"Kamu mau ngapain?" tanya Sonya yang kaget karena tiba-tiba Awan beranjak dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi dalam keadaan telanjang."Mandi." Awan seolah tak mendengar perkataan Sonya dia mengambi dompetnya dan mengambil uang 150 ribu dan berjalan kembali ke arah Sonya.Sonya mengerjapkan kelopak matanya saat melihat Awan yang telanjang berjalan dengan penuh kepercayaan diri ke arahnya. Dada dan perut Awan yang terpahat sempurna membuat Sonya hanya bisa menahan napasnya dan meremas seprei menahan gairah yang meletup-letup, siapnya putingnya menegang seolah tubuh Awan adalah tombol on off untuk membangunkan putingnya."Apa?" tanya Sonya sembari melihat tangannya yang tiba-tiba dijejalkan uang sebanyak 150 ribu."Tadi aku mengumpat, astaga, bisa miskin aku kalau ngomongi si Emir, bawaannya mengumpat terus," ucap Awan sembari mengecup kening Sonya dan berbalik lalu kembali berjalan memasuki kamar mandi."Kamu mau ke mana setelah mandi?" tanya Sonya lagi, hening tidak ada jawaban d
Sonya menggenggam tangan Awan saat mereka sampai di depan rumah keluarga Emir, mata Sonya memicing saat melihat sebuah rumah yang terlihat luas berwarna putih, terlihat dua pilar yang menyangga atap rumah terlihat mengintimidasi dirinya. Dulu setiap Sonya datang ke rumah ini ia selalu merasa dirinya kecil dan worthless, bahkan almarhum orangtuanya selalu merasa kalau rumah Emir adalah rumah yang sangat mewah dan idaman bagi orang tua Sonya namun saat ini yang Sonya liat haya sebuah rumah yang sudah lusuh dan berjuang untuk tetap tegap.Warna cat yang sudah pudar dan tanaman yang menjalar tak terurus sama sekali membuat bentuk rumah itu terlihat kusam dan angker, hanya dua pilar yang menyangga atap rumah itu yang menyelamatkan kemegahan dari rumah itu."Ini rumah atau apaan sih? Nggak ada cita-cita dirapi-rapi apa?" celetuk Awan sembari menggenggam tangan Sonya lebih erat mencoba memberikan ketenangan pada kekasihnya itu. "Aku nggak paham, padahal kemarin pas ibu meninggal kan, rumah
Sonya berlari sambil mendorong ranjang rumah sakit secepat yang ia bisa, berkali-kali dia melihat jam yang ada di tangannya. Pikirannya dengan cepat menghitung waktu yang sudah terbuang semenjak ia menemukan Emir sampai dia mendorong ranjang rumah sakit."Dokter Sonya," panggil Lidya yang kaget karena mendapatkan code blue dan sesegera mungkin berlari dari bangsal rumah sakit ke ruang operasi. "Dokter Lidya, Emir ... Emir," ucap Sonya kebingungan karena batinnya masih terguncang akibat kaget melihat Emir yang terkulai kaku di kamar mandi. Tangan Sonya terjulur ke atas tangan Lidya, tubuhnya lemas dan matanya sudah tidak dapat lagi melihat apa pun karena tertutup air mata. Sesak rasanya melihat lelaki yang pernah ia cintai terpuruk seperti ini, mungkin Emir sangat melukai hati Sonya tapi, entah kenapa Sonya serasa tidak tega melihat lelaki itu terpuruk. Setidaknya lelaki itu pernah menemani dirinya menjalani kehidupan.Lidya mengangguk dan mengambil beberapa botol ampul yang sudah kos
Sonya berjalan disepanjang koridor rumah sakit mengikuti Irawan dan beberapa anak buahnya, ini sudah hari ketiga semenjak Emir masuk rumah sakit akibat overdosis dan baru kemarin sore mantan suaminya itu sadar. "Pak, memang saya harus ikut?" tanya Sonya."Iya, kami ingin Anda mendengar kesaksian dari Pak Emir," terang Irawan sambil menoleh melewati bahunya melihat Sonya yang berjalan dengan anggun.Sonya hanya bisa pasrah dan menyeret kakinya untuk mengikuti langkah Irawan, tangannya mengambil ponsel dari saku snelli. Tangan lincah Sonya mengetik dengan sangat cepat chat untuk Awan, dia memberi tahukan pada Awan kalau dirinya diminta Irawan bertemu dengan Emir."Bu Sonya, silakan masuk duluan," ucap Irawan sembari membuka pintu masuk ruangan perawatan Emir.Saat memasuki ruang rawat Sonya mendapati Emir yang sedang duduk menatap kosong layar TV, tangan kirinya terlihat terborgol."Kenapa harus diborgol?" tanya Sonya dengan suara rendah. "Sudah ketentuan dan prosedurnya seperti itu,"
"Kamu nggak salah minta maaf sama aku?" tanya Sonya lagi, rasanya ia ingin menampar pipinya karena mendengar permintaan maaf Emir. Apa kah dia mimpi?"Aw ...." Sonya berteriak keras saat ia memutuskan untuk mencubit pahanya sekeras mungkin untuk memastikan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. "Aku minta maaf dan kamu nggak mimpi," jawab Emir sembari tersenyum lelah, setelah memberikan keterangan pada Irawan rasanya energinya terkuras habis. "Kenapa? Kamu kenapa tiba-tiba minta maaf? Kamu minta dibayarin hutang? Butuh uang? Kamu kenapa?" tanya Sonya tercengang dengan ucapan Emir.Emir tertawa miris sambil melambaikan tangannya tanda kalau dia tidak membutuhkan itu semuanya walaupun memang saat ini dia terlilit hutang dan menghadapi masalah hukum tapi, dia sedang tidak membutuhkan bantuan itu semua yang ia butuhkan hanya berbicara dengan Sonya.Dua bulan dia bercerai dengan Sonya dan langsung menghadapi masalah finansial juga kematian ibunya membuat dirinya sadar suatu hal. Ia lemah d
Brak ... Brak ... Brak ....Emir menggedor pintu rumahnya dengan kesal karena pembantu barunya sangat tidak cekatan membuka pintu rumah. Dia lelah dan butuh istirahat urusan finansial benar-benar menjerat Emir tanpa ampun, melelahkan."Lama banget!" sentak Emir sambil masuk ke dalam rumah sesaat pintu rumah Emir terbuka, ia dengan cepat meninggalkan pembantunya yang melihatnya dengan takut-takut.Sesampainya di dalam kamar Emir melemparkan barang-barangnya ke sembarang arah, emosinya benar-benar sudah ada di puncak. Rasanya dia benci dengan dirinya saat ini yang tidak bisa bangkit, ia benar-benar terpuruk dan tidak ada satu orang pun yang mau menolongnya."Sial," maki Emir sambil membuka jam tangannya ke sembarang arah dengan kesal. "Kenapa bisa hancur gini?" tanya Emir lagi.Emir terpuruk dan berada di titik terendahnya, dua bulan ini hidupnya seolah dihantam oleh nasib buruk tak berkesudahan. Terakhir, ia mendapati kabar kalau ada beberapa debt collector dari bank yang mencari dirin
Permasalahan utama pada Emir berawal dari kematian ayahnya yang selalu membantu dan memanjakan dirinya dengan memberikan berbagai macam kemudahan dalam hidupnya. Di mulai dari membantunya untuk lulus SMA dan kuliah dengan cara menyogok pihak sekolah agar Emir bisa lulus walau lelaki itu tidak pernah mengikuti kegiatan pendidikan dengan baik, hingga saat Emir bekerja yang selalu dibantu untuk mendapatkan tender dari pemerintahan.Semuanya ayahnya lakukan untuk membahagiakan Emir, Emir anak semata wayangnya yang sangat ayahnya sayangi. Saat ayahnya hidup Emir bagaikan anak sultan, uang bukan perkara yang sulit bagi Emir. Berapa pun uang yang ia inginkan pasti ia miliki hanya dengan mengangkat teleponnya kemudian menelepon ayahnya.Hidupnya menyenangkan dengan memiliki Sonya, seorang wanita cantik yang membuat setiap pria menatapnya iri dan seorang anak lelaki sehat. Walaupun di awal pernikahan mereka kesulitan mendapatkan anak karena keadaan Sonya, akhirnya mereka memutuskan untuk melak
Tangan Emir lagi-lagi memutar salah satu video yang ada di ponsel Sonya, matanya mengerjap saat melihat Sonya yang sedang menangis di pojok ruangan di rumah sakit. Ia ingat video ini di ambil Sonya saat dirinya mengetahui kalau mereka tidak berhasil melakukan proses bayi tabung yang pertama.“Emir, Emir bagaimana ini? Bagaimana kalau aku nggak bisa hamil? Padahal ibu dan ayah sangat mengharapkan cucu,” bisik Sonya dengan suara terisak ia memeluk Emir dan membenamkan wajahnya ke dada Emir.“Nggak apa-apa, kita bilang sama ibu dan ayah,” jawab Emir.“Bagaimana kalau aku nggak bisa punya anak? Bagaimana kalau kamu diminta ayah dan ibu buat ninggalin aku? Gima—““Jangan ngaco, kita coba lagi. Kita coba terus, kamu juga jangan salahin diri kamu, dong, Sonya. Ini juga karena salah aku, sperma aku kurang cepat, inget kata Dokter Ismi?” tanya Emir yang langsung dijawab anggukan oleh Sonya.“Jangan tinggalin aku, Mir.”“Nggak, aku nggak akan ninggalin kamu, Sayang.”Video itu berakhir dengan u