Mendengar suara istrinya, Reza pun menoleh dengan sorot mata panik dan berujar dengan terbata, "Di-Dina?!" "Mas lagi ngapain sama Naffa? kok sampai pelukan kaya gitu?" Dina bertanya dengan sorot mata menyelidik. Reza yang sadar akan perbuatannya segera melepas pelukan dari tubuh ramping Naffa. Sedangkan, Naffa, merasa bahwa istri dari bosnya itu mungkin saja marah akibat salah paham. Maka dari itu, ia menjelaskan, "Kami engga ngapa-ngapain kok, Bu Dina. Cuman bercanda soal makanan yang baru datang dari ojek online." Dina yang merasa bahwa candaan di antara keduanya sudah tak wajar melangkah pelan, mengulas senyum tipis dan menanggapi dengan sinis, "Kalau memang hanya tentang makanan, apa perlu sampai pelukan sama suami orang kalau bercanda?" "Ma-Maaf, Bu Dina. Saya engga bermaksud.." Naffa yang meminta maaf dengan terbata dan tak berani melakukan kontak mata dengan Dina langsung disela oleh perkataan Reza. "Din, itu bukan salah Naffa, tapi aku yang reflek peluk dia tadi."
Di kala malam tiba, kesunyian menguasai rumah yang ditempati oleh Dina dan Reza secara brutal. Rumah dua tingkat yang biasanya diwarnai oleh cerita dan gurauan dari pasangan suami-istri itu berubah menjadi istana tanpa penghuni dalam sekejap, setelah sang empunya bersi tegang. Meski keduanya berpapasan dan bertemu di ruang makan, tak satu pun dari mereka memulai obrolan. Dina dengan rasa kecewa yang mendalam hanya bisa menatap suaminya yang kini sedang menikmati makan malam. Sedangkan, ia sendiri hanya bisa meneguk beberapa gelas air putih. Rasa kecewa dan marah yang ada di hatinya sukses membuat dirinya kehilangan nafsu makan. Dalam hati, ia berucap sambil menatap wajah suaminya dengan kesal, "Kalau kamu pikir hanya dengan kata maaf, masalah ini bisa selesai, kamu salah, Mas. Justru, mulai detik ini, semua hal yang kamu lakukan akan aku pantau!" Setelahnya, Dina bangkit dari posisi duduk, melangkah, dan menaiki tangga menuju lantai dua. Di saat itu juga, Reza menyadari bahwa
"CKLEK.." Suara dari pintu tengah dibuka oleh Dina yang baru saja tiba dari toko. Kala itu, ia mendapati seluruh ruangan di lantai satu kosong, tak ada keberadaan suaminya di sana. Sebelum wanita berkulit sawo matang itu melangkah naik ke lantai dua, ia memeriksa meja makan yang ditutup dengan tudung saji. Di saat itu juga, ia mendapati sekotak martabak manis dengan secah untukmu." Seperti itu lah isi pesan yang dituliskan oleh Reza pada kertas kecil yang digenggam oleh Dina. Sementara, Dina hanya menggenggam kertas tersebut dengan tatapan dingin. Sepertinya, rasa kesal dan marah pada suaminya masih setia menguasai hatinya.
Naffa Pov Sambil duduk di kursi tinggi dan menyesap mojito, aku merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Reza padaku. Kata-kata yang terngiang di kedua telingaku ifu kembali membuat perih di hati terasa. Aku dengan mood yang saat ini berantakan memilih untuk mampir ke bar yang berseberangan dengan apartemenku. Sebelumnya, aku juga memberitahukan salah satu temanku yang bekerja di sini yang bernama Naya. Sesekali, aku memeriksa pemberitahuan pesan yang dikirimkan olehnya. Terakhir kali, pesan itu menyatakan jika dirinya sedang terjebak macet di lampu merah, arah menuju jalan Dokter Soetomo. Sekitar lima belas menit kemudian, saat aku memesan makanan kecil pada salah satu waiter yang sedang berkeliling, wanita bertubuh tinggi dengan pakaian minim yang aku kenal melambaikan tangan padaku dan tersenyum. "Naf, tumbenan kamu ke sini?" Naya menghampiriku dan mulai berbasa-basi. "Moodku berantakan, Nay." Aku menjawab pertanyaan dari lawan bicaraku tanpa melakukan kontak mata sam
Reza Pov "TING!" Bunyi notifikasi elevator terdengar bersama dengan terbukanya pintu balok elektrik tempat diriku berdiri. Hal itu membuatku segera menapak keluar dan melangkah memasuki ruang kerjaku dengan senyuman dan harapan baru tentang masa depan, terutama hubunganku dengan Dina yang baru saja membaik. Saat aku memasuki ruangan dan mulai duduk di balik meja kerja, semuanya tampak normal. Aku yang memeriksa dokumen kerja sama antar investor merasa lebih berkonsentrasi dan bersemangat dalam mencermati setiap pasal yang tertulis. Namun, di kala aku mulai menyiapkan pena untuk menandatangani dokumen di tanganku, aku mendengar derak pintu ruanganku dibuka oleh wanita yang paling ingin aku hindari saat ini. "Rez, kita perlu bicara sekarang. Penting." Naffa membuka obrolan dengan ekspresi wajah tegang yang tersirat. "Bicara aja langsung. Engga perlu bertele-tele," pintaku tanpa melakukan kontak mata dengan wanita yang sebenarnya masih membuat diriku tertarik, namun demi kebai
"Din, kayanya aku nanti pulang agak malaman. Engga apa-apa 'kan?" Reza membuka obrolan begitu panggilan suara yang dilakukannya tersambung. "Kok dadakan? kamu masih berhubungan sama Naffa??" Dina mulai berani menanyakan hal yang semestinya hanya berada di pikirannya. "Maaf, Din. Ini ada urusan tentang SPT perusahaan. Aku udah pecat si Naffa kok. Kamu engga usah khawatir lagi ya?" Reza menjelaskan. "Oh, oke kalau gitu. Maaf ya, Mas, aku sempat curiga sama kamu." Dina yang semula terlihat tegang kini tampak lebih rileks setelah tahu bahwa suaminya itu sudah memecat sekretaris yang sudah mengancam suaminya untuk memberikan kejelasan tentang hubungan gelap yang terjadi. "Iya, Din. Engga masalah kok. Udah ya, aku mau cari makan nih, laper." Reza memungkas sambil merapikan kerah dan dasinya yang sedikit berantakan. "Oke, Mas. Met makan siang ya," pungkas Dina. Reza hanya menanggapi ujaran istrinya singkat. Lalu, ia memutus panggilan suara itu dan menatap Naffa dengan kesal
Reza Pov Saat sore menjelang malam tiba, aku yang sudah merapikan serta membersihkan meja kerja langsung melangkah keluar dari ruang kantor dengan membawa tas kerja kulit sapi, berwarna hitam, kesayanganku. Sebelum turun dengan elevator, aku memutuskan untuk memasuki toilet untuk memperbaiki penampilanku. Pertama, aku yang selalu membawa sabun cuci muka di tas membasuh wajah yang terlihat kusam dengan air mengalir. Dalam hitungan kurang dari empat menit, aku mencuci muka dengan sabun secara tepat. Kemudian, aku juga menyisir rapi rambutku yang seharusnya perlu untuk dipotong di salon. Setelah dirasa bahwa penampilanku sudah lebih rapi dan segar, aku melangkah keluar dari kamar mandi menuju elevator. Di saat itu juga, Naffa menyusul dan mengapit lengan kiriku dengan manja. "Aku kira kamu kabur dari janjimu, Rez," ucap Naffa dengan senyum manis yang menghiasi setelahnya. Aku yang merasa muak dengan wanita ini meraih dan menyingkirkan tangannya dari lenganku. Dengan mimik w
Satu bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli, hubungan Dina dan Reza kembali menghangat. Keduanya sudah tak begitu menaruh rasa curiga pada satu sama lain. Namun, Dina yang tampak tersenyum dan tenang masih saja mengumpulkan bukti-bukti mencurigakan yang tak disadari oleh Reza. Sementara, Reza yang sehari-hari sibuk dengan urusan bisnis dan proyek pembangunan supermarket di Negeri Jiran mau tak mau harus bertemu dan bepergian dengan Naffa hanya untuk kepentingan pekerjaan. Hal tersebut terjadi tepatnya di minggu kedua. Saat mereka sudah tiba di bandara, keduanya langsung dijemput oleh supir dari mitra bisnis Reza yang bernama Larry. "Tamunya Pak Larry ya?" tanya sang supir sambil memegang banner bertuliskan nama 'Reza from Surabaya'. "Iya, Pak." Reza berujar dengan senyum ramah. Lalu, supir tersebut memberikan sinyal pada Reza dan juga Naffa untuk mengikuti dirinya yang melangkah terlebih dahulu. Di saat keduanya sedang melangkah berdampingan, Naffa dengan sengaja menyampir
Dua tahun kemudian, tepatnya di bulan Februari 2026, Reza bersama dengan Naffa dan juga Armand sedang berakhir pekan di salah satu restoran di Malang yang cukup terkenal. Sembari duduk di meja VIP, Armand dengan tubuh mungilnya duduk seraya tersenyum senang saat melihat makanan penutup yang dipesan oleh sang mama datang. "Senang ya? es krimnya banyak," ucap Reza sambil mencolek hidung mungil milik putranya itu. Armand yang ditanya seperti itu oleh sang papa hanya bergumam dan menorehkan senyum riang. Di saat yang sama, Naffa berujar, "Dikasih dikit aja, Rez. Dia tadi 'kan udah minum susu. Takutnya kekenyangan." "Iya, engga apa-apa, Naf. Yang penting, Armand coba," ucap Reza dengan senyum lembut sembari mengusap punggung tangan Naffa perlahan. Lalu, sesuai dengan yang sudah dikatakannya, Naffa mengambil sendok kecil khusus bayi dan mulai menyendok sedikit es krim dengan rasa vanilla, serta menyuapkannya pada Armand. "Gimana? enak?" Reza mengusap lembut kepala Armand semba
Beberapa bulan kemudian, Reza masih disibukkan dengan pekerjaan dan kegiatan merawat Naffa yang masih koma serta Armand yang masih kecil. Meski Sus Hani mendampingi putranya di kala ia masih berada di kantor atau di luar rumah, Reza sebagai seorang papa tak dapat tinggal diam dan langsung bersantai saat ia baru saja pulang dari kantor. Saat ia telah selesai membersihkan diri, ia harus bergantian dengan Sus Hani untuk menemani Armand minum susu dan bermain. Bahkan, di kala makanan khusus bayi telah selesai dikelola oleh baby sitter berpengalaman itu, ia harus menyuapi Armand dengan hati-hati dan tak terburu-buru. Di tengah kegiatan menyuapi putranya itu, ponselnya bergetar. Sejenak, ia menjeda aktifitas tersebut dan menjawab
Akibat merasa iri pada nasib sang mantan istri, Reza pun memutuskan untuk menginap di apartemen milik Marni. Meski ia tahu bahwa putranya masih berada di rumah kedua orang tuanya, ia tak begitu mempermasalahkannya. Memang ia mengkhawatirkan kondisi Naffa dan putranya, namun untuk malam itu, ia tak dapat membiarkan egonya sebagai laki-laki terluka begitu saja. Dengan nafsu yang membara dalam dirinya, ia melampiaskan rasa kesalnya itu dengan bercumbu dan bercinta dengan Marni, untuk kesekian kalinya. Setelah pergumulan terlarang itu usai, Reza yang seharusnya memadu kasih di sisi Marni malah mengenakan pakaiannya kembali dengan air muka datar. Marni yang masih mengenakan selimut pun bertanya dengan air muka keheranan, "Mas, bukannya mas mau tidur di sini?" "Sebentar aja, Mar. Aku engga bisa lama-lama. Naffa lagi koma di rumah sakit. Maaf ya," jelas Reza yang baru saja mengenakan celana kain dan sabuk secara berurutan. Di saat yang sama, Marni merasa tak dihargai oleh bos seka
Di situasi lain, yang lebih membahagiakan, Dina dan Khandra sedang berada di Bandara Internasional Juanda. Dengan tiga travel bag yang mereka bawa, mereka sedang mengantri untuk check-in tiket pesawat, jurusan Surabaya-Thailand. "Selanjutnya," ucap pramugari yang mengurus bagian check-in di counter dengan senyum ramah tersemat. Khandra dan Dina pun menghampiri counter dan mulai menunjukkan bukti pemesanan tiket pesawat pada pramugari yang bertugas. Lalu, beberapa menit kemudian pramugari tersebut meminta Khandra dan Dina untuk menaikkan koper yang ingin diletakkan pada bagasi yang tersedia. "Ini boarding passnya. Bisa ditunggu di pintu keberangkatan yang tertera ya," ucap
Halimah pov Seakan disambar petir di malam hari, aku yang mendengar informasi dari dokter pun menitikkan air mata. Aku selaku ibu kandung dari Naffa merasa terpukul dan tak terima. Penyebab utama yang paling jelas terlihat saat ini adalah menantuku sendiri, Reza. Begitu dokter yang mengoperasi putriku berlalu, aku dengan emosi yang memuncak di kepala mendorong Reza pelan dan menegur, "Puas kamu sekarang, hah?! Reza pun terdiam dan tak berani beradu pandang denganku. Lalu, aku kembali bersuara dengan air mata berlinang, "Gara-gara kamu, anak saya engga sadarkan diri! Puas?! Memang kamu, laki-laki yang engga tahu diuntung!!" Bersama dengan ucapanku yanf mengiris hati itu, aku pun hendak melayangkan tamparan berikut pada wajahnya karena merasa geram. Namun, sebelum telapak tanganku mendarat tepat di wajah Reza, suamiku menahan dan berujar, "Bu, udah. Jangan bertengkar di sini. Malu karena didengar orang-orang." Aku yang kembali mendengar peringatan itu menepis pegangan tangan
Sementara itu, di rumah Reza, Naffa yang tengah sibuk memotong-motong sayuran mendadak merasakan sakit pada bagian pinggang. "Awh," erangnya sembari memejamkan kedua mata dan memegangi pinggang bagian belakang. Di beberapa menit awal, rasa sakit itu masih bisa ditahan oleh Naffa. Namun, di sekian menit berikutnya, rasa sakit itu menajam dan tak lagi bisa ditahannya. Hal tersebut membuatnya sedikit panik dan menjeda kegiatannya seraya duduk di kursi. "Sshh, sepertinya, a-aku harus.." Naffa yang hendak menghubungi Reza mengalihkan pandangan pada sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini.
Marni pov Sekitar pukul 18.40, aku dan Mas Reza tiba di unit apartement yang aku tempati. Saat pintu telah selesai dibuka, aku dan Mas Reza masuk ke dalam dan memutuskan untuk duduk di sofa, bersampingan. "Mar." Mas Reza memanggil seraya menatapku dari samping. "Hmm?" Aku berdeham tanpa menatap wajah Mas Reza secara langsung. "Kalau Mas punya perasaan sama kamu, kamu gimana?" Mas Reza mendadak melemparkan pertanyaan yang membuatku melebarkan kedua mata.
Sementara itu, Reza yang baru saja selesai menerima surat dan contoh bahan produksi, tak sengaja berpapasan dengan Marni yang sedang mengobrol dengan beberapa office boy lain di dekat tempat peralatan kebersihan. Melihat Marni bersenda-gurau dan tertawa lepas dengan teman-teman satu pekerjaannya, Reza mengerutkan kening dengan sorot mata heran. Menurutnya, ia tak pernah membayangkan jika mantan ARTnya itu adalah tipikal gadis yang senang bergaul, mengingat Marni lebih sering ada di rumah dan tak begitu membaur dengan ART lain yang tinggal bersama tetangga sebelah. "Jadi, ini sifat aslinya si Marni? Kelihatannya pendiam, aslinya social butterfly, dan entah kenapa aku merasa dia agak genit ke cowok lain. Lebih engga masuk akal lagi, aku yang sudah beristri, merasa terganggu kalo lihat dia
Dua hari, setelah resmi menyandang status suami-istri, Dina dan Khandra menjalani aktifitas masing-masing, sesuai dengan peran yang digeluti. Namun, sebelumnya, mereka menikmati sarapan pagi yang dimasak oleh Dina dan salah satu ART di rumah baru Khandra, Bi Jah. "Nanti siang, kamu ada acara, Din?" tanya Khandra sembari menambahkan lauk di atas piringnya. "Engga kayanya. Belakangan toko agak sepi, Khan." Dina menanggapi sambil memotong daging di piringnya perlahan. "Aku jemput ya kalo gitu." Khandra menyatakan niatnya meski belum menyebutkan tujuan secara jelas.