Reza pov "Rez, kita mau ke mana? kok dari tadi aku tanya, kami engga jawab?" Suara Naffa kembali terdengar bersama dengan deretan pertanyaan terlontar. Hal itu membuatku terpaksa menanggapinya tanpa menatap karena aku sedang fokus melajukan mobil di jalan raya yang kondisinya terbilang padat tapi lancar. "Ke rumah sakit." Aku menjawab singkat. "Buat apa, Rez?! aku memang beneran hamil anak kamu. Aku engga bohong," tandas Naffa dengan nada yang sedikit tinggi. Tentu, hal itu membuatku semakin gemas. Ingin rasanya aku mengumpat, tapi hal tersebut aku tahan terkait dengan reputasiku sebagai pengusaha muda dan sukses di bawah umur 40 tahun. "Iya, aku tahu, tapi sekalian juga ngecek usia janinnya udah berapa minggu," sambungku dengan air muka kusut sambil menekan tombol klakson pelan. "Oh, aku pikir kamu engga percaya." Naffa yang semula meninggikan nada bicaranya perlahan merendahkan intonasi suaranya dan meraih tangan kiriku pelan. Kemudian, ia kembali bersuara, "Kamu uda
Dina pov Ucapan dari kedua temanku ini seketika membuat aku merenungkan tentang hubunganku dan Mas Reza yang masih dikungkung masalah. Dalam hitungan menit, beragam memori yang aku lalui bersama suamiku terlintas di kepala, menunjukkan bila memang sejak dua tahun pernikahan suamiku terlihat manis dan menyenangkan saat di depanku. Hingga, saat memori dimana aku melihat chat di antara suamiku dan sekretaris yang belum dipecatnya itu, aku mulai meneliti satu hal yang mungkin menyebabkan Mas Reza masih saja menanggapi chat dari wanita tak tahu diri itu. Lalu, aku kembali mendengar suara Lina, "Din? Kamu kok diem?" Aku pun tersadar dan menanggapi, "Ah, aku kayanya memang harus make over. Mungkin potong rambut atau perawatan wajah." Ucapanku itu ditanggapi dengan dua ibu jari oleh Anggika. "Nah, gitu dong. Yang namanya ibu rumah tangga, memang harus merawat diri juga di sela sibuknya urus rumah sama suami," tambahnya dengan senyum merekah yang mengandung semangat, membuat rasa pesi
Dina pov Pertanyaan yang dilontarkan oleh Anggika sekejap membuatku teringat pada kakak kelasku saat masih berada di fase putih abu-abu. Namun, aku yang tak ingin berurusan dengan pengemudi lain karena menabrak secara tak sengaja memutuskan untuk tak memikirkan tentang laki-laki yang pernah aku kenal sebelum aku bertemu dengan Mas Reza. "Ya, siapa dulu? Masa main kenal gitu aja." Aku melempar pertanyaan pada Anggika dengan kening berkerut, seolah memang tak terpikir untuk membayangkan jika ada seseorang yang jauh lebih baik dari Mas Reza ke depannya. Anggika menatapku dan mengulum senyum kecil. Hal itu aku sadari melalui ekor mataku secara tak langsung. "Ya, siapa aja yang berusaha buat deketin kamu, Din. Mungkin aja, orang yang pernah kamu kenal dulunya," imbuhnya. Aku yang mendengar tanggapan itu hanya bisa menatap datar. Lalu, aku menanggapi, "Tapi, engga semudah itu dalam hal menilai orang baru itu bisa menghargai aku atau engga. Perlu waktu dan banyak kesempatan supaya
Di beberapa hari lain, Dina dan Reza menjalankan kegiatan masing-masing, seperti biasa. Reza sibuk dengan investasi dan pembangunan proyek berskala minor, sedangkan Dina sedang fokus membuat pesanan cake custom, sesuai antrian. Akan tetapi, Naffa dengan hati yang hancur tak bisa fokus dengan pekerjaannya di kantor. Ia berulang kali nyaris salah mengetikkan kata-kata saat akan membalas email. Pikirannya terus tertuju pada Reza dan tentang dirinya yang nanti malam akan menemui Dina. Sebelumnya, ia sudah membuat janji dengan istri sah dari bosnya itu dengan alasan bahwa ia ingin membicarakan hal penting terkait Reza. Selain itu, ia juga berencana untuk mengungkap tentang dirinya yang sedang berbadan dua. "Kalau Reza memang engga mau tanggung jawab dengan janjinya, biar aku yang membuat dirinya menderita atas perbuatannya sendiri," Naffa berucap dalam hatinya, mengukuhkan tekad. Ia tak akan membuat bosnya itu lepas dari masalah begitu saja. Setelahnya, Naffa kembali merapikan ars
Dina pov Semua bukti yang diserahkan oleh Naffa padaku membuat rasa terkejutku muncul dalam sekejap. Terutama, saat aku sedang membaca pernyataan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa wanita di hadapanku ini sedang berbadan dua, hasil hubungan gelapnya dengan suamiku. Fakta lain yang meluncur dari bibir Naffa juga tak kalah menegangkan, terkait kehamilannya yang membuat Mas Reza meminta untuk menggugurkan kandungan demi menghindari tanggung jawab. Aku tak pernah menyangka jika laki-laki yang memiliki tempat spesial di lubuk hati ini adalah sosok yang tak berperasaan. "Jika memang tak dapat menyelesaikan masalah, kenapa kamu berbuat hingga sefatal ini, Mas Reza? Apa bagimu anak yang dikandung oleh Naffa tak ada artinya?? Argh! aku sungguh tak dapat mentolerir perbuatan suamiku yang keterlaluan ini!" Aku mengeluh dalam hati setelah mendengar kata-kata Naffa tentang Mas Reza yang menolak untuk menikahinya. Sekitar satu jam berlalu, aku pun melajukan mobil dengan kedua netra y
Reza Pov Tak aku sangka bahwa istriku yang sabar memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya di tengah masalah yang runyam ini. Ternyata, di balik sosoknya yang tak banyak bicara, Dina tergolong sebagai wanita yang sulit ditebak. Memang, selama dua tahun menikah, dia selalu terlihat sabar dan pengertian, terutama terhadap diriku yang terkadang tak dapat menemaninya saat berakhir pekan. Selain itu, dia juga tak menuntut banyak hal dariku, selain menjaga perasaan dan memahami satu sama lain. Hal yang paling membuatku menyesal adalah pikiranku yang cukup impulsif. Aku yang semula menjalani hubungan gelap Naffa malah tak dapat berkutik di tangan sekretarisku sendiri. Semua bukti tentang perselingkuhanku dengannya, secara tersembunyi, disimpan oleh Naffa. Seiring dengan kepergian dari hadapanku dan rumah ini, aku hanya bisa tercenung. Banyak hal yang berlarian dalam pikiranku. Sederet asumsi dan solusi menghampiri, namun tak satu pun dapat mengusir rasa panik sekaligus gelisah yang
Salma Pov Di saat diriku mulai meramu bumbu untuk sayur asam dan menyiapkan lima buah cabai serta terasi, aku beranggapan bahwa hari ini pasti sama dengan hari sebelumnya, aku akan menanti Hasan dari siang hingga sore hari tiba. Namun, di kala kedua tangan ini mulai menghaluskan bahan-bahan untuk membuat sambal terasi, aku merasakan kedua tangan dengan jemari ramping yang sudah lama tak bertamu di hunian ini. Suara lembut yang dimiliki putri tercintaku juga turut terdengar. Lalu, aku yang sudah mencuci tangan menyambut serta memeluk dirinya. Di saat yang sama, aku melihat travel bag berwarna dusty pink, hadiah pernikahan yang sempat aku berikan padanya dua tahun lalu. "Kamu mau nginep, Din? kok bawa travel bag segala?" Aku memberanikan diri bertanya dengan sorot mata ragu. "Iya, aku akan tidur di sini untuk beberapa minggu ke depan, Ma." Dina menjawab sambil menganggukkan kepala. Rupanya, ia sedang tak baik-baik saja dengan suaminya, Reza. "Kamu kenapa? ada masalah sa
Tanpa terasa, sudah dua hari bagi Reza dan Dina tinggal terpisah. Dua orang yang tak saling berkomunikasi itu memiliki kondisi yang bertolak belakang. Dina yang kondisi emosinya sudah lebih stabil sibuk menjaga toko kue sambil mengerjakan pesanan cake custom yang mulai berdatangan secara terus-menerus. Sedangkan, Reza tak dapat bekerja dengan konsentrasi penuh. Hal itu disebabkan oleh tekanan dari Naffa dan pikirannya yang tertuju pada Dina, istrinya yang tak kunjung menjawab panggilan suara sejak satu hari lalu. Maka dari itu, Reza yang sudah kehabisan akal memerintahkan salah satu dari pegawainya untuk memesan sebuket bunga mawar di toko bunga, milik salah satu teman lamanya. Ia juga menyertakan isi kartu ucapan untuk disertakan pada buket bunga tersebut. Dalam hitungan kurang dari satu jam, pesanan bunga mawar itu tiba di toko kue Dina. "Permisi, Bu Dina. Ini ada kiriman bunga," ucap Afifah, salah satu pegawai di toko kue Dina yang melangkah dan meletakkan buket bunga di a
Naffa pov Aku dengan kedua mata berkaca-kaca mengeram jemari, berusaha menahan agar diri ini tidak meledakkan emosi setelah mendengar suara tawa dari suamiku sendiri. Di samping rasa kecewa yang hadir, aku juga berusaha untuk meredam amarah yang membuncah di dalam hatiku ini. Namun, aku tetap berusaha tenang, terutama saat aku melangkah dan meraih knop pintu kamar yang ditempati oleh Marni. "KRAK!" Dengan keberanian yang aku punyai, aku memutar knop pintu dan menangkap basah Reza yang tengah berbaring dengan kondisi bertelanjang dada, bersebelahan dengan Marni yang tubuhnya tertutup oleh selimut. "Eh, i-ibu!" Marni melebarkan saat dirinya berujar. Tersirat jelas oleh mimik wajahnya jika dia diliputi rasa takut sekaligus kaget. Mungkin, ia tak menyangka jika dirinya akan tertangkap basah olehku, sedang berduaan dengan Reza, laki-laki yang menyandang status sebagai suami sahku di mata hukum dan agama. Bersama dengan terkejutnya Marni, Reza yang semula berbaring menatapku den
Marni Pov "Pijetin di bagian punggung ya, Mar. Rasanya pegel banget dari tadi siang," Mas Reza mulai membuka kemejanya dan menampakkan tubuh berisinya dengan otot-otot yang terawat dengan baik. Lalu, ia berbaring dengan posisi tengkurap. Hal tersebut membuat bibirku mengembangkan senyum lembut, menandakan jika diriku terkesan dan tertarik untuk menyentuh majikan laki-lakiku ini dengan intense. Lalu, aku mulai membalurkan minyak pada pinggang tersebut dengan lembut. Dengan kekuatan sedang, aku mulai memijat area bahu dan lengan bagian atas. Setelah beberapa menit, kedua tanganku beralih memijat pada area yang sedikit lebih rendah, sesekali aku meremas permukaan otot yang masih kencang dan sedikit keras ini. "Sesuai dugaan," ucap Mas Reza dengan senyum miring tersemat pada wajah tampannya. "Sesuai dugaan gimana, Mas?" Aku melayangkan pertanyaan sambil berkonsentrasi memijat pinggang tengah dengan kekuatan yang sama. "Sesuai dugaan kalau pijetanmu nyaman dan pas. Engga t
Dina pov Sekitar lima belas menit kemudian, aku dan Khandra sudah berada dalam perjalanan menuju mall yang berlokasi di Surabaya Barat. Saat kami tiba, kami memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu, mengingat Khandra hanya memakan roti dan meminum segelas kopi di pagi hari. Berbeda dari biasanya, kami memilih restoran dengan nuansa vintage dan menu western rumahan yang harganya cukup ramah di kantong. Setelah memilih menu dalam beberapa menit, kami menanti sekitar kurang lebih, 45 menit. Di saat seluruh menu yang kami pesan datang, kami menikmatinya sambil bertukar kata dan cerita. "Gimana perasaanmu sekarang? beda atau sama seperti dulu?" Khandra bertanya padaku sambil memotong steak ikan dori di piringnya dengan pisau dan garpu. "Beda, Khan. Perasaanku sekarang lega dan bangga." Aku berterus terang pada lawan bicaraku itu. "Lega karena sudah sukses atau yang lain?" Khandra kembali melempar pertanyaan padaku. "Ya, dua-duanya, bisa dibilang. Soalnya, waktu awal
Setelah selesai melangsungkan makan siang dengan manajer dan dua pegawai yang dikenalnya, Reza memutuskan untuk kembali ke ruang kerjanya. Hal pertama yang dilakukannya sebelum melanjutkan pekerjaan adalah memeriksa panel notifikasi yang terdapat di ponsel pintarnya. Naffa: Rez? Kamu engga laper? Maaf ya. Tadi pagi, aku terlalu berlebihan negur kamu.. Membaca tumpukan pesan itu, Reza hanya bisa memutar bola matanya malas. Maka dari itu, ia tak membalas pesan dari sang istri. Sengaja didiamkannya pesan-pesan yang membuat rasa kesalnya pada wanita itu semakin menebal. "Kamu pikir kamu siapa, Naf? Wanita baik-baik, hm? kalau kamu memang wanita baik-baik, kamu engga akan jadi orang ketiga di hubungan rumah tangga orang lain!" Reza mengeluh dalam hatinya. Lalu, ia keluar dari aplikasi Instant Messaging dan beralih pada aplikasi sosial media, Vetagram. Sekian menit menggulir layar yang menampilkan sejumlah foto dan video dari beberapa pengikutnya, perhatian Reza akhirnya te
Reza pov "Iya, aku tahu kamu cuman ngobrol dan engga ngapa-ngapain sama si Marni, tapi aku engga suka sama caramu, Rez." Naffa kembali melayangkan protes padaku. "Kenapa? kamu cemburu sama seorang ART? Engga masuk akal kamu, Naf!" Aku menanggapi dengan tuduhan langsung karena sorot matanya menyatakan ketidakpercayaan padaku. "Iya, aku cemburu sama ART. Apalagi, kamu ngobrol sama Marni seintense barusan, seolah kamu sama dia engga ada batasan yang jelas!" Naffa menanggapi dengan nada bicaranya yang sedikit meninggi. Aku pun memutar bola mata malas. Hal tersebut menandakan jika aku tak ingin berdebat dengan wanita yang aku nikahi karena kondisi, bukan karena cinta yang tulus. Kemudian, aku langsung melangkah dan meninggalkan istriku dengan perut besarnya seorang diri. Sungguh, di tengah rasa kantuk yang mulai menggerayangi tubuh dan netra ini, aku tak ingin berdebat dengannya. Meski aku bisa saja melayani perdebatan itu, tapi akan lebih baik jika hal-hal sepele itu tak per
Sementara itu, seiring berjalannya waktu, Reza dan Naffa menjalani rutinitas sebagai pasangan suami-istri seperti biasa. Namun, keseharian Reza dikala dirinya sedang senggang di rumah, mulai tergantikan dengan kesibukan dirinya melayani sang istri yang perutnya telah membesar. Kesibukan-kesibukan itu meliputi membelikan makanan di saat sang ibu hamil sedang ngidam, mengantar Naffa untuk melakukan check up USG, menemaninya jalan santai di pagi hari, dan tentunya menemani sang istri di malam hari hingga tertidur. Semua itu dilakukannya agar Naffa tak tertekan dan merasa stress. Menurut anjuran dokter, perasaan tertekan dan kesepian dapat mempengaruhi kesehatan janin. Maka dari itu, suka tidaknya, Reza sedikit terpaksa menjalankan kewajiban tersebut. Sebenarnya, ia cukup terganggu dengan rutinitas menemani dan merawat istri keduanya. Namun, ia tak dapat berkutik karena Naffa terus mengancam akan menyebarkan kasus perselingkuhan mereka di media massa. Namun, di sela rasa kesal da
Sekitar pukul 20.30, mobil milik Khandra berhenti, tepat di depan pintu pagar rumah orang tua Dina. "BAG!" Bunyi pintu mobil ditutup terdengar oleh Dina dan juga sang empunya kendaraan. "Thank you ya, Khan, buat malam ini." Dina mengucapkan terima kasih dengan senyum kecil terukir di wajahnya. "Sama-sama, Din. Kamu jangan tidur kemalaman ya." Khandra menanggapi dan berpesan. "Iya, Khan. Kamu hati-hati ya di jalan. Aku masuk dulu." Dina berpesan sekaligus berpamitan. Di saat itu juga, Khandra mengangguk dan mulai melajukan mobilnya. Sementara, Dina dengan perasaan campur-aduk melangkah, melewati pagar, dan memasuki rumah. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sangat dihormati dan dianggapnya sebagai kakak itu memiliki rasa terhadap dirinya. "CKLEKK.." Dina membuka pintu dan memasuki kamarnya dengan beragam pikiran berlarian di kepalanya. Baginya, hari itu adalah hari yang tak terduga dan sangat mengejutkan. Sebelumnya, ia memang tahu dan mengenal sosok dari manta
Dina pov Sesuai dengan yang sudah dijanjikan, Khandra menjemputku di pukul 16.30, persis. Setibanya di tujuan, kami pun bertukar cerita dengan beberapa topik dan air muka yang memancarkan ekspresi berbeda. "Aku juga engga pernah membayangkan kalau produkku bisa dipromosikan sama Arunika Febriani." Aku menyatakan rasa ketidakpercayaanku dan mengulas senyum bangga. "Berarti, produkmu memang menarik. Buktinya, selebgram kondang yang promosiin." Khandra berkomentar. "Tapi, aku merasa kalau ada yang sebarin info tentang produkku ke manajernya Arunika. Masa Anggika yang bocorin?" Aku mulai mencurigai salah satu teman dekatku yang berhati malaikat itu. "Memang kamu ada diskusi produk sama Anggika?" Khandra tak langsung menarik kesimpulan. Ia justru melempar pertanyaan lain padaku. "Ya ada. 'Kan, aku sebelum luncurin produk, ada diskusi sama dia, enaknya jual produk makanan atau minuman." Aku mengakui kebenarannya. end of pov -**- Merasa sedikit tergelitik dengan reaksi
Reza Pov Ancaman itu hanya mendapat respon diam dariku. Beberapa menit kemudian, aku mulai menikmati beberapa menu santap malam yang mayoritas dimasak oleh Naffa. Sedangkan, lodeh terong dengan warna kuah merah keoranyean yang aku lihat, sepertinya bukan buatan Naffa. "Hm, lodehnya enak. Kamu beli di mana ini, Naf?" aku menyesap dan merasakan kuah dari lodeh terong dan berkomentar. "Oh, ini buatan Marni, Rez. Kaya masakan di warteg ya." Naffa menanggapi dan ikut menambahkan lauk lodeh terong di piringnya yang masih tersisa nasi. "Iya, Naf. Jadi inget jaman waktu masih kuliah dulu, makan di warteg habis selesai kelas siang," tanggapku dengan senyum simpul. "Memang kamu doyan sama menu-menu di warteg, Rez?" Naffa bertanya padaku dengan kening berkerut. Aku menatapnya sekilas dan mengangguk pelan. Memang, aku tak sepenuhnya bercerita tentang diriku pada Naffa, terutama tentang hal-hal yang aku sukai. Jadi, selama aku mengenal dan menjalani hubungan gelap dengannya, ia ha