"Na, lo lagi sibuk enggak? Hari ini gue mau ke tempatnya Indira. Besok dia bakalan terbang ke Canberra. Lo enggak mau ketemu dia dulu? Ya, sebelum dia benar-benar pindah untuk jangka waktu yang enggak tahu berapa lama, lo enggak mau memperbaiki hubungan lo sama dia, Na? Na? Rana?"Alih-alih menjawab pertanyaan Camilla, Rana justru sibuk menyingkirkan tangan Bentala yang menjalar ke mana-mana. Rana benar-benar sulit istirahat saat membiarkan pria itu menginap di unitnya. Bentala bahkan dengan lancar tengah menyusuri lehernya, membuatnya kesulitan mencerna semua perkataan Camilla."Eh, ya, Mil. Sebentar ya," pinta Rana sambil menjauhkan ponselnya. Ia menghadap kepada Bentala, dan memintanya untuk berhenti sejenak. "Lo mau ngapain tadi?""Lo lagi ngapain sih, Na?" tanya Camilla dengan suara curiga. "Kok, bisik-bisik gitu deh, kedengarannya. Ini masih pagi banget, Na. Lo sama siapa sih? Masa sepagi ini lo sudah kerja sih?""Pertanyaan lo banyak banget, Mil. Gue bingung mau jawab yang mana
"Jadi, kamu enggak pulang ke unit malam ini? Terus aku bagaimana dong? Aku sendirian nih, malam ini? Kamu rela nih, aku sendirian, Rana?"Mau tidak mau Rana jelas tertawa. Setelah sesi percintaan mereka tadi pagi, Bentala berubah menjadi anak ayam yang tak mau kehilangan induknya. Ia tak mau pulang, saat Rana memintanya pulang. Ia juga tak mau bekerja, dan beralasan kalau dirinya sangat lelah setelah drama panjang pemilu presiden, dan wakil presiden.Rana pun membiarkan pria itu membeli seperangkat permainan, dan memasangnya di unit Rana. Seakan-akan unit itu adalah rumahnya sendiri, Rana hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia lebih memilih untuk memasak makan siang, dan membiarkan Bentala melakukan apa pun yang pria itu inginkan."Pulanglah, Ben." Perintah Rana tentu saja langsung disambut penolakan. "Besok, aku akan pulang. Indira akan pergi ke Canberra besok. Aku juga sudah bilang kan, tadi. Mumpung masih jam tujuh, pergilah makan malam bersama teman-temanmu, Ben. Kamu s
"Ben, aku minta maaf. Bisakah kamu datang sekarang ke rumahku? Mama ingin ketemu kamu. Aku sedang di rumah, dan baru selesai memeriksa tensi Mama. Sejak siang dia mengeluh sakit kepala sebelah, dan benar saja tekanan darahnya rendah."Perubahan rencana terjadi dengan cepat. Setelah Rana menutup teleponnya, panggilan dari Tanaya pun masuk. Bentala pun mengangkatnya, dan mau tak mau mengiyakan permintaan Tanaya. Dari suara istrinya tersebut, terdengar kalau ia sudah kewalahan mencari sebuah alasan untuk sang Mama terima.Bentala pun akhirnya keluar dari unit Rana menuju rumah orang tuanya. Ia juga mengabari Rana lewat pesan. Ia ingin gadis itu tahu ke mana ia akan menghabiskan malamnya. Sayangnya, bukan bersenang-senang bersama teman-temannya, Bentala justru harus merangkai kebohongan di rumah mertuanya."Jalanan enggak macet, ya? Kamu sampai lebih cepat dari biasanya." Tanaya mengernyit saat melihat Bentala datang dengan jeans, dan kaos polo berwarna biru. Ia pun langsung mengetahui ja
"Mama pernah melihat kalian berciuman di US. Kalian beruntung karena saat itu mama enggak bisa memergoki kalian. Ia bahkan dengan baik hati menyimpan pikirannya sendiri. Tanaya, dia curiga pada pernikahan ini ternyata juga bukan tanpa alasan."Ketiganya kembali bicara di unit apartemen Tanaya. Edward sangat kaget, begitu juga dengan Tanaya. Ia tak pernah tahu kalau ternyata Yuriko bisa menyimpan sebuah fakta memalukan selama beberapa tahun. Tanaya yakin, alasan Yuriko menyimpan semua ini pasti agar tak terjadi masalah apa pun di rumah, termasuk memancing kemarahan sang Papa."Tapi, saat melihat saya, kenapa dia tidak mengenali saya?" tanya Edward penasaran. "Apa saat melihat kami berciuman, Ibu Yuriko tak melihat wajah saya?""Ya," jawab Bentala cepat.Edward pun mengangguk paham, "lalu apa yang kamu katakan pada Ibu Yuriko? Apa kamu mengakui kalau memang Tanaya berselingkuh dari kamu?""Aku enggak mengatakan kalau Tanaya berselingkuh. Aku hanya bilang, kalau anaknya bisa saja enggak
"Selamat sampai tujuan ya, Dir. Lo baik-baik di sana. Kalau gue enggak sibuk, gue bakalan ambil cuti untuk liburan di sana. Lo jaga diri lo baik-baik, ok?" Sebuah pelukan mengakhiri perjumpaan mereka bertiga. Camilla dengan erat merangkul bahu Indira, dan mencium pipi gadis itu sebagai tanda perpisahan. Indira pun membalasnya dengan sebuah tepukan di bahu, memberi Camilla pesan tak bersuara agar tak menangisi kepergiannya. Setelah Camilla melepas pelukannya, Rana pun maju menggantikan Camilla memberi pelukan untuk Indira. "Baik-baik di sana," ucap Rana yang langsung dibalas anggukan oleh Indira. "Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungi gue sama Camilla. Ya, gue tahu sih ada keluarga lo di sana. Tapi, kalau lo kangen gue, sama Camilla, jangan sungkan-sungkan untuk bayarin tiket pesawat kita buat jenguk lo!" Indira terkekeh, "lo memang paling bisa bikin gue enggak nangis." "Jaga diri, ya. Gue pengin melihat lo bahagia, Dir. Semoga Canberra bisa membuat lo merasa lebih damai, dan tenang. L
"Kok, acaranya tiba-tiba sih? Kamu lagi enggak bohong, kan? Ada apa sih ini, Rana? Kalau ada sesuatu tuh, dibicarakan baik-baik. Jangan coba-coba menghindar. Kamu tahu kan, aku bisa melakukan apa aja. Aku sudah berjanji lho, Na."Katakan saja kalau Bentala terlalu berlebihan, tapi ia benar-benar ketakutan saat dirinya tak menemukan Rana di unitnya saat malam tiba. Ia pikir Rana akan pulang setelah kepergian Indira ke Canberra, nyatanya gadis itu justru mencari alasan lain untuk tak bertemu dengannya. Terlebih saat alasan yang Rana berikan terasa masuk ke akalnya kali ini."Aku serius, Ben." Suara Rana terdengar lelah di ujung telepon. Bentala yakin gadis itu pasti tengah menghela napas panjang saat mendengar tuduhannya. "Kalau kamu enggak percaya aku, kamu bisa hubungi Bang Zahir, atau Kak Dhika. Nomor mereka masih sama. Kamu simpan kan, nomor keduanya?""Iya, aku masih simpan. Tapi, aku enggak akan menambah masalah dengan menelpon kedua kakak kamu yang galak. Ok, kali i
"SELAMAT ULANG TAHUN ANGKASA!"Beberapa dari kolega berdatangan, memenuhi taman belakang rumah keluarga Husada di daerah Bedugul, Bali. Keluarga yang penuh dengan permasalahan hidup itu menjelma bak keluarga yang harmonis di hari istimewa cucu pertama Emir Dikara Husada, yakni Angkasa Alaric Husada. Sekitar delapan balon diterbangkan, sesuai dengan usia Angkasa saat ini.Rana pun yang mengabadikan momen tersebut dengan kameranya langsung tersenyum sumringah. Ia senang saat melihat keponakannya tertawa bahagia melihat balon-balon berwarna-warni terbang begitu cantik di udara. Ia sungguh bersyukur, karena di saat keluarganya yang penuh dengan drama, ada saja kebahagiaan yang Tuhan berikan sebagai gantinya. Ia juga bersyukur, karena ia memiliki satu momen di mana keluarganya terlihat sangat normal di mata orang lain."Ini benar-benar terasa nyaman ya, untuk dilihat?" tanya Radhika, kakak keduanya yang duduk di sampingnya. "Seandainya keluarga kita seperti ini setiap hari, p
Rana Diatmika Husada : Hai, Ben. Maaf, aku baru saja menyalakan ponselku, dan menghubungimu. Aku baru sampai di Jakarta, dan memang menghindarimu beberapa hari ini. Banyak sekali pikiran yang ada di kepalaku. Ayo, bertemu, dan bicara. Aku tunggu di apartemenku!Akhirnya Bentala merasa lega. Meskipun dugaannya benar kalau Rana sedang menghindarinya, tapi setidaknya ia bersyukur karena gadisnya masih mau bicara dengannya. Bentala memang sengaja memberi Rana waktu. Ia berhenti membombardir Rana dengan segala pertanyaan, dan juga ancaman lewat pesan, lalu membiarkan gadis itu berpikir mengenai apa pun yang membuatnya gundah gulana.Dengan segera, ia pun menutup laporan yang dibacanya. Ia juga mematikan laptopnya, dan mulai menoleh pada Danish yang tentu saja bingung. Setelah menerima pesan yang sepertinya penting, bos-nya tersebut seperti buru-buru menyudahi apa pun yang tengah dikerjakannya."Aku akan pulang sekarang," jawab Bentala tiba-tiba. Membuat Danish bingung seketika. "Untuk lapo
"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in