Sonya menggenggam tangan Awan saat mereka sampai di depan rumah keluarga Emir, mata Sonya memicing saat melihat sebuah rumah yang terlihat luas berwarna putih, terlihat dua pilar yang menyangga atap rumah terlihat mengintimidasi dirinya. Dulu setiap Sonya datang ke rumah ini ia selalu merasa dirinya kecil dan worthless, bahkan almarhum orangtuanya selalu merasa kalau rumah Emir adalah rumah yang sangat mewah dan idaman bagi orang tua Sonya namun saat ini yang Sonya liat haya sebuah rumah yang sudah lusuh dan berjuang untuk tetap tegap.Warna cat yang sudah pudar dan tanaman yang menjalar tak terurus sama sekali membuat bentuk rumah itu terlihat kusam dan angker, hanya dua pilar yang menyangga atap rumah itu yang menyelamatkan kemegahan dari rumah itu."Ini rumah atau apaan sih? Nggak ada cita-cita dirapi-rapi apa?" celetuk Awan sembari menggenggam tangan Sonya lebih erat mencoba memberikan ketenangan pada kekasihnya itu. "Aku nggak paham, padahal kemarin pas ibu meninggal kan, rumah
Sonya berlari sambil mendorong ranjang rumah sakit secepat yang ia bisa, berkali-kali dia melihat jam yang ada di tangannya. Pikirannya dengan cepat menghitung waktu yang sudah terbuang semenjak ia menemukan Emir sampai dia mendorong ranjang rumah sakit."Dokter Sonya," panggil Lidya yang kaget karena mendapatkan code blue dan sesegera mungkin berlari dari bangsal rumah sakit ke ruang operasi. "Dokter Lidya, Emir ... Emir," ucap Sonya kebingungan karena batinnya masih terguncang akibat kaget melihat Emir yang terkulai kaku di kamar mandi. Tangan Sonya terjulur ke atas tangan Lidya, tubuhnya lemas dan matanya sudah tidak dapat lagi melihat apa pun karena tertutup air mata. Sesak rasanya melihat lelaki yang pernah ia cintai terpuruk seperti ini, mungkin Emir sangat melukai hati Sonya tapi, entah kenapa Sonya serasa tidak tega melihat lelaki itu terpuruk. Setidaknya lelaki itu pernah menemani dirinya menjalani kehidupan.Lidya mengangguk dan mengambil beberapa botol ampul yang sudah kos
Sonya berjalan disepanjang koridor rumah sakit mengikuti Irawan dan beberapa anak buahnya, ini sudah hari ketiga semenjak Emir masuk rumah sakit akibat overdosis dan baru kemarin sore mantan suaminya itu sadar. "Pak, memang saya harus ikut?" tanya Sonya."Iya, kami ingin Anda mendengar kesaksian dari Pak Emir," terang Irawan sambil menoleh melewati bahunya melihat Sonya yang berjalan dengan anggun.Sonya hanya bisa pasrah dan menyeret kakinya untuk mengikuti langkah Irawan, tangannya mengambil ponsel dari saku snelli. Tangan lincah Sonya mengetik dengan sangat cepat chat untuk Awan, dia memberi tahukan pada Awan kalau dirinya diminta Irawan bertemu dengan Emir."Bu Sonya, silakan masuk duluan," ucap Irawan sembari membuka pintu masuk ruangan perawatan Emir.Saat memasuki ruang rawat Sonya mendapati Emir yang sedang duduk menatap kosong layar TV, tangan kirinya terlihat terborgol."Kenapa harus diborgol?" tanya Sonya dengan suara rendah. "Sudah ketentuan dan prosedurnya seperti itu,"
"Kamu nggak salah minta maaf sama aku?" tanya Sonya lagi, rasanya ia ingin menampar pipinya karena mendengar permintaan maaf Emir. Apa kah dia mimpi?"Aw ...." Sonya berteriak keras saat ia memutuskan untuk mencubit pahanya sekeras mungkin untuk memastikan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. "Aku minta maaf dan kamu nggak mimpi," jawab Emir sembari tersenyum lelah, setelah memberikan keterangan pada Irawan rasanya energinya terkuras habis. "Kenapa? Kamu kenapa tiba-tiba minta maaf? Kamu minta dibayarin hutang? Butuh uang? Kamu kenapa?" tanya Sonya tercengang dengan ucapan Emir.Emir tertawa miris sambil melambaikan tangannya tanda kalau dia tidak membutuhkan itu semuanya walaupun memang saat ini dia terlilit hutang dan menghadapi masalah hukum tapi, dia sedang tidak membutuhkan bantuan itu semua yang ia butuhkan hanya berbicara dengan Sonya.Dua bulan dia bercerai dengan Sonya dan langsung menghadapi masalah finansial juga kematian ibunya membuat dirinya sadar suatu hal. Ia lemah d
Brak ... Brak ... Brak ....Emir menggedor pintu rumahnya dengan kesal karena pembantu barunya sangat tidak cekatan membuka pintu rumah. Dia lelah dan butuh istirahat urusan finansial benar-benar menjerat Emir tanpa ampun, melelahkan."Lama banget!" sentak Emir sambil masuk ke dalam rumah sesaat pintu rumah Emir terbuka, ia dengan cepat meninggalkan pembantunya yang melihatnya dengan takut-takut.Sesampainya di dalam kamar Emir melemparkan barang-barangnya ke sembarang arah, emosinya benar-benar sudah ada di puncak. Rasanya dia benci dengan dirinya saat ini yang tidak bisa bangkit, ia benar-benar terpuruk dan tidak ada satu orang pun yang mau menolongnya."Sial," maki Emir sambil membuka jam tangannya ke sembarang arah dengan kesal. "Kenapa bisa hancur gini?" tanya Emir lagi.Emir terpuruk dan berada di titik terendahnya, dua bulan ini hidupnya seolah dihantam oleh nasib buruk tak berkesudahan. Terakhir, ia mendapati kabar kalau ada beberapa debt collector dari bank yang mencari dirin
Permasalahan utama pada Emir berawal dari kematian ayahnya yang selalu membantu dan memanjakan dirinya dengan memberikan berbagai macam kemudahan dalam hidupnya. Di mulai dari membantunya untuk lulus SMA dan kuliah dengan cara menyogok pihak sekolah agar Emir bisa lulus walau lelaki itu tidak pernah mengikuti kegiatan pendidikan dengan baik, hingga saat Emir bekerja yang selalu dibantu untuk mendapatkan tender dari pemerintahan.Semuanya ayahnya lakukan untuk membahagiakan Emir, Emir anak semata wayangnya yang sangat ayahnya sayangi. Saat ayahnya hidup Emir bagaikan anak sultan, uang bukan perkara yang sulit bagi Emir. Berapa pun uang yang ia inginkan pasti ia miliki hanya dengan mengangkat teleponnya kemudian menelepon ayahnya.Hidupnya menyenangkan dengan memiliki Sonya, seorang wanita cantik yang membuat setiap pria menatapnya iri dan seorang anak lelaki sehat. Walaupun di awal pernikahan mereka kesulitan mendapatkan anak karena keadaan Sonya, akhirnya mereka memutuskan untuk melak
Tangan Emir lagi-lagi memutar salah satu video yang ada di ponsel Sonya, matanya mengerjap saat melihat Sonya yang sedang menangis di pojok ruangan di rumah sakit. Ia ingat video ini di ambil Sonya saat dirinya mengetahui kalau mereka tidak berhasil melakukan proses bayi tabung yang pertama.“Emir, Emir bagaimana ini? Bagaimana kalau aku nggak bisa hamil? Padahal ibu dan ayah sangat mengharapkan cucu,” bisik Sonya dengan suara terisak ia memeluk Emir dan membenamkan wajahnya ke dada Emir.“Nggak apa-apa, kita bilang sama ibu dan ayah,” jawab Emir.“Bagaimana kalau aku nggak bisa punya anak? Bagaimana kalau kamu diminta ayah dan ibu buat ninggalin aku? Gima—““Jangan ngaco, kita coba lagi. Kita coba terus, kamu juga jangan salahin diri kamu, dong, Sonya. Ini juga karena salah aku, sperma aku kurang cepat, inget kata Dokter Ismi?” tanya Emir yang langsung dijawab anggukan oleh Sonya.“Jangan tinggalin aku, Mir.”“Nggak, aku nggak akan ninggalin kamu, Sayang.”Video itu berakhir dengan u
“Emir ....” Suara Sonya seolah mengembalikan pikiran Emir ke waktu saat ini, pikirannya dan mulutnya yang dari tadi berkelana ke masa yang lalu, bercerita tentang apa yang terjadi sebelum ia memutuskan menggunakan obat yang ia curi dari lemari kaca Sonya. “Emir ....” Sonya menyentuh punggung tangan Emir lembut, matanya sudah penuh dengan air mata yang sekuat apa pun Sonya tahan terus menerus mengalir. Hatinya tiba-tiba terasa hangat saat mendengar cerita Emir yang menyedihkan sekaligus membuat Sonya sadar kalau pria di hadapannya ini masih memiliki hati nurani. “Sonya, Sayang ... aku minta maaf, aku minta maaf karena sudah menjadi pria berengsek yang tidak tahu diri. Aku minta maaf sudah menjadi suami tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung, aku ... a-a ....” Emir lagi-lagi kehilangan kata-kata saat akan mengungkapkan permintaan pamungkasnya. “E-Emir ....” Sonya terisak sembari mengusap air matanya. “Aku udah bunuh anak kita, Sayang. Aku minta maaf aku udah bunuh Janu, maaf ... ak
Hai semua pembacaku sayang ....Gallon ucapkan terima kasih sudah membaca hingga akhir kisa perjalanan cinta Awan dan Sonya. Sebuah kisah yang pelik, berat dan penuh gairah dari Awan dan Sonya.Kisah yang dimulai dari sebuah pengkhianatan, rasa benci, dan mamaki diri akibat sebuah kekurangan yang menjadikan diri Sonya membenci dirinya dan melupakan rasa dicintai juga mencintai.Sebuah kisah dengan akhir yang manis namun dibalut sebuah kenyataan hidup, sebuah kenyataan yang membuat kita sadar kalau kita hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Secinta apa pun kita pada seseorang ingatlah ada maut yang memisahkan namun, yakinlah maut juga yang akan menyatukan kalian kembali. Cerita ini harus berakhir di sini, cerita manis ini harus berakhir secara sedih namun tetap dibalut senyum bukan sebuah tangis. Cerita cinta Sonya dan Awan tidak akan ada kelanjutannya, semuanya sudah jelas dan mereka sudah sangat berbahagia dengan kehidupannya. Gallon harap semua yang membacanya puas dengan akhir ki
Tit ... tit ... tit ....Suara alat yang memonitor jantung Awan terdengar memilukan di kuping Hana dan Haikal, sudah lima hari mereka berdua berjaga di sana bergantian dan tidak mau meninggalkan Awan, semenjak Awan terjatuh dari kamar mandi."Hana, Haikal bisa keluar?" tanya Daniel melalui celah pintu kamar.Hana dan Haikal saling tatap lalu keluar dari kamar, sebelumnya mereka berdua mengecup kening Awan pelan. Setelah di luar Hana dan Haikal bertemu dengan Daniel dan juga Adara bersama seorang dokter. Mereka tahu siapa dokter itu, dokter itu adalah Dokter Intan, adik almarhum mama mereka."Tante ada apa?" tanya Hana sambil berdiri di samping Daniel, spontan suaminya itu merangkul bahunya pelan mencoba menguatkan Hana."Ada yang salah sama Daddy?" tanya Haikal sambil merangkul pinggang istrinya, mencoba mencari ketenangan dari tubuh istrinya itu.Intan mencoba tersenyum sebaik mungkin walau ia sadar kalau ia tidak bisa menipu Hana dan Haikal yang sudah mengenal dirinya dengan sangat b
Tangan Awan terus bergerak mengelus nisan Sonya, disetiap tarikan napasnya ia merasakan rasa rindu yang menusuk nan sakit. Ia rindu memeluk Sonya, mengecupi tubuh istrinya, dan tidur di samping wanita yang sudah menemaninya selama 37 tahun. Jemari Awan terus bergerak, sesekali terdengar suara tarikan napas berat Awan. Matanya mulai buram akibat menahan air mata yang selalu jatuh ke tanah setiap ia datang ke sana untuk bertemu Janu dan Sonya.Masih segar di ingatannya saat Sonya pergi meninggalkan dirinya di pelukkannya. Sonya kalah dan menyerah pada penyakitnya, wanita itu pergi meninggalkan dirinya tiga tahun lalu. Sonya menyerah pada penykitnya, Sonya meninggalkan dirinya sendirian di dunia. Maut sudah memisahkan mereka, mengakhiri sebuah dongeng cantik nan bahagia yang selama ini Awan dan Sonya rajut. Menikah dengan Sonya adalah sesuatu yang sangat Awan sukai. Setiap harinya selalu Awan lewati dengan perasaan senang dan bahagia, walau ada beberapa kali mereka menemui hambatan ke
37 Tahun Kemudian .....Awan mematut dirinya di depan kaca sambil menarik-narik kemejanya. Ia sesekali tersenyum sambil mengusap-usap bagian rambutnya yang sudah memutih termakan usia. Ia sekali lagi memutar tubuhnya memastikan kalau tampilannya sudah sesuai dengan apa yang ia harapkan.Tangan Awan mengambil parfume yang sudah ia pakai semenjak dahulu kala, seketika itu juga wangi laut menyeruak ke indera penciumannya. Mencium itu semua membuat ia ingat perkataan Sonya kalau menciumnya wangi tubuhnya seolah ia sedang berlibur ke pantai."Sonya," bisik Awan sambil tersenyum kembali ke arah cermin. Ah ... ia rindu pada istrinya, ia rindu pada celotehan istrinya itu. Tanpa sadar pikirannya menghitung sudah berapa lama ia menikahi Sonya. "37 tahun," bisik Awan yang mulai menghitung berapa lama ia sudah menikah dengan Sonya, wanita yang sangat ia cintai hingga masa tuanya itu. Tok ... tok ... tok ....Awan menoleh melalui bahunya dan mendapati pintu kamarnya di buka. Senyumannya melebar
"Mereka tidur di sini," ucap Lidya sambil membuka pintu kamar Tara.Sonya melihat Hana dan Haikal yang tidur di ranjang bersama Tara dan Amia. Terlihat kedua anaknya itu mengenakan piayama yang sama sambil memeluk sesuatu yang mereka bagi, Sonya tanpa sadar tersenyum melihat apa yang anak kembarnya itu peluk. "Aku nggak paham kenapa Hana dan Haikal meluk handuk, mereka tiap tidur selalu meluk handuk itu. Aku sampai sangka itu selimut tapi, aku liat-liat itu ternyata handuk," terang Lidya sambil mengambil tas si kembar yang sudah rapih di pojok kamar. "Itu anduk aku, mereka minta katanya buat mereka bawa." Sonya menahan tawanya sendiri saat mengingat keinginan si kembar, tanpa sadar tangan Sonya mengusap kening si kembar. "Ya ampun, manis banget ... padahal mereka bukan anak kamu secara biologis tapi, manis banget," ucap Lidya sambil mengusap kedua lengannya. "Iya ... aku bersyukur mendapatkan mereka berdua ... aku bersyukur dipertemukan dengan Awan dan diberkahi dua malaikat ini,"
"Bener-bener si kupret!" maki Eka sambil berjalan berlalu lalang di hadapan Lidya yang sedang membaca majalah dan sesekali melirik ke arah Eka.Eka kembali melihat jam yang ada di dinding rumah dengan geram, bagaimana tidak, waktu sudah menunjukkan jam 12 malam di hari senin dan bila jarum panjang jam bergerak sedikit saja maka hari sudah berganti menjadi hari selasa. "Bisa duduk nggak, sih?" tanya Lidya yang akhirnya kesal melihat Eka terus bergerak hilir mudik seperti setrikaan. "Duduk, sini." Lidya menepuk sofa yang ada di sampingnya berharap suaminya duduk di sana dan tenang. Sayangnya keinginannya tidak tercapai, Eka menggeleng sambil kembali hilir mudik dan memainkan ponselnya."Ini kupret satu, kebiasaannya ya Tuhan, dia bilang hari senin ... ini hari senin, bahkan ...." Eka melihat jam dinding dan menyadari jarum panjangnya sudah bergeser. "Udah hari selasa ... dasar manusia tanah sengketa, hobi bener bikin susah orang."Lidya hanya bisa menahan tawanya melihat kelakuan Eka y
Awan mengambil madu dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi menyusul Sonya yang sudah menghilang di dalam kamar mandi. Saat sampai di ambang pintu kupingnye mendengar suara gemericik air dari dalam tempat shower.Langkah kaki Awan terhenti saat ia melihat Sonya sedang membasahi sekujur tubuhnya dengan air hangat yang keluar dari pancuran. Siluet tubuhnya terlihat menggoda, tubuh sintal Sonya seolah meminta Awan untuk menyentuhnya. Napasnya makin tertahan saat ia melihat tangan Sonya menyentuh setiap inci tubuhnya dengan pelan dan sensual, ia suka melihat Sonya menyentuh tubuhnya sendiri, birahinya seolah dipuaskan melalu visual Sonya yang entah bagaimana caranya selalu menjadi magnet untuk dirinya. Sonya berbalik dan mendekati Awan selangkah demi selangkah, seolah setiap langkah yang Sonya lakukan sebagai sebuah tombol yang lagi-lagi membuat pria itu menggemeretakkan giginya menahan hasrat liar yang sudah meronta untuk dilepaskan detik itu juga."Nggak buka baju?" tanya Sonya sambil
"Aku nggak sanggup lagi, Wan," tolak Sonya sambil mendorong piring sejauh mungkin dari hadapannya, perutnya seolah akan meledak karena sudah menghabiskan banyak sekali hidangan laut yang tersaji."Terus ngapain kamu pesen makanan sebanyak ini?" tanya Awan kesal sambil menunjuk hidangan laut yang ada di hadapannya. "Yah tadi, keliatannya enak semuanya jadi aku pesen," kilah Sonya sambil mengambil garpu dan menusuk-nusuk udang yang ada di atas piring. Sonya mengakui kalau makanan itu enak tapi, rasanya perutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan lebih banyak lagi."Terus ini gimana? Aku udah bilang tadi, pesen seperlunya aja, jangan lapar mata, Sonya," ucap Awan sambil melihat meja makannya yang masih terhidang cumi saus padang, udang galah asam manis, kepiting bakar dan juga ikan bakar.Awan ingat tadi saat Sonya memesan semuanya ia sudah mengingatkan Sonya kalau mereka tidak akan mampu menghabiskan semuanya tapi, istrinya ini tetap pada pendiriannya ingin memesan semua makanan y
"Mommy baru sampai, Nak," ucap Sonya sambil duduk di sudut ranjang dan melihat Awan yang terlihat sibuk berbicara dengan petugas hotel."Iya ... Hana, 3 hari aja, Daddy kamu juga bilang tiga hari, kan, kalau lebih nanti biar Mommy yang pulang sendiri dan Daddy, Mommy tinggal di sini," lanjut Sonya sambil menyentuh handuk yang dibentuk angsa di atas ranjangnya. Matanya dengan cepat menyisir keadaan kamarnya, jujur pada awalnya Sonya tidak tau mau di bawa kemana dirinya oleh Awan. "Iya, janji. Udah kamu di sana baik-baik dan jangan nakal. PR-nya kerjain dan tolong, suruh Haikal kerjain PR-nya juga, adik kamu suka lupa diri kalau nggak diingatkan," pinta Sonya sambil mengucapkan beberapa kata perpisahan sebelum memutuskan sambungan telepon dari Hana.Setelah ia menitipkan Hana dan Haikal di rumah Lidya, Awan sama sekali tidak mau mengatakan ke mana mereka akan pergi dan ternyata Awan membawanya ke salah satu resort yang ada di pulau seribu. H island resort.Sonya tersenyum saat berjalan