Dina Pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Mas Reza tiba di salah satu supermarket terkenal yang berlokasi di Kota Malang. Setelah mobil pajero milik suamiku terparkir dengan sempurna, aku langsung turun dengan membawa beberapa kantung belanja kain agar berapa pun belanjaan yang dibeli tak harus membayar kantung plastik yang harganya sama dengan harga untuk satu mobil yang terparkir di area parkiran. Di saat aku dan Mas Reza menginjakkan kaki masuk ke dalam supermarket, aku tak sengaja berpapasan dengan kawan lamaku saat masih berada di bangku kuliah yang bernama Lina. "Hei, Din!" sapa wanita dengan rambut bergelombang dan lesung pipi yang menghiasi wajahnya yang terlihat awet muda meski usianya sama denganku. "Lina, kamu apa kabar?" Aku menyapa dengan senyum merekah dan binar mata, memancarkan rasa senang karena sudah lama tak berjumpa dengan teman yang menurutku tergolong bijaksana dalam hal menjalin hubungan asmara meski masih betah melajang hingga kini. "Baik, D
Dina Pov Ujaran-ujaran yang terurai dari bibir suamiku itu membuat dugaan dan asumsi jelekku yang sebelumnya sirna dalam sekejap. Aku pun menepuk lengan Mas Reza pelan dan menanggapi, "Engga usah gombal kamu, Mas." "Lho, aku serius, sayang. Aku beneran mau luangin waktu buat kamu." Mas Reza berusaha meyakinkanku dengan ekspresi wajahnya yang terlihat lebih santai. "Ini juga sudah luangin waktu 'kan, Mas. Kamu bawa aku ke Malang dan belanja di supermarket." Aku memperjelas jika dirinya sudah menunaikan janjinya untuk meluangkan waktu meski belum sampai satu hari penuh. "Tapi, ini 'kan belum malam. Agenda kita masih banyak, Din," bantah Reza yang mulai memasuki mobil, dan aku menyusul dirinya dengan duduk di kursi penumpang bagian depan. "Memang, kita mau ke mana lagi, hm?" Aku kembali bertanya. "Ke cafe. Ngopi dan nyemil," ucap Mas Reza sambil memutar setirnya perlahan. Di saat itu juga, mobil yang kami tumpangi mulai melaju, keluar dari area parkiran dan melewati post pe
Reza Pov "BYURR!!" Suara air di kolam renang terdengar begitu aku menceburkan diri ke dalamnya. Setelah itu, aku mendekati Naffa yang saat ini sedang asyik berendam di tengah kolam dengan tipe VIP yang ada di apartemen milikku. Perlahan, aku mulai memeluk tubuh sintalnya yang terbalut pakain renang tanpa lengan dari belakang dan berbisik, "Kamu cantik banget hari ini." Naffa pun memegang kedua tanganku yang melingkar pada perut rampingnya dan menanggapi, "Berarti, kemarin dan hari-hari yang lalu, aku engga cantik ya, Rez?" "Engga." Aku menjawab dengan nada menggoda sambil menyandarkan kepala pada bahunya dan menatap wajahnya dari samping sambil tersenyum jahil. "Kalau gitu, lepas." Naffa mulai merasa kesal dan berusaha melepaskan kedua tanganku dari tubuhnya namun gagal karena aku semakin mengeratkan pelukan. Aku semakin melebarkan senyuman dan menggodanya, "Tapi, kamu sexy." Naffa yang semula ingin meloloskan diri dari pelukanku tersipu sambil menyunggingkan senyum.
Mendengar suara istrinya, Reza pun menoleh dengan sorot mata panik dan berujar dengan terbata, "Di-Dina?!" "Mas lagi ngapain sama Naffa? kok sampai pelukan kaya gitu?" Dina bertanya dengan sorot mata menyelidik. Reza yang sadar akan perbuatannya segera melepas pelukan dari tubuh ramping Naffa. Sedangkan, Naffa, merasa bahwa istri dari bosnya itu mungkin saja marah akibat salah paham. Maka dari itu, ia menjelaskan, "Kami engga ngapa-ngapain kok, Bu Dina. Cuman bercanda soal makanan yang baru datang dari ojek online." Dina yang merasa bahwa candaan di antara keduanya sudah tak wajar melangkah pelan, mengulas senyum tipis dan menanggapi dengan sinis, "Kalau memang hanya tentang makanan, apa perlu sampai pelukan sama suami orang kalau bercanda?" "Ma-Maaf, Bu Dina. Saya engga bermaksud.." Naffa yang meminta maaf dengan terbata dan tak berani melakukan kontak mata dengan Dina langsung disela oleh perkataan Reza. "Din, itu bukan salah Naffa, tapi aku yang reflek peluk dia tadi."
Di kala malam tiba, kesunyian menguasai rumah yang ditempati oleh Dina dan Reza secara brutal. Rumah dua tingkat yang biasanya diwarnai oleh cerita dan gurauan dari pasangan suami-istri itu berubah menjadi istana tanpa penghuni dalam sekejap, setelah sang empunya bersi tegang. Meski keduanya berpapasan dan bertemu di ruang makan, tak satu pun dari mereka memulai obrolan. Dina dengan rasa kecewa yang mendalam hanya bisa menatap suaminya yang kini sedang menikmati makan malam. Sedangkan, ia sendiri hanya bisa meneguk beberapa gelas air putih. Rasa kecewa dan marah yang ada di hatinya sukses membuat dirinya kehilangan nafsu makan. Dalam hati, ia berucap sambil menatap wajah suaminya dengan kesal, "Kalau kamu pikir hanya dengan kata maaf, masalah ini bisa selesai, kamu salah, Mas. Justru, mulai detik ini, semua hal yang kamu lakukan akan aku pantau!" Setelahnya, Dina bangkit dari posisi duduk, melangkah, dan menaiki tangga menuju lantai dua. Di saat itu juga, Reza menyadari bahwa
"CKLEK.." Suara dari pintu tengah dibuka oleh Dina yang baru saja tiba dari toko. Kala itu, ia mendapati seluruh ruangan di lantai satu kosong, tak ada keberadaan suaminya di sana. Sebelum wanita berkulit sawo matang itu melangkah naik ke lantai dua, ia memeriksa meja makan yang ditutup dengan tudung saji. Di saat itu juga, ia mendapati sekotak martabak manis dengan secah untukmu." Seperti itu lah isi pesan yang dituliskan oleh Reza pada kertas kecil yang digenggam oleh Dina. Sementara, Dina hanya menggenggam kertas tersebut dengan tatapan dingin. Sepertinya, rasa kesal dan marah pada suaminya masih setia menguasai hatinya.
Naffa Pov Sambil duduk di kursi tinggi dan menyesap mojito, aku merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Reza padaku. Kata-kata yang terngiang di kedua telingaku ifu kembali membuat perih di hati terasa. Aku dengan mood yang saat ini berantakan memilih untuk mampir ke bar yang berseberangan dengan apartemenku. Sebelumnya, aku juga memberitahukan salah satu temanku yang bekerja di sini yang bernama Naya. Sesekali, aku memeriksa pemberitahuan pesan yang dikirimkan olehnya. Terakhir kali, pesan itu menyatakan jika dirinya sedang terjebak macet di lampu merah, arah menuju jalan Dokter Soetomo. Sekitar lima belas menit kemudian, saat aku memesan makanan kecil pada salah satu waiter yang sedang berkeliling, wanita bertubuh tinggi dengan pakaian minim yang aku kenal melambaikan tangan padaku dan tersenyum. "Naf, tumbenan kamu ke sini?" Naya menghampiriku dan mulai berbasa-basi. "Moodku berantakan, Nay." Aku menjawab pertanyaan dari lawan bicaraku tanpa melakukan kontak mata sam
Reza Pov "TING!" Bunyi notifikasi elevator terdengar bersama dengan terbukanya pintu balok elektrik tempat diriku berdiri. Hal itu membuatku segera menapak keluar dan melangkah memasuki ruang kerjaku dengan senyuman dan harapan baru tentang masa depan, terutama hubunganku dengan Dina yang baru saja membaik. Saat aku memasuki ruangan dan mulai duduk di balik meja kerja, semuanya tampak normal. Aku yang memeriksa dokumen kerja sama antar investor merasa lebih berkonsentrasi dan bersemangat dalam mencermati setiap pasal yang tertulis. Namun, di kala aku mulai menyiapkan pena untuk menandatangani dokumen di tanganku, aku mendengar derak pintu ruanganku dibuka oleh wanita yang paling ingin aku hindari saat ini. "Rez, kita perlu bicara sekarang. Penting." Naffa membuka obrolan dengan ekspresi wajah tegang yang tersirat. "Bicara aja langsung. Engga perlu bertele-tele," pintaku tanpa melakukan kontak mata dengan wanita yang sebenarnya masih membuat diriku tertarik, namun demi kebai