Sekitar satu minggu kemudian, Reza dan Dina memenuhi panggilan sidang yang sudah ditetapkan. Sidang perceraian tersebut diadakan di pagi hari, tepatnya di awal bulan Agustus, 2023. "Kamu yakin engga mau ditemenin sama Mama?" tanya Salmah pada putrinya yang sudah berganti pakaian dengan blouse berwarna merah bata yang dipadukan dengan rok putih panjang elegan, membuat pesonanya semakin terpancar. "Engga, Ma. Mama di rumah aja." Dina menanggapi sambil mengaitkan tali dari sepatu sandal yang melekat pada kedua kakinya perlahan. Setelahnya, ia menyampirkan tas berwarna cokelat tua dan berpamitan pada sang mama, "Ma, aku pergi dulu ya. Semoga sidang hari ini berjalan lancar, dan Mama engga perlu khawatir soal aku." "Hati-hati di jalan, Din. Semangat ya!" Salmah menanggapi sambil memberikan pelukan sekilas pada putri kesayangannya itu. Sekian menit kemudian, mobil sedan milik Khandra menjemput Dina, sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. "Udah siap dengan sidang hari ini, D
Reza pov Memang aku setuju untuk bercerai darinya. Seperti yang pernah melintas di benakku, apa yang aku usahakan bersama seseorang yang tak lagi menginginkanku dalam hidupnya akan menghasilkan hal yang nihil. Akan tetapi, hatiku perih setelah surat gugatan dan status diriku dan Dina sudah resmi bercerai. Perasaanku padanya juga masih ada meski tak sebesar saat awal menikah dahulu. Maka dari itu, pikiran negatif tentang potret dirinya bersama pria lain membangkitkan rasa cemburu, seolah aku masih memilikinya. Setelah sidang usai, aku melangkah keluar ruangan, dan Naffa menghampiriku dengan air muka sumringah. Sangat jelas sekali jika wanita ini bahagia setelah tahu bahwa aku sudah resmi bercerai. "Rez, kamu engga apa-apa 'kan?" tanya Naffa dengan sorot mata khawatir, seolah ia turut prihatin dengan perasaanku yang memang tak terima karena harus bercerai, sesuai dengan permintaan Dina. "Agak berat, tapi mungkin ini baru awal. Aku belum terbiasa aja sama statusku yang sekar
Di lain tempat, tepatnya di malam hari, sekitar pukul 19.20, Naffa dan Reza sedang menghabiskan waktu di salah satu restoran bintang lima yang berlokasi di Surabaya Barat. Hal tersebut merupakan permintaan Naffa kepada Reza dengan alasan bahwa ia ingin merayakan sidang perceraian Reza yang sudah berlalu. "TING!" Saat kedua gelas berisi wine merah berdenting. Reza dan Naffa meneguk cairan berwarna ungu kemerahan itu perlahan. "Aku lega banget, Rez." Naffa menyatakan perasaannya dengan senyum merekah dan binar kebahagiaan dari kedua netranya. "Karena aku udah berstatus duda?" Reza memastikan. "Yah, engga cuman itu. Aku engga perlu takut buat berduaan lagi sama kamu. Selain itu, sebentar lagi 'kan, kita juga menikah." Naffa menanggapi dengan rasa bangga di hatinya. "Mungkin, sebelum akhir tahun ini, Naf." Reza memperjelas kapan dirinya akan meresmikan hubungan dengan wanita yang masih bekerja di kantornya itu. Ucapan yang terasa mengambang itu membuat Naffa tak terlihat
Dua bulan berikutnya, Reza menepati janji untuk menikahi Naffa secara resmi. Pernikahan dengan resepsi yang dihadiri tamu kurang dari seratus orang itu terbilang tertutup. Bahkan, di venue ballroom, tempat acara diadakan, tak ada satu pun wartawan atau jurnalis yang meliput, sangat berbeda dengan waktu dimana Reza menikahi Dina. Hal tersebut tentunya mengundang banyak komentar dari kedua orang tua Naffa. Mereka tahu jelas jika putrinya menikah dengan pengusaha kaya-raya yang berstatus duda dan baru bercerai dari istrinya. Komentar dan reaksi dari Bu Halimah dan Pak Ghofar itu timbul di saat acara resepsi akan berakhir, tepatnya di kala sesi pemotretan sedang terjadi. "Naf, kamu ini engga hati-hati ya kalau pilih suami," bisik Bu Halimah pada putrinya yang mengenakan kebaya pengantin modern berwarna putih mutiara yang diselaraskan dengan riasan di wajahnya yang menawan. "Engga hati-hati gimana, Bu? Bukannya, Ibu udah setuju kalau aku sama Reza?" Naffa mengerutkan keningnya samb
Khandra Pov Aku yang berminat untuk memberi kejutan pada Dina mulai memikirkan beragam ide yang muncul di kepala. Pertama-tama, aku berencana untuk membeli sebuket bunga dan sebuah kue cokelat berukuran 20 x 20 cm. Akan tetapi, aku merasa ide itu kurang tepat, mengingat Dina sendiri memiliki usaha toko kue dengan varian kue yang rasanya tak kalah enak dengan brand terkenal. Lalu, ide lain pun tercetus. Ide tersebut hadir saat aku sedang memeriksa akun sosial media bisnis milik Dina. "Produk baru, Double Happiness, kreasi teh dan kopi diet yang dapat dinikmati oleh semua kalangan." Aku membaca deskripsi yang tercantum pada brosur di akun tersebut. Kemudian, aku langsung terpikir untuk menawarkan produk yang baru meluncur itu pada beberapa jasa periklanan dan selebgram yang nomor kontaknya ada di ponselku. Mungkin, dengan kejutan ini, Dina bisa lebih terbantu, dibanding memberikan hadiah dalam bentuk fisik. Lalu, aku mulai memilah beberapa kontak selebgram yang cukup terke
Naffa pov Hari yang baru pun tiba. Aku yang sudah menyandang status sebagai istri sah dari Reza menuruni tangga dan melangkah menuju dapur untuk menyiapkan menu sarapan. Sesuai dengan rencana yang sudah aku utarakan, Mbak Tantri menghidangkan lauk-lauk di atas meja. Ia juga menyiapkan nasi pada wadah yang biasa aku sediakan. Di pukul 06.10, Reza yang sudah terlihat rapi dan wangi datang dan duduk di meja makan dengan senyum simpul terukir di bibir mungilnya. "Pagi, Naf," ucapnya lembut. "Pagi, sayangku. Yuk makan. Aku hari ini masak ayam bumbu bali sama cah sayur dengan aneka telur, kesukaan kamu," ucapku dengan nada ceria. Meski sebenarnya aku masih merasa kesal dengan Tantri, aku mencoba menutupinya di depan Reza yang terlihat segar di pagi hari. Aku tak ingin merusak mood baiknya pagi ini. Lalu, Reza mulai meraih sendok yang diletakkan pada piring berisikan ayam bumbu bali dan menyendokkan dua potong ayam di atas nasi yang ada di piringnya. "Kok tumbenan cuman ayam aja?
Tak sengaja menabrak teman lamanya, Reza hanya bisa mengulum senyum. Lalu, ia menjawab pertanyaan dari Jihane to-the-point, "Justru, aku pemilik perusahaan ini, Ji." "Oh, jadi benar yang dikatakan oleh banyak orang ya." Jihane menanggapi dengan kedua mata melebar. Ia cukup kagum dengan teman di masa sekola dasarnya itu. Pasalnya, ia tahu betul jika Reza adalah anak yang malas belajar dan lebih suka bermain bola sepulang sekolah. "Soal aku yang punya bisnis mall dan supermarket?" Reza menerka-nerka. "Iya, Rez. Padahal 'kan kamu itu males belajar," tukas Jihane dengan tatapan heran. Reza pun tersenyum bangga dan menanggapi, "Aku malasnya waktu kecil aja. Semenjak SMP sampai kuliah, aku dilatih sama papa buat engga malas dan lebih produktif. Tentang perusahaan yang aku kelola, hal itu engga lepas dari peran papa dan kakekku sebagai pendahulunya." Mendengar pengakuan dari Reza, Jihane menatap lawan bicaranya itu dan mulai berpendapat di dalam pikirannya, "Harus aku akui, Reza
Di bulan September, tepatnya di minggu pertama, Dina mendapati kenaikan pada grafik penjualan produk terbarunya, Double Happiness. Hal itu tentu membuatnya merasa bahagia dan bangga atas dirinya sendiri. Namun, di satu sisi, ia juga tak percaya jika usaha promosinya yang terbilang sederhana dapat menghasilkan target penjualan yang cukup signifikan. "Padahal, cuman promosi di beberapa sosmed sama sebar-sebar brosur dan tester. Kok bisa sampe lebih dari lima ratus produk terjual ya?! memang produknya laku atau ada apa ini??" Dina bergumam sambil menatap layar laptop yang menampilkan grafik penjualan dari produk Double Happiness. Lalu, ia memeriksa ponsel untuk mengetahui trafik sosial media dari produk yang sedang laris manis itu. Di kala dirinya akan menutup aplikasi sosial media, ia melihat iklan aneka jenis kopi yang diracik oleh salah satu barista yang dikenalnya. Di akhir iklan tersebut, tertulis tulisan 'Double Happiness'. "Tadi itu, bukannya Arunika Febriani ya. Tapi, ko
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha