Di lain situasi, Reza dengan terpaksa pulang ke apartement Naffa. Memang ia sempat mengeluh dan marah pada sekretarisnya itu, tapi karena wanita tersebut masih mengancam bahwa dirinya akan memberikan klarifikasi terkait rumor yang beredar, ia mau tak mau menurut. "Besok Sabtu, kita jadi berkunjung ke rumah ortuku 'kan?" tanya Naffa sambil bergelayut manja di lengan Reza. Di saat yang sama, laki-laki yang sedang duduk bersantai di sofa merasa risih. "Jadi, Naf." Reza menjawab singkat tanpa melakukan kontak mata dengan selingkuhannya itu. "Terus, kita liburan ya di Tawang Mangu," sambung Naffa dengan senyuman lembut tersemat. Binar pada kedua matanya memancarkan kebahagiaan. Ia merasa senang dan menang atas permainan yang diciptakan oleh bosnya itu. "Tiga hari aja ya. Aku engga bisa lama-lama ninggalin kantor, dan kamu tahu 'kan kalau saham perusahaanku turun gara-gara kamu." Reza mencoba bernegosiasi dan menyalahkan. "Maaf, Rez, soal yang itu. Habisnya, kamu terus-meneru
Sesuai dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan, Reza dan Dina berjumpa di Praline Cafe, cafe yang terkenal dengan aneka roti, kue, dan racikan kopi original atau modern. Dina yang duduk berhadapan dengan Reza berulang kali menghindari kontak mata dengan suaminya. Di satu sisi, ia merasa gugup dengan apa yang akan diucapkan pada laki-laki yang hingga saat ini masih disayanginya meski merasa kecewa. "Din, kamu apa kabar? Engga ada yang sakit 'kan?" Reza membuka obrolan sambil berusaha meraih tangan istrinya. Namun, Dina yang memahami maksud dari suaminya itu segera menjauhkan tangan kanannya, memberi isyarat jika ia tak ingin disentuh oleh laki-laki yang membuat dirinya hancur dan merasa tak berarti. "Aku baik, Mas. Seperti yang kamu lihat sekarang," jawabnya dengan nada datar. Reza mengangguk dan kembali berujar, "Oh, bagus deh kalau gitu. Kamu juga makin manis setelah lama engga ketemu." Pujian itu tak membuat bibir merah Dina melengkung ke bawah, seperti di tahun lal
Reza pov Setelah selesai membicarakan tentang perceraian dengan Dina, aku memutuskan untuk kembali ke kantor. Suasana hatiku yang didominasi dengan rasa kecewa tak mempengaruhi moodku untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda, untungnya. Namun, di kala diriku sedang memantau perkembangan saham perusahaan, aku menerima berita tak sedap yang disampaikan oleh salah satu pegawaiku. "Permisi, Pak. Ini ada dua surat dari perwakilan Allegra Company dan Harris Enterprise," ucapnya padaku. "Siapa yang antar ini?" tanyaku pada lelaki yang usianya di bawah tiga puluh tahun itu. "Sekretaris dan atasannya tadi sempat mencari Bapak, tapi saya bilang bapak sedang tak ada di tempat. Maka dari itu, mereka menitipkan surat ini pada saya." Pegawaiku menanggapi. Lalu, aku memberikan isyarat untuk dirinya agar berlalu dari hadapanku. Seiring dengan menghilangnya pegawaiku, aku mulai membaca surat yang dikirimkan oleh Allegra Company, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang minuman dan
Sehari setelahnya, berkas-berkas yang dikumpulkan oleh Reza dan Dina untuk mengurus surat cerai telah diproses. Reza yang sudah menandatangani surat cerai itu meminta pada salah satu dari orang suruhannya untuk mengirimkan surat tersebut pada alamat dari toko kue Dina. Di saat yang sama, Naffa yang tengah menggenggam dokumen penting untuk diserahkan pada Reza menguping dan mengulas senyum senang. Ia tahu bahwa surat perceraian di antara Reza dan Dina sudah resmi dikeluarkan. Saat orang suruhan dari Reza berlalu keluar dari ruangan, ia melirik pada amplop cokelat tersebut dan menemui bosnya dengan binar mata yang menyiratkan kegembiraan. "Akhirnya, kamu nurut juga sama aku, Rez," ucapnya dengan percaya diri. Reza pun menatap sinis dan menanggapi, "Kalau bukan karena anak di kandunganmu, aku juga males buat ceraikan Dina. Kamu dan dia sangat berbeda, Naf." "Tapi, faktanya, aku yang hamil anak kamu, Rez. Bukan dia," Naffa menanggapi dengan senyuman bangga tersemat. Sangat jelas
Sementara itu, Reza dan Naffa baru saja tiba di rumah sederhana yang berlokasi di jalan Raya Sidorejo, Kota Tulungagung. "TOK..TOK.." Naffa mengetuk pintu perlahan dan berucap, "Ibu? Bapak? Naffa pulang." Kurang dari hitungan menit, pintu berbahan kayu mahoni itu berderit dan terbuka. Bersama dengan hal itu, sosok wanita paruh baya dengan jilbab menutupi kepalanya muncul. Riasan tipis yang dikenakan pada parasnya tak membuat kerutan di kulitnya tampak. "Baru sampe toh? Wah, ada Nak Reza juga," Ibu Halimah selaku ibu dari Naffa berbasa-basi dan mempersilakan anak beserta calon menantunya masuk dan duduk di ruang tamu yang berukuran kecil namun nyaman. "Iya, Bu. Maaf kalau mengganggu," Reza turut bersuara sambil mengatupkan kedua tangannya. Air mukanya menyiratkan rasa ragu dan takut jika keberadaannya mengganggu rutinitas dari calon mertuanya itu. "Engga ganggu kok, Nak Reza. Naf, kamu buatin kopi sama siapin pisang goreng di piring ya buat Reza. Pisangnya baru aja ibu gore
Di lain hari, tepatnya di hari Sabtu, Dina yang tak menjaga toko memutuskan untuk mempersiapkan diri dengan semampunya. Hal itu disebabkan oleh Khandra yang dalam hitungan kurang dari satu jam akan tiba di rumahnya untuk menjemput. "Duh, tinggal dua puluh menit lagi nih." Dina mengenakan foundation dan bedak sambil menatap pantulan dirinya di cermin. "Sabar, Nak." Amelia menenangkan sambil menatap putri kesayangannya yang sedang bersiap-siap. "Iya, tapi 'kan aku engga enak sama Khandra," keluh Dina yang mulai memoleskan lip gloss pada bibir mungilnya. "Khandra? seniormu yang pernah main ke sini itu, Din?" Amelia bertanya sambil menatap putrinya dengan kedua mata terpicing. "Iya, dia.." Saat Dina akan menanggapi ucapan sang mama, perkataannya disela oleh suara klakson mobil, "TIN..TIINN!" "Itu kayanya udah dateng," ucap Amelia semabari menerawang keluar jendela. "Aku pergi dulu ya, Ma. Mama hati-hati di rumah," Dina berpamitan sambil mengemasi bedak dan lipstik ke d
Reza Pov Aku tahu jelas siapa Dina dan sifat-sifat yang dimilikinya. Terutama, tentang circle pergaulannya yang didominasi dengan kaum hawa berkarier mandiri. Akan tetapi, aku tak pernah menduga bila wanita yang kalem dan lembut ini juga bisa dekat dengan teman laki-laki yang sama sekali tak pernah aku ketahui. "Lihat deh, Rez. Dina kayanya nyaman banget sama cowok ini. Aku rasa mereka baru jadian," Naffa kembali bersuara. Ucapannya itu secara tak langsung membuat cemburu di hati ini membara. Aku belum bisa menerima kenyataan jika Dina dekat dengan laki-laki lain selain aku. "Apa memang aku mudah tergantikan dengan yang lain, Din? Bahkan, kita berdua belum sepenuhnya pisah dan bercerai, tapi kamu udah berani jalan sama cowok lain." Aku berujar dalam hati dengan sorot mata yang menyiratkan rasa kecewa. Aku yang masih fokus menatap dua potret dari laki-laki yang tak aku kenal menyadari bahwa Naffa mulai bersandar pada bahuku dan berkata, "Rez, kamu engga usah galau ya. Dia 'k
Setibanya di kamar hotel, Reza dan Naffa pun menikmati kudapan ringan yang baru saja mereka beli dari pinggir jalan. Dengan bertukar cerita, mereka menikmati sate ayam dan dua buah jagung bakar yang masih hangat tersaji di atas kotak karton yang cukup tebal. "Temanmu tadi kok sendirian?" tanya Reza sambil melahap dan mengunyah sate ayam perlahan. "Suaminya mager, Rez. Aku tahu jelas karena Astrini sama suaminya udah pacaran dari jaman kuliah, sekitar semester enam," jelas Naffa sambil membaluri sate ayam dengan bumbu kacang secara menyeluruh. "Lumayan lama ya pacarannya." Reza menanggapi dengan kedua alis terangkat ke atas. Ia cukup terkesima dengan hubungan pacaran lama yang akhirnya berujung di pelaminan dan rumah tangga yang awet. "Lho, kamu sama Dina dulu pacarannya engga lama, Rez?" Naffa tiba-tiba merasa penasaran dengan hubungan awal yang direnda oleh Reza dan Dina. Hal itu memang sejak awal ingin ia korek, namun ia tak begitu punya banyak waktu dengan bosnya tentan
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha