Mataku perlahan terbuka, samar-samar kuedarkan pandangan ke sekeliling, rupanya masih di dalam mobil. Mau kamu bawa ke mana diriku. Mas. Apa yang mau kamu lakukan? Kususuri sepanjang jalan yang kami lewati. Tempat ini sangat asing bagiku, belum pernah sekalipun aku lewat sini.Berkali-kali Mas Bagas menengok ke belakang. Aku masih terus berpura-pura tertidur, menunggu kesempatan untuk kabur jika mobil berhenti. Sambil mengumpulkan tenagaku yang kini masih melemah karena pengaruh bius.Mobil semakin menurunkan kecepatannya, tak lama mulai memasuki bangunan rumah yang halamannya cukup luas.Mas Bagas mematikan kendaraannya. Pria itu keluar dari mobil. Terlihat seorang bapak tua menyapanya. Mungkin penjaga di sini, karena dia juga yang tadi membuka gerbang saat mobil hendak masuk.Mas Bagas pun terlihat merespons ucapan bapa tua itu. Tidak ingin melewatkan kesempatan kuambil kunci mobil yang masih menggantung di tempatnya. Kebiasaannya dari dulu yang sering lupa mencabut kunci rupanya be
Kuputuskan untuk menghampiri mereka diam-diam. Sayangnya, suara klakson mobil mengejutkanku.Rupanya mobil yang aku pesan sudah datang. Aku baru saja berniat menyuruhnya menunggu sebentar, tetapi begitu melihat ke arah mereka, keduanya malah sudah bersiap meninggalkan tempat itu. tampak Andre melangkah mendekati tempatku berdiri. Buru-buru kumasuki mobil jemputan, takut kalau dia lebih dulu melihatku di sini. Rasa penasaranku masih besar. Apa gerangan yang mereka bicarakan?Namun, kalau di pikir-pikir untuk apa juga memikirkannya? Apa urusannya denganku? Terlebih Mas Bagas hanya akan menjadi mantan suamiku, sedang Andre, siapa dia ? Hanya bosku di café. Aku memutuskan untuk tak lagi membiarkan rasa penasaran ini terus tumbuh.Keesokan harinya seperti biasa aku bekerja di Cafe, entah ada apa hari ini, pagi-pagi sekali Bos besar sudah duduk santai di ruangannya.“Hay, Kiran.” Apa aku tak salah dengar, dia tiba-tiba menyapaku setelah hampir sebulan kita tak lagi saling bicara? Meski, ker
Mendekati waktu pulang kerja tiba-tiba turun hujan, kian lama bukannya mereda malah semakin bertambah deras. Angin bertiup cukup kencang, hingga pohon-pohon besar yang mengelilingi bangunan Cafe terlihat bergerak ke sana kemari. Lengkap dengan suara petir yang menggelegar, menambah suasana semakin mencekam. Beberapa karyawan ada yang nekat menerobos hujan tapi sebagian lagi lebih memilih menunggu hingga angin tak lagi bertiup kencang, termasuk aku.Menyeruput kopi hangat sepertinya cocok untuk menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Aku berniat pergi ke dapur untuk membuatnya tetapi belum sampai sana aku melihat Andre tengah berdiri menatap hujan dengan wajah sendu. Wajahnya dibiarkan terciprat air hujan, hingga meninggalkan bulir-bulir bening di sana.Entah apa yang ada dalam pikiran orang aneh itu, melihat tingkahnya membuatku hanya mampu menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. Sembari duduk di bangku yang menghadap jendela, aku menyesap kopi hangat yang baru saja kubuat.“En
“Ambil ini, gak baik melampiaskan amarah pada benda yang tak berdosa!” Kusodorkan selembar tisu tepat di depan wajah Andre yang kini telahluruh ke lantai, dia bahkan tak menyadari kalau sedari tadi aku berada di sisinya.“Makasih,” ucapnya sembari menatapku, memastikan siapa gerangan yang memberinya selembar tisu.“Ya,” ucapku singkat.“Apa yang lo pikirkan tentang gue sekarang?” Andre bertanya masih dengan wajah tertunduk.“Setiap orang pernah hancur Dre, aku pernah ada di posisi itu. Kamu enggak perlu nyakitin diri sendiri, apa dengan begitu masalahmu bisa selesai?” Andre tersenyum kecut menatapku.“Lo enggak tahu rasanya jadi manusia mandul kayak gue. Kesepian tiap hari, dicap enggak normal cuma karena belum nikah, lu pernah ngerasain kiran?” Lagi-lagi dia tersenyum kecut ke arahku.“Lo sempurna Kiran, punya anak 4 sedang gue jangankan anak, nikah aja gue ga bisa.”“Bukan enggak bisa Dre, kamu sendiri yang menutup diri.”“Di dunia ini mana ada perempuan yang mau menikah dengan laki
Pov AndreSalahkah jika aku jatuh cinta pada istri orang lain? Perempuan dengan 4 orang anak di mana keanggunan dan ketegasan menyatu dalam sikapnya, membuatku takjub kalau masih ada wanita sepertinya di dunia nyata.Hari itu saat bertemu dengannya untuk pertama kali. Dunia yang kukira telah mati karena lama di biarkan dalam keadaan gelap gulita dalam sekejap berubah menjadi terang benderang. Wanita itu mampu menyalakan lampu yang telah lama padam, layaknya hatiku, membangkitkan dentuman-dentuman halus yang aku sendiri telah melupakan bagaimana rasanya.Dia bukanlah wanita yang cantik rupa layaknya model yang kerap bergelayut manja di lenganku tiap akhir pekan membawa harapan kelak bisa menjadi brand ambasador produk baru di perusahaanku. Wanita itu sangat berbeda, dalam diam hatiku mulai bertaut padanya entah hanya ketertarikan semata atau benar sebuah rasa. Aku tak peduli, hadirnya telah begitu mengganggu hari-hariku.Hingga kabar yang tersebar, wanita itu istri dari sepupuku sendir
“Jangan begini Dre, jangan mencintai aku.” Kuakui perasaanku padanya hanya sebatas kagum tidak lebih, tapi kenapa secepat ini dia menyatakannya.“Kenapa, karena gue mandul ‘kan?”“Bukan begitu.” Dia terlalu rendah diri.“Gue tahu Ran, enggak ada wanita yang mau menikah sama pria yang enggak bisa kasih keturunan,” ucapnya sembari menatap lekat manik milikku.“Aku punya 4 anak Dre, keturunan bukanlah prioritas.” Sekalipun suatu saat nanti masih di izinkan Tuhan untuk menikah lagi, maka alasan utama pernikahan keduaku ialah atas dasar saling membutuhkan satu sama lain bukan semata-mata soal cinta.Cinta memang salah satu kebutuhan pokok dalam rumah tangga hadirnya seolah perekat hubungan agar yang menjalankan tak menempel pada hati yang salah, tetapi cinta saja tak cukup. Aku pernah menjalankan semuanya karena cinta tapi apa yang kudapatkan? Kami hanya menuntut untuk satu sama lain, hingga lupa untuk saling membahagiakan.“Lalu, apa gue kurang menarik?” tanya Andre, dia masih saja belum
“Dre, ada apa sebenarnya antara kamu dan Mas Bagas?” tanyaku ikut penasaran.“Lo bisa tanya sama Bagas langsung Ran, tapi sebelum itu harus tau kalau yang gue omongin tadi pagi enggak ada sangkut pautnya sama Bagas. Murni, karena gue pengen ngelindungi lo.” Memangnya ada hubungan apa ungkapan perasaannya dengan Mas Bagas, semua ini semakin membuatku penasaran.“Memangnya aku kenapa?”“Hampir setengah jam gue ngeliat lo nangis di sana. Kenapa enggak mau cerita? Mungkin gue bisa ngasih solusi,” jelasnya. Ya Tuhan, jadi dia melihatku, lalu untuk apa? Kenapa dia hanya diam saja setengah jam bukan waktu yang sebentar untuk menunggu, duduk diam tanpa suara.“Kamu mungkin bisa ngasih solusi Dre, tapi Tuhan lebih tahu mana yang terbaik buat aku.”“Lo percaya Tuhan?” tanyanya, pertanyaan macam apa ini, apa dia tak percaya pada Tuhan.“Iya tentu aku percaya, selain kepada-Nya, siapa lagi yang bisa aku mintai pertolongan di saat tak ada siapa pun di dunia ini yang mampu menguatkan hati?”“Tapi,
Terlalu gugup otakku jadi tak bisa bekerja dengan baik, entah ke mana Mas Bagas membawa anak-anakku tak bisa kutebak di mana tempat itu, panik membuat pikiranku buntu.“Uma?” Suara anak perempuan memanggilku dari belakang, refleks aku menoleh.“Meisya, ya Allah Meisya, alhamdulillah kamu enggak ikut habis Sayang?” Aku refleks sulungku dengan erat, sedang dia dibuat bingung dengan sikapku.“Meiya enggak mau ikut Abi, tapi kenapa Uma nangis? Abi nyakitin lagi?”“Abi mau bawa adik-adik Sayang, Uma harus cari mereka, tapi harus cari ke mana? Uma bingung.” Meisya terdiam sejenak, mungkin dia juga sama bingungnya denganku.“Itu video apa, Uma?” Dia menunjuk ponsel yang sedari tadi kuputar, itu video yang di kirim Mas Bagas.“Ini video yang di kirim Abi, Meisya tahu tempat ini di mana.” Meisya memperhatikan layar ponsel dalam diam.“Coba tanya om Andre aja!” ucapnya seketika dahiku berkerut kenapa harus Andre.“Kok Om Andre? Memang Meisya kenal?”“Ya kenallah, dia sering ke tempat les Meisya