Reza Pov "TING!" Bunyi notifikasi elevator terdengar bersama dengan terbukanya pintu balok elektrik tempat diriku berdiri. Hal itu membuatku segera menapak keluar dan melangkah memasuki ruang kerjaku dengan senyuman dan harapan baru tentang masa depan, terutama hubunganku dengan Dina yang baru saja membaik. Saat aku memasuki ruangan dan mulai duduk di balik meja kerja, semuanya tampak normal. Aku yang memeriksa dokumen kerja sama antar investor merasa lebih berkonsentrasi dan bersemangat dalam mencermati setiap pasal yang tertulis. Namun, di kala aku mulai menyiapkan pena untuk menandatangani dokumen di tanganku, aku mendengar derak pintu ruanganku dibuka oleh wanita yang paling ingin aku hindari saat ini. "Rez, kita perlu bicara sekarang. Penting." Naffa membuka obrolan dengan ekspresi wajah tegang yang tersirat. "Bicara aja langsung. Engga perlu bertele-tele," pintaku tanpa melakukan kontak mata dengan wanita yang sebenarnya masih membuat diriku tertarik, namun demi kebai
"Din, kayanya aku nanti pulang agak malaman. Engga apa-apa 'kan?" Reza membuka obrolan begitu panggilan suara yang dilakukannya tersambung. "Kok dadakan? kamu masih berhubungan sama Naffa??" Dina mulai berani menanyakan hal yang semestinya hanya berada di pikirannya. "Maaf, Din. Ini ada urusan tentang SPT perusahaan. Aku udah pecat si Naffa kok. Kamu engga usah khawatir lagi ya?" Reza menjelaskan. "Oh, oke kalau gitu. Maaf ya, Mas, aku sempat curiga sama kamu." Dina yang semula terlihat tegang kini tampak lebih rileks setelah tahu bahwa suaminya itu sudah memecat sekretaris yang sudah mengancam suaminya untuk memberikan kejelasan tentang hubungan gelap yang terjadi. "Iya, Din. Engga masalah kok. Udah ya, aku mau cari makan nih, laper." Reza memungkas sambil merapikan kerah dan dasinya yang sedikit berantakan. "Oke, Mas. Met makan siang ya," pungkas Dina. Reza hanya menanggapi ujaran istrinya singkat. Lalu, ia memutus panggilan suara itu dan menatap Naffa dengan kesal
Reza Pov Saat sore menjelang malam tiba, aku yang sudah merapikan serta membersihkan meja kerja langsung melangkah keluar dari ruang kantor dengan membawa tas kerja kulit sapi, berwarna hitam, kesayanganku. Sebelum turun dengan elevator, aku memutuskan untuk memasuki toilet untuk memperbaiki penampilanku. Pertama, aku yang selalu membawa sabun cuci muka di tas membasuh wajah yang terlihat kusam dengan air mengalir. Dalam hitungan kurang dari empat menit, aku mencuci muka dengan sabun secara tepat. Kemudian, aku juga menyisir rapi rambutku yang seharusnya perlu untuk dipotong di salon. Setelah dirasa bahwa penampilanku sudah lebih rapi dan segar, aku melangkah keluar dari kamar mandi menuju elevator. Di saat itu juga, Naffa menyusul dan mengapit lengan kiriku dengan manja. "Aku kira kamu kabur dari janjimu, Rez," ucap Naffa dengan senyum manis yang menghiasi setelahnya. Aku yang merasa muak dengan wanita ini meraih dan menyingkirkan tangannya dari lenganku. Dengan mimik w
Satu bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli, hubungan Dina dan Reza kembali menghangat. Keduanya sudah tak begitu menaruh rasa curiga pada satu sama lain. Namun, Dina yang tampak tersenyum dan tenang masih saja mengumpulkan bukti-bukti mencurigakan yang tak disadari oleh Reza. Sementara, Reza yang sehari-hari sibuk dengan urusan bisnis dan proyek pembangunan supermarket di Negeri Jiran mau tak mau harus bertemu dan bepergian dengan Naffa hanya untuk kepentingan pekerjaan. Hal tersebut terjadi tepatnya di minggu kedua. Saat mereka sudah tiba di bandara, keduanya langsung dijemput oleh supir dari mitra bisnis Reza yang bernama Larry. "Tamunya Pak Larry ya?" tanya sang supir sambil memegang banner bertuliskan nama 'Reza from Surabaya'. "Iya, Pak." Reza berujar dengan senyum ramah. Lalu, supir tersebut memberikan sinyal pada Reza dan juga Naffa untuk mengikuti dirinya yang melangkah terlebih dahulu. Di saat keduanya sedang melangkah berdampingan, Naffa dengan sengaja menyampir
Di malam harinya, setelah Naffa dan Reza menyudahi pertemuan dengan koordinator pembangunan supermarket, keduanya memutuskan untuk kembali ke hotel, mengingat rasa lelah telah menguasai tubuh masing-masing. Namun, sebelum keduanya terpisah, Naffa sempat merasakan pusing dan nyaris limbung. Kala itu, Reza yang menyadarinya langsung memapah sekretarisnya itu hingga tiba di kamar. "Ra-sanya pu-sing," gumam Naffa terpatah-patah sambil duduk di sofa dan memijat pelipisnya pelan. "Sebentar," ujar Reza yang mulai meraih kotak obat milik Naffa. Baik tangan dan juga kedua manik matanya sibuk mencari keberadaan obat sakit kepala yang berada dalam plastik khusus, tapi tak kunjung terlihat. "HUW-HUMPH.." Di saat yang sama, Naffa merasa bahwa perutnya merasa kurang nyaman. Mendengar suara tersebut, Reza pun langsung membawa Naffa menuju kamar mandi yang berada di sisi kiri kasur berukuran queen size. Di ruangan berukuran sedang dan lebar, wanita bersurai cokelat gelap itu memuntahkan s
Reza Pov "Eng-engga kok, Naf," Aku menanggapi dengan sedikit tergagap. Alasannya, bukan karena Naffa terlihat cantik atau manis, melainkan sekretarisku ini semakin berani menampakkan lekukan tubuhnya lewat kimono hijau tua berbahan satin yang terkesan elegan serta seksi secara bersamaan. Secara teknis, aku sudah berulang kali melihat tubuhnya secara utuh saat bercinta. Akan tetapi, entah kenapa, aku selalu merasa tergoda bilamana wanita ini mengenakan pakaian yang menonjolkan buah dada atau bagian pahanya yang mulus bak super model kelas dunia. "Kok gagap gitu? kenapa, Rez?" Naffa menatapku dengan kedua mata terpicing. Bersamaan dengan tatapannya itu, Naffa merapikan kimononya yang tersingkap dan menampakkan gundukan dadanya yang semakin besar menurutku. Dalam sekejap, mimik wajah keheranan itu berganti menjadi senyuman nakal dan tatapan menggoda padaku. "Oh, kamu gugup gara-gara bajuku ya, Rez?" tanyanya dengan suara serak yang menggoda. Aku pun meletakkan ponsel dan ba
Di hari berikutnya, ketika Reza sudah tak ada di kamarnya, Naffa yang baru selesai membersihkan diri segera mengenakan kaos crop top berkerah dengan warna cream dan celana cargo berwarna cokelat tua. Kemudian, ia juga memoleskan sedikit make up pada wajahnya yang masih terlihat sedikit pucat. Sebagai sentuhan akhir dari polesan bedak dan blush on di wajahnya, Naffa menambahkan lipstik berwarna peach pada bibir penuhnya agar terlihat lebih segar dan lembab. Usai membawa uang secukupnya pada dompet kecil, ia berlalu keluar dari kamar hotel. Memasuki elevator dan tertutupi dengan pelanggan-pelanggan hotel yang lain, Naffa sesekali memeriksa notifikasi chat di ponselnya. Sepertinya, ia khawatir jika Reza secara tiba-tiba menghubungi dan membutuhkan bantuannya. "Yang jelas, sebelum meeting itu selesai, aku harus udah ada di kamar, jadi Reza engga introgasi atau kebanyakan tanya ke aku," Naffa mengingatkan dirinya untuk lebih mawas diri dan lolos dari investigasi atasannya itu.
Reza pov Kata-kata yang meluncur dari bibir Naffa terasa seperti sambaran petir di tengah teriknya mentari pagi. Aku memang berencana untuk memiliki keturunan, tapi bukan dengan Naffa, melainkan dengan istri sahku, Dina. "Apa? Kamu hamil?!" Aku menekan nada bicaraku sambil memastikan jika aku tak salah mendengar. "Iya, Rez. Aku hamil anak kamu." Naffa mengangguk tanpa melepaskan tatapannya padaku. Sorot mata hitamnya menyiratkan kejujuran yang membuatku seolah sedang bermimpi. Aku pun meletakkan sendok plastik di dalam kotak nasi yang sudah kosong dan menggeleng pelan. "Engga. Kamu bercanda 'kan, Naf?? Kamu engga mungkin hamil sama aku," ujarku dengan tatapan tak yakin. "Tapi, memang aku hamil, Rez. Ini buktinya," Naffa masih kukuh dengan perkataannya sambil menyerahkan test pack yang menampilkan dua garis merah secara jelas. "DEG..DEG.." Degup jantungku berdetak lebih cepat saat melihat dua garis merah pada alat kontrasepsi yang diberikan oleh Naffa. Bersama dengan d
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha