"Lidya ... basah," ujar Sonya kesal karena air yang Lidya semburkan mengenai snelli-nya."So sorry, maafkan." Lidya mengambil tisu dan memberikan tisu pada Sonya, "aku nggak salah dengar?""Nggak, Awan cucu Dokter Ben. Kamu kaget?" tanya Sonya sambil menunjuk Lidya dengan sendok.Lidya mengangguk, tentu saja dia kaget bagaimana tidak dia tidak menyangka Awan seorang penata anestesi bersaudara dengan Dokter Ben dan sodaranya bukan sodara jauh. "Awan itu penata loh, bukan dokter.""Dia pernah kuliah kedokteran dan mundur nggak kuat belajar sistem blok," terang Sonya, "jadi dia keluar dan dia kuliah lagi penata anestesi bareng sama Eka.""Nggak paham aku," ucap Lidya sambil menghentikan makannya, ia sudah tidak bernapsu untuk memakan makanannya. "tapi, kenapa nggak ada yang tahu?""Dokter Ben meminta hal itu disembunyikan dan kamu juga mending nggak usah bilang ke siapa-siapa kecuali ke Eka, dia bisa kamu ajak diskusi hal ini karena dia tau." Sonya memperingatkan Lidya."Jadi, kamu kapan
"Eka kamu potong rambut?" tanya Sonya spontan saat melihat Eka."Iya, Dok, diminta Dokter Lidya," ucap Eka santai karena dia tidak tahu kalau beberapa saat yang lalu Lidya mengatakan kalau dirinya terlihat menarik. "Kata Dokter Lidya rambut aku nggak rapi.""Bagus, kamu bagus kaya gitu," ucap Sonya sambil mengacungkan kedua jempolnya ke arah Eka lalu melirik Lidya yang terlihat salah tingkah karena Sonya menatapnya dengan tatapan menggoda."Mama rekam medisnya? Berapa pasien?" tanya Lidya berusaha meredakan perasaan keki karena baru mengatakan kalau Eka adalah tipenya. Sonya menahan tawanya karena sadar kalau Lidya saat ini sedang merasa sangat malu pada dirinya, "Aku sama Awan mau cek obat dulu," ucap Sonya seraya berdiri dan menepuk lengan Awan."Mau ke mana?" tanya Awan bingung karena ia datang ke sana untuk makan bukan mencari Sonya. "Aku mau m—""Kita cek obat, Awan," pinta Sonya sambil menarik tangan Awan, menarik lelaki itu untuk menjauhi Lidya dan Eka. "Tapi, aku mau makan,"
"Siapa?" tanya Awan sambil berdiri di belakang Sonya dan mendapati Miska, "mau apa kamu ke sini? Kalau nyari Emir dia nggak ada di sini.""Nggak saya nggak cari Emir, saya mau mencari Dokter Sonya, ehm ...." Miska mengangkat tangannya dan menunjukkan plastik berisikina minuman kesukaan Sonya, "saya ingat kalau Dokter Sonya suka boba."Sonya menoleh dan saling berpandangan dengan Awan, mereka seolah berbicara lewat tatapan mata. Sonya tahu Awan meminta dirinya untuk tidak berurusan lagi dengan Miska. "Aku sibuk, Miska, ada apa?" tanya Sonya."Oh ... saya, saya ...." Miska tampak salah tingkah karena mendapatkan penolakan dari Sonya, padahal dirinya ke sana hanya ingin mengungkapkan sesuatu. Suatu hal yang sangat mengganjal di hatinya."Ada apa? Kalau cuman mau kasih boba, mending kamu bawa lagi bobanya. Saya masih mampun beliin Sonya boba, dan saya takut kamu masukin racun ke sa—""Awan," bisik Sonya sambil menyikut Awan lembut, terkadang Sonya suka kesal dengan Awan yang bila sudah t
Sonya membuka data rekam pasien di hadapannya sambil berdiri di meja suster ruangan UGD, hari itu sudah Sonya lalui dengan cukup emosional dengan kedatangan Miska yang meminta maaf pada dirinya dan Sonya masih sulit untuk memaafkan Miska.Dia sangat kesulitan memaafkan Miska dalam masalah Janu, Janu anak kesayangannya yang direnggut dengan brutal oleh Emir dan Miska membuat Sonya masih merasakan nyerinya. Dia sayang Janu, dan sumpah demi apa pun dia rindu untuk menjadi seorang ibu. Matanya menatap ke arah depan dan mendapati anak kecil yang duduk dipeluk oleh para ibunya karena menunggu antrian. Matanya tiba-tiba panas melihat adegan tersebut, membayangkan dirinya tidak akan mungkin mendapatkan kesempatan seperti itu lagi seumur hidupnya benar-benar membut hatinya perih.Sonya tidak berharap dari Awan, lelaki itu dengan tegas mengatakan tidak membutuhkan anak dari dirinya tapi, Awan seorang pria normal yang pasti menginginkan keturunan mungkin saja disuatu masa nanti Awan akan berubah
“Awan kenapa dimasukin ke sana?” tanya Sonya kesal saat melihat Awan seenaknya memasukkan barang-barang miliknya ke dalam kardus.Tangan Awan melayang di udara seolah terhenti saat akan memasukkan barang Sonya ke salah satu kardus berukuran lumayan besar. “Emang dimasukin ke mana? Aku pusing banyak banget kardusnya. Pikir-pikir kamu itu tinggal di rumah ini nggak ada lebih dari dua bulan, tapi, barang kamu kayanya lebih banyak dari barang aku.”Awan takjub melihat betapa banyaknya barang Sonya yang harus mereka packing untuk pindah ke Bandung, barangnya sudah selesai dipacking dan hanya tinggal mengurus motor-motor kesayangannya ia kirim menggunakan towing sewaan yang akan datang esok. Dengan berkacak pinggang Awan melihat sekeliling kamar miliknya yang sudah didominasi oleh barang milik Sonya, benar kata orang saat tinggal dengan seorang wanita jangan harap memiliki satu lemari pakaian itu cukup. “Ini semua muncul dari mana sih? Seingat aku, aku nggak pernah liat ini semuanya,” uca
"Kalian kenapa?" tanya Sonya yang kaget karena melihat Eka dan Lidya terjatuh di depan teras rumah Awan:"Ini satu orang nyebelin banget, aku lagi jalan ditabrak, dong," maki Lidya kesal, bokongnya sakit karena menghantam lantai akibat ditabrak oleh Eka."Maaf, Dok, maaf, nggak kelihatan." Eka mengusap bokongnya yang sakit karena membentur lantai. Hari ini dia datang ke rumah Awan untuk membantu sahabatnya itu packing barang-barang tapi, karena terburu-buru dia lupa mengenakan softlens."Badan aku segede gini nggak kelihatan? Buta kamu, hah?" sentak Lidya sambil berusaha berdiri dan bersyukur karena kakinya tidak keseleo."Maaf Dok, badan Dokter udah gede dan besar tap—""Maksud kamu aku gendut?" sentak Lidya makin marah karena merasa Eka menghinanya gendut. Harga dirinya sedang porak-poranda karena jarum timbangannya makin ke arah kanan."Nggak Dok, nggak gendut maksud saya badan Dokter emang gede tapi, saya nggak pakai kacamata dan softlens jadi nggak kelihatan, buram." Eka berjuan
"Hah? Gimana?" tanya Eka kaget karena tiba-tiba diberikan pertanyaan mematikan yang bila salah menjawabnya maka nyawanya akan melayang.Lidya menoleh menatap wajah Eka, "Muka aku jelek banget, yah? Sampai nggak ada yang mau sama aku," ucap Lidya ketus sambil menunjukkan chat yang ia terima dari lelaki yang sedang dekat dengan dirinya.Eka mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan layar ponsel Lidya, "Aku nggak bisa lanjut, maaf, lanjut apa Dok? Dokter emang buka kela—-""Bukan buka kelas, ish ... kadang aku kesal sama kamu, pikiran kamu terlalu positif nggak bisa aku ngajak kamu ghibah," ucap Lidya gemas, “Dia ini orang yang deketin aku kemarin dan saat dia tahu aku punya anak dua, dia langsung bilang nggak bisa lanjut, kan kesel, ya.”“Mungkin dia tidak bermental baja, Dok, nggak kaya saya sudah ditempa dengan masalah yang berat, seberat dosa saya, Dok,” canda Eka sambil memukul dadanya beberapa kali hingga membuat ia terbatuk-batuk.“Ih, aku baru nemu orang banyak masalah tapi, po
"Jujur, Dok, saya masih punya adik satu lagi yang harus saya sekolahin. Makanya saya bikin hutang lagi,” bisik Eka sambil menarik tangan Lidya dan membuat wanita itu kembali duduk di sebelahnya dengan posisi yang lebih dekat dengan dirinya. Eka merasa nyaman saat kulit mereka bersentuhan juga bergesekkan."Adik kamu yang paling kecil kuliah apa?" Lidya mencoba untuk duduk senyaman mungkin dan berjuang mengenyahkan keinginan untuk menyandarkan kepalanya di bahu Eka."Kedokteran, Dok, dia ingin jadi Dokter spesialis Anak," ungkap Eka sambil tersenyum getir, "aku nggak mau memupuskan cita-cita dia dari kecil, Dok, mana dia anak perempuan satu-satunya dan dia pintar, Dok, dia dapat beasiswa beswan Djarum.""Dia dapet beasiswa? Terus kenapa kamu masih ngutang?""Ya ampun, Dok, beasiswanya cuman 50% selebihnya harus ditanggung, tapi, untungnya adik aku berprestasi IPK tinggi dan dia saat ini sedang KOAS di RSHS," jawab Eka."Jadi, kamu berhutang buat sekolah adik-adik kamu?" tanya Lidya kag