembari mengedar pandang ke setiap sudut ruangan, bisa kutebak ini di rumah sakit, tetapi di mana Mas Bagas. Sosok yang kunantikan kehadirannya tak dapat kutemukan, sudah hilangkah rasa pedulinya padaku.Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Baru saja kukatakan padanya untuk mengakhiri ikatan pernikahan yang membelenggunya selama ini, sekarang malah dialah orang pertama yang ingin kutemui.Kecewa.Itulah yang kurasa ketika menggantungkan harapan pada hamba Allah, dengan segala keterbatasannya lagi dengan hawa nafsu yang melekat pada dirinya.Terdengar suara pintu terbuka, netraku langsung tertuju ke sana. Sosok tinggi, putih, lengkap dengan setelan jas berwarna hitam keluar dari balik pintu. Kelegaan tampak dari ekspresi wajahnya. Seutas senyum tak lupa dia lemparkan padaku. Dia Andre, laki-laki
“Abi ada kerjaan sayang, nanti Abi balik lagi.” Mas Bagas berjongkok menyesuaikan posisinya, sejajar dengan Arumi anak keduaku.“Kenapa tasnya gede banget abi?” Tanya Arumi.“Iya, karena Abi perginya agak lama.” Dipeluknya Mas Bagas dengan erat oleh Arumi.“Abi janji ‘kan bakal pulang lagi?” Arumi semakin menenggelamkan pelukannya pada Mas Bagas, sedetik kemudian Mas Bagas mengelap wajahnya berkali-kali. Mungkinkah perasaan seorang anak begitu peka, hingga dia mengerti keadaan kami yang tak baik-baik saja, tanpa pernah ada penjelasan sama sekali.Lihatlah Mas buah dari perbuatanmu, apakah rasanya? manis atau pahit? Seharusnya tak kau membiarkan dirimu dikuasai nafsu setan yang membara.Bukankah istri tidak punya masa kadaluwarsa, kamu bisa pulang dan melakukannya bersamaku kapan pun kamu mau, tapi kamu malah memilih jalan yang sulit lagi salah. Apakah yang haram lebih menantang? Percayalah suatu hari ketika telah haram bagi kita untuk bersentuhan, maka pada saat itulah kamu akan lebih
“Saya memang belum menikah Bu, tapi saya beneran hamil anaknya Mas Bagas.” Akhirnya perempuan itu mau mengakui yang sebenarnya.“Kamu tahu Bagas sudah menikah?” tanya Ibu mertuaku“Sa saya tahu, Bu.”“Ya sudah tanggung sendiri akibatnya.”“Tapi, bagaimanapun ini cucu Ibu.”“Dari mana saya bisa yakin kalau itu cucu saya kalau dari awal saja kamu sudah bohong mengaku sudah menikah dengan anak saya,” jawab Ibuku.“Cukup Bu, saya ini masih punya harga diri kalau ibu tak mengakuinya saya tidak akan memaksa.”“Kalau kamu ingin dihargai orang lain, hargai dulu dirimu sendiri. Jangan merendahkan martabatmu! Sebagai wanita mau-maunya di sentuh pria yang tidak ada ikatan resmi denganmu." ucap Ibu mertuaku, akhir-akhir ini kuperhatikan dia jadi lebih berani mengutarakan perasaannya. Perempuan itu tampak kesal dengan semua ucapan yang ibu lontarkan, mukanya merah padam menahan emosinya yang memuncak.Sebagai sesama perempuan bisa kurasakan seperti apa perasaannya saat ini, dulu ayah mertuaku sela
Kini memang sudah waktunya jam pulang. Aku masih berlari menjauh dari Andre. Lelah juga ternyata. Sudah lama aku tak pernah berlari sejauh ini. Kuhempaskan bobot tubuhku di kursi panjang yang berada di taman belakang trotoar.Kamu tahu Ndre, single parent dengan 4 anak itu tak mudah. Kebutuhanku banyak, dengan gaji yang tak ada apa-apanya bagimu inilah menjadi satu-satunya sumber untuk menyambung kehidupanku. Sudah lama sekali tak pernah kuinjakkan kaki di dunia luar. Hidup mewah yang di berikan Mas Bagas membuatku melupakan kalau suatu hari dia bisa berpaling dariku meninggalkanku sendiri di sini. Aku bisa saja bersamanya tapi untuk apa? Kalau hanya takut miskin, bukankah harta itu bisa dicari? Namun, kewarasan jiwa, harus kucari ke mana obatnya?“Minum, Neng?” Seorang lelaki tua menyodorkan sebotol minuman dingin padaku“Boleh Pak, berapa?”“5.000 aja,” katanya, lantas kuserahkan uang sesuai dengan yang dia sebutkan. Minuman ini cukup melegakan dahagaku membasahi tenggorokanku yang
Jantungku rasanya mau jatuh, mungkinkah video viral itu, yang mereka tonton barusan. Suara pintu rumah terbuka, tak lama Meisya keluar dari balik pintu. Wajahnya merah padam, sedang air matanya terus mengalir membasahi wajahnya, lengkap dengan ponsel dalam genggamannya. Mata kami bertemu. Meisya menatapku dengan penuh kecewa.Maafkan Uma Sayang, bukan maksud Uma menyembunyikan semuanya dari kamu. Maaf, karena kamu harus mengetahuinya dari orang lain.“Meisya, sini sayang,” panggilku, tak banyak bicara lagi Meisya langsung berlari memelukku.“Maafin Uma ya, bukan maksudnya nyembunyiin ini semua.” Kuusap pucuk kepala sulungku yang terbalut jilbab. Dia hanya menggeleng pelan sambil terus terisak dalam pelukanku.“Sayang dengerin, walaupun Uma dan Abi udah enggak sama-sama lagi, Meisya masih bisa kok ketemu Abi.” “Meisya maunya Uma sama Abi tetap sama-sama. Enggak mau kayak gini.” “Sayang ....”“Malu Uma, tadi teman-teman Meisya nunjukkin video Abi yang di lempar batu sama sendal, kalau
“Egois kamu, Mas,” ucapku.“Aku tak mau menyia-nyiakanmu lagi Kiran.””Terserah, pergilah dari sini aku tak menerimamu lagi! Bukannya aku punya hak untuk mengusirmu dari rumahku?”“Baiklah aku pergi, Kiran.” Mas Bagas tersenyum padaku entah apa yang dia pikirkan. Sebelum pulang Mas Bagas menciumi ketiga anakku yang lain, hanya Meisya yang tak dia temui, rasanya sulungku juga enggan bertemu dengan Abinya kali ini.Tuhan kalau jodohku cukup sampai di sini, permudahlah jalanku untuk melepasnya. Namun, jika Engkau masih mengizinkan kami berjodoh maka permudahlah jalan kami. Luaskanlah sabarku, ikhlaskan hati ini untuk melupakan semua kesakitan yang terlanjur menjalar sampai ke dasar sanubari. Jika boleh kuminta padamu, sekiranya Engkau berkenan mengubah hati suamiku, untuk menautkannya padaku saja. Sabarku yang hanya seujung kuku ini, rasanya tak akan mampu kalau harus mengamalkan syariat poligami, untuk itu ampuni aku. Jikalau nantinya aku melakukan hal yang sangat Engkau benci.Aku ma
Mataku perlahan terbuka, samar-samar kuedarkan pandangan ke sekeliling, rupanya masih di dalam mobil. Mau kamu bawa ke mana diriku. Mas. Apa yang mau kamu lakukan? Kususuri sepanjang jalan yang kami lewati. Tempat ini sangat asing bagiku, belum pernah sekalipun aku lewat sini.Berkali-kali Mas Bagas menengok ke belakang. Aku masih terus berpura-pura tertidur, menunggu kesempatan untuk kabur jika mobil berhenti. Sambil mengumpulkan tenagaku yang kini masih melemah karena pengaruh bius.Mobil semakin menurunkan kecepatannya, tak lama mulai memasuki bangunan rumah yang halamannya cukup luas.Mas Bagas mematikan kendaraannya. Pria itu keluar dari mobil. Terlihat seorang bapak tua menyapanya. Mungkin penjaga di sini, karena dia juga yang tadi membuka gerbang saat mobil hendak masuk.Mas Bagas pun terlihat merespons ucapan bapa tua itu. Tidak ingin melewatkan kesempatan kuambil kunci mobil yang masih menggantung di tempatnya. Kebiasaannya dari dulu yang sering lupa mencabut kunci rupanya be
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha