Reza pov Kata-kata yang meluncur dari bibir Naffa terasa seperti sambaran petir di tengah teriknya mentari pagi. Aku memang berencana untuk memiliki keturunan, tapi bukan dengan Naffa, melainkan dengan istri sahku, Dina. "Apa? Kamu hamil?!" Aku menekan nada bicaraku sambil memastikan jika aku tak salah mendengar. "Iya, Rez. Aku hamil anak kamu." Naffa mengangguk tanpa melepaskan tatapannya padaku. Sorot mata hitamnya menyiratkan kejujuran yang membuatku seolah sedang bermimpi. Aku pun meletakkan sendok plastik di dalam kotak nasi yang sudah kosong dan menggeleng pelan. "Engga. Kamu bercanda 'kan, Naf?? Kamu engga mungkin hamil sama aku," ujarku dengan tatapan tak yakin. "Tapi, memang aku hamil, Rez. Ini buktinya," Naffa masih kukuh dengan perkataannya sambil menyerahkan test pack yang menampilkan dua garis merah secara jelas. "DEG..DEG.." Degup jantungku berdetak lebih cepat saat melihat dua garis merah pada alat kontrasepsi yang diberikan oleh Naffa. Bersama dengan d
Dina pov Di malam harinya, tepat di pukul 12.00, aku yang belum cukup lelah tak dapat memejamkan mata dan terlelap. Seketika itu juga, aku teringat untuk memeriksa ponsel milik suamiku untuk mengetahui apa saja yang dilakukannya selama mengawasi pembangunan supermarket di Malaysia. Dengan gerak-gerik pelan, aku meraih benda pipih itu dari nakas sebelah kiri. Hal pertama yang aku lakukan adalah mengatur ponsel milik Mas Reza dengan mode diam. Hal ini aku lakukan agar pemeriksaan chat pada aplikasi messaging miliknya bisa lebih leluasa, terutama bila ada telepon atau chat masuk, nada deringnya tak menyebabkan suara bising. Kemudian, aku mulai beraksi dengan memasukkan pin pada ponsel suamiku yang terdiri atas tanggal ulang tahunku. Dalam beberapa detik, ponsel buatan Negeri Tirai Bambu ini menampakkan tampilan desktop pulau tropis dengan pantai yang menyejukkan mata. Lalu, aku langsung memasuki menu dengan sejumlah halaman yang menampilkan beberapa aplikasi, termasuk aplikasi
Reza pov "Rez, kita mau ke mana? kok dari tadi aku tanya, kami engga jawab?" Suara Naffa kembali terdengar bersama dengan deretan pertanyaan terlontar. Hal itu membuatku terpaksa menanggapinya tanpa menatap karena aku sedang fokus melajukan mobil di jalan raya yang kondisinya terbilang padat tapi lancar. "Ke rumah sakit." Aku menjawab singkat. "Buat apa, Rez?! aku memang beneran hamil anak kamu. Aku engga bohong," tandas Naffa dengan nada yang sedikit tinggi. Tentu, hal itu membuatku semakin gemas. Ingin rasanya aku mengumpat, tapi hal tersebut aku tahan terkait dengan reputasiku sebagai pengusaha muda dan sukses di bawah umur 40 tahun. "Iya, aku tahu, tapi sekalian juga ngecek usia janinnya udah berapa minggu," sambungku dengan air muka kusut sambil menekan tombol klakson pelan. "Oh, aku pikir kamu engga percaya." Naffa yang semula meninggikan nada bicaranya perlahan merendahkan intonasi suaranya dan meraih tangan kiriku pelan. Kemudian, ia kembali bersuara, "Kamu uda
Dina pov Ucapan dari kedua temanku ini seketika membuat aku merenungkan tentang hubunganku dan Mas Reza yang masih dikungkung masalah. Dalam hitungan menit, beragam memori yang aku lalui bersama suamiku terlintas di kepala, menunjukkan bila memang sejak dua tahun pernikahan suamiku terlihat manis dan menyenangkan saat di depanku. Hingga, saat memori dimana aku melihat chat di antara suamiku dan sekretaris yang belum dipecatnya itu, aku mulai meneliti satu hal yang mungkin menyebabkan Mas Reza masih saja menanggapi chat dari wanita tak tahu diri itu. Lalu, aku kembali mendengar suara Lina, "Din? Kamu kok diem?" Aku pun tersadar dan menanggapi, "Ah, aku kayanya memang harus make over. Mungkin potong rambut atau perawatan wajah." Ucapanku itu ditanggapi dengan dua ibu jari oleh Anggika. "Nah, gitu dong. Yang namanya ibu rumah tangga, memang harus merawat diri juga di sela sibuknya urus rumah sama suami," tambahnya dengan senyum merekah yang mengandung semangat, membuat rasa pesi
Dina pov Pertanyaan yang dilontarkan oleh Anggika sekejap membuatku teringat pada kakak kelasku saat masih berada di fase putih abu-abu. Namun, aku yang tak ingin berurusan dengan pengemudi lain karena menabrak secara tak sengaja memutuskan untuk tak memikirkan tentang laki-laki yang pernah aku kenal sebelum aku bertemu dengan Mas Reza. "Ya, siapa dulu? Masa main kenal gitu aja." Aku melempar pertanyaan pada Anggika dengan kening berkerut, seolah memang tak terpikir untuk membayangkan jika ada seseorang yang jauh lebih baik dari Mas Reza ke depannya. Anggika menatapku dan mengulum senyum kecil. Hal itu aku sadari melalui ekor mataku secara tak langsung. "Ya, siapa aja yang berusaha buat deketin kamu, Din. Mungkin aja, orang yang pernah kamu kenal dulunya," imbuhnya. Aku yang mendengar tanggapan itu hanya bisa menatap datar. Lalu, aku menanggapi, "Tapi, engga semudah itu dalam hal menilai orang baru itu bisa menghargai aku atau engga. Perlu waktu dan banyak kesempatan supaya
Di beberapa hari lain, Dina dan Reza menjalankan kegiatan masing-masing, seperti biasa. Reza sibuk dengan investasi dan pembangunan proyek berskala minor, sedangkan Dina sedang fokus membuat pesanan cake custom, sesuai antrian. Akan tetapi, Naffa dengan hati yang hancur tak bisa fokus dengan pekerjaannya di kantor. Ia berulang kali nyaris salah mengetikkan kata-kata saat akan membalas email. Pikirannya terus tertuju pada Reza dan tentang dirinya yang nanti malam akan menemui Dina. Sebelumnya, ia sudah membuat janji dengan istri sah dari bosnya itu dengan alasan bahwa ia ingin membicarakan hal penting terkait Reza. Selain itu, ia juga berencana untuk mengungkap tentang dirinya yang sedang berbadan dua. "Kalau Reza memang engga mau tanggung jawab dengan janjinya, biar aku yang membuat dirinya menderita atas perbuatannya sendiri," Naffa berucap dalam hatinya, mengukuhkan tekad. Ia tak akan membuat bosnya itu lepas dari masalah begitu saja. Setelahnya, Naffa kembali merapikan ars
Dina pov Semua bukti yang diserahkan oleh Naffa padaku membuat rasa terkejutku muncul dalam sekejap. Terutama, saat aku sedang membaca pernyataan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa wanita di hadapanku ini sedang berbadan dua, hasil hubungan gelapnya dengan suamiku. Fakta lain yang meluncur dari bibir Naffa juga tak kalah menegangkan, terkait kehamilannya yang membuat Mas Reza meminta untuk menggugurkan kandungan demi menghindari tanggung jawab. Aku tak pernah menyangka jika laki-laki yang memiliki tempat spesial di lubuk hati ini adalah sosok yang tak berperasaan. "Jika memang tak dapat menyelesaikan masalah, kenapa kamu berbuat hingga sefatal ini, Mas Reza? Apa bagimu anak yang dikandung oleh Naffa tak ada artinya?? Argh! aku sungguh tak dapat mentolerir perbuatan suamiku yang keterlaluan ini!" Aku mengeluh dalam hati setelah mendengar kata-kata Naffa tentang Mas Reza yang menolak untuk menikahinya. Sekitar satu jam berlalu, aku pun melajukan mobil dengan kedua netra y
Reza Pov Tak aku sangka bahwa istriku yang sabar memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya di tengah masalah yang runyam ini. Ternyata, di balik sosoknya yang tak banyak bicara, Dina tergolong sebagai wanita yang sulit ditebak. Memang, selama dua tahun menikah, dia selalu terlihat sabar dan pengertian, terutama terhadap diriku yang terkadang tak dapat menemaninya saat berakhir pekan. Selain itu, dia juga tak menuntut banyak hal dariku, selain menjaga perasaan dan memahami satu sama lain. Hal yang paling membuatku menyesal adalah pikiranku yang cukup impulsif. Aku yang semula menjalani hubungan gelap Naffa malah tak dapat berkutik di tangan sekretarisku sendiri. Semua bukti tentang perselingkuhanku dengannya, secara tersembunyi, disimpan oleh Naffa. Seiring dengan kepergian dari hadapanku dan rumah ini, aku hanya bisa tercenung. Banyak hal yang berlarian dalam pikiranku. Sederet asumsi dan solusi menghampiri, namun tak satu pun dapat mengusir rasa panik sekaligus gelisah yang