“Sonya, nggak apa-apa kita pergi berangkat bareng?” tanya Awan sambil memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit.“Nggak, aku udah nggak peduli, toh, beberapa hari lagi aku resign dan kamu juga resign. Aku nggak peduli mereka mau ngomong apa, terserah mereka sesuka mereka,” jawab Sonya sambil mengambil barang-barang miliknya di jok belakang. “Dan lagi, mereka dongo ku rasa, andai mereka tau kamu itu siapa bisa sujud mereka.” Sonya mengambil semua barang-barangnya lalu mengenakan snelli.“Ngapain sujud? Aku bukan dewa,” kekeh Awan.“Mereka bakal sujud kalau tau kamu itu siapa, aku yakin seyakin, yakinnya mereka bakal malu sendiri saat tau kamu itu cucu Dokter Ben, aku yakin mulut mereka bakal terkunci rapat dan nggak bakal ghibahin kita lagi.” Sonya meremas stetoskop miliknya yang sedang ia pegang, saking eratnya ia meremas stetoskop terlihat buku-buku jari Sonya memutih.“Kesel banget?” tanya Awan yang sadar kalau kelasihnya itu sangat geram.“Banget, mulut mereka itu harus di seko
"Lidya ... basah," ujar Sonya kesal karena air yang Lidya semburkan mengenai snelli-nya."So sorry, maafkan." Lidya mengambil tisu dan memberikan tisu pada Sonya, "aku nggak salah dengar?""Nggak, Awan cucu Dokter Ben. Kamu kaget?" tanya Sonya sambil menunjuk Lidya dengan sendok.Lidya mengangguk, tentu saja dia kaget bagaimana tidak dia tidak menyangka Awan seorang penata anestesi bersaudara dengan Dokter Ben dan sodaranya bukan sodara jauh. "Awan itu penata loh, bukan dokter.""Dia pernah kuliah kedokteran dan mundur nggak kuat belajar sistem blok," terang Sonya, "jadi dia keluar dan dia kuliah lagi penata anestesi bareng sama Eka.""Nggak paham aku," ucap Lidya sambil menghentikan makannya, ia sudah tidak bernapsu untuk memakan makanannya. "tapi, kenapa nggak ada yang tahu?""Dokter Ben meminta hal itu disembunyikan dan kamu juga mending nggak usah bilang ke siapa-siapa kecuali ke Eka, dia bisa kamu ajak diskusi hal ini karena dia tau." Sonya memperingatkan Lidya."Jadi, kamu kapan
"Eka kamu potong rambut?" tanya Sonya spontan saat melihat Eka."Iya, Dok, diminta Dokter Lidya," ucap Eka santai karena dia tidak tahu kalau beberapa saat yang lalu Lidya mengatakan kalau dirinya terlihat menarik. "Kata Dokter Lidya rambut aku nggak rapi.""Bagus, kamu bagus kaya gitu," ucap Sonya sambil mengacungkan kedua jempolnya ke arah Eka lalu melirik Lidya yang terlihat salah tingkah karena Sonya menatapnya dengan tatapan menggoda."Mama rekam medisnya? Berapa pasien?" tanya Lidya berusaha meredakan perasaan keki karena baru mengatakan kalau Eka adalah tipenya. Sonya menahan tawanya karena sadar kalau Lidya saat ini sedang merasa sangat malu pada dirinya, "Aku sama Awan mau cek obat dulu," ucap Sonya seraya berdiri dan menepuk lengan Awan."Mau ke mana?" tanya Awan bingung karena ia datang ke sana untuk makan bukan mencari Sonya. "Aku mau m—""Kita cek obat, Awan," pinta Sonya sambil menarik tangan Awan, menarik lelaki itu untuk menjauhi Lidya dan Eka. "Tapi, aku mau makan,"
"Siapa?" tanya Awan sambil berdiri di belakang Sonya dan mendapati Miska, "mau apa kamu ke sini? Kalau nyari Emir dia nggak ada di sini.""Nggak saya nggak cari Emir, saya mau mencari Dokter Sonya, ehm ...." Miska mengangkat tangannya dan menunjukkan plastik berisikina minuman kesukaan Sonya, "saya ingat kalau Dokter Sonya suka boba."Sonya menoleh dan saling berpandangan dengan Awan, mereka seolah berbicara lewat tatapan mata. Sonya tahu Awan meminta dirinya untuk tidak berurusan lagi dengan Miska. "Aku sibuk, Miska, ada apa?" tanya Sonya."Oh ... saya, saya ...." Miska tampak salah tingkah karena mendapatkan penolakan dari Sonya, padahal dirinya ke sana hanya ingin mengungkapkan sesuatu. Suatu hal yang sangat mengganjal di hatinya."Ada apa? Kalau cuman mau kasih boba, mending kamu bawa lagi bobanya. Saya masih mampun beliin Sonya boba, dan saya takut kamu masukin racun ke sa—""Awan," bisik Sonya sambil menyikut Awan lembut, terkadang Sonya suka kesal dengan Awan yang bila sudah t
Sonya membuka data rekam pasien di hadapannya sambil berdiri di meja suster ruangan UGD, hari itu sudah Sonya lalui dengan cukup emosional dengan kedatangan Miska yang meminta maaf pada dirinya dan Sonya masih sulit untuk memaafkan Miska.Dia sangat kesulitan memaafkan Miska dalam masalah Janu, Janu anak kesayangannya yang direnggut dengan brutal oleh Emir dan Miska membuat Sonya masih merasakan nyerinya. Dia sayang Janu, dan sumpah demi apa pun dia rindu untuk menjadi seorang ibu. Matanya menatap ke arah depan dan mendapati anak kecil yang duduk dipeluk oleh para ibunya karena menunggu antrian. Matanya tiba-tiba panas melihat adegan tersebut, membayangkan dirinya tidak akan mungkin mendapatkan kesempatan seperti itu lagi seumur hidupnya benar-benar membut hatinya perih.Sonya tidak berharap dari Awan, lelaki itu dengan tegas mengatakan tidak membutuhkan anak dari dirinya tapi, Awan seorang pria normal yang pasti menginginkan keturunan mungkin saja disuatu masa nanti Awan akan berubah
“Awan kenapa dimasukin ke sana?” tanya Sonya kesal saat melihat Awan seenaknya memasukkan barang-barang miliknya ke dalam kardus.Tangan Awan melayang di udara seolah terhenti saat akan memasukkan barang Sonya ke salah satu kardus berukuran lumayan besar. “Emang dimasukin ke mana? Aku pusing banyak banget kardusnya. Pikir-pikir kamu itu tinggal di rumah ini nggak ada lebih dari dua bulan, tapi, barang kamu kayanya lebih banyak dari barang aku.”Awan takjub melihat betapa banyaknya barang Sonya yang harus mereka packing untuk pindah ke Bandung, barangnya sudah selesai dipacking dan hanya tinggal mengurus motor-motor kesayangannya ia kirim menggunakan towing sewaan yang akan datang esok. Dengan berkacak pinggang Awan melihat sekeliling kamar miliknya yang sudah didominasi oleh barang milik Sonya, benar kata orang saat tinggal dengan seorang wanita jangan harap memiliki satu lemari pakaian itu cukup. “Ini semua muncul dari mana sih? Seingat aku, aku nggak pernah liat ini semuanya,” uca
"Kalian kenapa?" tanya Sonya yang kaget karena melihat Eka dan Lidya terjatuh di depan teras rumah Awan:"Ini satu orang nyebelin banget, aku lagi jalan ditabrak, dong," maki Lidya kesal, bokongnya sakit karena menghantam lantai akibat ditabrak oleh Eka."Maaf, Dok, maaf, nggak kelihatan." Eka mengusap bokongnya yang sakit karena membentur lantai. Hari ini dia datang ke rumah Awan untuk membantu sahabatnya itu packing barang-barang tapi, karena terburu-buru dia lupa mengenakan softlens."Badan aku segede gini nggak kelihatan? Buta kamu, hah?" sentak Lidya sambil berusaha berdiri dan bersyukur karena kakinya tidak keseleo."Maaf Dok, badan Dokter udah gede dan besar tap—""Maksud kamu aku gendut?" sentak Lidya makin marah karena merasa Eka menghinanya gendut. Harga dirinya sedang porak-poranda karena jarum timbangannya makin ke arah kanan."Nggak Dok, nggak gendut maksud saya badan Dokter emang gede tapi, saya nggak pakai kacamata dan softlens jadi nggak kelihatan, buram." Eka berjuan
"Hah? Gimana?" tanya Eka kaget karena tiba-tiba diberikan pertanyaan mematikan yang bila salah menjawabnya maka nyawanya akan melayang.Lidya menoleh menatap wajah Eka, "Muka aku jelek banget, yah? Sampai nggak ada yang mau sama aku," ucap Lidya ketus sambil menunjukkan chat yang ia terima dari lelaki yang sedang dekat dengan dirinya.Eka mendekatkan wajahnya sedekat mungkin dengan layar ponsel Lidya, "Aku nggak bisa lanjut, maaf, lanjut apa Dok? Dokter emang buka kela—-""Bukan buka kelas, ish ... kadang aku kesal sama kamu, pikiran kamu terlalu positif nggak bisa aku ngajak kamu ghibah," ucap Lidya gemas, “Dia ini orang yang deketin aku kemarin dan saat dia tahu aku punya anak dua, dia langsung bilang nggak bisa lanjut, kan kesel, ya.”“Mungkin dia tidak bermental baja, Dok, nggak kaya saya sudah ditempa dengan masalah yang berat, seberat dosa saya, Dok,” canda Eka sambil memukul dadanya beberapa kali hingga membuat ia terbatuk-batuk.“Ih, aku baru nemu orang banyak masalah tapi, po
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan