"Kenapa Dre?" Kuberanikan diri untuk keluar dari mobil dan mendekatinya."Dia bawa anak lu pergi Ran, memang udah ga waras,” umpat Andre yang juga ikut kesal."Apa yang dia minta?" Andre tersenyum kecut ke arahku, melihat tatapannya sudah bisa kumengerti apa yang diinginkan Mas Bagas. Dia ingin Andre menikahiku dan menandatangani kontrak perjanjian bahwa dalam jangka waktu yang di tentukan kami harus bercerai kembali."Gue bukan tipe orang yang suka paksa orang, Kiran.” Andre mulai memalingkan wajahnya dariku."Memangnya apa sih keuntungan yang kamu dapetin dari menikah dengan cara seperti ini?" Sejauh yang kutahu, sebuah kontrak pasti ada keuntungan bagi kedua belah pihak."Gue pengen punya anak Ran, lo tahu ‘kan syarat adopsi anak harus nikah dulu," ucapnya dengan wajah frustrasi.Di dunia ini tak ada yang tak mungkin Dre.“Man jadda wa jadda.”Kalau Tuhan telah berkehendak jadilah maka jadilah, apa pun itu meski hal yang mustahil sekalipun. Hatimu sudah terlalu jauh dari Tuhan, hi
“Di rumah sakit mana?” raut wajah khawatir terukir di sana.“Bina Medika Dre,” lirihku, belum juga raga ini mampu untuk berjalan dengan tegap, di tambah lagi kabar duka ini, benar-benar melengkapi derita yang melanda hariku.“Oke gue ke sana sekarang.” Mengabaikan diriku yang masih terbaring di ranjang, lelaki itu mengambil langkah lebar menuju daun pintu.“Aku ikut, Dre.” Dia menengok, menghentikan langkahnya, masih dapat kudengar dia berdecak kesal, lalu menatap tajam netraku yang mulai memanas. Aku jelas tak mungkin hanya berdiam diri menunggu kabar darinya.“Pikirin kesehatan lo dulu!”“Aku ga bisa nunggu di sini Dre, sedang anak-anakku sedang bertaruh nyawa di sana, bawa aku! Sekali ini saja tolong aku.”“Ga usah nangis!” dia malah membentakku, membuatku tersentak. Susah payah membujuknya untuk membawaku bersama hingga akhirnya dia luluh melihat keadaanku yang begitu menyedihkan, mungkin.Diselingkuhi, diceraikan, lalu ditinggalkan anak-anak. Kelak dengan apa lagi Tuhan mengujiku
“Ada cara lain buat balas sakit hati lu Kiran, enggak perlu mengotori tanganmu atau jeblosin dia ke penjara,” ucap Andre memecah canggung yang terjadi.“Apa?” Memangnya hal apa yang membuat Mas Bagas kapok selain memenjarakannya.“Pergilah, kalau perlu ke luar kota, di mana ga akan ada orang yang kenal sama lu.” Dia memberiku saran untuk pergi, tetapi kenapa untuk sekedar menatapku saja enggan? Seakan bertolak belakang dengan hatinya yang masih ingin aku bertahan di sini.“Dulu aku sempat berpikir buat pergi dan mulai hidup baru, di kota baru dan orang- orang baru juga. Andai saja aku melakukannya lebih cepat, mungkin Arya masih bisa di selamatkan.”“Jangan menyalahkan takdir, bukankah kamu yang sering bilang semua sudah jalan Allah!” Mendengarnya mengucap kata kamu membuat senyum ini merekah dengan sendirinya.“Kenapa lo senyum-senyum?” Ah baru saja bunga ini merekah malah dibuat kuncup kembali.“Enggak apa-apa.” Semakin kesini bibir ini benar-benar sulit untuk dikontrol tak bisakah
“Hay, Kiran,” sapa seorang tamu pria, pakaiannya cukup aneh terlalu tertutup untuk daerah yang bercuaca panas, keadaan kedai makan milikku tak sangat ramai untuk itu aku sampai turun tangan mengurusi pelanggan. “Oh iya anda tau nama saya.” Kuperhatikan setiap gestur tubuhnya, rasanya tak asing bagiku, terlebih suaranya. “Andre?” Tanyaku memastikan takut kalau dugaanku salah. Pria itu mulai membuka kaca matanya, kemudian buffnya kini wajahnya tak tertutup apa pun lagi. Bibirku tersenyum, menyambut senyumnya yang juga merekah ke arahku. “Bagaimana kabar?” tanyanya. “Baik kok, seperti yang kamu lihat.” Wajah itu yang diam-diam kurindukan tiap malam, akhirnya Kau izinkan lagi untuk menemuinya kali ini. Inikah jawaban dari setiap doa yang kupanjatkan, dari segala keraguan yang membayang setiap waktu? Aku pikir pertemuan ini akan membawa luka lama kembali hadir tapi nyatanya malah membuat bunga-bunga yang telah lama layu. Seakan kembali mekar, hadirnya seolah memupuk kembali hatiku yan
“Jangan gugup begitulah Bang, dibawa santai aja!” ucapku menenangkan Andre yang gelisah di tepi ranjang.Lucu.Dia bingung di malam pertama kami.“Aku ga bisa ngelakuin sekarang Kiran, sorry.” Andre beringsut dari tempatnya lalu melangkah pergi ke kamar mandi. Aku hanya mampu tersenyum, meski rasanya ada yang aneh. Raut mukanya sendu. Seolah merasa bersalah atas tindakannya. Padahal bagiku ini tak menjadi masalah, kalaupun dia belum siap tak mungkin aku memaksanya.Tak lama dia keluar dari kamar mandi dengan celana panjang yang sebelumnya dia pakai. Tanpa peduli aku yang tengah berdiri menatap kepergiannya, dia terus berjalan keluar kamar, lalu hilang dibalik daun pintu.Ada apa? Belum sehari kita bersama, dia seperti orang frustrasi. Hingga, setengah jam berlalu dia belum juga kembali. Hari semakin larut, sedang di rumah pun sudah tak terdengar lagi suara orang-orang.Ke mana Bang Andre? Dari pada terus berdiam diri tanpa kepastian, aku memutuskan untuk menyusulnya. Menyisiri setiap
Suara ketukan pintu kian mengeras, mau tak mau harus segera kubuka, agar tak membangunkan Bang Andre yang baru saja terlelap. Mantan suamiku ini kenapa sosoknya berubah, menjadi semakin tak tahu diri. “Kiran, terima kasih Sayang, terima kasih.” Mas Bagas menatapku penuh haru.Entah apa isi kepalanya, aku tak mengerti, apa pernikahan ke duaku mengharukan dan lagi, dia memanggilku sayang? Kurasa dia terlalu lancang.“Kamu menikah untuk bercerai bukan? Lalu kemudian kita menikah lagi, benar kan sayang?” Mas Bagas tersenyum, dia seperti menemukan secercah harapan baru, dunianya seakan kembali terang. Lucu. Siapa yang mau bercerai? Akan kurenggut kembali seberkas cahaya itu, membiarkanmu tetap merana dalam gelapnya dunia. Aku bukan dendam hanya saja tak ingin terluka lagi, jika memilih untuk kembali bersamanya. Tak peduli walaupun buah cinta kita terus tumbuh di dunia, pada kenyataannya tanpa kehadiranmu, mereka bisa tetap hidup dengan baik dan bahagia.“Kenapa senyummu begitu, Kiran?”
“Cukup Bang, Mas udah jangan pukul lagi,” teriakku, masih belum mau menyerah untuk meleraikan mereka berdua yang tengah berkelahi.“Kenapa Kiran, apa yang kamu harapkan dari laki-laki mandul seperti dia? Memberikan keturunan pun dia tak mampu,” ucap Mas Bagas dengan angkuhnya.Dia masih seribu kali lebih baik darimu. Keturunan itu urusan Tuhan. Kamu yang hanya seorang Hamba tak berhak ikut campur masalah itu. Biarlah semua kuserahkan pada Tuhan, lagi pula pernikahan kita dulu, bukankah kehadiran 3 anak pun tak cukup membuat hatimu menetap hanya pada satu wanita. Kamu memilih terus bertualang mengikuti nafsumu yang membara. Bukannya bekerja sama denganku untuk memadamkannya kamu malah asyik sendiri. Larut dalam gelora cinta yang baru, terbuai kenikmatan sesaat yang berujung petaka.Untuk sejenak mereka berhenti.“Aku sudah punya anak, dan lagi pula dia lebih baik darimu, yang hanya seorang pembunuh,” ucapku tegas.“Aku bukan pembunuh Kiran!” Dia masih saja mengelak, enggan mengakui kes
“Apa benar yang di katakan, Nak Bagas? Nak Andre menandatangani sudah surat perjanjian pernikahan?” Ayah memulai pembicaraan di antara kami.“Benar, Yah,” jawab Bang Andre pelan tapi penuh ketegasan di dalamnya.“Astaghfirrullahaladzim.” Berkali-kali Ayah lirih mengucapkannya, diiringi ibu yang juga tak henti mengucap kalimat yang sama. Sembari mengusap dadanya perlahan, netra bapa kini beralih menatapku.“Kamu tahu tentang ini?” tanyanya.Tentu saja telah lama aku mengetahuinya. Mungkin ini saatnya mereka semua harus mengetahui tabiat buruk mantan suamiku, sebenarnya ingin kututup rapat-rapat sendirian, selayaknya sebuah aib yang memang seharusnya dikubur dalam-dalam bersama kenangan masa lalu yang menyakitkan. Namun, hari ini keadaan yang memaksaku menggalinya kembali, semoga Allah mengampuniku.“Mas Bagas mengancamku berkali-kali bahkan terakhir dia membawa anak-anak semata-mata agar aku ikut menandatangani perjanjian itu,” ucapku, meski awalnya ragu tapi ada perasaan lega yang men
“Kapan jadwal periksa kandungannya, Sayang?” tanya Andre. Sejak kejadian itu, Andre mulai merasa Kiran telah kehilangan nafsu makannya. Jika biasanya ia akan meminum susu hamilnya. Sudah sepekan setelah keributan malam itu, ia bahkan tak pernah melihat Kiran mengonsumsinya lagi. Ini adalah momen pertama kali bagi Andre. Jelas saja, ia masih sangat awam perihal kehamilan. Meski, sering kali ia mencari artikel di internet tentang fakta dan mitos soal kehamilan. Tetap saja, sebagai Ayah yang sudah lama menantikan kehadiran si kecil. Ia sangat peduli tentang setiap kondisi yang memungkinkan berpengaruh buruk terhadap ibu dan bayinya. “Masih bulan depan,” jawab Kiran. “Kamu enggak minum susu hamil?” “Nanti aja.” “Abang bikinin, ya!” “Aku bilang nanti!” Kali ini Kiran tanpa sadar mengeraskan suaranya. “Maafkan aku, seharusnya aku bisa lebih lembut. Lagi pula, Abang enggak perlu repot-repot. Aku akan minum sendiri, saat aku mau.” Andre bahkan masih berusaha menormalkan detak jantung
“Aku capek banget.”Dari pada berdebat kali ini Kiran memilih mengabaikannya. Bukan hanya fisiknya, hati wanita itu pun merasa lelah. Tidur adalah cari paling mudah untuk menghilangkan rasa sakit. Setidaknya meski hanya sejenak, ia mampu melupakannya.Tiba di kamar, suasana menjadi sangat canggung. Andre menyadari jika tindakannya sudah sangat menyinggung. Ia menyesali perbuatannya, seharusnya ia mampu menahan diri.“Aku enggak ingin bicara apa pun malam ini,” ucap Kira, kala ia sadar suaminya sejak tadi terus saja memperhatikannya dalam diam.Tak ada pilihan bagi Andre, selain menunggu sampai matahari terbit. Apa lagi wajah Kinan saat itu tampak lelah.~Pagi hari, seperti tak terjadi apa pun Kiran masih memasak sarapan dan menyiapkan pakaian kerja untuk suaminya, yang berbeda adalah ia sedikit pendiam dari biasanya. Ketika anak-anak sudah pergi lebih dulu untuk sekolah. Kali ini Andre justru masih duduk di meja makan. Ia bahkan tak menghabiskan sarapannya.“Kiran, Abang minta maaf.”
Bagaimana ia bisa berlari dari sesuatu yang sudah menancap ke dalam dada. Ke mana pun langkah kaki itu membawa raganya pergi, sakitnya akan tetap mengiringi.Hati yang putus asa itu, tanpa sadar telah membawanya pada jalanan sunyi. Tak ada lagi hilir mudik kendaraan. Selain dari pintu-pintu toko yang sudah tutup. Penerangan yang kurang memadai tak ayal mengurungkan langkahnya untuk tetap berpijak.Dalam dekap gelita malam, ditemani desau angin parau musim kemarau Wanita itu menyeret langkah kakinya menyusuri tepi jalanan. Tak peduli seberapa jauhnya ia telah melangkah dari tempat yang membuatnya merasa seperti seonggok sampah yang tak berguna. Ia hanya ingin pergi ke tempat di mana ia bisa merasa tenang.Masjid.Ya, sayangnya ia terlalu bodoh dan ceroboh.Tak ada masjid yang buka di jam 11 malam.Rasa letih itu membuatnya bersandar pada pohon besar. Di mana ada 1 lampu taman yang menggantung di sana. Cahaya remang-remang berwarna kekuningan yang memancar dari lampu itu rasanya tak cu
“Ma-mau apa?”Andre masih tergagap dibuatnya. Antara khawatir dan gugup yang datang bersamaan.“Senyum Bang, bisa ‘kan?” bisik Kiran.Sembari menyentuh bibir suaminya dengan lembut, lantas ia tersenyum, menikmati bagaimana wajah suaminya menjadi merah serupa jambu.“Ya ampun, Sayang. Abang kira mau apa?”“Abang terus mendiamkanku. Ada apa? Cemburu?”“Enggak Sayang. Adek bagaimana sudah baikan perutnya?”Andre justru beralih menyentuh perut dan wajah Kiran. Terlihat sekali jika ia memang tak ingin membahas hal itu.“Sayang, dalam rumah tangga itu enggak baik menunda masalah. Nanti, yang ada masalah kecil, jika didiamkan malah bertambah besar dan rumit. Ayo kita selesaikan sekarang. Bicaralah, kalau aku salah katakan saja!”Kiran menggenggam lengan suaminya dengan lembut. Berharap itu bisa membuatnya mau mengungkapkan apa yang sejak tadi mengusik ketenangannya.“Harusnya aku enggak paksa kamu ikut ke acara.”“Enggak masalah Sayang, aku menikmati acaranya.”“Kamu tahu ‘kan Kiran, kita su
“Kamu enggak apa-apa, Kiran?” tanya Bagas.“Uh so sweet banget, masih saling peduli ternyata. Jangan-jangan di belakang kalian memang masih punya hubungan. Kasihan banget dong Bang Andre. Sudah dapat janda anak 4 eh malah belum bisa move on juga,” goda Mila. Wanita itu terkekeh sembari menutup mulutnya. Ia bahkan dengan sengaja mengeraskan suara. Hanya untuk memancing perhatian lebih banyak orang lagi.Dari pada mengurusi hal yang tidak penting. Kiran memilih menghindar. Ia datang untuk merayakan pesta. Bukan merusak acara penting seseorang.Sayangnya, Mila masih saja tak mau melepaskan Kiran. Tangannya mencengkeram kuat, tepat ketika Kiran melintas di depannya.Kiran sudah berupaya menahan emosi, agar tak tumpah ruah. Sesekali ia menahan sakit di pergelangan tangannya. Namun, semakin ia berontak Mila justru memperkuat genggaman itu.Sampai akhirnya Kiran memutuskan untuk berbalik dan melihat Mila dengan tatapan yang merendahkan.Melihat itu cengkeraman di tangan Kiran berangsur melem
Season 2Sering kali dalam hidup ini kita tidak menyadari jika telah mengambil keputusan yang salah. Sampai kita menjalani keputusan itu. Hingga barulah terasa jika jalan yang kita tempuh askah suatu kesalahan.Bagas menatap wanita itu dari jauh. Di sampingnya ada anak-anak yang berlari ke sana ke mari. Rumput hijau yang membentang luas pagi itu, juga desau angin basah selepas hujan. Membuat hatinya kian membeku.“Harusnya aku yang di sana,” lirihnya, sembari tersenyum getir.Belum reda sesak karena, sesal yang terus datang. Seorang pria dengan setelan kasual menghampiri ibu dan anak itu. Ia terlihat gagah meski dengan tas wanita berwarna merah muda. Bagas jelas tahu tas siapa yang pria itu kenakan, siapa lagi kalau bukan milik Kiran.Bahkan kedatangannya, sudah menjadi pusat perhatian beberapa pasang mata di tempat itu. Dia Andre, sepupu sekaligus saingan cintanya.Dulu ia tak pernah kalah, memanfaatkan kelemahan Andre, Bagas dengan mudahnya mendapatkan perempuan mana pun.Andre yang
“Bang tadi siang Mas Bagas ke sini,” ucapku. Kusuguhkan secangkir kopi di depan meja kerjanya, dia yang tengah fokus menatap layar laptop dengan cepat mengalihkan pandangannya padaku. “Dia enggak ngapa-ngapain kamu ‘kan?” Dia langsung berdiri lalu memegangi kedua pundakku. “Ga kok aku baik-baik aja, lagian Adek enggak keluar kamar tadi.” “Baguslah kalau sampai dia nyentuh Adek ....” “Abang mau apa?” “Hajar.” “Maen hajar aja sih, Bang.”Lelakiku ini kenapa jadi begitu emosional. Tidak semuanya harus di selesaikan dengan perkelahian bukan. “Hari ini Adek masak Bang, makan dulu yuk!” ajakku sembari menggelayuti pundaknya yang dari tadi masih saja sibuk dengan laptopnya. Lelaki itu memegangi kedua lenganku, lalu tak lama berbalik dan menciumnya. “Manja ya, istri Abang.” “Bukan manja Sayang, ‘kan memang waktunya makan.” “Ya udah ayo!” Dia menuntunku keluar dari ruang kerjanya. Namun, bukannya ke ruang makan dia malah menuntunku ke arah kamar kami. “Loh kok ke sini, Bang?” Dia
“Ada perjanjian apa sama Mas Bagas?”“Soal perjanjian kemarin. Dia minta Abang nepatin dokumen yang udah abang tanda tanganin.”“Terus Abang mau?”“Engga lah, setelah abang pikir-pikir abang akan merasa berdosa banget kalau sampai abang lebih milih nepatin janji ke Bagas dari pada sama Tuhan abang sendiri.”Syukurlah kalau begini aku lega mendengarnya.“Kalau Abang nepatin janji ke Bagas akan banyak orang yang sakit hati dengan tindakan abang, tapi kalau abang nepatin janji ke Tuhan. Hanya satu orang yang akan terluka.” Bang Andre sengaja menjeda ucapannya.“Mas Bagas?” tanyaku memastikan.“Hemmm.”“Baguslah, biarkan dia mencari kebahagiaan yang lain. Toh, bumi kita tak kekurangan perempuan Bang, iya ‘kan?” Sengaja kutautkan kedua alisku menatapnya untuk membenarkan ucapanku.“Tapi bumi kita kekurangan wanita saleha dan juga nakal sepertimu?”“Kok nakal sih?”“Ya tuh pagi-pagi udah genitin suami, padahal lagi datang bulan.”Kalau sudah begini lebih baik segera berlalu dari hadapannya
“Dek, apa enggak bisa tamu bulanannya di percepat?” Lagi-lagi Bang Andre memelas“Mana bisa abang, ayo kita tidur aja, udah malam loh.” Aku segera membaringkan tubuhku di kasur, mataku sudah tinggal 5 watt rasanya.“Dek!” Bukannya tidur dia malah menyentuh pundakku dengan jari telunjuknya.“Apa Abang Sayang?” Aku meliriknya sekilas, tanpa menolehkan kepala.Tuh ‘kan lagi-lagi dia mengerucutkan bibirnya seperti Donald Bebek. Kutarik saja bibirnya, biar maju sekalian gemas sekali aku di buatnya.“Seminggu lagi, Sayang.”“Sakit Sayang ih, Adek kok jadi agresif begini pas udah nikah.”“Abang bilang apa? Adek agresif, oh ya sudah Adek mau jadi pendiem.”“Eh jangan dong, gitu aja ngambek, tetap kayak gini aja oke.” Baru saja aku ingin tidur memunggunginya dalam sekejap lengannya sudah melingkar ke pinggangku.“Bobonya gini aja,” ucapnya yang membuatku semakin geli.“Kok abang dipunggungin Adek ga mau liat muka Abang.” Akhirnya mau tak mau aku segera membalikkan badanku menghadap padanya.Ha