"Jadi, kamu enggak pulang ke unit malam ini? Terus aku bagaimana dong? Aku sendirian nih, malam ini? Kamu rela nih, aku sendirian, Rana?"Mau tidak mau Rana jelas tertawa. Setelah sesi percintaan mereka tadi pagi, Bentala berubah menjadi anak ayam yang tak mau kehilangan induknya. Ia tak mau pulang, saat Rana memintanya pulang. Ia juga tak mau bekerja, dan beralasan kalau dirinya sangat lelah setelah drama panjang pemilu presiden, dan wakil presiden.Rana pun membiarkan pria itu membeli seperangkat permainan, dan memasangnya di unit Rana. Seakan-akan unit itu adalah rumahnya sendiri, Rana hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia lebih memilih untuk memasak makan siang, dan membiarkan Bentala melakukan apa pun yang pria itu inginkan."Pulanglah, Ben." Perintah Rana tentu saja langsung disambut penolakan. "Besok, aku akan pulang. Indira akan pergi ke Canberra besok. Aku juga sudah bilang kan, tadi. Mumpung masih jam tujuh, pergilah makan malam bersama teman-temanmu, Ben. Kamu s
"Ben, aku minta maaf. Bisakah kamu datang sekarang ke rumahku? Mama ingin ketemu kamu. Aku sedang di rumah, dan baru selesai memeriksa tensi Mama. Sejak siang dia mengeluh sakit kepala sebelah, dan benar saja tekanan darahnya rendah."Perubahan rencana terjadi dengan cepat. Setelah Rana menutup teleponnya, panggilan dari Tanaya pun masuk. Bentala pun mengangkatnya, dan mau tak mau mengiyakan permintaan Tanaya. Dari suara istrinya tersebut, terdengar kalau ia sudah kewalahan mencari sebuah alasan untuk sang Mama terima.Bentala pun akhirnya keluar dari unit Rana menuju rumah orang tuanya. Ia juga mengabari Rana lewat pesan. Ia ingin gadis itu tahu ke mana ia akan menghabiskan malamnya. Sayangnya, bukan bersenang-senang bersama teman-temannya, Bentala justru harus merangkai kebohongan di rumah mertuanya."Jalanan enggak macet, ya? Kamu sampai lebih cepat dari biasanya." Tanaya mengernyit saat melihat Bentala datang dengan jeans, dan kaos polo berwarna biru. Ia pun langsung mengetahui ja
"Mama pernah melihat kalian berciuman di US. Kalian beruntung karena saat itu mama enggak bisa memergoki kalian. Ia bahkan dengan baik hati menyimpan pikirannya sendiri. Tanaya, dia curiga pada pernikahan ini ternyata juga bukan tanpa alasan."Ketiganya kembali bicara di unit apartemen Tanaya. Edward sangat kaget, begitu juga dengan Tanaya. Ia tak pernah tahu kalau ternyata Yuriko bisa menyimpan sebuah fakta memalukan selama beberapa tahun. Tanaya yakin, alasan Yuriko menyimpan semua ini pasti agar tak terjadi masalah apa pun di rumah, termasuk memancing kemarahan sang Papa."Tapi, saat melihat saya, kenapa dia tidak mengenali saya?" tanya Edward penasaran. "Apa saat melihat kami berciuman, Ibu Yuriko tak melihat wajah saya?""Ya," jawab Bentala cepat.Edward pun mengangguk paham, "lalu apa yang kamu katakan pada Ibu Yuriko? Apa kamu mengakui kalau memang Tanaya berselingkuh dari kamu?""Aku enggak mengatakan kalau Tanaya berselingkuh. Aku hanya bilang, kalau anaknya bisa saja enggak
"Selamat sampai tujuan ya, Dir. Lo baik-baik di sana. Kalau gue enggak sibuk, gue bakalan ambil cuti untuk liburan di sana. Lo jaga diri lo baik-baik, ok?" Sebuah pelukan mengakhiri perjumpaan mereka bertiga. Camilla dengan erat merangkul bahu Indira, dan mencium pipi gadis itu sebagai tanda perpisahan. Indira pun membalasnya dengan sebuah tepukan di bahu, memberi Camilla pesan tak bersuara agar tak menangisi kepergiannya. Setelah Camilla melepas pelukannya, Rana pun maju menggantikan Camilla memberi pelukan untuk Indira. "Baik-baik di sana," ucap Rana yang langsung dibalas anggukan oleh Indira. "Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungi gue sama Camilla. Ya, gue tahu sih ada keluarga lo di sana. Tapi, kalau lo kangen gue, sama Camilla, jangan sungkan-sungkan untuk bayarin tiket pesawat kita buat jenguk lo!" Indira terkekeh, "lo memang paling bisa bikin gue enggak nangis." "Jaga diri, ya. Gue pengin melihat lo bahagia, Dir. Semoga Canberra bisa membuat lo merasa lebih damai, dan tenang. L
"Kok, acaranya tiba-tiba sih? Kamu lagi enggak bohong, kan? Ada apa sih ini, Rana? Kalau ada sesuatu tuh, dibicarakan baik-baik. Jangan coba-coba menghindar. Kamu tahu kan, aku bisa melakukan apa aja. Aku sudah berjanji lho, Na."Katakan saja kalau Bentala terlalu berlebihan, tapi ia benar-benar ketakutan saat dirinya tak menemukan Rana di unitnya saat malam tiba. Ia pikir Rana akan pulang setelah kepergian Indira ke Canberra, nyatanya gadis itu justru mencari alasan lain untuk tak bertemu dengannya. Terlebih saat alasan yang Rana berikan terasa masuk ke akalnya kali ini."Aku serius, Ben." Suara Rana terdengar lelah di ujung telepon. Bentala yakin gadis itu pasti tengah menghela napas panjang saat mendengar tuduhannya. "Kalau kamu enggak percaya aku, kamu bisa hubungi Bang Zahir, atau Kak Dhika. Nomor mereka masih sama. Kamu simpan kan, nomor keduanya?""Iya, aku masih simpan. Tapi, aku enggak akan menambah masalah dengan menelpon kedua kakak kamu yang galak. Ok, kali i
"SELAMAT ULANG TAHUN ANGKASA!"Beberapa dari kolega berdatangan, memenuhi taman belakang rumah keluarga Husada di daerah Bedugul, Bali. Keluarga yang penuh dengan permasalahan hidup itu menjelma bak keluarga yang harmonis di hari istimewa cucu pertama Emir Dikara Husada, yakni Angkasa Alaric Husada. Sekitar delapan balon diterbangkan, sesuai dengan usia Angkasa saat ini.Rana pun yang mengabadikan momen tersebut dengan kameranya langsung tersenyum sumringah. Ia senang saat melihat keponakannya tertawa bahagia melihat balon-balon berwarna-warni terbang begitu cantik di udara. Ia sungguh bersyukur, karena di saat keluarganya yang penuh dengan drama, ada saja kebahagiaan yang Tuhan berikan sebagai gantinya. Ia juga bersyukur, karena ia memiliki satu momen di mana keluarganya terlihat sangat normal di mata orang lain."Ini benar-benar terasa nyaman ya, untuk dilihat?" tanya Radhika, kakak keduanya yang duduk di sampingnya. "Seandainya keluarga kita seperti ini setiap hari, p
Rana Diatmika Husada : Hai, Ben. Maaf, aku baru saja menyalakan ponselku, dan menghubungimu. Aku baru sampai di Jakarta, dan memang menghindarimu beberapa hari ini. Banyak sekali pikiran yang ada di kepalaku. Ayo, bertemu, dan bicara. Aku tunggu di apartemenku!Akhirnya Bentala merasa lega. Meskipun dugaannya benar kalau Rana sedang menghindarinya, tapi setidaknya ia bersyukur karena gadisnya masih mau bicara dengannya. Bentala memang sengaja memberi Rana waktu. Ia berhenti membombardir Rana dengan segala pertanyaan, dan juga ancaman lewat pesan, lalu membiarkan gadis itu berpikir mengenai apa pun yang membuatnya gundah gulana.Dengan segera, ia pun menutup laporan yang dibacanya. Ia juga mematikan laptopnya, dan mulai menoleh pada Danish yang tentu saja bingung. Setelah menerima pesan yang sepertinya penting, bos-nya tersebut seperti buru-buru menyudahi apa pun yang tengah dikerjakannya."Aku akan pulang sekarang," jawab Bentala tiba-tiba. Membuat Danish bingung seketika. "Untuk lapo
"Baiklah. Aku akan mengalah untuk sementara waktu. Hanya sementara waktu, Rana. Silahkan kamu ambil jeda sebanyak apa pun. Tapi, tolong pikirkan baik-baik keputusan kamu."Rana menggeleng dengan yakin. Apa yang ada di kepalanya sudah berdasar pada sebuah keputusan. Rana juga tipikal yang jarang mengubah pendirian. Hanya kemarin saja ia terjebak dalam keputusan yang pada akhirnya ia sesali.Rana lalu mendekatkan dirinya pada Bentala. Ia peluk erat pria itu setelah ia memutuskan untuk berpisah sekarang. Seperti kenyataan yang ia paparkan, hubungan mereka tak jelas. Tak ada kepastian, dan bukannya bertindak tegas, Rana justru bersikap murahan dengan terus menerus melemparkan tubuhnya untuk Bentala cintai."Aku enggak akan mengubah apa pun, Bentala." Rana melepaskan pelukannya. Menatap Bentala, dan tersenyum pada pria tersebut. "Sudah aku bilang, kan? Aku akan melepasmu. Sampai kamu benar-benar sendiri, maka saat itu tanganku terbuka untuk kamu genggam. Jadi, datanglah saat