“Egois kamu, Mas,” ucapku.“Aku tak mau menyia-nyiakanmu lagi Kiran.””Terserah, pergilah dari sini aku tak menerimamu lagi! Bukannya aku punya hak untuk mengusirmu dari rumahku?”“Baiklah aku pergi, Kiran.” Mas Bagas tersenyum padaku entah apa yang dia pikirkan. Sebelum pulang Mas Bagas menciumi ketiga anakku yang lain, hanya Meisya yang tak dia temui, rasanya sulungku juga enggan bertemu dengan Abinya kali ini.Tuhan kalau jodohku cukup sampai di sini, permudahlah jalanku untuk melepasnya. Namun, jika Engkau masih mengizinkan kami berjodoh maka permudahlah jalan kami. Luaskanlah sabarku, ikhlaskan hati ini untuk melupakan semua kesakitan yang terlanjur menjalar sampai ke dasar sanubari. Jika boleh kuminta padamu, sekiranya Engkau berkenan mengubah hati suamiku, untuk menautkannya padaku saja. Sabarku yang hanya seujung kuku ini, rasanya tak akan mampu kalau harus mengamalkan syariat poligami, untuk itu ampuni aku. Jikalau nantinya aku melakukan hal yang sangat Engkau benci.Aku ma
Mataku perlahan terbuka, samar-samar kuedarkan pandangan ke sekeliling, rupanya masih di dalam mobil. Mau kamu bawa ke mana diriku. Mas. Apa yang mau kamu lakukan? Kususuri sepanjang jalan yang kami lewati. Tempat ini sangat asing bagiku, belum pernah sekalipun aku lewat sini.Berkali-kali Mas Bagas menengok ke belakang. Aku masih terus berpura-pura tertidur, menunggu kesempatan untuk kabur jika mobil berhenti. Sambil mengumpulkan tenagaku yang kini masih melemah karena pengaruh bius.Mobil semakin menurunkan kecepatannya, tak lama mulai memasuki bangunan rumah yang halamannya cukup luas.Mas Bagas mematikan kendaraannya. Pria itu keluar dari mobil. Terlihat seorang bapak tua menyapanya. Mungkin penjaga di sini, karena dia juga yang tadi membuka gerbang saat mobil hendak masuk.Mas Bagas pun terlihat merespons ucapan bapa tua itu. Tidak ingin melewatkan kesempatan kuambil kunci mobil yang masih menggantung di tempatnya. Kebiasaannya dari dulu yang sering lupa mencabut kunci rupanya be
Kuputuskan untuk menghampiri mereka diam-diam. Sayangnya, suara klakson mobil mengejutkanku.Rupanya mobil yang aku pesan sudah datang. Aku baru saja berniat menyuruhnya menunggu sebentar, tetapi begitu melihat ke arah mereka, keduanya malah sudah bersiap meninggalkan tempat itu. tampak Andre melangkah mendekati tempatku berdiri. Buru-buru kumasuki mobil jemputan, takut kalau dia lebih dulu melihatku di sini. Rasa penasaranku masih besar. Apa gerangan yang mereka bicarakan?Namun, kalau di pikir-pikir untuk apa juga memikirkannya? Apa urusannya denganku? Terlebih Mas Bagas hanya akan menjadi mantan suamiku, sedang Andre, siapa dia ? Hanya bosku di café. Aku memutuskan untuk tak lagi membiarkan rasa penasaran ini terus tumbuh.Keesokan harinya seperti biasa aku bekerja di Cafe, entah ada apa hari ini, pagi-pagi sekali Bos besar sudah duduk santai di ruangannya.“Hay, Kiran.” Apa aku tak salah dengar, dia tiba-tiba menyapaku setelah hampir sebulan kita tak lagi saling bicara? Meski, ker
Mendekati waktu pulang kerja tiba-tiba turun hujan, kian lama bukannya mereda malah semakin bertambah deras. Angin bertiup cukup kencang, hingga pohon-pohon besar yang mengelilingi bangunan Cafe terlihat bergerak ke sana kemari. Lengkap dengan suara petir yang menggelegar, menambah suasana semakin mencekam. Beberapa karyawan ada yang nekat menerobos hujan tapi sebagian lagi lebih memilih menunggu hingga angin tak lagi bertiup kencang, termasuk aku.Menyeruput kopi hangat sepertinya cocok untuk menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Aku berniat pergi ke dapur untuk membuatnya tetapi belum sampai sana aku melihat Andre tengah berdiri menatap hujan dengan wajah sendu. Wajahnya dibiarkan terciprat air hujan, hingga meninggalkan bulir-bulir bening di sana.Entah apa yang ada dalam pikiran orang aneh itu, melihat tingkahnya membuatku hanya mampu menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. Sembari duduk di bangku yang menghadap jendela, aku menyesap kopi hangat yang baru saja kubuat.“En
“Ambil ini, gak baik melampiaskan amarah pada benda yang tak berdosa!” Kusodorkan selembar tisu tepat di depan wajah Andre yang kini telahluruh ke lantai, dia bahkan tak menyadari kalau sedari tadi aku berada di sisinya.“Makasih,” ucapnya sembari menatapku, memastikan siapa gerangan yang memberinya selembar tisu.“Ya,” ucapku singkat.“Apa yang lo pikirkan tentang gue sekarang?” Andre bertanya masih dengan wajah tertunduk.“Setiap orang pernah hancur Dre, aku pernah ada di posisi itu. Kamu enggak perlu nyakitin diri sendiri, apa dengan begitu masalahmu bisa selesai?” Andre tersenyum kecut menatapku.“Lo enggak tahu rasanya jadi manusia mandul kayak gue. Kesepian tiap hari, dicap enggak normal cuma karena belum nikah, lu pernah ngerasain kiran?” Lagi-lagi dia tersenyum kecut ke arahku.“Lo sempurna Kiran, punya anak 4 sedang gue jangankan anak, nikah aja gue ga bisa.”“Bukan enggak bisa Dre, kamu sendiri yang menutup diri.”“Di dunia ini mana ada perempuan yang mau menikah dengan laki
Pov AndreSalahkah jika aku jatuh cinta pada istri orang lain? Perempuan dengan 4 orang anak di mana keanggunan dan ketegasan menyatu dalam sikapnya, membuatku takjub kalau masih ada wanita sepertinya di dunia nyata.Hari itu saat bertemu dengannya untuk pertama kali. Dunia yang kukira telah mati karena lama di biarkan dalam keadaan gelap gulita dalam sekejap berubah menjadi terang benderang. Wanita itu mampu menyalakan lampu yang telah lama padam, layaknya hatiku, membangkitkan dentuman-dentuman halus yang aku sendiri telah melupakan bagaimana rasanya.Dia bukanlah wanita yang cantik rupa layaknya model yang kerap bergelayut manja di lenganku tiap akhir pekan membawa harapan kelak bisa menjadi brand ambasador produk baru di perusahaanku. Wanita itu sangat berbeda, dalam diam hatiku mulai bertaut padanya entah hanya ketertarikan semata atau benar sebuah rasa. Aku tak peduli, hadirnya telah begitu mengganggu hari-hariku.Hingga kabar yang tersebar, wanita itu istri dari sepupuku sendir
“Jangan begini Dre, jangan mencintai aku.” Kuakui perasaanku padanya hanya sebatas kagum tidak lebih, tapi kenapa secepat ini dia menyatakannya.“Kenapa, karena gue mandul ‘kan?”“Bukan begitu.” Dia terlalu rendah diri.“Gue tahu Ran, enggak ada wanita yang mau menikah sama pria yang enggak bisa kasih keturunan,” ucapnya sembari menatap lekat manik milikku.“Aku punya 4 anak Dre, keturunan bukanlah prioritas.” Sekalipun suatu saat nanti masih di izinkan Tuhan untuk menikah lagi, maka alasan utama pernikahan keduaku ialah atas dasar saling membutuhkan satu sama lain bukan semata-mata soal cinta.Cinta memang salah satu kebutuhan pokok dalam rumah tangga hadirnya seolah perekat hubungan agar yang menjalankan tak menempel pada hati yang salah, tetapi cinta saja tak cukup. Aku pernah menjalankan semuanya karena cinta tapi apa yang kudapatkan? Kami hanya menuntut untuk satu sama lain, hingga lupa untuk saling membahagiakan.“Lalu, apa gue kurang menarik?” tanya Andre, dia masih saja belum
“Dre, ada apa sebenarnya antara kamu dan Mas Bagas?” tanyaku ikut penasaran.“Lo bisa tanya sama Bagas langsung Ran, tapi sebelum itu harus tau kalau yang gue omongin tadi pagi enggak ada sangkut pautnya sama Bagas. Murni, karena gue pengen ngelindungi lo.” Memangnya ada hubungan apa ungkapan perasaannya dengan Mas Bagas, semua ini semakin membuatku penasaran.“Memangnya aku kenapa?”“Hampir setengah jam gue ngeliat lo nangis di sana. Kenapa enggak mau cerita? Mungkin gue bisa ngasih solusi,” jelasnya. Ya Tuhan, jadi dia melihatku, lalu untuk apa? Kenapa dia hanya diam saja setengah jam bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, duduk diam tanpa suara.“Kamu mungkin bisa ngasih solusi Dre, tapi Tuhan lebih tahu mana yang terbaik buat aku.”“Lo percaya Tuhan?” tanyanya, pertanyaan macam apa ini, apa dia tak percaya pada Tuhan.“Iya tentu aku percaya, selain kepada-Nya, siapa lagi yang bisa aku mintai pertolongan di saat tak ada siapa pun di dunia ini yang mampu menguatkan hati?”“Tapi,
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha