"Semua sudah disiapkan, Pak. Kita tinggal rapat dengan Nona Rana, dan menanyakan pendapatnya. Semoga tak ada halangan lagi, sehingga minggu depan kita bisa syuting di Bali."Bentala mengangguk. Ia pun menyetujui semua hal yang sekiranya cukup baik. Bentala juga menandatangani berbagai surat yang telah ia pelajari. Bentala harus menyelesaikan segala pekerjaannya, karena dalam sepuluh hari kemudian sudah masuk musim kampanye pemilihan presiden, dan wakil presiden.Bentala yang telah diusung oleh salah satu pasangan calon untuk menjadi tim sukses tentu saja tidak bisa tinggal diam. Ia harus menggunakan momentum itu tidak hanya untuk memenangkan paslon yang didukungnya, tapi juga mengibarkan namanya agar lebih dikenal banyak orang. Bentala yakin dengan penampilannya, dan strateginya, ia akan mencapai kesuksesan yang dirinya mau."Oh, ya, ada undangan dari Ibu Yuriko Gunawan, Pak." Bentala mengingat-ingat, dan mengangguk sekilas. "Apakah Bapak akan datang? Kalau memang iya, saya akan memas
Rana Diatmika Husada : Apa sih maksud kamu? Lanjut, pertanyaan berikutnya.Bentala hendak menanyakan perasaan Rana padanya, namun ia urungkan pertanyaan itu. Sebab Rana sudah jelas-jelas menolak untuk menjawabnya. Ia pun ingin menanyakan mengapa lima tahun yang lalu Rana menghindarinya, tapi kembali ia urungkan, karena Bentala sendiri sudah mengetahui jawabannya dari almarhum bapaknya. Jadi, ia pun menghentikan kegiatannya mengetik, dan mulai mengalihkan fokusnya kepada Iskandar.Benar kata temannya tersebut, Indira akan datang ke rumah sakit pukul sembilan malam di hari jum'at. Mereka pun sudah stand by di kantin rumah sakit, dan mengira Indira tak datang malam itu. Ternyata gadis itu terlambat lima belas menit. Tidak langsung pergi ke ruangan sang profesor, Indira justru memilih duduk di ruang tunggu lantai satu."Dia enggak ke ruangan Prof. Emir," bisik Iskandar dengan dahi mengernyit. "Biasanya dia langsung ke sana. Ini enggak sama sekali. Apa dia janjian dengan orang lain? Permai
"Ini bagaimana? Namanya Audrey. Dia cukup oke. Lulusan SMK tata busana juga. Tampangnya juga kayak anak baik-baik. Tapi, Puspitha kemarin juga tampangnya baik-baik aja. Gimana menurut lo? Lo mau interview yang mana aja?"Rana melihat satu persatu CV yang diberikan oleh Latisha untuk mengisi kekosongan posisi asistennya. Sayangnya, ia bingung. Semuanya kelihatan baik-baik saja. Tapi, seperti yang Latisha bilang tadi, Pusphita pun bertampang sederhana, namun memiliki maksud terselubung yang menakutkan.Di sela-sela kebingungannya, Rana melirik ke ponselnya. Ia merasa aneh, karena Bentala tak mengirimkan pertanyaan berikutnya. Pria itu juga belum mengiriminya pesan lain sejak semalam. Namun, sungguh Rana merasa bersyukur. Semoga keanehan ini berlangsung selama mungkin."Lo kenapa? Nunggu telepon dari siapa sih?" tanya Latisha gemas. Sejak tadi, beberapa kali ia memergoki Rana melirik ke ponselnya. "Lo lagi enggak nungguin chat, atau telepon dari Ighfaldi, kan? Jangan deh, berurusan dulu
"Di atas, ada bos yang kata lo cinta pertama yang tak terlupakan."Tanpa sadar, Rana memukul bahu Latisha. Gadis itu pura-pura kesakitan, karena Rana memang tidak memukulnya dengan kencang. Latisha memang sengaja menggoda Rana, karena sudah lama ia ingin tahu untuk siapa hati gadis itu berkembang. Sungguh, Latisha tak menyangka kalau pemenangnya adalah orang lama yang baru-baru ini muncul kembali.Sayangnya pria itu sudah beristri. Membuat Latisha berdo'a agar Rana tidak terjebak dalam bahaya. Berhubungan dengan suami orang dianggap sangat laknat di negara ini. Jangan coba-coba selamat, kalau sudah dicap sebagai seorang pelakor oleh netizen Indonesia."Jangan berisik, lo bisa kedengaran orang lain. Tapi, ini cuma bercanda kan?" tanya Rana memastikan. Namun, Latisha langsung menggeleng. "Lo tuh, rese tahu kalau beneran cuma bercanda.""Gue enggak bercanda. Dia lagi makan sama bule gitu. Gila, bulenya ganteng banget. Sebelas dua belas sama David Beckham, Na! Gue aja sampai terpesona lih
Bentala Pradaya Byakta : Pertanyaan selanjutnya, apa kamu ada waktu malam ini?Bentala kebingungan. Setelah mempertemukan Tanaya, dan Edward hari ini, ia pergi ke kantor untuk mencicil pekerjaannya. Banyak sekali pekerjaan yang menyitanya hingga menjelang kampanye. Sungguh, ia berharap hari itu bisa bertemu dengan Rana sebelum kesibukan menerpanya tiada henti.Sudah sekitar tiga puluh menit dari kali terakhir Bentala mengetikkan pesan, tapi gadis itu sama sekali belum membacanya. Ia pun berinisiatif untuk mencari nomor telepon kafe langganannya di mesin pencarian. Tapi, bersamaan dengan hasil pencarian, pesan Rana pun masuk ke ponselnya.Rana Diatmika Husada : Untuk apa bertemu? Aku baru selesai syuting, Ben! Aku lelah. Tolong, biarkan aku istirahat.Bentala menghela napas. Matanya mencari jam di mana jarumnya menunjuk pada angka lima sore. Bentala menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa egois, dan mengganggu Rana.Tanpa konfirmasi pun, Bentala tahu Rana pasti memang sangat lelah. Jadi
"Kamu yakin? Kamu akan menerima apa pun pilihanku? Kalau aku tidak memberikan kesempatan untuk kita berdua, bagaimana? Apa kamu rela?"Bentala tak bisa langsung menjawab. Namun, pastinya ia tidak akan rela. Melepas Rana sama saja memberi angin besar pada pria lain untuk memiliki gadis itu. Mana mungkin Bentala sanggup membiarkan Rana bersama orang lain. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, Bentala telah berucap.Ia pun akhirnya memilih mengangguk. Bila memang ia tak diberi kesempatan, maka ia akan mencari cara lain untuk meluluhkan gadis itu. Bentala terlalu yakin kalau Rana juga memiliki perasaan padanya. Jadi, tak masalah kalau ia bilang melepas sekarang, tapi di hari selanjutnya Bentala bisa membuat alasan lain."Kamu tahu, dari matamu saja terlihat ada rencana lain yang sedang kamu atur," ejek Rana pada akhirnya. Ia mengeluarkan lima mie instan dari kantong belanjanya. Lalu menunjukkan dua rasa yang berbeda. "Mau yang mana? Udara di luar dingin sekali, akan sangat enak kalau makan mie
"Kamu yakin membiarkanku pulang?" Rana lagi, dan lagi memutar bola matanya saat mendengar gurauan Bentala. Ia mendorong pria itu menuju pintu, saat jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Dua jam sudah mereka mengobrol tentang apa saja, padahal tadinya Rana hanya mengajak pria itu untuk makan mie instan. Sungguh, untuk pertama kalinya sejak bertemu kali dengan Bentala, mereka benar-benar bisa bercengkerama layaknya seorang teman. Rana melupakan status Bentala. Ia mendengarkan cerita Bentala, dan menyetujui semua pikirannya tentang sesuatu. Begitu pun dengan Rana, ia menceritakan hal-hal dibalik film yang tidak diketahui dari kacamata penonton. Mereka bertukar pikiran secara waras, melupakan segala aksi Bentala yang menginginkan pria itu menjadikan Rana kekasihnya. "Pulanglah, Ben." Rana meminta pria itu untuk pergi. "Kamu tahu kan, tiga puluh menit lagi kamu berasa di dalam, akan ada yang berubah dari obrolan kita tadi. Jadi, pulanglah! Aku belum bisa mengontrol tubuhku sendir
"Hai, kenapa lama sekali di toilet? Kamu baik-baik saja kan?"Ada yang tidak beres. Bentala tidak sabar saat Rana tak kunjung datang setelah lima belas menit pergi ke toilet. Ia menunggu di depan toilet yang paling dekat dari ruangan UGD. Bentala pun mengirimi Rana pesan, dan gadis itu keluar dari sana limat menit kemudian. Wajahnya tampak sembap, terlihat kalau gadis itu habis menangis."Ayo, kita pulang saja. Pakai kaca mata kamu, Rana. Sebelum orang lain sadar kalau yang pergi bersamaku adalah seorang aktris papan atas," perintah Bentala yang langsung dituruti oleh Rana. "Aku akan berjalan di belakangmu, ok?"Rana mengangguk. Gadis itu berjalan lebih cepat dari yang ia bisa. Bentala pun berjalan tak jauh dari gadis itu. Ia mengeluarkan ponselnya dan memencet nomor Iskandar. Ia menelepon pria itu, dan memberi tahu kalau dirinya, dan Rana akan pulang.Iskandar tak banyak bertanya. Ia tahu pasti terjadi sesuatu pada Rana. Jadi, ia biarkan Bentala menutup teleponnya."Ada apa sebenarny
"Kamu tahu enggak arti dari cincin ini?"Delapan bulan kemudian segalanya berjalan dengan sangat cepat. Rana membutuhkan waktu lebih dari lima bulan untuk menyiapkan segala pernikahannya. Karena kegiatannya di dunia entertainment yang memang sedang rehat, maka tak ada satu pun media, atau rekan artis yang mengetahui rencana pernikahannya. Rana, dan Bentala pun dengan tenang menjalankan pernikahan mereka di Bali dengan sangat tenang, dan intim.Kini, di bulan kedua pernikahan mereka, Bentala akhirnya bisa benar-benar menemukan waktu untuk berbulan madu. Meskipun tak lagi menjadi aktris, Rana tetap saja disibukkan dengan kegiatannya sebagai salah satu direksi di rumah sakit Husada. Ia bersama-sama dengan Latisha bekerja, meskipun kini berada di dunia yang sama sekali berbeda."Aku enggak tahu," jawab Rana sambil menggelengkan kepala. "Memang apa artinya? Aku pikir ini hanya sebuah bentuk. Karena cantik, jadi kupikir itu alasan kamu memilihnya. Ternyata ada artinya, ya?"Bentala terkekeh
"Besok bahkan baru malam tahun baru. Tidak bisakah kamu menunggu hingga besok? Ya, aku memang menyuruhmu untuk pulang, tapi maksud aku pulanglah setelah tahun baru. Bukannya sekarang. Ben, kamu mendengarkan aku, kan?"Pertanyaan itu membuat Rana benar-benar kesal, karena Bentala tampak tak mengacuhkannya sejak tadi. Pria itu sejak tadi hanya mondar-mandir merapikan segala barangnya ke dalam koper besar yang Rana pastikan kalau isinya terlalu sedikit di sana. Rana pun beranjak dari kasur, mendekati Bentala yang sibuk memasukkan semua kemejanya ke koper. Ia tarik kerah pria itu, agar Bentala bisa fokus hanya padanya.Bentala tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di pelukan Rana dengan erat. Ia bawa gadis itu ke pelukannya, dan ia cium gadis itu dengan sepenuh jiwa. Rana jelas tak menolak, bersama Bentala memang membuat kepalanya selalu bodoh dalam hal tolak menolak."Kamu sekarang merengek, agar aku tak pergi." Bentala berkata setelah ia melepaskan ciumannya. "Kemarin, kamu melepaskan ak
"Gue benar-benar senang, karena lo sudah sadar, Na. Maaf ya, gue enggak bisa melihat lo langsung ke Australia. Karena gue pikir-pikir keadaannya pasti enggak memungkinkan dan gue enggak pernah ke Australia sebelumnya. Gue takut jatuhnya ngerepotin Indira yang lagi sibuk ngurusin lo, dan kerjaannya."Hanya sebuah gelengan yang mampir di wajah Rana saat mendengar managernya, Latisha meminta maaf. Ia tak pernah mempermasalahkan siapa yang berada di sampingnya saat sakit. Baginya di mana pun berada, Rana sudah cukup dengan doa. Rana tahu obat mujarab terampuh bagi orang sakit adalah doa dari orang yang benar-benar tulus menginginkan kesembuhan diri kita.Latisha sendiri merasa sangat bahagia. Meskipun hanya bisa melihat Rana dari panggilan video, tapi gadis itu sudah merasa cukup puas. Melihat Rana meresponnya dengan senyum tercantik yang Rana punya, sudah membuat Latisha merasa sangat lega."Tidak masalah kok," jawab Rana jujur. Ia tersenyum lemah. "Lo jangan maksain diri buat ke sini. L
"Indira, boleh saya bicara sama kamu sebentar?"Tak mungkin Indira tak kaget. Ia menengadah, dan memastikan kalau yang bicara padanya memang benar-benar seorang Emir Dikara Husada. Selama hampir dua minggu, pria itu pura-pura tak mempedulikannya, hari ini, di hari di mana Rana sadar sepenuhnya, Emir akhirnya mau mengajaknya bicara. Bukannya Rana berharap, tapi ia ingin antara dirinya, dan Emir berhenti memikirkan menyoal masa lalu, serta terjebak di dalamnya.Indira pun mengangguk, meskipun Arnold sempat menggeleng. Ia menatap Arnold seraya tersenyum meminta pengertian. Arnold pun melihat pada Indira, dan akhirnya memperbolehkan gadis itu menyelesaikan segala masalahnya dengan pria brengsek yang ternyata adalah sahabat baik Rana. Jujur, saat mengetahuinya, Arnold jelas kaget bukan main. Ia sungguh merasa luar biasa, karena ternyata Rana, dan juga Indira masih bisa menjalin pertemanan yang sangat baik."Tunggulah di sini," pinta Indira yang langsung disanggupi oleh Arnold. "Aku akan ba
"Maaf, mengganggu waktumu, Ben. Tapi, saya harus memberikan ini secara langsung untukmu. Kamu diundang khusus sebagai best man-saya dalam pernikahan saya dengan Tanaya. Ya, saya tahu kondisinya tidak memungkinkan. Tapi, tak apa-apa. Saya hanya ingin memberikan ini sebagai tanda bahwa hanya kamu yang berhak untuk posisi itu."Tentu saja Bentala terhenyak. Bukan soal undangannya, tapi bagaimana Edward selalu memperlakukannya dengan spesial. Berbeda dengan dua temannya yang lain, Edward baginya sudah seperti saudara yang ia temukan di benua lain. Dia selalu merawat, memperhatikan, bahkan memperlakukan Bentala seperti dirinya adalah orang yang layak mendapat perlakuan tersebut. Tak hanya Edward, Tanaya pun demikian.Untuk itulah, Bentala rela melakukan banyak hal bodoh hanya untuk menjaga mereka tetap bahagia. Sebab, di saat ia tak punya siapa-siapa di negeri orang, hanya Edward, dan Tanaya yang membantunya. Hanya mereka berdua yang rela bersusah payah untuk seorang Bentala."Kamu membuat
"Aku tahu harusnya enggak ninggalin kamu. Tapi, aku minta maaf. Aku tahu kamu pasti mengerti. Hanya tiga hari, aku janji. Senin, aku akan kembali ke sini. Aku janji akan nemenin kamu lagi di sini. Kamu pasti akan merasa sedih kan, kalau pekerjaanku enggak beres? Jadi, aku pulang sebentar ya. Aku tahu, aku akan kangen kamu banget, Rana."Tatapan Bentala begitu dalam, dan berat. Ia sama sekali enggan meninggalkan Rana dalam kondisi yang masih belum ada kejelasan, tapi ia juga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Ada banyak orang yang bergantung hidupnya pada Bentala, dan ia tak serta merta melupakan mereka hanya untuk memajukan keinginannya. Bila Rana bangun pun, gadis itu pasti memilih untuk melepasnya.Dengan erat, ia genggam tangan kekasihnya. Ia cium tangan itu penuh rasa sayang. Meskipun hampir dua minggu di rumah sakit, wangi lavender yang khas masih tercium begitu nyata dari tubuh Rana, membuat Bentala makin berat untuk melepasnya. Tapi, apa mau dikata. Hidup nyatanya harus tetap
"Mr. James sangat menyukai apa yang anda lakukan dengan kebun kelapa sawit keluarga anda. Dia berharap kerja sama ini akan sangat menguntungkan bagi anda, dan juga Mr. James. Terima kasih banyak, Mr. Byakta. Nanti kita bertemu lagi di Jakarta dua minggu ke depan. Have a nice day."Tak hanya Bentala, Danish pun menunjukkan senyum profesionalnya kepada CFO Perusahaan yang akan bekerja sama dengan Bentala dalam pembuatan pabrik kelapa sawit di Riau. Bentala sungguh bersyukur, karena CFO perusahaan yang ia tuju adalah orang Indonesia. Ibu Martina Larasati Adams yang adalah orang Sulawesi Utara pergi jauh ke Sydney untuk bekerja bersama suaminya yang berasal dari London. Bentala pun teringat pada Edward yang melobi CEO perusahaan ini untuk bekerja sama dengannya. Bentala harus mentraktirnya nanti saat sampai di Jakarta.Bentala, dan Danish pun sangat puas. Tak sia-sia waktu yang mereka habiskan untuk meraih kontrak kerja sama. Sekarang setelah segala kontrak sudah ditandatangani, Bentala b
"Ben, lo bisa pulang ke hotel buat urus kepindahan lo. Di depan juga sudah ada asisten lo nungguin. Jangan lupa makan. Terakhir lo makan tuh, kemarin sore. Lo skip makan malam, sama sarapan, Ben. Jangan sampai deh, lo ikut-ikutan tumbang. Makan ya, Ben."Hanya sebuah anggukan yang Bentala berikan kepada Indira. Gadis itu sudah jauh lebih rapi, sedangkan Bentala tampak kusut tak terurus. Tiga hari sudah, dan tak ada tanda-tanda Rana akan bangun. Dokter hanya mengatakan kalau Rana hanya trauma. Hanya butuh waktu sampai gadis itu siap, dan membuka matanya.Sayangnya Bentala tak sabar. Masalahnya rindunya sudah menggunung, dan butuh dituntaskan. Hausnya masih terasa meskipun ia sudah menenggak kehadiran Rana sejak tiga hari lalu. Tapi, apalah arti raga, tanpa jiwa yang benar-benar hidup."Tolong ya, jaga Rana. Kalau ada kabar baik, hubungi gue." Bentala berpesan, dan Indira langsung mengiyakan apa yang pria itu inginkan. "Kalau bisnis ini enggak penting, gue mungkin akan ada di sini terus
"Ben, kamu sudah berangkat kerja? Ben? Hei, Ben! Kamu sedang apa di sana? Ada apa?"Dengan cepat, Edward menghampiri Bentala yang terduduk di karpet dekat tempat tidurnya. Pria itu tampak terdiam, kaku, dan belum benar-benar menyadari keberadaannya. Sebelum berangkat lari pagi, Edward melihat Bentala masih baik-baik saja dengan makan makanan cepat saji, minum kopi, dan kemudian mandi. Namun setelah Edward kembali, ia mendapati pria itu tampak tak berdaya, dan tak baik-baik saja.Edward pun mencoba membuat pria itu berhenti melamun dengan menggoyangkan bahunya. Bentala akhirnya menengadah, namun baru kali itu tatapan pria itu benar-benar kosong. Edward pun menjadi ikut takut."Ben, ada apa?" tanya Edward lagi lebih keras. "Katakan, ada apa?""Rana, Ed, Rana," lirih Bentala dengan suara tercekat. Kalau dia adalah Tanaya, mungkin tangisnya sudah merebak keluar. "Dia kecelakaan Ed. Bagaimana ini? Bagaimana, Ed? Aku harus ke Australia. Aku harus ke sana. Sekarang juga. Ya Tuhan, mengapa in