Reza pov Setelah selesai membicarakan tentang perceraian dengan Dina, aku memutuskan untuk kembali ke kantor. Suasana hatiku yang didominasi dengan rasa kecewa tak mempengaruhi moodku untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda, untungnya. Namun, di kala diriku sedang memantau perkembangan saham perusahaan, aku menerima berita tak sedap yang disampaikan oleh salah satu pegawaiku. "Permisi, Pak. Ini ada dua surat dari perwakilan Allegra Company dan Harris Enterprise," ucapnya padaku. "Siapa yang antar ini?" tanyaku pada lelaki yang usianya di bawah tiga puluh tahun itu. "Sekretaris dan atasannya tadi sempat mencari Bapak, tapi saya bilang bapak sedang tak ada di tempat. Maka dari itu, mereka menitipkan surat ini pada saya." Pegawaiku menanggapi. Lalu, aku memberikan isyarat untuk dirinya agar berlalu dari hadapanku. Seiring dengan menghilangnya pegawaiku, aku mulai membaca surat yang dikirimkan oleh Allegra Company, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang minuman dan
Sehari setelahnya, berkas-berkas yang dikumpulkan oleh Reza dan Dina untuk mengurus surat cerai telah diproses. Reza yang sudah menandatangani surat cerai itu meminta pada salah satu dari orang suruhannya untuk mengirimkan surat tersebut pada alamat dari toko kue Dina. Di saat yang sama, Naffa yang tengah menggenggam dokumen penting untuk diserahkan pada Reza menguping dan mengulas senyum senang. Ia tahu bahwa surat perceraian di antara Reza dan Dina sudah resmi dikeluarkan. Saat orang suruhan dari Reza berlalu keluar dari ruangan, ia melirik pada amplop cokelat tersebut dan menemui bosnya dengan binar mata yang menyiratkan kegembiraan. "Akhirnya, kamu nurut juga sama aku, Rez," ucapnya dengan percaya diri. Reza pun menatap sinis dan menanggapi, "Kalau bukan karena anak di kandunganmu, aku juga males buat ceraikan Dina. Kamu dan dia sangat berbeda, Naf." "Tapi, faktanya, aku yang hamil anak kamu, Rez. Bukan dia," Naffa menanggapi dengan senyuman bangga tersemat. Sangat jelas
Sementara itu, Reza dan Naffa baru saja tiba di rumah sederhana yang berlokasi di jalan Raya Sidorejo, Kota Tulungagung. "TOK..TOK.." Naffa mengetuk pintu perlahan dan berucap, "Ibu? Bapak? Naffa pulang." Kurang dari hitungan menit, pintu berbahan kayu mahoni itu berderit dan terbuka. Bersama dengan hal itu, sosok wanita paruh baya dengan jilbab menutupi kepalanya muncul. Riasan tipis yang dikenakan pada parasnya tak membuat kerutan di kulitnya tampak. "Baru sampe toh? Wah, ada Nak Reza juga," Ibu Halimah selaku ibu dari Naffa berbasa-basi dan mempersilakan anak beserta calon menantunya masuk dan duduk di ruang tamu yang berukuran kecil namun nyaman. "Iya, Bu. Maaf kalau mengganggu," Reza turut bersuara sambil mengatupkan kedua tangannya. Air mukanya menyiratkan rasa ragu dan takut jika keberadaannya mengganggu rutinitas dari calon mertuanya itu. "Engga ganggu kok, Nak Reza. Naf, kamu buatin kopi sama siapin pisang goreng di piring ya buat Reza. Pisangnya baru aja ibu gore
Di lain hari, tepatnya di hari Sabtu, Dina yang tak menjaga toko memutuskan untuk mempersiapkan diri dengan semampunya. Hal itu disebabkan oleh Khandra yang dalam hitungan kurang dari satu jam akan tiba di rumahnya untuk menjemput. "Duh, tinggal dua puluh menit lagi nih." Dina mengenakan foundation dan bedak sambil menatap pantulan dirinya di cermin. "Sabar, Nak." Amelia menenangkan sambil menatap putri kesayangannya yang sedang bersiap-siap. "Iya, tapi 'kan aku engga enak sama Khandra," keluh Dina yang mulai memoleskan lip gloss pada bibir mungilnya. "Khandra? seniormu yang pernah main ke sini itu, Din?" Amelia bertanya sambil menatap putrinya dengan kedua mata terpicing. "Iya, dia.." Saat Dina akan menanggapi ucapan sang mama, perkataannya disela oleh suara klakson mobil, "TIN..TIINN!" "Itu kayanya udah dateng," ucap Amelia semabari menerawang keluar jendela. "Aku pergi dulu ya, Ma. Mama hati-hati di rumah," Dina berpamitan sambil mengemasi bedak dan lipstik ke d
Reza Pov Aku tahu jelas siapa Dina dan sifat-sifat yang dimilikinya. Terutama, tentang circle pergaulannya yang didominasi dengan kaum hawa berkarier mandiri. Akan tetapi, aku tak pernah menduga bila wanita yang kalem dan lembut ini juga bisa dekat dengan teman laki-laki yang sama sekali tak pernah aku ketahui. "Lihat deh, Rez. Dina kayanya nyaman banget sama cowok ini. Aku rasa mereka baru jadian," Naffa kembali bersuara. Ucapannya itu secara tak langsung membuat cemburu di hati ini membara. Aku belum bisa menerima kenyataan jika Dina dekat dengan laki-laki lain selain aku. "Apa memang aku mudah tergantikan dengan yang lain, Din? Bahkan, kita berdua belum sepenuhnya pisah dan bercerai, tapi kamu udah berani jalan sama cowok lain." Aku berujar dalam hati dengan sorot mata yang menyiratkan rasa kecewa. Aku yang masih fokus menatap dua potret dari laki-laki yang tak aku kenal menyadari bahwa Naffa mulai bersandar pada bahuku dan berkata, "Rez, kamu engga usah galau ya. Dia 'k
Setibanya di kamar hotel, Reza dan Naffa pun menikmati kudapan ringan yang baru saja mereka beli dari pinggir jalan. Dengan bertukar cerita, mereka menikmati sate ayam dan dua buah jagung bakar yang masih hangat tersaji di atas kotak karton yang cukup tebal. "Temanmu tadi kok sendirian?" tanya Reza sambil melahap dan mengunyah sate ayam perlahan. "Suaminya mager, Rez. Aku tahu jelas karena Astrini sama suaminya udah pacaran dari jaman kuliah, sekitar semester enam," jelas Naffa sambil membaluri sate ayam dengan bumbu kacang secara menyeluruh. "Lumayan lama ya pacarannya." Reza menanggapi dengan kedua alis terangkat ke atas. Ia cukup terkesima dengan hubungan pacaran lama yang akhirnya berujung di pelaminan dan rumah tangga yang awet. "Lho, kamu sama Dina dulu pacarannya engga lama, Rez?" Naffa tiba-tiba merasa penasaran dengan hubungan awal yang direnda oleh Reza dan Dina. Hal itu memang sejak awal ingin ia korek, namun ia tak begitu punya banyak waktu dengan bosnya tentan
Sekitar satu minggu kemudian, Reza dan Dina memenuhi panggilan sidang yang sudah ditetapkan. Sidang perceraian tersebut diadakan di pagi hari, tepatnya di awal bulan Agustus, 2023. "Kamu yakin engga mau ditemenin sama Mama?" tanya Salmah pada putrinya yang sudah berganti pakaian dengan blouse berwarna merah bata yang dipadukan dengan rok putih panjang elegan, membuat pesonanya semakin terpancar. "Engga, Ma. Mama di rumah aja." Dina menanggapi sambil mengaitkan tali dari sepatu sandal yang melekat pada kedua kakinya perlahan. Setelahnya, ia menyampirkan tas berwarna cokelat tua dan berpamitan pada sang mama, "Ma, aku pergi dulu ya. Semoga sidang hari ini berjalan lancar, dan Mama engga perlu khawatir soal aku." "Hati-hati di jalan, Din. Semangat ya!" Salmah menanggapi sambil memberikan pelukan sekilas pada putri kesayangannya itu. Sekian menit kemudian, mobil sedan milik Khandra menjemput Dina, sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. "Udah siap dengan sidang hari ini, D
Reza pov Memang aku setuju untuk bercerai darinya. Seperti yang pernah melintas di benakku, apa yang aku usahakan bersama seseorang yang tak lagi menginginkanku dalam hidupnya akan menghasilkan hal yang nihil. Akan tetapi, hatiku perih setelah surat gugatan dan status diriku dan Dina sudah resmi bercerai. Perasaanku padanya juga masih ada meski tak sebesar saat awal menikah dahulu. Maka dari itu, pikiran negatif tentang potret dirinya bersama pria lain membangkitkan rasa cemburu, seolah aku masih memilikinya. Setelah sidang usai, aku melangkah keluar ruangan, dan Naffa menghampiriku dengan air muka sumringah. Sangat jelas sekali jika wanita ini bahagia setelah tahu bahwa aku sudah resmi bercerai. "Rez, kamu engga apa-apa 'kan?" tanya Naffa dengan sorot mata khawatir, seolah ia turut prihatin dengan perasaanku yang memang tak terima karena harus bercerai, sesuai dengan permintaan Dina. "Agak berat, tapi mungkin ini baru awal. Aku belum terbiasa aja sama statusku yang sekar
Dua tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari 2026, Reza bersama dengan Naffa dan juga Armand sedang berakhir pekan di salah satu restoran di Malang yang cukup terkenal. Sembari duduk di meja VIP, Armand dengan tubuh mungilnya duduk seraya tersenyum senang saat melihat makanan penutup yang dipesan oleh sang mama datang. "Senang ya? es krimnya banyak," ucap Reza sambil mencolek hidung mungil milik putranya itu. Armand yang ditanya seperti itu oleh sang papa hanya bergumam dan menorehkan senyum riang. Di saat yang sama, Naffa berujar, "Dikasih dikit aja, Rez. Dia tadi 'kan udah minum susu. Takutnya kekenyangan." "Iya, engga apa-apa, Naf. Yang penting, Armand coba," ucap Reza dengan senyum lembut sembari mengusap punggung tangan Naffa perlahan. Lalu, sesuai dengan yang sudah dikatakannya, Naffa mengambil sendok kecil khusus bayi dan mulai menyendok sedikit es krim dengan rasa vanilla, serta menyuapkannya pada Armand. "Gimana? enak?" Reza mengusap lembut kepala Armand semba
Beberapa bulan kemudian, Reza masih disibukkan dengan pekerjaan dan kegiatan merawat Naffa yang masih koma serta Armand yang masih kecil. Meski Sus Hani mendampingi putranya di kala ia masih berada di kantor atau di luar rumah, Reza sebagai seorang papa tak dapat tinggal diam dan langsung bersantai saat ia baru saja pulang dari kantor. Saat ia telah selesai membersihkan diri, ia harus bergantian dengan Sus Hani untuk menemani Armand minum susu dan bermain. Bahkan, di kala makanan khusus bayi telah selesai dikelola oleh baby sitter berpengalaman itu, ia harus menyuapi Armand dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Di tengah kegiatan menyuapi putranya itu, ponselnya bergetar. Sejenak, ia menjeda aktifitas tersebut dan menjawab
Akibat merasa iri pada nasib sang mantan istri, Reza pun memutuskan untuk menginap di apartemen milik Marni. Meski ia tahu bahwa putranya masih berada di rumah kedua orang tuanya, ia tak begitu mempermasalahkannya. Memang ia mengkhawatirkan kondisi Naffa dan putranya, namun untuk malam itu, ia tak dapat membiarkan egonya sebagai laki-laki terluka begitu saja. Dengan nafsu yang membara dalam dirinya, ia melampiaskan rasa kesalnya itu dengan bercumbu dan bercinta dengan Marni, untuk kesekian kalinya. Setelah pergumulan terlarang itu usai, Reza yang seharusnya memadu kasih di sisi Marni malah mengenakan pakaiannya kembali dengan air muka datar. Marni yang masih mengenakan selimut pun bertanya dengan air muka keheranan, "Mas, bukannya mas mau tidur di sini?" "Sebentar aja, Mar. Aku engga bisa lama-lama. Naffa lagi koma di rumah sakit. Maaf ya," jelas Reza yang baru saja mengenakan celana kain dan sabuk secara berurutan. Di saat yang sama, Marni merasa tak dihargai oleh bos seka
Di situasi lain, yang lebih membahagiakan, Dina dan Khandra sedang berada di Bandara Internasional Juanda. Dengan tiga travel bag yang mereka bawa, mereka sedang mengantri untuk check-in tiket pesawat, jurusan Surabaya-Thailand. "Selanjutnya," ucap pramugari yang mengurus bagian check-in di counter dengan senyum ramah tersemat. Khandra dan Dina pun menghampiri counter dan mulai menunjukkan bukti pemesanan tiket pesawat pada pramugari yang bertugas. Lalu, beberapa menit kemudian pramugari tersebut meminta Khandra dan Dina untuk menaikkan koper yang ingin diletakkan pada bagasi yang tersedia. "Ini boarding passnya. Bisa ditunggu di pintu keberangkatan yang tertera ya," ucap
Halimah pov Seakan disambar petir di malam hari, aku yang mendengar informasi dari dokter pun menitikkan air mata. Aku selaku ibu kandung dari Naffa merasa terpukul dan tak terima. Penyebab utama yang paling jelas terlihat saat ini adalah menantuku sendiri, Reza. Begitu dokter yang mengoperasi putriku berlalu, aku dengan emosi yang memuncak di kepala mendorong Reza pelan dan menegur, "Puas kamu sekarang, hah?! Reza pun terdiam dan tak berani beradu pandang denganku. Lalu, aku kembali bersuara dengan air mata berlinang, "Gara-gara kamu, anak saya engga sadarkan diri! Puas?! Memang kamu, laki-laki yang engga tahu diuntung!!" Bersama dengan ucapanku yanf mengiris hati itu, aku pun hendak melayangkan tamparan berikut pada wajahnya karena merasa geram. Namun, sebelum telapak tanganku mendarat tepat di wajah Reza, suamiku menahan dan berujar, "Bu, udah. Jangan bertengkar di sini. Malu karena didengar orang-orang." Aku yang kembali mendengar peringatan itu menepis pegangan tangan
Sementara itu, di rumah Reza, Naffa yang tengah sibuk memotong-motong sayuran mendadak merasakan sakit pada bagian pinggang. "Awh," erangnya sembari memejamkan kedua mata dan memegangi pinggang bagian belakang. Di beberapa menit awal, rasa sakit itu masih bisa ditahan oleh Naffa. Namun, di sekian menit berikutnya, rasa sakit itu menajam dan tak lagi bisa ditahannya. Hal tersebut membuatnya sedikit panik dan menjeda kegiatannya seraya duduk di kursi. "Sshh, sepertinya, a-aku harus.." Naffa yang hendak menghubungi Reza mengalihkan pandangan pada sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini.
Marni pov Sekitar pukul 18.40, aku dan Mas Reza tiba di unit apartement yang aku tempati. Saat pintu telah selesai dibuka, aku dan Mas Reza masuk ke dalam dan memutuskan untuk duduk di sofa, bersampingan. "Mar." Mas Reza memanggil seraya menatapku dari samping. "Hmm?" Aku berdeham tanpa menatap wajah Mas Reza secara langsung. "Kalau Mas punya perasaan sama kamu, kamu gimana?" Mas Reza mendadak melemparkan pertanyaan yang membuatku melebarkan kedua mata.
Sementara itu, Reza yang baru saja selesai menerima surat dan contoh bahan produksi, tak sengaja berpapasan dengan Marni yang sedang mengobrol dengan beberapa office boy lain di dekat tempat peralatan kebersihan. Melihat Marni bersenda-gurau dan tertawa lepas dengan teman-teman satu pekerjaannya, Reza mengerutkan kening dengan sorot mata heran. Menurutnya, ia tak pernah membayangkan jika mantan ARTnya itu adalah tipikal gadis yang senang bergaul, mengingat Marni lebih sering ada di rumah dan tak begitu membaur dengan ART lain yang tinggal bersama tetangga sebelah. "Jadi, ini sifat aslinya si Marni? Kelihatannya pendiam, aslinya social butterfly, dan entah kenapa aku merasa dia agak genit ke cowok lain. Lebih engga masuk akal lagi, aku yang sudah beristri, merasa terganggu kalo lihat dia
Dua hari, setelah resmi menyandang status suami-istri, Dina dan Khandra menjalani aktifitas masing-masing, sesuai dengan peran yang digeluti. Namun, sebelumnya, mereka menikmati sarapan pagi yang dimasak oleh Dina dan salah satu ART di rumah baru Khandra, Bi Jah. "Nanti siang, kamu ada acara, Din?" tanya Khandra sembari menambahkan lauk di atas piringnya. "Engga kayanya. Belakangan toko agak sepi, Khan." Dina menanggapi sambil memotong daging di piringnya perlahan. "Aku jemput ya kalo gitu." Khandra menyatakan niatnya meski belum menyebutkan tujuan secara jelas.