Khandra Pov Aku yang berminat untuk memberi kejutan pada Dina mulai memikirkan beragam ide yang muncul di kepala. Pertama-tama, aku berencana untuk membeli sebuket bunga dan sebuah kue cokelat berukuran 20 x 20 cm. Akan tetapi, aku merasa ide itu kurang tepat, mengingat Dina sendiri memiliki usaha toko kue dengan varian kue yang rasanya tak kalah enak dengan brand terkenal. Lalu, ide lain pun tercetus. Ide tersebut hadir saat aku sedang memeriksa akun sosial media bisnis milik Dina. "Produk baru, Double Happiness, kreasi teh dan kopi diet yang dapat dinikmati oleh semua kalangan." Aku membaca deskripsi yang tercantum pada brosur di akun tersebut. Kemudian, aku langsung terpikir untuk menawarkan produk yang baru meluncur itu pada beberapa jasa periklanan dan selebgram yang nomor kontaknya ada di ponselku. Mungkin, dengan kejutan ini, Dina bisa lebih terbantu, dibanding memberikan hadiah dalam bentuk fisik. Lalu, aku mulai memilah beberapa kontak selebgram yang cukup terke
Naffa pov Hari yang baru pun tiba. Aku yang sudah menyandang status sebagai istri sah dari Reza menuruni tangga dan melangkah menuju dapur untuk menyiapkan menu sarapan. Sesuai dengan rencana yang sudah aku utarakan, Mbak Tantri menghidangkan lauk-lauk di atas meja. Ia juga menyiapkan nasi pada wadah yang biasa aku sediakan. Di pukul 06.10, Reza yang sudah terlihat rapi dan wangi datang dan duduk di meja makan dengan senyum simpul terukir di bibir mungilnya. "Pagi, Naf," ucapnya lembut. "Pagi, sayangku. Yuk makan. Aku hari ini masak ayam bumbu bali sama cah sayur dengan aneka telur, kesukaan kamu," ucapku dengan nada ceria. Meski sebenarnya aku masih merasa kesal dengan Tantri, aku mencoba menutupinya di depan Reza yang terlihat segar di pagi hari. Aku tak ingin merusak mood baiknya pagi ini. Lalu, Reza mulai meraih sendok yang diletakkan pada piring berisikan ayam bumbu bali dan menyendokkan dua potong ayam di atas nasi yang ada di piringnya. "Kok tumbenan cuman ayam aja?
Tak sengaja menabrak teman lamanya, Reza hanya bisa mengulum senyum. Lalu, ia menjawab pertanyaan dari Jihane to-the-point, "Justru, aku pemilik perusahaan ini, Ji." "Oh, jadi benar yang dikatakan oleh banyak orang ya." Jihane menanggapi dengan kedua mata melebar. Ia cukup kagum dengan teman di masa sekola dasarnya itu. Pasalnya, ia tahu betul jika Reza adalah anak yang malas belajar dan lebih suka bermain bola sepulang sekolah. "Soal aku yang punya bisnis mall dan supermarket?" Reza menerka-nerka. "Iya, Rez. Padahal 'kan kamu itu males belajar," tukas Jihane dengan tatapan heran. Reza pun tersenyum bangga dan menanggapi, "Aku malasnya waktu kecil aja. Semenjak SMP sampai kuliah, aku dilatih sama papa buat engga malas dan lebih produktif. Tentang perusahaan yang aku kelola, hal itu engga lepas dari peran papa dan kakekku sebagai pendahulunya." Mendengar pengakuan dari Reza, Jihane menatap lawan bicaranya itu dan mulai berpendapat di dalam pikirannya, "Harus aku akui, Reza
Di bulan September, tepatnya di minggu pertama, Dina mendapati kenaikan pada grafik penjualan produk terbarunya, Double Happiness. Hal itu tentu membuatnya merasa bahagia dan bangga atas dirinya sendiri. Namun, di satu sisi, ia juga tak percaya jika usaha promosinya yang terbilang sederhana dapat menghasilkan target penjualan yang cukup signifikan. "Padahal, cuman promosi di beberapa sosmed sama sebar-sebar brosur dan tester. Kok bisa sampe lebih dari lima ratus produk terjual ya?! memang produknya laku atau ada apa ini??" Dina bergumam sambil menatap layar laptop yang menampilkan grafik penjualan dari produk Double Happiness. Lalu, ia memeriksa ponsel untuk mengetahui trafik sosial media dari produk yang sedang laris manis itu. Di kala dirinya akan menutup aplikasi sosial media, ia melihat iklan aneka jenis kopi yang diracik oleh salah satu barista yang dikenalnya. Di akhir iklan tersebut, tertulis tulisan 'Double Happiness'. "Tadi itu, bukannya Arunika Febriani ya. Tapi, ko
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da