Permasalahan utama pada Emir berawal dari kematian ayahnya yang selalu membantu dan memanjakan dirinya dengan memberikan berbagai macam kemudahan dalam hidupnya. Di mulai dari membantunya untuk lulus SMA dan kuliah dengan cara menyogok pihak sekolah agar Emir bisa lulus walau lelaki itu tidak pernah mengikuti kegiatan pendidikan dengan baik, hingga saat Emir bekerja yang selalu dibantu untuk mendapatkan tender dari pemerintahan.Semuanya ayahnya lakukan untuk membahagiakan Emir, Emir anak semata wayangnya yang sangat ayahnya sayangi. Saat ayahnya hidup Emir bagaikan anak sultan, uang bukan perkara yang sulit bagi Emir. Berapa pun uang yang ia inginkan pasti ia miliki hanya dengan mengangkat teleponnya kemudian menelepon ayahnya.Hidupnya menyenangkan dengan memiliki Sonya, seorang wanita cantik yang membuat setiap pria menatapnya iri dan seorang anak lelaki sehat. Walaupun di awal pernikahan mereka kesulitan mendapatkan anak karena keadaan Sonya, akhirnya mereka memutuskan untuk melak
Tangan Emir lagi-lagi memutar salah satu video yang ada di ponsel Sonya, matanya mengerjap saat melihat Sonya yang sedang menangis di pojok ruangan di rumah sakit. Ia ingat video ini di ambil Sonya saat dirinya mengetahui kalau mereka tidak berhasil melakukan proses bayi tabung yang pertama.“Emir, Emir bagaimana ini? Bagaimana kalau aku nggak bisa hamil? Padahal ibu dan ayah sangat mengharapkan cucu,” bisik Sonya dengan suara terisak ia memeluk Emir dan membenamkan wajahnya ke dada Emir.“Nggak apa-apa, kita bilang sama ibu dan ayah,” jawab Emir.“Bagaimana kalau aku nggak bisa punya anak? Bagaimana kalau kamu diminta ayah dan ibu buat ninggalin aku? Gima—““Jangan ngaco, kita coba lagi. Kita coba terus, kamu juga jangan salahin diri kamu, dong, Sonya. Ini juga karena salah aku, sperma aku kurang cepat, inget kata Dokter Ismi?” tanya Emir yang langsung dijawab anggukan oleh Sonya.“Jangan tinggalin aku, Mir.”“Nggak, aku nggak akan ninggalin kamu, Sayang.”Video itu berakhir dengan u
“Emir ....” Suara Sonya seolah mengembalikan pikiran Emir ke waktu saat ini, pikirannya dan mulutnya yang dari tadi berkelana ke masa yang lalu, bercerita tentang apa yang terjadi sebelum ia memutuskan menggunakan obat yang ia curi dari lemari kaca Sonya. “Emir ....” Sonya menyentuh punggung tangan Emir lembut, matanya sudah penuh dengan air mata yang sekuat apa pun Sonya tahan terus menerus mengalir. Hatinya tiba-tiba terasa hangat saat mendengar cerita Emir yang menyedihkan sekaligus membuat Sonya sadar kalau pria di hadapannya ini masih memiliki hati nurani. “Sonya, Sayang ... aku minta maaf, aku minta maaf karena sudah menjadi pria berengsek yang tidak tahu diri. Aku minta maaf sudah menjadi suami tidak tahu diri dan tidak tahu diuntung, aku ... a-a ....” Emir lagi-lagi kehilangan kata-kata saat akan mengungkapkan permintaan pamungkasnya. “E-Emir ....” Sonya terisak sembari mengusap air matanya. “Aku udah bunuh anak kita, Sayang. Aku minta maaf aku udah bunuh Janu, maaf ... ak
“Hai,” panggil Sonya saat membuka pintu dan mendapati Awan yang sedang berdiri dan menatapnya gusar.“Kenapa?” tanya Sonya yang tahu kalau ada yang tidak beres pada diri Awan, Sonya mendekati Awan dan mengusap pipi lelaki itu dengan punggung tangannya.Awan menyentuh tangan Sonya, “Kamu di dalam ngapain?”“Ngobrol sama Emir dan memang tadi diminta sama Pak Irawan untuk ikut karena aku diminta untuk mendengar kesaksian Emir,” jawab Sonya jujur, “kenapa?”Awan menarik tangan Sonya ke bibirnya dan mengecupnya pelan, “Bener cuman itu?”“Iya, hanya itu. Memang mau apa lagi?” Sonya paham Awan tadi melihat dirinya memeluk Emir dan juga Emir tadi sempat mencium pipinya.“Ngobrol aja?”“Iya, ngobrol aja memang mau ngapain? Main futsal?” canda Sonya sembari mendekati tubuh Awan, kepalanya melihat ke kanan dan ke kiri mencoba melihat situasi dan kondisi, setelah merasa aman ia mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Awan.“Hei ....”“Cemburu karena aku dipeluk dan dicium pipinya sama Emir?” tan
Dug ... Dug ... Dug .... “Sonya ngapain sih kamu?” tanya Lidya yang kesal melihat sahabatnya itu membenturkan dahinya ke setir mobil, mereka sedang berada di dalam mobil yang masih terparkir sempurna di parkiran rumah sakit. “Aku bodo, ampun aku bodo ...,” ucap Sonya berulang-ulang sambil terus membenturkan kepalanya ke setir. “Bodo karena?” Sonya menolehkan kepalanya dan melihat Lidya, dengan lancar Sonya menceritakan semuanya lalu mengakhirnya dengan kata, “Aku bodo.” “Lah ... bukan bodo lagi itu, udah tahapan dongo,” jawab Lidya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kan dia mau aku bilang aku suka dan cinta, terus salahnya di mana?” tanya Sonya. “Salah di otak kau,” jawab Lidya geram dengan Sonya, terkadang kepala sahabatnya ini harus dipukul dengan mesin pacu jantung agar bekerja dengan baik. Sonya memang cerdas dalam bidang kedokteran tapi, dalam bidang percintaan? Jangan harap. “Kok salah di otak aku?” “Ya, bayangi deh kalau kamu lagi cemburu sama Awan karena Aw
"Naon (Apa) Eka?" tanya Awan sembari turun dari motor vespa maticnya karena baru saja sampai di dalam garasi rumahnya."Jadi teu (nggak) ka reuni?" tanya Eka melalui sambungan telepon."Males Ka, reuninya juga di Bandung bukan di Jakarta, kamu mau pulang pergi?" ungkap Awan sembari membuka jaket dan mengambil semua barang miliknya. "Ayolah, Wan, semuanya kangen sama kamu," bujuk Eka yang berharap sahabatnya itu mau ikut ke acara reuni SMA mereka."Nggak tau ah, asa hoream (kayanya malas)," sahut Awan yang memang tidak suka menghadiri acara reunian seperti itu."Ini reuni SMA bukan kuliah," pinta Eka."Males ... mau SMA, mau kuliah aku yang pertama atau reuni akademi keperawatan, aku males," tolak Awan."Wan ... demi aku," mohon Eka yang sebenarnya sudah menjanjikan untuk membawa Awan ke acara reuni SMA karena hampir semua kawan SMA-nya penasaran dengan nasib Don Juan SMA mereka.Awan menghela napasnya dan berhenti di ambang pintu rumah yang sudah terbuka, manik matanya melihat Minah
Awan keluar dari kamar mandi dengan perut bergemuruh karena dia belum makan dari sore, saat keluar dari kamar dia sama sekali tidak melihat sosok Sonya."Sonya," panggil Awan sembari berjalan ke arah sofa dan lagi-lagi tidak menemukan wanita itu di sana, Awan hanya melihat meja yang sudah Sonya tata dengan berondong jagung, minuman dan beberapa camilan lainnya. Sepertinya, wanita itu ingin berbaikan dengan dirinya.Awan menyimpan handuknya di atas sofa dan mulai mencari Sonya, "Sonya."Hening tidak ada suara siapa pun disekitarnya, "Sonya." Lagi, Awan mencoba memanggil Sonya. Keheningan rumah tiba-tiba membuat Awan ketar ketir karena ia tidak bisa menemukan Sonya di manapun juga. "Sonya ... kamu di mana?" tanya Awan sembari mencari Sonya, "Sonya."Awan memutar tubuhnya dan berjalan ke arah pintu taman yang langsung menunjukkan deretan motor vespa miliknya. "Sonya?" Kosong, Sonya tidak ada di mana pun.BLAMM ...."Sonya!" teriak Awan saat mendengar suara seperti benda yang meledak."
Awan mengangkat badan Sonya dari kamar mandi sampai ke ranjang tanpa melepaskan ciumannya, lidahnya menari di dalam rongga mulut Sonya mengecap manisnya mulut Wanita itu.Awan duduk di pinggir ranjang, ia mosisikan Sonya untuk duduk di pahanya. Tangan Awan memasuki bagian dalam pakaian Sonya, mengusap garis badan wanita itu yang terasa hangat di ujung jemari Awan.Tangan Sonya mengerat di leher Awan, ia membusungkan dadanya mendesak dada Awan seolah ingin meleburkan tubuh mereka menjadi satu. "Awan ...," bisik Sonya disela-sela ciuman panas mereka."Apa?" tanya Awan sambil mengurai ciumannya dan membuka kaos miliknya.Melihat Awan membukan kaosnya sontak membuat Sonya membuka baju tidur bagian atasnya. Sonya tertawa pelan saat melihat Awan berusaha menelan ludahnya sendiri saat melihat tubuhnya. "Wan ... aku minta maaf, aku salah dan aku janji nggak akan ketemu Emir lagi tanpa ada kamu," bisik Sonya sembari kembali memeluk Awan, bibir Sonya yang hangat mengusap garis leher Awan hingg