Reza Pov Tak aku sangka bahwa istriku yang sabar memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya di tengah masalah yang runyam ini. Ternyata, di balik sosoknya yang tak banyak bicara, Dina tergolong sebagai wanita yang sulit ditebak. Memang, selama dua tahun menikah, dia selalu terlihat sabar dan pengertian, terutama terhadap diriku yang terkadang tak dapat menemaninya saat berakhir pekan. Selain itu, dia juga tak menuntut banyak hal dariku, selain menjaga perasaan dan memahami satu sama lain. Hal yang paling membuatku menyesal adalah pikiranku yang cukup impulsif. Aku yang semula menjalani hubungan gelap Naffa malah tak dapat berkutik di tangan sekretarisku sendiri. Semua bukti tentang perselingkuhanku dengannya, secara tersembunyi, disimpan oleh Naffa. Seiring dengan kepergian dari hadapanku dan rumah ini, aku hanya bisa tercenung. Banyak hal yang berlarian dalam pikiranku. Sederet asumsi dan solusi menghampiri, namun tak satu pun dapat mengusir rasa panik sekaligus gelisah yang
Salma Pov Di saat diriku mulai meramu bumbu untuk sayur asam dan menyiapkan lima buah cabai serta terasi, aku beranggapan bahwa hari ini pasti sama dengan hari sebelumnya, aku akan menanti Hasan dari siang hingga sore hari tiba. Namun, di kala kedua tangan ini mulai menghaluskan bahan-bahan untuk membuat sambal terasi, aku merasakan kedua tangan dengan jemari ramping yang sudah lama tak bertamu di hunian ini. Suara lembut yang dimiliki putri tercintaku juga turut terdengar. Lalu, aku yang sudah mencuci tangan menyambut serta memeluk dirinya. Di saat yang sama, aku melihat travel bag berwarna dusty pink, hadiah pernikahan yang sempat aku berikan padanya dua tahun lalu. "Kamu mau nginep, Din? kok bawa travel bag segala?" Aku memberanikan diri bertanya dengan sorot mata ragu. "Iya, aku akan tidur di sini untuk beberapa minggu ke depan, Ma." Dina menjawab sambil menganggukkan kepala. Rupanya, ia sedang tak baik-baik saja dengan suaminya, Reza. "Kamu kenapa? ada masalah sa
Tanpa terasa, sudah dua hari bagi Reza dan Dina tinggal terpisah. Dua orang yang tak saling berkomunikasi itu memiliki kondisi yang bertolak belakang. Dina yang kondisi emosinya sudah lebih stabil sibuk menjaga toko kue sambil mengerjakan pesanan cake custom yang mulai berdatangan secara terus-menerus. Sedangkan, Reza tak dapat bekerja dengan konsentrasi penuh. Hal itu disebabkan oleh tekanan dari Naffa dan pikirannya yang tertuju pada Dina, istrinya yang tak kunjung menjawab panggilan suara sejak satu hari lalu. Maka dari itu, Reza yang sudah kehabisan akal memerintahkan salah satu dari pegawainya untuk memesan sebuket bunga mawar di toko bunga, milik salah satu teman lamanya. Ia juga menyertakan isi kartu ucapan untuk disertakan pada buket bunga tersebut. Dalam hitungan kurang dari satu jam, pesanan bunga mawar itu tiba di toko kue Dina. "Permisi, Bu Dina. Ini ada kiriman bunga," ucap Afifah, salah satu pegawai di toko kue Dina yang melangkah dan meletakkan buket bunga di a
Dina Pov "Bu, Bu, coba lihat ini deh," Suara Afifah kembali terdengar saat aku baru saja selesai melakukan order makanan melalui aplikasi ojek online. "Lihat apa, Fi?" Aku melirik pada salah satu pegawaiku yang sekarang mendekat pada meja kerja dan menunjukkan ponselnya. Dari layar benda pipih yang dipegangnya itu, aku melihat berita dengan pengumuman rumor tentang pengusaha mall dan supermarket asal Surabaya, berinisial R, diprediksi telah menghamili wanita dengan inisial NS. Aku pun hanya menghela napas pelan dan sekilas melirik pada Afifah yang kembali berujar padaku. "Maaf, Bu. Saya lihat foto yang diblur begini, ingat fotonya Pak Reza yang pernah muncul di televisi beberapa waktu lalu." Afifah mengutarakan. "Ya, mungkin kebetulan aja, Fi. Pengusaha mall di Surabaya 'kan engga cuman Mas Reza," jelasku dengan senyum kecil terukir. Meski sebenarnya aku berujar begitu, aku yakin jika rumor yang menyebar itu memang tentang hubungan gelap Mas Reza dan Naffa. "Semoga bu
Reza pov "Permisi, Pak. Saya Rizal, wartawan dari Majalah Halo. Bisa minta waktunya sebentar?" Suara laki-laki muda terdengar dari ponsel milikku bersama dengan helaan napasku yang pelan. Aku yang masih duduk di balik meja kerja menatap dan mengangguk pelan. Lalu, Rizal mulai melayangkan pertanyaan pertamanya, "Apa benar jika Pak Reza memiliki hubungan khusus dengan sekretaris yang bernama Naffa Syailendra?" "Engga, itu sama sekali engga bener. Kamu tanya begitu karena banyak rumor itu ya?" Aku menegaskan dan memastikan jika wartawan muda di hadapanku ini memang sengaja mengulik tentang hal itu karena sedang panas diperbincangkan di stasiun televisi lokal. "Iya, Pak. Banyak yang berspekulasi seperti itu. Apalagi, foto yang diblur itu sangat mirip dengan salah satu foto bapak beberapa tahun lalu." Rizal mengangguk dan menanggapi ujaranku. Aku yang tahu betul dengan foto tersebut hanya menyunggingkan senyum kecil. Lalu, Rizal kembali menanyaiku tentang hubungan rumah tangga
Khandra pov Melihat wanita yang sejak lama aku kagumi membuat nostalgia di kala bangku kuliah menyambangi. Aku sebagai mahasiswa tingkat empat dari Fakultas Hukum secara tak sengaja mengenal sosok Dina, mahasiswi tingkat dua dari Fakultas Manajemen Bisnis. Di saat itu, aku memang hanya sebatas mengenal namanya. Aku tak begitu tahu kesukaan dan masalah-masalah yang melibatkan dirinya. Akan tetapi, aku selalu senang menatap sosoknya dari kejauhan. Apabila aku melihatnya dari dekat, aku juga tak segan untuk menyapa. Singkat cerita, aku yang terbiasa menatap dan mengaguminya dari kejauhan sesekali mengirimkan makanan ringan dengan menempelkannya di pintu loker miliknya. Tentu saja, saat itu, aku tak menyebutkan nama asliku secara jelas sebagai pengirim, mengingat aku tergolong sebagai salah satu mahasiswa senior dengan sikap pemalu. Namun dari sikap pemaluku ini, aku akhirnya menyadari satu hal. Hal itu berkaitan dengan hari dimana Dina memposting dirinya yang resmi dilamar ole
Di lain situasi, Reza dengan terpaksa pulang ke apartement Naffa. Memang ia sempat mengeluh dan marah pada sekretarisnya itu, tapi karena wanita tersebut masih mengancam bahwa dirinya akan memberikan klarifikasi terkait rumor yang beredar, ia mau tak mau menurut. "Besok Sabtu, kita jadi berkunjung ke rumah ortuku 'kan?" tanya Naffa sambil bergelayut manja di lengan Reza. Di saat yang sama, laki-laki yang sedang duduk bersantai di sofa merasa risih. "Jadi, Naf." Reza menjawab singkat tanpa melakukan kontak mata dengan selingkuhannya itu. "Terus, kita liburan ya di Tawang Mangu," sambung Naffa dengan senyuman lembut tersemat. Binar pada kedua matanya memancarkan kebahagiaan. Ia merasa senang dan menang atas permainan yang diciptakan oleh bosnya itu. "Tiga hari aja ya. Aku engga bisa lama-lama ninggalin kantor, dan kamu tahu 'kan kalau saham perusahaanku turun gara-gara kamu." Reza mencoba bernegosiasi dan menyalahkan. "Maaf, Rez, soal yang itu. Habisnya, kamu terus-meneru
Sesuai dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan, Reza dan Dina berjumpa di Praline Cafe, cafe yang terkenal dengan aneka roti, kue, dan racikan kopi original atau modern. Dina yang duduk berhadapan dengan Reza berulang kali menghindari kontak mata dengan suaminya. Di satu sisi, ia merasa gugup dengan apa yang akan diucapkan pada laki-laki yang hingga saat ini masih disayanginya meski merasa kecewa. "Din, kamu apa kabar? Engga ada yang sakit 'kan?" Reza membuka obrolan sambil berusaha meraih tangan istrinya. Namun, Dina yang memahami maksud dari suaminya itu segera menjauhkan tangan kanannya, memberi isyarat jika ia tak ingin disentuh oleh laki-laki yang membuat dirinya hancur dan merasa tak berarti. "Aku baik, Mas. Seperti yang kamu lihat sekarang," jawabnya dengan nada datar. Reza mengangguk dan kembali berujar, "Oh, bagus deh kalau gitu. Kamu juga makin manis setelah lama engga ketemu." Pujian itu tak membuat bibir merah Dina melengkung ke bawah, seperti di tahun lal
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha