Salma Pov Di saat diriku mulai meramu bumbu untuk sayur asam dan menyiapkan lima buah cabai serta terasi, aku beranggapan bahwa hari ini pasti sama dengan hari sebelumnya, aku akan menanti Hasan dari siang hingga sore hari tiba. Namun, di kala kedua tangan ini mulai menghaluskan bahan-bahan untuk membuat sambal terasi, aku merasakan kedua tangan dengan jemari ramping yang sudah lama tak bertamu di hunian ini. Suara lembut yang dimiliki putri tercintaku juga turut terdengar. Lalu, aku yang sudah mencuci tangan menyambut serta memeluk dirinya. Di saat yang sama, aku melihat travel bag berwarna dusty pink, hadiah pernikahan yang sempat aku berikan padanya dua tahun lalu. "Kamu mau nginep, Din? kok bawa travel bag segala?" Aku memberanikan diri bertanya dengan sorot mata ragu. "Iya, aku akan tidur di sini untuk beberapa minggu ke depan, Ma." Dina menjawab sambil menganggukkan kepala. Rupanya, ia sedang tak baik-baik saja dengan suaminya, Reza. "Kamu kenapa? ada masalah sa
Tanpa terasa, sudah dua hari bagi Reza dan Dina tinggal terpisah. Dua orang yang tak saling berkomunikasi itu memiliki kondisi yang bertolak belakang. Dina yang kondisi emosinya sudah lebih stabil sibuk menjaga toko kue sambil mengerjakan pesanan cake custom yang mulai berdatangan secara terus-menerus. Sedangkan, Reza tak dapat bekerja dengan konsentrasi penuh. Hal itu disebabkan oleh tekanan dari Naffa dan pikirannya yang tertuju pada Dina, istrinya yang tak kunjung menjawab panggilan suara sejak satu hari lalu. Maka dari itu, Reza yang sudah kehabisan akal memerintahkan salah satu dari pegawainya untuk memesan sebuket bunga mawar di toko bunga, milik salah satu teman lamanya. Ia juga menyertakan isi kartu ucapan untuk disertakan pada buket bunga tersebut. Dalam hitungan kurang dari satu jam, pesanan bunga mawar itu tiba di toko kue Dina. "Permisi, Bu Dina. Ini ada kiriman bunga," ucap Afifah, salah satu pegawai di toko kue Dina yang melangkah dan meletakkan buket bunga di a
Dina Pov "Bu, Bu, coba lihat ini deh," Suara Afifah kembali terdengar saat aku baru saja selesai melakukan order makanan melalui aplikasi ojek online. "Lihat apa, Fi?" Aku melirik pada salah satu pegawaiku yang sekarang mendekat pada meja kerja dan menunjukkan ponselnya. Dari layar benda pipih yang dipegangnya itu, aku melihat berita dengan pengumuman rumor tentang pengusaha mall dan supermarket asal Surabaya, berinisial R, diprediksi telah menghamili wanita dengan inisial NS. Aku pun hanya menghela napas pelan dan sekilas melirik pada Afifah yang kembali berujar padaku. "Maaf, Bu. Saya lihat foto yang diblur begini, ingat fotonya Pak Reza yang pernah muncul di televisi beberapa waktu lalu." Afifah mengutarakan. "Ya, mungkin kebetulan aja, Fi. Pengusaha mall di Surabaya 'kan engga cuman Mas Reza," jelasku dengan senyum kecil terukir. Meski sebenarnya aku berujar begitu, aku yakin jika rumor yang menyebar itu memang tentang hubungan gelap Mas Reza dan Naffa. "Semoga bu
Reza pov "Permisi, Pak. Saya Rizal, wartawan dari Majalah Halo. Bisa minta waktunya sebentar?" Suara laki-laki muda terdengar dari ponsel milikku bersama dengan helaan napasku yang pelan. Aku yang masih duduk di balik meja kerja menatap dan mengangguk pelan. Lalu, Rizal mulai melayangkan pertanyaan pertamanya, "Apa benar jika Pak Reza memiliki hubungan khusus dengan sekretaris yang bernama Naffa Syailendra?" "Engga, itu sama sekali engga bener. Kamu tanya begitu karena banyak rumor itu ya?" Aku menegaskan dan memastikan jika wartawan muda di hadapanku ini memang sengaja mengulik tentang hal itu karena sedang panas diperbincangkan di stasiun televisi lokal. "Iya, Pak. Banyak yang berspekulasi seperti itu. Apalagi, foto yang diblur itu sangat mirip dengan salah satu foto bapak beberapa tahun lalu." Rizal mengangguk dan menanggapi ujaranku. Aku yang tahu betul dengan foto tersebut hanya menyunggingkan senyum kecil. Lalu, Rizal kembali menanyaiku tentang hubungan rumah tangga
Khandra pov Melihat wanita yang sejak lama aku kagumi membuat nostalgia di kala bangku kuliah menyambangi. Aku sebagai mahasiswa tingkat empat dari Fakultas Hukum secara tak sengaja mengenal sosok Dina, mahasiswi tingkat dua dari Fakultas Manajemen Bisnis. Di saat itu, aku memang hanya sebatas mengenal namanya. Aku tak begitu tahu kesukaan dan masalah-masalah yang melibatkan dirinya. Akan tetapi, aku selalu senang menatap sosoknya dari kejauhan. Apabila aku melihatnya dari dekat, aku juga tak segan untuk menyapa. Singkat cerita, aku yang terbiasa menatap dan mengaguminya dari kejauhan sesekali mengirimkan makanan ringan dengan menempelkannya di pintu loker miliknya. Tentu saja, saat itu, aku tak menyebutkan nama asliku secara jelas sebagai pengirim, mengingat aku tergolong sebagai salah satu mahasiswa senior dengan sikap pemalu. Namun dari sikap pemaluku ini, aku akhirnya menyadari satu hal. Hal itu berkaitan dengan hari dimana Dina memposting dirinya yang resmi dilamar ole
Di lain situasi, Reza dengan terpaksa pulang ke apartement Naffa. Memang ia sempat mengeluh dan marah pada sekretarisnya itu, tapi karena wanita tersebut masih mengancam bahwa dirinya akan memberikan klarifikasi terkait rumor yang beredar, ia mau tak mau menurut. "Besok Sabtu, kita jadi berkunjung ke rumah ortuku 'kan?" tanya Naffa sambil bergelayut manja di lengan Reza. Di saat yang sama, laki-laki yang sedang duduk bersantai di sofa merasa risih. "Jadi, Naf." Reza menjawab singkat tanpa melakukan kontak mata dengan selingkuhannya itu. "Terus, kita liburan ya di Tawang Mangu," sambung Naffa dengan senyuman lembut tersemat. Binar pada kedua matanya memancarkan kebahagiaan. Ia merasa senang dan menang atas permainan yang diciptakan oleh bosnya itu. "Tiga hari aja ya. Aku engga bisa lama-lama ninggalin kantor, dan kamu tahu 'kan kalau saham perusahaanku turun gara-gara kamu." Reza mencoba bernegosiasi dan menyalahkan. "Maaf, Rez, soal yang itu. Habisnya, kamu terus-meneru
Sesuai dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan, Reza dan Dina berjumpa di Praline Cafe, cafe yang terkenal dengan aneka roti, kue, dan racikan kopi original atau modern. Dina yang duduk berhadapan dengan Reza berulang kali menghindari kontak mata dengan suaminya. Di satu sisi, ia merasa gugup dengan apa yang akan diucapkan pada laki-laki yang hingga saat ini masih disayanginya meski merasa kecewa. "Din, kamu apa kabar? Engga ada yang sakit 'kan?" Reza membuka obrolan sambil berusaha meraih tangan istrinya. Namun, Dina yang memahami maksud dari suaminya itu segera menjauhkan tangan kanannya, memberi isyarat jika ia tak ingin disentuh oleh laki-laki yang membuat dirinya hancur dan merasa tak berarti. "Aku baik, Mas. Seperti yang kamu lihat sekarang," jawabnya dengan nada datar. Reza mengangguk dan kembali berujar, "Oh, bagus deh kalau gitu. Kamu juga makin manis setelah lama engga ketemu." Pujian itu tak membuat bibir merah Dina melengkung ke bawah, seperti di tahun lal
Reza pov Setelah selesai membicarakan tentang perceraian dengan Dina, aku memutuskan untuk kembali ke kantor. Suasana hatiku yang didominasi dengan rasa kecewa tak mempengaruhi moodku untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda, untungnya. Namun, di kala diriku sedang memantau perkembangan saham perusahaan, aku menerima berita tak sedap yang disampaikan oleh salah satu pegawaiku. "Permisi, Pak. Ini ada dua surat dari perwakilan Allegra Company dan Harris Enterprise," ucapnya padaku. "Siapa yang antar ini?" tanyaku pada lelaki yang usianya di bawah tiga puluh tahun itu. "Sekretaris dan atasannya tadi sempat mencari Bapak, tapi saya bilang bapak sedang tak ada di tempat. Maka dari itu, mereka menitipkan surat ini pada saya." Pegawaiku menanggapi. Lalu, aku memberikan isyarat untuk dirinya agar berlalu dari hadapanku. Seiring dengan menghilangnya pegawaiku, aku mulai membaca surat yang dikirimkan oleh Allegra Company, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang minuman dan